Didik Nini Thowok, Dagelan dan Edukasi Crossgender dalam Tarian
Obrolan tentang kategorisasi tarian, tantangan sosial hingga citra tari hari ini.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Soni Triantoro
Foto: Noe Prasetya
Didik Hadi Prayitno lahir dengan nama Kwee Tjoen Lian, namun lebih banyak dikenal sebagai Didik Nini Thowok adalah salah satu penari legendaris lokal. Ia menawarkan penampilan segar dengan pendekatan unik, yakni dagelan serta crossgender. Berdasarkan passion dan upayanya dalam memperkenalkan spektrum tersebut pada publik, ia pun turut mewarnai dunia tari Indonesia dan kemudian dilirik oleh dunia global. Bekerja sama dengan Komunitas Salihara, kami berkesempatan menemui beliau di sela kegiatannya untuk membicarakan gender dalam tarian tarian, tantangan sosial hingga citra tari hari ini.
Bagaimana awal mula ketertarikan Anda terhadap seni tari?
Awalnya dari kebiasaan diajak kakek atau nenek untuk melihat kesenian tradisional. Jadi asalnya dari menonton wayang kulit, ketoprak, tari-tarian, dan sebagainya. Kecintaan terhadap seni itu harus ditanamkan dari awal. Makanya ketika seminar, saya selalu memberi tahu bahwa peran orangtua membekali anak-anaknya apresiasi terhadap seni budaya sangat penting supaya budaya kita tidak tergusur oleh modernisasi. Bukan berarti bahwa anaknya nanti harus jadi seniman. Paling tidak dia tahu budayanya atau kesenian lokalnya. Sekarang dengan akses internet yang lebih mudah lagi, kita malah melihat budaya lain. Jika kita sering mendengar slogan-slogan kearifan lokal dan sebagainya, semua itu perlu dimulai dari orangtua supaya anak-anak punya wawasan. Nah, itu saya alami di waktu kecil. Dari sekadar senang, lama-lama ingin melakukan. Dan ternyata kok cocok dan klop, maka dari situ saya jadi penari.
Awalnya sebenarnya saya ingin jadi pelukis. Itu lukisan saya (menunjuk sebuah lukisan di dinding). Saya suka sketsa hitam-putih. Dari kecil bakat saya memang melukis, menari malah awalnya cuma hobi. Tapi kemudian keterusan terjun ke profesi penari. Sementara minat lukisnya saya switch ke tata rias.
Kenapa lantas memilih tari perempuan?
Memang diawali dari kemampuan saya menari. Mungkin karena empat saudara saya perempuan, sehingga saya feminin dari kecil. Saya suka mainan yang sifatnya untuk perempuan. Saya pun lebih luwes menari perempuan daripada melakukan gerakan tari laki-laki yang gagah. Dalam dunia seni kan dulu tidak masalah untuk laki-laki menari perempuan atau sebaliknya. Seni crossgender di dunia ini ada dari zaman ancient times. Akhir-akhir ini saja jadi masalah.
Dulu saya melakukan itu karena kekurangan saya sendiri. Karena tidak bisa menari gagah, saya memilih menari perempuan. Awalnya dilecehkan, dibilang bencong, banci dan lain-lain. Tapi lama-lama saya menekuni itu, termasuk mempelajari literatur dan interview. Saya melakukan penelitian juga tentang itu hingga menerbitkan satu-satunya buku crossgender di Indonesia. Saya sengaja membuatnya dalam bentuk kompilasi dari beberapa tulisan profesor. Jadi bukan saya menulis sendiri, tapi dosen, teman dan siapapun yang pakar juga ikut menulis. Bahkan dari luar negeri pun ada yang mengirim artikel. Jadi buku saya ini komplit sekali. Dan saya masih ingin mengembangkannya lagi.
Ternyata sejarah crossgender kita sudah dari zaman baheula. Hampir setiap daerah di Jawa punya tradisi itu. Bahkan di era penjajahan di Banyuwangi dan di Jawa Barat, seni crossgender menjadi sangat bermanfaat untuk para pejuang gerilya yang akan melawan Belanda. Mereka jadi semacam telik sandi yang menyamar menjadi penari perempuan. Nah, dalam syair lagunya, mereka menyampaikan dengan bahasa lokalnya supaya Belanda tidak bisa mengartikan, termasuk pesan janjian tempat berkumpul untuk menyerang Belanda. Berarti crossgender bermanfaat juga di zaman itu. Belum lagi seni crossgender yang ritual. Itu ada di Sulawesi juga sampai sekarang, termasuk para pendeta-pendeta bisu yang ada di kitab “La Galigo”. Seni crossgender di keraton dan berbagai daerah itu untuk ritual. Alasannya, tradisi dulu kan masih animisme, sementara wanita jika menstruasi tidak boleh melakukan ritual. Akhirnya tariannya dimainkan laki-laki.
Ada filosofi yang lebih dalam lagi dan sebagainya.
Jadi saya yang awalnya merasa tidak ada temannya dan dihina, akhirnya yakin untuk belajar dengan benar. Waktu itu cuma ingin jadi guru tari yang baik. Soalnya almarhum guru-guru saya yang dari keraton itu kebanyakan laki-laki, dan justru mereka bisa mengajar tari perempuan dengan baik. Tapi ternyata akhirnya saya juga dikenal sebagai penampil. Ini sebenarnya di luar rencana, tapi mungkin Tuhan memang punya rencana dan kini saya dikenal sebagai penari crossgender. Bisa dibilang bahwa yang pertama kali memasarkan tarian crossgender ke Indonesia adalah saya. Sekarang sudah banyak follower-nya. Saya selalu berpesan, “Kalian jangan asal tampil”. Orang-orang mulai belajar dan paham bahwa tari crossgender bukan asal penari laki-laki menari perempuan. Ada filosofi yang lebih dalam lagi dan sebagainya.
Menurut Anda, seberapa diperlukan kategorisasi tarian laki-laki dan perempuan dalam seni tari?
Kalau kita bicara gender, di Sulawesi ada lima gender: laki-laki, perempuan, laki-laki yang feminin, perempuan yang maskulin, dan yang kelima adalah pendeta bisu. Maka monggo, silahkan berpikir. Masyarakat kita kenyataannya punya masalah edukasi yang kurang. Nah, mereka yang cukup punya pendidikan atau pernah ke luar negeri mungkin punya wawasan yang lebih luas, pola pikirnya agak berbeda. Tapi kalau kita hanya di dalam lingkungan yang sempit, akhirnya seperti katak dan tempurung. Puas dengan apa yang dicapai.
Kategorisasi dalam tarian memang diperlukan untuk menunjukan karakter. Supaya orang tahu pengkarakterannya karena perempuan cenderung feminin dan laki-laki cenderung maskulin. Tapi dalam drama-drama tertentu, karakternya lebih macam-macam. Wayang Wong (wayang orang) membagi karakter perempuannya menjadi dua, yakni karakter yang lembut dan lanyap. Lembut itu seperti Dewi Shinta dan Sembadra. Tapi kalau yang lanyap itu Srikandi. Manusia juga begitu bukan? Karena sebenarnya drama wayang kulit adalah personifikasi tentang manusia.
Kategorisasi dalam tarian memang diperlukan untuk menunjukan karakter.
Karakter laki-laki juga bermacam-macam, demikian bahwa di kehidupan nyata ada cowok yang lembut, mbranyak, dinamis, dan berangasan. Kumisnya bermacam-macam. Itu menunjukan klasifikasi atau perbedaan karakter. Padahal ada juga crossgender, tapi segala sesuatu serba diperhalus di Jawa. Srikandi di Jawa adalah perempuan prajurit, padahal di India adalah crossgender. Ia punya dua kelamin, laki-laki dan perempuan. Tapi jika di Indonesia, tradisinya jadi aneh. Pengaruh Hindu di budaya kita sebenarnya ada juga yang seperti itu. Tapi itu tidak dipromosikan atau diajarkan. Kadang-kadang banyak hal yang dianggap tabu atau tidak boleh diceritakan.
Apakah penari laki-laki yang menari di bidang tari perempuan hari ini masih punya tantangan sosial seperti di zaman Anda?
Tergantung orangtuanya. Saya baru saja punya murid, anaknya orang Jepang. Masih kecil tapi feminin. Baru tiga bulan ini mulai kursus tari dengan saya. Ibunya memberikan support ke anaknya dengan luar biasa. Ibunya mengutarakan rasa senangnya bisa ketemu dengan saya karena ia merasa bertemu orang yang tepat. Beberapa anak-anak laki-laki lain yang belajar dengan saya juga punya ibu yang memberi support. Nah, mereka mau diapakan? Apa suruh dibunuh saja? Dibuang ke sungai? Kasihan kalau mereka tidak punya tempat.
Saya banyak diskusi dengan waria. Mereka jadi tak benar karena mendapat tekanan dari orang tua dan masyarakat, sehingga tidak berkesempatan mendapat edukasi yang benar. Mereka kadang-kadang berbakat. Dari pengalaman saya keliling dunia, yang namanya stylist, ahli make-up film, atau desainer top dunia adalah crossgender. Tapi di negara kita yang seperti itu kemudian diharamkan. Kalau kita ngomong begitu di Indonesia akan menjadi sensitif karena dikaitkan dengan politik dan agama. Kekuatan saya sebagai seniman seberapa? Ahok yang gubernur saja bisa digulingkan.
Sepengetahuan Anda, kenapa seni tari menjadi identik dengan citra feminin?
Sepertinya tidak kalau di beberapa daerah di Kalimantan, karena ada tari prajurit yang penarinya laki-laki semua. Di Sumatera, tepatnya di Padang, ada Tari Rantak yang modelnya pencak silat. Di Bali juga banyak tarian khusus laki-laki. Mungkin di Jawa saja yang agak membedakan. Soalnya kalau di Jawa, tariannya memang halus dan lembut. Padahal kalau penari di keraton yang gagah-gagah juga banyak. Entah, saya belum melakukan penelitian tentang itu. Mungkin ini pengaruh dari masyarakat. Orangtua cenderung merasa laki-laki kalau menari berarti jadi banci. Ya tidaklah. Saya punya teman penari laki-laki yang tidak jadi banci, malah menghamili orang di mana-mana (tertawa).
Apa yang paling bisa ditunjukkan atau dipamerkan oleh seni tari Indonesia ke luar negeri?
Ragamnya. Kalau saya boleh bilang, belum ada yang menandingi Indonesia soal keragamannya. Antara Bali dan Jawa saja sudah beda sekali. Setahu saya – yang sudah mempelajari sebagian tarian di India, Jepang, dan Cina – belum ada di negara lain yang sekontras ini.
Saya pernah belajar tarian Jepang. Saya belajar dan mengamati bentuk-bentuk seperti Noh, Nihon Buyo, Okinawa, dan Kagura. Saya juga belajar tarian di India. Banyak sekali ragamnya tapi mirip-mirip semua. Pasti menggunakan kain sari, musiknya menggunakan tabla, atau kendangnya juga mirip-mirip, hanya iramanya saja yang berbeda. Saya melihat dan melakukan. Beda lho, antara cuma melihat di video dan melakukannya langsung. Dengan melakukannya, maka kita bisa tahu teknik, penampilan, dan kostumnya dibandingkan dengan tarian-tarian di Indonesia. Dan ternyata tidak ada yang seperti Indonesia. Dari Sabang hingga Merauke, semua daerah punya tarian berbeda. Kostum, bahasa, instrumen, dan tradisinya pun beda. Saya belum menemui yang seperti ini di negara lain.
Kalau saya boleh bilang, belum ada yang menandingi Indonesia soal keragamannya.
Lalu bagaimana cara menonjolkan image Indonesia ketika justru seni tarinya sangat beragam?
Indonesia memang adalah keberagamannya. Saya menampilkan tari Bali, tari Papua, Sumatera, di mana semua ini bagian dari Indonesia. Orang asing banyak yang melakukan penelitian ke sini. Teman saya dari Rumania datang ke sini pertamanya untuk mempelajari tari Sulawesi, kemudian ia ke Jogja untuk belajar tarian Jawa. Sedemikian seriusnya. Memang kalau dibandingkan etos belajarnya, analisa saya merujuk pada faktor ekonomi. Kalau orang luar, di negaranya mungkin sudah mapan, bawa uang sekian cukup untuk belajar ke sini selama beberapa lama.
Ambil contoh, ada kelompok gamelan di Tokyo namanya Lambangsari. Anggota mereka semua punya pekerjaan sendiri-sendiri. Bukan seniman, tapi suka gamelan. Sehari-harinya di kantor, tapi sore harinya mereka latihan rutin sampai menguasai gamelan secara luar biasa. Mereka pun rutin membuat pementasan. Kalau orang sini ke luar negeri, misal ke Jepang atau Singapura, untuk makan sehari-harinya saja sudah susah. Makanya di luar negeri kita banyak dapat funding untuk belajar sesuai taraf hidup di negara itu. Tapi setelah balik ke sini, tidak tahu juga ilmunya untuk apa karena beda budaya dan sebagainya.
Saya belum riset serius tentang bagaimana masalah perizinan, pajak, penghasilan, dan dukungan dari sponsor di sana. Itu yang harusnya dipelajari. Kalau saya datang ke sana, bukan studi banding yang cuma main belaka. Harusnya kita survei di tempat dan orang-orang di balik layar. Bukan cuma studi banding yang nonton saja sebagai penonton. Semisal studi banding ke pabrik cat, kita harus masuk ke pabrik untuk tahu ramuannya. Bukan cuma lihat catnya saja lalu dikira-kira sendiri apa saja ramuannya. Pelakunya juga dievaluasi, bukan dibongkar pasang.
Unsur-unsur apa yang penting dipertahankan ketika ingin menciptakan hibrida tarian budaya, seperti Bedhaya Hagoromo (karya tari yang memadukan konsep tari bedhaya Jawa dengan lakon Hagoromo dari drama Noh Jepang??
Kita harus mempelajari kedua bentuk budayanya. Waktu itu saya mendapat funding untuk mempelajari tari Noh selama tiga bulan – meski saya hampir tiap tahun ke Jepang. Lalu saya mengolaborasikannya dengan proses selama satu tahun. Sebelum dikolaborasikan dengan Bedhaya, saya harus tahu Bedhaya dulu. Saya harus menguasai aturan keduanya, baru bisa mencampurkan. Kalau tidak, nanti cuma jadi tempelan saja. Sering k’an lihat tarian kolaborasi yang tempelan? Misalnya ketika menampilkan satu cerita, adegan satu yang membawakan adalah negara A, adegan dua dibawakan negara B, lalu adegan berikutnya dibawakan negara C. Kadang ini sudah dilihat sebagai kolaborasi yang luar biasa. Padahal itu cuma tempelan ketika satu cerita, tapi cuma dibagi-bagi adegannya dan latihannya sendiri-sendiri.
Kolaborasi yang blended butuh waktu. Saya tinggal di negara itu seminggu dan terus melakukan rehearsal. Para penarinya bekerja mulai dari jam 10 pagi sampai 8-9 malam. Capek sekali. Tapi begitu ditampilkan, kita tahu bahwa itu yang namanya kolaborasi. Ini yang belum saya jumpai di sini karena kebanyakan tempelan. Mungkin seniman lain pernah melakukan dan saya tidak tahu, tapi kok setahu saya kolaborasi yang blended memang belum jadi budaya di Indonesia.
Waktu belajar tentang tarian Noh, saya merasa level penjiwaan dan kehalusan gerakannya punya energi yang setara dengan Bedhaya – yang saya pelajari lebih dulu. Penjiwaannya dan gerakan lambannya sangat meditatif seperti Bedhaya. Kebetulan, waktu saya belajar Noh, salah satunya Hagaromo itu ceritanya mirip dengan Jaka Tarub. Makanya saya jadi berpikir, “Apa yang bisa saya kolaborasikan?”. Pertama, ceritanya. Kedua, yang agak sulit, adalah gerak tarinya. Pada waktu cari gerakan, akan ada gerakan Jawa yang begini (berdiri dan mempraktikkan). Sementara pada Noh, yang terkenal kan pakai kipas. Maka gerakan Jawa seperti ini saya pakaikan kipas dengan teknik sesuai patokan teknik Noh. Akhirnya memang soal eksplorasi, mencari gerakan yang bisa kita sinkronisasikan.
Ketika dulu saya bikin tari komedi, sering juga dikatakan ‘merusak tari’ dan semacamnya. Tapi sekarang sudah banyak yang meneliti, sehingga saya sendiri tak perlu lagi bicara. Semua butuh waktu ya? Mengawali memang butuh waktu, istilahnya mbabat alas. Bersama Bengkel Tari Nini Thowok, kami mbabat alas tari komedi. Sekarang follower-nya sudah banyak, tapi orang harus tahu sejarahnya.
Pada tahun 1973, Mbak Tutik (Bekti Budi Hastuti) bikin tari Nini Thowok di saat belum booming tari komedi. Begitu tahun 1974, saya masuk, membuat Bengkel Nini Thowok, dan akhirnya booming. Saya lalu konsisten menggarap tari komedi sampai sekarang. Teknik untuk lucu itu butuh timing yang tepat. Tidak bisa sembarangan. Teknik jatuh di tari balet kalau tidak akan lucu dan malah jadi kecelakaan jika keliru tekniknya. Ketika saya menari dan tersandung itu pakai perhitungan, tidak ngawur. Bisa jadi jatuh beneran. Itulah bagaimana pentingnya mensinkronisasikannya dengan gamelan. Makanya saya bilang pakem itu harus dipegang dulu. Kalau pakemnya sudah dipegang, sebuah tarian mau diapakan akan lebih mudah. Membuat kolaborasi juga lebih mudah. Sementara kalau orang tak punya sense of humor di tari komedi akan kasihan. Penari yang bisa melakukan tarian klasik sekalipun, kalau rasanya tidak sampai, mau melucu juga tak bisa. Tari komedi itu kembali ke persoalan personal juga.
Apakah Anda termasuk yang khawatir dengan pengaruh globalisasi terhadap kesenian tradisional?
Saya melihatnya lebih luas lagi, dalam artian pentingnya memberikan edukasi seni budaya sejak dini. Kaitannya adalah dengan pembentukan karakter, dan pelestarian identitas bangsa. Tapi masalah pengaruh luar tidak bisa dibendung. Mendapat pengaruh luar itu tidak apa-apa, tapi paling tidak kita sudah memberikan dasar bagi anak-anak. Itu yang dimaksud juga dengan kearifan lokal yang perlu diedukasikan. Saya kembali membandingkan dengan Jepang – karena saya banyak belajar dari budaya mereka yang harus ditiru, misalnya disiplin dan kebanggaan terhadap budayanya sendiri. Se-modern apapun mereka, mereka akan pakai kimono begitu ada upacara akil balig. Dan kita bisa lihat orang Jepang pakai kimono kesannya gagah dan spesial sekali kan? Sementara orang Indonesia juga luar biasa kalau pakai busana tradisional, hanya saja kalau orang Indonesia pakai surjan (pakaian lurik khas Jawa) malah kadang-kadang terlihat seperti kusir andong ya? (tertawa) Auranya tidak muncul.
Mendapat pengaruh luar itu tidak apa-apa, tapi paling tidak kita sudah memberikan dasar bagi anak-anak.
Saya belum tahu penyebabnya. Anak zaman sekarang banyak yang tidak luwes mengenakannya. Tidak ada wibawa sama sekali untuk menunjukkan bahwa ini adalah pakaian Jawa. Ini mungkin terkait pengaruh personal, karena keluwesan itu mungkin muncul dari diri orang yang masih lekat dengan tradisi. Saya sering melihat anak-anak zaman sekarang yang wagu banget ketika datang kondangan. Memakai jarit sampai tidak bisa jalan, njundel-njundel seperti pocongan. Perempuan zaman sekarang memang jarang yang bisa pakai kain ya, tapi kan itu budaya Jawa? Apa mau dihilangkan saja? Lalu pakai rok semua? Ya kembali ke kita. Kalau kebaya sudah dianggap tidak bagus, silahkan dihilangkan saja. Tapi jangan heran dan teriak-teriak,”Itu budaya kita!” ketika nanti orang asing memakai kebaya dan sanggul. Budaya kita dari mana, lha tidak dirawat kok.
Anda akan mengisi program SIPFest di Salihara tahun ini, yakni sebuah lecture performance tentang trangender dalam tari tradisi Indonesia. Mengapa Anda merasa perlu untuk mengutarakan isu ini ke publik?
Orang-orang cenderung tidak tahu sejarah. Buku saya tentang crossgender dibaca berapa orang sih? Berapa orang yang belajar itu? Paling hanya orang yang memang punya edukasi. Kalau di kampung, tidak ada yang belajar sejauh itu. Ketika saya menari di kampung, ada anak yang bertanya ke orangtuanya “Itu apa sih?”, dijawab, “Oh itu banci, Nak”. Itu yang tertanam sejak kecil. Maka saya salut dengan Jepang karena ada istilah onagata yang berarti laki-laki yang menari wanita. Di Indonesia tidak ada istilahnya, makanya saya mencoba memasyarakatkan kata crossgender yang dipinjam dari bahasa asing.
Seni budaya memang butuh diedukasi sejak kecil.
Tapi kita tak bisa menyalahkan mereka karena memang tidak paham. Mereka memang tidak mengalami edukasi itu. Seni budaya memang butuh diedukasi sejak kecil. Jika kita selalu bilang tabu, sampai besar anak-anak hanya tahu bahwa itu tidak boleh. Padahal pasti ada alasan kenapa ada orang melakukan itu, sehingga perlu dikaji. Contoh, dulu ngomong soal honor di seni pertunjukan adalah tabu. Dulu saya tidak boleh tanya honor ketika menari, harus menerima apa adanya. Nggak bisa dong zaman sekarang pakai manajemen seperti itu. Sekolah menari itu bayar juga kan? Selama sekian tahun habis berapa kalau dikalkulasi? Orang jual pakaian sih ada hitungannya, tapi bagaimana menghitung tarian? Masa mau jadi orang bodoh melulu? Kebangetan kalau zaman sekarang menanggap penari tapi tidak memberinya honor.
Nah, saya memulai itu. Sekarang manajemen sanggar saya sudah digarap jadi disertasi. Saya mengajak penari saya menggunakan kontrak kecil dengan kejelasan honor dan tanda tangan. Saya memulai dari sesuatu yang tabu menjadi tidak tabu. Awalnya saya diserang di mana-mana. Di koran Kedaulatan Rakyat, pernah ditulis bahwa “Didik itu money-oriented dan materialis” pada tahun 80-an. Tapi tidak apa-apa, karena sekarang banyak yang mengikuti dan sudah diakui sebagai sesuatu yang benar.
Lewat adanya festival seni semacam SIPFest, apakah posisi seni tari Indonesia hari ini di mata global bisa semakin kuat dan negara memberi perhatian lebih terhadap seni tari?
Sebenarnya kembali ke pejabat negaranya. Mau kita ngomong dan memberi masukan sampai mulut kita sobek, kalau pejabatnya tidak peduli dan masuk kuping kanan keluar kuping kiri ya tidak akan ada aksi apapun. Kekuatan saya sebesar apa sih? Penentu kebijakan ini sebenarnya yang penting. Tapi ini tetap harus kita lakukan. Saya selalu bicara soal pentingnya memberi edukasi seni sejak dini sejak bertahun-tahun lalu. Anak-anak saja malu pakai bahasa daerahnya. Orang Banyumas malu pakai bahasa ngapak. Saya keturunan Banyumas dan tidak malu bicara seperti itu. Sekarang kok harus gengsi dan malu? Di Jakarta kok malu berbahasa Jawa? Kalau orang Jakarta ke Jogja, suka bertanya, “Mau ke Jawa ya?” Memangnya Jakarta di mana kalau tidak di Jawa? Salah kaprah kan? Memang Jakarta ada di langit?
Maka dari itu SIPFest menjadi penting. Dan peran serta Anda sebagai media ini juga sangat penting. Jadilah media yang objektif. Dulu media sempat disetir di era Orde Baru. Sementara kini kita bisa lebih mengekspresikan kejujuran lewat kemajuan digital. Kita berterima kasih juga dengan modernisasi. Minusnya adalah adanya berita hoax, sebuah dampak yang terjadi. Tapi di satu sisi juga menguntungkan. Tidak ada lagi penjegalan. Saya mengalami pengalaman sebagai seniman yang dijegal. Ketika saya mahasiswa di tahun 70-an, tak ada sekolah seni yang mengirimkan laki-laki untuk menari wanita. Semua laki-laki menari laki-laki. Pada tahun 1985, saya lalu menjual mobil untuk beli tiket ke luar negeri demi bisa menari sebagai perempuan. Kontroversi selalu ada di awal.
Dulu saya sering dijegal oleh orang Jakarta, “Memangnya kurang penari wanita sampai Didik harus menari?” Bukan bicara tentang apakah ini untuk Indonesia atau apa, tapi sentimen personal. Mungkin ia kalah luwes dan piawai dari saya. Karena seniman yang wise pasti tetap bisa menerima apa yang saya lakukan sebagai sesuatu yang lain.
Dulu senior-senior saya sering berkata, “Jangan pakai Didik, ia seniman entertainment, bukan seniman performing art. Bukan seni yang pantas dan tinggi.” Sekarang saya sudah membuktikan bahwa seni entertainment dibutuhkan. Mau apa latihan dan sekolah tari jauh-jauh jika tidak laku? Sekarang tarian yang dianggap adiluhung tampil di acara pernikahan. Padahal dulu saya dimarahi dosen karena masih mau menari di acara pernikahan, dianggap tidak bisa menjaga nama baik alamamater. Dosanya apa?
Kalau dari segi manajemen, mereka mau membayar puluhan juta kepada saya untuk tampil di pernikahan. Yang dulu memarahi saya akhirnya mau juga sekarang menari di perkawinan. Lha butuh juga kok (tertawa). Siapa yang tidak merinding dikasih puluhan juta? Rejeki orang sendiri-sendiri. Rejeki saya di entertainment. Saya pernah diundang Yale University, bukan oleh rekomendasi seniman atau senior top, tapi karena mereka lihat saya di YouTube. Saya dijemput limousine, dua kali seumur hidup saya (tertawa). Itu apresiasi mereka yang luar biasa tingginya untuk saya.
Terkait lecture Anda nanti, bagaimana seni tari crossgender bisa berperan mendekatkan pemahaman yang lebih baik dari masyarakat terkait isu LGBT?
Di ulang tahun ke-60 pada 2014 lalu, saya mengundang beberapa penari daerah dari Banyuwangi, Banyumas, Jogja, Bandung, dan Malang. Mereka menunjukan tari crossgender dari daerah masing-masing. Semua serius, tak ada yang ndagel karena di daerah-daerah tersebut memang ada. Tujuannya untuk mengapresiasi. Penontonnya banyak yang mahasiswa lho, sehingga ini menjadi edukasi yang tidak berbentuk verbal seperti kuliah. Biar mereka bisa menilai bahwa membawakan tarian crossgender ini tidak asal.
Jika tekniknya tidak bagus ya tidak bisa. Jangan dengan gampangnya mengaitkan dengan LGBT, yang mana merupakan istilah dari Barat yang cenderung berkaitan dengan masalah hubungan atau seksual. Dalam seni tradisi, crossgender bukan sesuatu yang perlu dipolitisir. Karena tradisi itu ada dari zaman dulu di konteks kesenian. Memang kita harus membaca, datang ke seminar, menulis, dan sebagainya. Dengan memahami itu, penilaian dan pola pikir kita akan lebih paham dan tidak digebyar uyah.
Sementara kalau kita bicara LGBT agak susah ya? LGBT lebih pada masalah mereka yang ingin terkspos atau mendapatkan haknya. Konteks seni tradisi berbeda. Mereka menuntut apa? Apa ingin mengesahkan perkawinan sejenis? Tidak. Pria menari wanita dengan bagus belum tentu banci atau homoseksual. Kalaupun iya, itu adalah masalah perilaku yang sangat personal. Jadi harus dipilah-pilah, konteks kesenian jangan dicampur aduk.
Apa proyek ke depan?
Sekarang lagi bikin pasar Nini Thowok di Kulon Progo setiap Minggu Legi. Masyarakat desa adalah yang berjualan di sana. Memang saya utamakan kuliner atau jajanan pasar. Yang meresmikan adalah dinas kebudayaan. Laris, dagangannya laku semua. Jadi saya sewa tanah kas desa seluas satu hektar di Pendoworejo. Mudah-mudahan bisa jadi ikon di sana. Datang ya nanti, heboh lho.
Selain itu, saya akan ke ke Taiwan, Hong Kong, dan Jepang, selama dua bulan. Selain tampil, saya juga ingin memperdalam opera Cina. Makanya saya akan sekolah lagi. Sekolah umur berapa pun boleh kan? Saya ini termasuk serakah untuk belajar. (tertawa)