Tentang Tren Arsitektur dan Fenomena Rumah Murah
Perkembangan arsitektur kontemporer dan aspek terpenting yang tertinggal dalam rumah.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Bintang Lestada
Desain: Tiana Olivia
Belakangan arsitektur menjadi salah satu bahasan populer di kehidupan kita. Dengan kesadaran akan ruang yang semakin naik, juga tren tentang model-model arsitektur terkini yang menghiasi sosial media, arsitektur kini menjadi kata kunci baru. Tren ini juga datang dengan sisi lainnya yang cukup menantang, seperti tren arsitektur yang dipahami sekilas saja. Belum lagi mengenai fenomena rumah murah yang bermata dua, harus dirayakan namun kadang juga mengkhawatirkan. Maka dari itu, di sini beberapa ahli dan pelajar arsitektur bantu kita untuk gali lebih dalam tentang tren ini dan arsitektur kontemporer sebagai persoalan tersendiri.
Avianti Armand
Writer and Architect
Menurut Anda, bisakah menyatukan desain tradisional dan kontemporer tanpa menghilangkan orisinalitas desain tradisional? Dan kalau bisa, gimana caranya?
Tradisional, kontemporer, orisinalitas — terminologi ini sangat berbeda dan harus ada penjabaran lebih dulu untuk meyakinkan apakah kita ada di halaman yang sama.
Jika mengikuti makna yang lazim, justru yang kontemporer itu tidak akan “ada” kalau tidak ada yang tradisional. Sebab yang kontemporer, yang ditandai oleh kekinian, hanya bisa kita terima (persepsi) sebagai sesuatu yang kontemporer justru jika ada tradisi yang sudah berjalan sebelumnya. Dan yang namanya desain tradisional itu memang sudah selalu berevolusi, melalui pembaharuan-pembaharuan yang berlangsung dari masa ke masa. Sehingga mempertanyakan originalitasnya tentu tidak perlu dan tidak relevan.
Apa pendapat Anda tentang kebutuhan untuk merevitalisasi struktur lama bangunan, terutama di kota-kota besar? Menurut Anda, apakah itu bentuk gentrifikasi?
Arsitektur itu cuma cangkang. Ruang di dalamnya bersifat cair dan organik. Bisa dimanfaatkan jadi apapun, sejauh arsitekturnya memungkinkan. Revitalisasi itu satu metode efisien dan efektif untuk memanfaatkan ruang tanpa perlu membangun struktur baru. Menurut saya, itu juga sebuah langkah yang berkelanjutan untuk menghindari dampak carbon footprint dari kegiatan konstruksi.
Di tengah tren rumah-rumah yang dijual dengan super murah, apa yang Anda anggap sebagai aspek yang paling efisien dan berguna di rumah?
Saya tidak tahu ada tren rumah dijual dengan harga murah. Apalagi super murah. Tapi kita mungkin punya pemahaman yang beda tentang “murah”. Yang saya tahu, generasi yang akan datang justru terancam akan makin sulit membeli properti karena harganya yang kian mahal.
Tapi lepas dari penggal pertama dari kalimat majemuk dalam pertanyaan anda, yang saya anggap paling efisien dan berguna di rumah adalah instalasi sanitasi, yang memungkinkan orang membuang hajat dan memperoleh akses ke air bersih dengan mudah. Dan ini tidak harus bersifat privat. Bisa saja dibuat komunal.
Dengan tren rumah-rumah yang dirancang secara minimalis/modern/etc, menurut Anda, apa ada yang kurang dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam tren tersebut?
Instalasi sanitasi.
Menurut Anda apa tantangan utama yang dihadapi arsitektur dan arsitek saat ini?
Scarcity of space, natural resources, and global-heating.
Ray Shabir
Writer and Architecture Graduate
Menurut Anda, bisakah menyatukan desain tradisional dan kontemporer tanpa menghilangkan orisinalitas desain tradisional? Dan kalau bisa, gimana caranya?
For sure, but I do think ‘combining’ is too literal of a word to describe the integration of traditional design in contemporary times. To see it in general, every piece of art, music, books, or designs are always a contemporary body at work at the time of its release. To be contemporary is to be present, and to be in the now. While tradition is something that has longevity. It is something that is created, and being repeated over and over again until a certain identity began to form. It is always important to be aware of the context of the tradition you’re carrying over to the work, as well as the context of where you’re bringing it too.
One of the most agreeable forms of tradition in the world would be religion. I see pieces of religious architecture such as The Sistine Chapel being this massive, sacred place of worship, breathing holiness from its interiors, while Tadao Ando’s Church of Light might give you the same feeling with its minimalistic and post-modernism approach. Both buildings stand in different times, created by different architects yet still carries out the spirit of religious traditions. In Indonesia, we’re starting to see As-Sobur Mosque in Tulang Bawang Barat that integrates both Islamic numerologies and Tubaba’s scripture and identity. It really depends on a case by case situations, but I do believe that being conscious of contexts are always important.
Apa pendapat Anda tentang kebutuhan untuk merevitalisasi struktur lama bangunan, terutama di kota-kota besar? Menurut Anda, apakah itu bentuk gentrifikasi?
I personally don’t see revitalization and gentrification as the same thing, in any way. Revitalization is when you breathe new life into a pre-existing body of work, bringing a new and fresher perspective into something that is outdated. While gentrification does that but only to cater a certain class, usually the privileged, with the possibility of destroying the classes that couldn’t keep up.
I do believe revitalization are important, especially for old structures. The government does have rules and regulations on conserving heritage buildings. There are different ranks for different buildings that control the amount of changes or renovations that could be done to a building. The reason why I do think it’s important; is so that the architecture can be useful and be maintained in society, timeless in its effectivity and be alive.
Di tengah tren rumah-rumah yang dijual dengan super murah, apa yang Anda anggap sebagai aspek yang paling efisien dan berguna di rumah?
Natural lighting and natural airflow. Also, location and accessibility will also be a consideration when I look at houses someday.
Dengan tren rumah-rumah yang dirancang secara minimalis/modern/etc, menurut Anda, apa ada yang kurang dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam tren tersebut?
Quite a lot, actually. Sometimes the efficiency and sizes of each room are off because the programming is weird. There would be rooms with no windows for lighting and airflow, sometimes. And then most times, the façade and shapes would always be aiming for trends, which would be outdated in a few years’ time, creating an additional need for renovations. And for me, I just don’t see a lot of personality in the way modern housing has been handled – especially developer’s. The fact that it’s always gunning trends already took away some soulfulness a home can be, while home is always very specific and brims with so much personality. It’s so rare to see developer’s housing that gives a fresh air in the way it’s designed. But when it’s good, it’s really good.
Menurut Anda apa tantangan utama yang dihadapi arsitektur dan arsitek saat ini?
I think climate change is a very pressing matter we all have in our hands, not just within the architecture scope of things. There seems to be a lack of policing in standards and regulations, when it comes to building constructions. The amount of carbon footprints there are to make one single building is crazy. Jakarta is sinking and I can’t really remember the last time I saw construction works as many as today. We might be running out of groundwater soon, yet there are more and more high-rise buildings being built in the city. I’ve been seeing more cranes in the sky, than actual birds.
We all need to realize that we have a civic responsibility as a good citizen to take care of our home, and architects can do that while designing other people’s homes. Don’t aim for trend but aim for sustainability. Design and play with context in mind, and then create a community. Use local materials, use local craftsmen – use local resources instead of importing goods from across the seas. Create works that are not just beautiful, but also right. I believe at the rate we’re going, we’re heading towards a more tumultuous future. There needs to be mindfulness in the way we give and receive designs, and there’s so much more we need to figure out.
Fauzia Evanindya, Andro Kaliandi, Azalia Maritza
Co-founders of FFFAAARRR
Menurut Anda, bisakah menyatukan desain tradisional dan kontemporer tanpa menghilangkan orisinalitas desain tradisional? Dan kalau bisa, gimana caranya?
Pada dasarnya sulit untuk menyatukan desain tradisional dan kontemporer tanpa menghilangkan orisinalitas desain tradisional. Pada banyak kasus nilai orisinalitas desain tradisional akan hilang dan luruh dengan adanya intervensi dari desain kontemporer. Penyatuan desain tradisional dan desain kontemporer sah-sah saja untuk dilakukan, namun memang harus diakui orisinalitasnya akan hilang. Tapi hilangnya orisinalitas itu tidak selalu menjadi hal yang buruk.
Apa pendapat Anda tentang kebutuhan untuk merevitalisasi struktur lama bangunan, terutama di kota-kota besar? Menurut Anda, apakah itu bentuk gentrifikasi?
Hal paling mendasar yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah dengan menitikberatkan pada kajian terhadap nilai historikal dan potensi bangunan / kawasan yang ditawarkan agar tidak terjadi gentrifikasi. Dengan mempelajari nilai historikal, budaya dan kebiasaan yang berlaku pada kawasan tersebut dapat mengantisipasi terjadinya bentuk gentrifikasi.
Di tengah tren rumah-rumah yang dijual dengan super murah, apa yang Anda anggap sebagai aspek yang paling efisien dan berguna di rumah?
Adanya rumah-rumah dengan kavling kecil yang meniadakan ruang tamu merupakan aspek yang cukup efektif. Saat ini kegiatan bertamu dapat dilakukan di ruang tv ataupun pada ruang makan. Dapur semi terbuka dengan teras di belakang juga efektif untuk melawan kelembaban. Memberikan fungsi ganda/ multifungsi terhadap salah satu ruangan dapat menjadi cara yang paling efisien.
Dengan tren rumah-rumah yang dirancang secara minimalis/modern/etc, menurut Anda, apa ada yang kurang dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam tren tersebut?
Bahwa minimalis dan modern itu bukan hanya sebuah tren gaya tapi juga hasil gubahan fisik dan non fisiknya. Dengan desain minimalis dan modern sang penghuni harus bisa hidup minimalis barang misalnya dengan tidak menyimpan banyak barang.
Menurut Anda apa tantangan utama yang dihadapi arsitektur dan arsitek saat ini?
Paparan referensi di platform media online yang sangat banyak di masa sekarang ini menjadi tantangan bagi arsitek dan arsitektur. Permintaan dari klien pun semakin seragam (contoh: semua menggunakan Pinterest dengan kata kunci pencarian “modern houses”) dan referensi arsitekpun satu dengan lainnya semakin mirip. Tantangan utamanya adalah agar setiap arsitek bisa menghadirkan arsitektur yang segar dengan menggali karakter desain dari dalam hati dan pikiran, tidak selalu dari platform online. Ini berlaku juga bagi klien. Agar kebutuhan-kebutuhan dan keinginan mereka tidak terpengaruh kapitalisme dan keperluan rekam jejak media sosial saja.
Muhammad Egha
Co-Founder & CEO at DELUTION ENTERPRISE
Menurut Anda, bisakah menyatukan desain tradisional dan kontemporer tanpa menghilangkan orisinalitas desain tradisional? Dan kalau bisa, gimana caranya?
Tentu bisa, dalam hal menyatukan kultur tradisional dan kontemporer kita harus mencontoh Jepang, tidak hanya dalam aspek arsitektural, tapi berbagai aspek. Jepang sangat bisa meng-globalkan standarisasi dan daya saing mereka di semua aspek tanpa kehilangan budaya kultur local mereka. Kalau kita lihat dari sisi arsitektural, tampilan bangunan mereka bisa tetap modern mengikuti trend global tanpa kehilangan Identitas lokalnya. Menurut saya, orang Indonesia terlalu takut kehilangan kultur dan budaya lokal sehingga cenderung menolak dan antipati terhadap globalisasi, dalam hal arsitektur pun sama, padahal banyak cara yang bisa diterapkan untuk mengkombinasikan hal tsb. Dan tidak mungkin juga kita melawan trend global karena suka tidak suka akan membuat kita tertinggal dan terkucilkan dari pergaulan dan standar Internasional. Contoh nyata perpaduan Arsitektur yang merupakan kombinasi tradisional dan modern seperti Olympic Stadium by Kenzo Tange (Jepang) & Masjid Raya Sumatera Barat by URBANE Rizal Muslimin (Indonesia).
Apa pendapat Anda tentang kebutuhan untuk merevitalisasi struktur lama bangunan, terutama di kota-kota besar? Menurut Anda, apakah itu bentuk gentrifikasi?
Kalau sepanjang saya berpraktik, apabila bangunan tersebut bukan berupa heritage atau bangunan penting lainnya maka upaya revitalisasi struktur lama tidak menjadi prioritas.
Di tengah tren rumah-rumah yang dijual dengan super murah, apa yang Anda anggap sebagai aspek yang paling efisien dan berguna di rumah?
Bicara rumah murah aspek paling efisien adalah metode dan konsep struktur, serta metode konstruksi yang digunakan. Tanpa kedua hal ini rumah murah sulit tercapai. Namun diluar itu semua bagi saya aspek fungsi juga penting pengelolaan denah yang baik akan melahirkan keluarga yang sehat, dan melahirkan masyarakat yang sehat dan akhirnya kota serta negaranya juga sehat dan produktif. Namun rumah massal yang saat ini dijual menurut saya cenderung hanya untuk aspek bisnis, dan bisa ditempati seadanya saja. Tapi tidak dipikirkan apakah rumah tersebut pengelolaan arsitekturnya cukup baik? Pencahayaannya? Sirkulasi udaranya? Selalu yang jadi alasan adalah keterbatasan lahan dan biaya, sekali lagi kita bisa mencontoh jepang dalam mendevelop rumah murah di tanah kecil yang tetap terjaga kualitas ruang dan pengelolaan denahnya.
Dengan tren rumah-rumah yang dirancang secara minimalis/modern/etc, menurut Anda, apa ada yang kurang dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam tren tersebut?
Menurut saya tidak ada yang kurang kecuali tentang harga, terkadang kita lupa murah versi kota dan desa/kota pinggiran berbeda. Kalau kita berpikir secara nasional maka mayoritas penduduk itu masih tinggal di desa dan kota pinggiran, dan membuat “Rumah Murah” tentu di kota dan desa/kota pinggiran tentu berbeda. Rumah-rumah yang saat ini menjadi tren hanya mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat kota, belum sampai ke desa/kota pinggiran. Harga per m2 bangunan 4,5-5 jutaan adalah harga yang murah bagi masyarakat kota. Namun di desa dibutuhkan harga dibawah 2,5jt/m2 bangunan. Bagi kami arsitek yang juga praktisi usaha tentu sangat bergelut dalam hal penyediaan ini, kami masih terus berpikir metode yang tepat untuk bisa menggapai budget di desa/kota pinggiran tersebut, karena kami adalah arsitek Indonesia, bukan arsitek kota-kota besar di Indonesia, yang berarti harusnya ilmu kami juga bisa bermanfaat bagi seluruh Indonesia tidak hanya di kota-kota saja.
Selain hal tersebut saya rasa tidak ada yang kurang dari tren rumah saat ini, karena rumah sifat personal dan privat, maka akan sulit dan tidak objektif saat harus mengatur tren rumah ke arah-arah tertentu seperti budaya lokal dan sebagainnya.
Menurut Anda apa tantangan utama yang dihadapi arsitektur dan arsitek saat ini?
Tantangan terbesar arsitek dan arsitektur Indonesia adalah pola pikir serta paradigma masyarakat Indonesia sendiri yang saya rasa masih jauh tertinggal. Indonesia memiliki banyak arsitek dengan kemampuan desain yang mumpuni dan diakui di panggung internasional, namun apabila kita berbicara “Produk Arsitek” maka itu adalah rangkaian proses panjangan yang melibatkan banyak stakeholder salah duanya adalah kontraktor dan owner. Apabila belum memiliki paradigma/pola pikir yang sama antara arsitek dengan owner dan kontraktor, maka arsitektur yang keren/bagus/ikonik sulit tercipta dan karya arsitek hanya berakhir di atas kertas gambar, atau terbangun dengan tidak sesuai desain aslinya.
Contoh paling mudah saja apabila kita beli properti di Indonesia maka selalu antara produk nyata dan gambar brosur tidak sesuai ekspektasi. Hal tersebut membuktikan masih ada gap besar antara arsitek yang merancang dengan kontraktor yang melaksanakan atau owner yang melakukan efisiensi budget sehingga mengurangi banyak porsi arsitekturnya. Sehingga pada akhirnya sulit bangsa ini punya bangunan-bangunan berkelas internasional apabila para kontraktor, business owner, atau pemerintah tidak memiliki pandangan yang sama. Dan sejujurnya berat sekali menjadi arsitek di Indonesia apabila mau bermimpi bisa membuat bangunan sekelas SOHO Galaxy di Beijing, Vessel di New York, The Interlace Singapore, atau karya-karya lainnya. Karna karya-karya tersebut juga membutuhkan dukungan besar dari business owner selaku pemilik dan kontraktor selaku pelaksana. Jadi tantangan terbesar arsitek di Indonesia bukan tentang “Mendesain” tapi kemampuan “Meyakinkan” business owner dan “Mencari” kontraktor yang tepat. Dalam hal ini pemerintah pun juga belum menerapkan regulasi yang mendukung tumbuhnya arsitektur ikonik kelas dunia di negara ini, berbeda dengan Singapore, yang dengan jelas membangun regulasi seperti seluruh pembangunan arsitektur di kawasan utama Marina Bay harus menggunakan arsitek yang bertaraf internasional dengan minimum penghargan internasional dan lainnya, hal ini jelas akan stimulate tumbuhnya arsitektur yang ikonik dan keren di Indonesia. Sejarah mencatat di era Soekarno, Indonesia memiliki bangunan-bangunan kelas dunia pada masanya (GBK, Istiqlal, Istora) itu bisa terjadi karena Bung Karno sendiri punya visi dan paradigma besar akan arsitektur itu sendiri, hal serupa tidak akan terjadi di era kita apabila belum ada pejabat pemerintah di level pusat yang memiliki paradigma serupa. Masih banyak yang menganggap bahwa meng-hire arsitek hebat akan menghasilkan bangunan yang juga hebat, pandangan ini salah total. Karna karya arsitektur itu bangunan jadi bukan gambar, yang berarti untuk memperoleh bangunan hebat tidak hanya membutuhkan arsitek hebat, tapi juga kontraktor hebat, dan owner yang juga berpikiran hebat.
Dinda Mundakir
Writer at Archinesia and Program Manager at Salemba Real Estate Institute
Menurut Anda, bisakah menyatukan desain tradisional dan kontemporer tanpa menghilangkan orisinalitas desain tradisional? Dan kalau bisa, gimana caranya?
Pengertian tentang apa itu “tradisional”, “kontemporer”, dan “orisinal” dalam arsitektur sebetulnya perlu kita cermati lebih lanjut. Misalnya kalau kita berbicara tentang tradisi, mungkin yang kita bayangkan terkait arsitektur adalah tentang “rumah tradisional” dari suatu suku atau suatu daerah. Atau, istilah yang lebih rinci untuk digunakan dalam keilmuan arsitektur adalah “rumah vernakular”, merujuk pada suatu tipe khusus dari bentuk bangunan hunian, baik dilihat dari bentuknya, tektonika/logika dan teknik membangunnya, maupun konseptualisasi ruangnya. Rumah vernakular ini dapat memiliki perbedaan antara satu kelompok masyarakat dengan yang lainnya, karena memang berakar dari kebutuhan dan kearifan lokal.
Apakah yang vernakular bisa dibilang orisinal? Bisa jadi, namun kita perlu menyadari juga bahwa pada budaya membangun vernakular, ilmu tentang arsitektur dipindahkan secara turun-temurun melalui ritual, cerita-cerita (oral history), dari craftsmen/’tukang’ kepada anak didiknya, dan sebagainya. Sehingga, sesuatu yang vernakular sebetulnya bisa sangat cair menghadapi konteks berbeda sepanjang waktu beserta dengan tantangan yang dihadapi masyarakat pada saat tersebut. Dan menjadi salah kaprah juga apabila kita memahami tradisi sebagai sesuatu yang mutlak ataupun seolah-olah membatu dalam waktu.
Masalahnya ketika kita memahaminya pada masa kontemporer, milik siapa sebetulnya tradisi tersebut? Dan secara etis, sejauh manakan arsitek kontemporer sebetulnya berhak untuk mengadaptasi, apalagi mengintervensi, tradisi? Terlebih apabila pemahaman kita tentang tradisi sendiri sangat dipengaruhi oleh siapa yang mendokumentasikan dan memasukkan diskursus tradisi tersebut ke dalam ranah keilmuan. Misalnya, kuil Bali diperkenalkan pada dunia melalui World’s Fair tahun 1930-an, sebagai bagian dari paviliun Hindia Belanda yang memamerkan ke-eksotisan daerah jajahannya. Lalu, pemahaman anak-anak sekolah khususnya generasi saya tentang “arsitektur tradisional” juga dibentuk secara besar-besaran dengan adanya Taman Mini Indonesia Indah yang dicanangkan oleh Tien Soeharto, di mana “rumah adat” dari berbagai daerah dikumpulkan dan disajikan ulang dalam bentuk ilustrasi dan maket-maket. Tentu ada agenda dan kepentingan masing-masing yang didorong dari pemahaman-pemahaman tersebut, baik disengaja dan disadari atau tidak.
Waktu saya kuliah, mata pelajaran tentang topik ini disebut “Arsitektur Nusantara”, bukan “Arsitektur Tradisional Indonesia”, karena pada masa lalu di mana arsitektur vernakular tersebut masih mendominasi ruang hidup orang-orang, memang belum ada benda yang disebut ‘Indonesia’. Maka pemahaman kita tentang tradisi, rumah adat, dan sebagainya pun harus kritis secara temporal dan senantiasa mempertanyakan batasan apa yang sedang berlaku, maupun batasan apa yang bisa ataupun perlu didobrak.
Jadi, untuk menyatukan “masa lalu” dengan “masa kini”, sebelumnya arsitek perlu memahami arsitektur sebagai suatu bidang praktik dan keilmuan yang tidak dapat lepas dari konteks zaman. Arsitek di masa ini pun tentu menghadapi tantangan-tantangan spesifik dalam mengartikulasikan ruang dan bentuk. Contohnya ada regulasi di Bali yang mewajibkan seluruh bangunan publik untuk menggunakan unsur tradisional. Apabila yang dilakukan hanya sebatas mencaplok ornamen dan memasangnya pada tampilan bangunan, tentu itu pemahaman yang dangkal. Seharusnya arsitektur kontemporer kita bisa lebih bermakna dari itu.
Apa pendapat Anda tentang kebutuhan untuk merevitalisasi struktur lama bangunan, terutama di kota-kota besar? Menurut Anda, apakah itu bentuk gentrifikasi?
Tidak semua revitalisasi merupakan gentrifikasi. Setiap bangunan memiliki usianya sendiri sesuai dengan spesifikasi material konstruksinya dan juga fungsinya. Rumah tinggal atau ruko misalnya bisa dirancang untuk dihuni selama 20 tahun, sementara fasilitas publik seperti bandara dan stasiun dirancang untuk layak pakai lebih lama, sekitar 30-50 tahun. Secara berkala, perlu dilakukan pengecekan kelayakan fungsi bangunan terutama untuk keamanan, dan perlu dilakukan perbaikan. Ini merupakan hal yang lumrah. Lalu sebetulnya ada perbedaan antara istilah revitalisasi dengan renovasi ataupun restorasi, di mana revitalisasi melibatkan upaya untuk ‘menghidupkan kembali’ alih-alih hanya ‘memperbaiki’. Upaya menghidupkan kembali bukan hal yang mudah, perlu pemahaman mendalam tentang konteks maupun stakeholder yang terlibat. Minimumnya, revitalisasi perlu melibatkan masyarakat yang menempati suatu bangunan atau kawasan agar sesuatu itu terus menjadi ‘hidup’ karena berguna bagi masyarakat, bukan hanya dipercantik belaka.
Suatu revitalisasi akan menjadi gentrifikasi apabila ada konteks sosio ekonomi yang secara sengaja dijadikan lebih eksklusif, bisa juga kita bilang kurang inklusif, dibandingkan dengan sebelumnya. Misalnya, apakah bioskop Megaria yang direvitalisasi hingga sekarang menjadi Metropole merupakan gentrifikasi? Di situ ada upaya penghidupan kembali suatu bioskop bersejarah yang pernah menjadi pusat kota pada masanya. Bila kita lihat dari sisi tersebut, upaya revitalisasi Metropole merupakan contoh yang sangat apik. Tapi perlu kita pertanyakan juga, siapa saja dan dari kalangan mana yang paling menikmati revitalisasi tersebut? Bagaimana dengan kawasan Blok M yang menjadi kian hidup karena dilalui oleh rute Transjakarta dan MRT? Tentunya investasi akan mengalir ke sana, sehingga kemudian pertanyaannya adalah bagaimana revitalisasi tersebut dapat memberikan manfaat bagi masyarakat yang tinggal dan mendapat mata pencaharian dari sana. Arsitek bisa saja tak acuh terhadap peran mereka dalam gentrifikasi ataupun mencoba mengartikulasikan ruang-ruang yang lebih inklusif, namun melawan gentrifikasi bukan hal yang bisa diselesaikan melalui arsitektur semata.
Di tengah tren rumah-rumah yang dijual dengan super murah, apa yang Anda anggap sebagai aspek yang paling efisien dan berguna di rumah?
Wah, saya sendiri belum menemukan penjualan rumah yang bisa saya anggap “super murah”, di luar dari rumah subsidi atau yang biasa disebut FLPP oleh pemain properti. Harga tanah dan bangunan terutama di metropolis seperti Jakarta sulit untuk bisa dianggap murah oleh kebanyakan orang, namun yang bisa dilakukan adalah mengatur affordability / keterjangkauannya bagi masyarakat. Misalnya, rumah yang dijual dengan DP 0 bisa saja sebetulnya tidak murah namun menjadi terjangkau oleh seseorang — hanya saja kreditnya puluhan tahun. Namun, itu tetap menjadi pertimbangan yang bisa diambil.
Terkait dengan harga, aspek yang paling efisien dan berguna dari suatu rumah tidak bisa disamaratakan; akan sangat berbeda dari satu orang ke orang lainnya (maupun dari suatu konteks iklim/cuaca/topografi). Ini karena rumah atau hunian adalah bangunan paling personal yang ditempati oleh seseorang. Sehingga efisiensi dan kegunaan harus mengacu kepada: apa saja kebutuhan seseorang dalam berhuni? Seperti apa kebiasaan seseorang mulai sejak bangun pagi hingga tidur di malam hari? Batasan “kecukupan” seperti apa yang bisa diterima orang tersebut?
Ada orang yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di kantor atau bepergian, maka mungkin sebetulnya ia tidak perlu rumah yang luasannya besar — sekadar cukup untuk pulang dan beristirahat. Bisa juga ada orang yang berkantor di rumah, atau memiliki keluarga yang tinggal dari beberapa generasi, ataupun menggunakan rumahnya sebagai tempat usaha yang berbeda fungsi seiring waktu. Keperluannya harus disesuaikan. Desain arsitektur itu bukan perkara menghasilkan bangunan yang cantik belaka, melainkan memecahkan masalah dalam bentuk ruang. Maka, apabila menginginkan rumah yang efisien, berguna, dan terjangkau, ada baiknya untuk berkonsultasi menggunakan jasa arsitek agar sesuai dengan kebutuhan masing-masing 🙂
Salah satu contoh rumah yang bagi saya paling efisien dan “custom-made” mengikuti kebiasaan hidup penggunanya adalah LABO The Mori yang merupakan rumah tinggal arsitek Deddy Wahjudi dan Nelly L. Daniel. Bercermin pada kebiasaan hidup keluarga mereka selama bersekolah di Jepang yang serba efisien, rumah ini dirancang dengan footprint/tapak bangunan yang sangat kecil, hanya dengan lebar sekitar 4 meter. Sebagian besar kegiatan mereka dilakukan di luar rumah, yaitu di studio dan di taman terbuka, sehingga rumah tersebut hanya digunakan untuk beristirahat. Ruang-ruang di dalam selain kamar mandi pun tidak bersekat, sehingga hal-hal seperti privasi pun didefinisikan dengan berbeda. Tidak semua orang akan cocok hidup di ruang seperti itu, namun amat menarik untuk mendefinisikan sendiri apa itu “cukup” dan “berguna” dalam ruang tinggal kita. Lahan di muka bumi ini terbatas, dan segala bentuk konstruksi sejatinya merusak alam, sehingga memang sebaiknya kita tinggali secukupnya dan seperlunya.
Dengan tren rumah-rumah yang dirancang secara minimalis/modern/etc, menurut Anda, apa ada yang kurang dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam tren tersebut?
Di era serba visual ini, sebetulnya sangat sulit untuk menghindari jebakan ‘label’. Kita melihat banyak sekali gambar dengan keyword tertentu pada feed Instagram, pada board Pinterest, dan ingin mencaploknya secepat mungkin agar sesuai dengan tren. Yang sering terlupa adalah kecocokannya terhadap iklim, misalnya penggunaan jendela floor-to-ceiling yang memerangkap panas dalam ruangan kalau ventilasinya tidak diselesaikan dengan benar. Selain itu, semakin “minimal” tampilan dari suatu desain sebetulnya semakin tinggi tingkat perfeksionisme yang diperlukan dalam pembuatannya. Dan kemudian adalah pemeliharaannya, terutama untuk bangunan rumah yang dibuat untuk ditinggali belasan hingga puluhan tahun ke depan. Apabila memang ingin memiliki rumah yang sesuai tren saat ini, harus siap dengan konsekuensi dari desain tersebut. Termasuk juga konsekuensi ‘bosan melihat desain rumah ini’ setelah beberapa waktu.
Menurut Anda apa tantangan utama yang dihadapi arsitektur dan arsitek saat ini?
Satu tantangan yang dihadapi banyak rekan-rekan saya adalah ketenagakerjaan. Pada industri konstruksi, arsitek dituntut untuk mengepalai suatu proyek, dalam arti memulai proses desain konseptual yang melibatkan riset — tentang perizinan, keinginan klien, kebutuhan end user, kondisi kawasan, masyarakat, dan lingkungan sekitar proyek, hingga perhitungan kebutuhan ruang dan biaya konstruksi. Kemudian arsitek pula yang bertanggung jawab mengatur kolaborasi antara berbagai bidang keahlian yang terlibat dalam pembangunan, misalnya konsultan struktur, mekanikal/elektrikal, interior. Ini adalah tanggung jawab besar yang memerlukan waktu sangat panjang untuk dilaksanakan, apalagi dikuasai. Sementara itu, remunerasi arsitek termasuk yang paling kecil pada siklus jasa konstruksi. We get such a small slice of the pie — jasa arsitek dihargai <2,5-8% dari seluruh biaya proyek, dan kecenderungan pengguna jasa umumnya ingin menekan biaya serendah mungkin. Hasilnya adalah sulit bagi banyak praktisi untuk mempertahankan operasional kantor, apalagi mengembangkannya.
Belum lagi sebagai ‘penyakit’ umum di industri kreatif, budaya kerja arsitek menormalisasi lembur, dan ini sangat dibiasakan sejak masa perkuliahan. Sekolah arsitektur acap kali menempati posisi teratas dalam survei “kuliah paling membuat stres”. Juga dilumrahkan bagi banyak karyawan konsultan arsitektur untuk pulang lewat tengah malam berkali-kali dalam seminggu, bahkan ada peer pressure ataupun tuntutan dari atasan untuk terus melakukannya atas nama profesionalitas. Yang umumnya dilihat oleh masyarakat — ataupun oleh mahasiswa arsitektur — seringkali hanya sisi glamornya saja, karena arsitek atau desainer mampu menghasilkan rancangan-rancangan indah dan dikagumi atas karyanya. Padahal di balik itu, ada banyak praktik industri yang merugikan profesi arsitek. Banyak yang akhirnya terpaksa merelakan mimpi (dan investasi waktu yang digunakan untuk bersekolah) untuk berprofesi sebagai arsitek, karena tidak kuat dengan jam kerja dan gaji yang tidak sebanding dengan pekerjaan yang berat.
Masalah ketenagakerjaan saya rasa masih dianggap tabu untuk dibahas oleh banyak arsitek. Namun dengan keterbukaan informasi pada generasi sekarang ini, semoga kedepannya dapat dilakukan langkah-langkah untuk memastikan agar profesi arsitek dapat lebih manusiawi, sehingga arsitek dapat menjalankan tugasnya untuk merancang ruang dan lingkungan binaan yang semakin baik lagi.