Pergerakan Kolektif dan Perkembangan Industri Desain Jawa Timur bersama Macan Unggulan
Kami berbincang dengan Ahmad Maratus dari Macan Unggulan untuk membahas tentang perkembangan industri desain di Jawa Timur dan pentingnya untuk bekerja secara kolektif.
Words by Ghina Sabrina
In partnership with British Council - DICE (Developing Inclusive Creative Economy)
Bagi seorang desainer, salah satu impian mereka pada akhirnya adalah mendirikan studio desain dengan karakter dan gaya mereka sendiri. Butuh pengalaman dan pengetahuan yang cukup untuk bisa melengkapi skill dan kapasitas seorang desainer agar dapat menjalankan sebuah studio desain. Hal ini pun yang dilalui oleh Ahmad Maratus, salah satu pendiri studio Macan Unggulan yang berbasis di Malang. Pada kesempatan kali ini, kami berbincang dengan Ahmad untuk membicarakan tentang perkembangan industri desain di Jawa Timur, pentingnya untuk bekerja secara kolektif dan keinginannya untuk memberikan awareness lebih ke masyarakat soal desain.
Bagaimana awalnya bisa tertarik untuk terjun ke dunia desain?
Gara-gara kuliah Animasi sih (tertawa). Sebetulnya, ingat banget dulu waktu masih TK saya sering ke kamarnya Ayahku gambar paus gede banget pakai pensil. Terus lama kelamaan, kalau tidak salah dulu melihat logonya M&M sama Trakinas, terus suka dan ngulik-ngulik.
Dulu sebenarnya karena dari SD sampai SMA saya di pesantren, jadi saya kurang tahu soal pendidikan seni. Saya pun baru mengulik lagi pas baru mau kuliah, saya baru tahu ada jurusan DKV. Akhirnya saya mencoba mengambil jalur itu.
Dari dulu sudah kepikiran cuma masih bingung apakah ada jurusan seni yang mengarah ke desain grafis. Terus karena di pesantren dan di daerah, jadi saya juga masih belum tahu, mentok-mentok disarankan untuk mengarah ke seni rupa atau arsitektur. Barulah waktu itu saya mencari-cari sendiri.
Lalu bagaimana proses terbentuknya Macan Unggulan?
Itu mirip sama seperti podcast yang membicarakan soal industri kreatif kemarin di Seek-A-Seek. Sesimpel itu sebenarnya, bahwa impian saat masuk DKV itu selain paling tidak ilmunya berguna, ya akhirnya membuat studio sendiri.
Saya bertemu partner saya, Aditya Satya Putra saat waktu kuliah. Kami beda program studi (prodi) tapi satu jurusan. Kalau di kampus saya jurusannya cuma satu, seni dan desain, tapi baru terpecah di prodinya. Kebetulan waktu itu saya memilih animasi, dan Adit memilih DKV. Cuma semakin ke sini saya malah lebih berkonsentrasi ke desain, terus jadi agak nyesel juga mengambil prodi animasi. Waktu itu kami masih magang di Bandung. Adit magang di HTH (House The House), saya magang di game studio Nightspade. Jadi waktu di sana akhirnya kami mengobrol, sambil mengulik dapur studio itu bagaimana dan lain sebagainya.
Sebenarnya studio itu adalah percobaan ketiga. Percobaan pertama itu membuat studio dengan pacar. Pekerjaan impian banget kan, kerja sama pacar. Tapi ternyata kapasitas ilmu dan skill-nya belum mumpuni, terus tutup. Terus mencoba lagi bikin semacam studio yang eksperimental, itu gagal juga. Lalu akhirnya Macan Unggulan ini yang sekarang sudah menginjak tahun ketiga.
Apa saja yang perlu diperhatikan saat pembentukan sebuah studio desain? Tantangan seperti apa yang kalian hadapi di saat proses awal terbentuknya Macan Unggulan?
Jadi kalau mau ngomongin industri di Jakarta dan Jawa Timur itu sebenarnya agak jauh. Yang paling utama itu yang pasti demand dan tingkat awareness-nya bakalan lebih besar di Jakarta secara otomatis. Kalau di Malang sendiri, perusahaan manufaktur atau yang besar itu ujung-ujungnya bakalan lari ke Jakarta atau Surabaya. Saya kebetulan join ADGI Surabaya karena sempat diajak oleh Adiel Andreas untuk bergabung. Di sana saya mendapatkan insight dari kondisi industri Jatim dari sana. Jadi tingkat awareness dari pasarnya sendiri itu masih kurang. Dari awalnya itu harus dijelaskan terlebih dahulu. Problematikanya fluid. Kadang-kadang client yang tidak mengerti soal branding sendiri akhirnya berpikir kalau kita bisa meng-handle dari A-Z, padahal itu sebenarnya yang biasa dilakukan oleh agency besar. Simpang-siurnya di situ. Ekspektasi mereka pun tidak tersampaikan gara-gara perbedaan knowledge. Misalnya taruhlah pengerjaan brand identity, sebenarnya yang kami kerjakan itu visual identity-nya doang. Kan harus ada brand designer atau brand strategist-nya juga kan. Nah ketika mau offer expense, misalnya partner-an sama orang, itu juga jadi agak sulit. Dengan budget yang relatif pas, tapi maunya all in. Kebanyakan mentalnya masih seperti itu.
At least sesimpel ini, kalau ada perusahaan atau brand yang mau hire kami itu, poin utamanya saya bertanya dulu, “Business model canvas-nya sudah ada belum?”. Paling tidak untuk planning ke sananya kita juga harus tahu, mereka mau bergerak ke mana. Cuma yang masih susah, kalau misalnya untuk memberikan expense tambahan untuk riset pun masih agak sulit. Hanya beberapa client yang bisa value itu.
Kendala kedua, waktu develop bisnisnya, cashflow sama stream of income itu penting. Saya merasa modal kamu lulusan DKV atau arsitektur itu tidak sepenuhnya bisa mencukupi kebutuhan kamu waktu kamu kerja. Saya merasa saat membuat studio itu kamu juga harus punya basic di bisnis juga, untuk menata income, cash flow, dan juga punya knowledge untuk accounting dan lain-lain.
Kalau di daerah itu susahnya di situ, cuma kita terdukung dengan environment yang kolaboratif. Dari dulu kami belum punya bangunan sendiri, jadi selama ini biasanya misalnya ada satu client yang buka kafe, akhirnya kami nebeng di situ, dapat satu ruang. Itu lebih enak. Akhirnya, expense untuk operasional tempat itu tidak akan sebesar kalau kita menyewa coworking space. Itu salah satu kemudahannya.
Bagaimana Anda melihat perkembangan ekosistem desain di Jawa Timur?
Positifnya itu dari peluangnya. Dari pengamatan saya, pola di Indonesia itu masih Jakarta sentris. Ketika ada yang bisa menerobos di situ dan menciptakan peluang untuk kasarnya ‘being champion’, mereka akan menjadi seorang champion dan merubah arus.
Yang kedua, mungkin lebih mudah untuk melakukan sebuah pergerakan kolaboratif. Pergerakan kolektif itu banyak di Jawa Timur. Kalau dibandingkan antara Surabaya dan Malang itu lebih banyak di Malang karena di sini lebih fokus di culture dan subculture.
Apa pandangan Anda tentang kolektif kreatif di Malang?
Kalau kolektif di Malang itu yang paling jelas kelihatannya dari musik. Itu masih kencang sih, tapi kolektif yang terbilang susah itu di ranah visual. Tapi akhir-akhir ini ada yang membuat kolektif baru, Tiba-Tiba Kongsi, yang membuat ruang pamer dari kafe ke kafe dan memanfaatkan kebutuhan kafenya juga. Alhamdulillah kolektifnya juga jalan dan kami sempat beberapa kali membantu bikin visual dan logonya juga. Asiknya MaUng itu, pasti kami meluangkan setiap satu bulan sekali untuk mengerjakan proyek pro bono. Dari DJ, kolektif pameran, dan teman-teman lainnya.
Tapi, saya rasa ada gap generasi yang mana kalau dari yang berusia di atas 30-an, mereka orientasinya pasti lebih ke bisnis. Tapi kalau yang di generasiku, orientasinya masih berjalan misalnya dari segi entertainment, masih terbuka untuk kolaborasi. Saya lumayan iri dengan Jakarta, misalnya dengan Pak Hermawan, beliau sudah senior tapi masih memiliki inisiatif untuk membuat Seek-A-Seek. Kalau di sini, yang tua-tua orientasinya tidak ke sana. Kalau yang ada pun, pasti berbeda pandangannya dari segi desain atau yang lainnya.
Bagaimana Anda melihat pengaruh besar bekerja secara kolektif untuk menghidupkan skena desain di daerah?
Kalau misalnya melihat ini dari kendala utama itu bisa dilihat dari aspek finansial. Saya sempat dulu bikin movement kalau tidak salah di tahun 2016, sebelum bikin MaUng, yaitu Projek Sederhana. Bikin pameran di pasar yang merespon soal makanan, semacam experimental art gitu yang base-nya di seni rupa. Pada saat itu saya sempat kesal sama kolektif-kolektif lain yang bilang kalau untuk pameran dan tempat itu kendalanya pasti di duit. Padahal tidak seperti itu, karena masalah finansial itu bisa dipikirkan dengan matang. Waktu itu, kami mencoba bikin sistem donasi. Misalnya dengan mencari beberapa teman yang punya usaha dan bisa berdonasi dengan uang yang cukup dan kita kasih reward dalam bentuk merch atau akses masuk waktu pameran. Sistem-sistem seperti itu yang belum secara umum diketahui sama anak-anak di sini. Juga seperti crowdfunding yang sebenarnya sudah ada sejak awal-awal zaman Kickstarter dulu. Kebanyakan masih bergantung sama sponsor. Kalau saya dari dulu memang tidak suka bergantung dengan sponsor sih.
Untuk bekerja secara kolektif, juga dibutuhkan ruang-ruang terbuka yang mendukung cara kerja tersebut seperti coworking space. Bagaimana Anda melihat hal ini?
Kalau di sini sebenarnya lebih banyak yang bekerja di coffee shop. Walaupun sudah ada beberapa coworking space di sini, cuma lebih banyak dipakai oleh start up. Start up-nya pun kebanyakan di ranah web developer dan IT. Tapi yang baru-baru ini, saya melihat banyak junior-junior yang membuat studio juga sekarang yang fokusnya juga di digital marketing sama di digital content. Itu cukup lumayan banyak. Cuma kalau melihat dari keterjangkauan harga, akan jauh lebih terjangkau jika melakukan kerja sama. Misalnya menyewa satu ruang untuk satu tahun atau bulanan. Soalnya rata-rata yang buka usaha di Malang itu masih anak-anak kuliahan. Environment-nya seperti itu sih. Saya merasa Malang itu di bagian industrinya digerakan sama anak muda, karena kotanya kecil dan sehari bisa nongkrong 3-4 kali (tertawa).
Kalian sering membuat acara yang memperkenalkan karya-karya Macan Unggulan sekaligus merayakan ulang tahun studio, menurut Anda seberapa pentingnya untuk membangun relasi dan berkolaborasi dengan komunitas di sekeliling Anda?
Penting banget. Kalau misalnya membicarakan soal membangun relasi, kami agak bodo amat, tapi menurut saya perayaan itu penting sih agar kita tetap merasa bangga punya sesuatu. Emotional bonding kali ya.
Saat ini telah banyak bermunculan studio-studio desain dengan karakter mereka masing-masing, apa yang bisa dilakukan agar Macan Unggulan bisa unggul dalam berkarya maupun mendapatkan client?
Kalau itu sebenarnya baru di tahun ini kepikiran mau fokus di mana. Pas waktu masih 2 tahun itu, kami masih di tahap development untuk menentukan arahnya mau ke mana, pandangan desain seperti apa yang mau ditekuni dan ditanamkan. Akhirnya kami memutuskan, yang kami rasa paling unggul itu di bagian collateral design karena basic design-nya itu crafting. Dalam praktik design, kami lebih suka base-nya itu hand drawn, lalu eksperimen entah lewat scanning, sculpture dan lain-lain. Maka dari itu kami ingin menguatkan di collateral design.
Awalnya kami ingin mengarah ke gerakan yang feel-nya sangat post modern tapi tetap tradisional, akhirnya ketemu yang fundamental desain aja sih. Holistic design. Kita lebih tertarik di situ. Mungkin gara-gara baca sejarah juga kali ya. Sebenarnya baru tahu fakta kalau di Indonesia itu sebenarnya dulu bukan Hindu-Buddha, tapi semua agama masuk ke Indonesia dan budayanya diadopsi saja. Cuma pas waktu Islam masuk ke sini, budaya dan agama pun langsung jadi satu, padahal dulu ada batasnya. Sangat mungkin saya menemukan beberapa teman yang berkeluarga plural dan mereka masih merayakan hari raya masing-masing dan masih fine-fine saja. Kami merasa di situ, lebih fundamentalis aja sih. Sama practicing regional criticism-nya, jadi menyesuaikan sama kondisi demografi yang tidak bisa dipaksakan. Biar bagaimanapun knowledge pasar dan awareness-nya tidak akan sama dengan Jakarta misalnya, jadi kami lebih menyesuaikan sama environment design-nya di sini kayak bagaimana. Jadi lebih banyak riset demografi sih.
Untuk client, lebih banyak masih sistem peer-to-peer. Misalnya satu client ini bakal membawa client lain. Kami juga bekerja sama dengan POT Branding House, jadi beberapa pekerjaan dari mereka juga sampai ke kami. Namun, akan sangat menguntungkan jika kami nantinya bekerja sama dengan satu agency dari luar. Pekerjaan akan lebih fokus, dan akhirnya apa yang kita inginkan dan bisa lakukan itu akhirnya bisa sampai dan terpakai juga sama agency ini. Mereka juga bakal tau spesifikasi kita juga. Kami juga lagi mengarah ke sana.
Sebenarnya bagaimana posisi desainer di tengah masyarakat? Bagaimana Anda melihat seorang desainer bertanggung jawab untuk memberikan solusi dari isu yang ditemukan sehari-hari?
Kami sepakat bahwa desain itu bukan solusi, dan desainer bukan problem solver. Kalau menurut saya, desain itu respon. Jadi ketika sebuah respons yang berakhir menjadi prototype itu belum mengalami pengujian, saya rasa itu bukan solusi juga kalau belum terbukti bahwa dia itu works. Misalnya saya mendapatkan client, lalu dia membicarakan soal branding terus identitas visual yang bagus, saya akan ngomong, jika kamu tidak punya perencanaan bisnis yang matang, branding sebenarnya mendukung cuma 30% dari pendapatanmu. Dan itupun secara tidak langsung. Saya selalu menekankan itu karena masalah awareness dari sini, kadang-kadang saya sampai print format business canvas terus dikasihkan ke mereka. “Kamu isi ini dulu aja, kalau sudah selesai baru nanti kita ngobrol lagi.” Biar lebih mantap saja dari merekanya. Kadang mereka itu tidak kenal bisnisnya sendiri, cuma melihat bisnis orang lain dan dia rasa bisa seperti itu, akhirnya dia berharap untuk mendapatkan hasil yang sama. Padahal tidak seperti itu. Jadi lebih mengedukasi dari segi itu. Sama paling tegas juga sama jam kerja.
Kini media sosial sudah dianggap sebagai platform untuk menunjukkan karya seorang desainer maupun sebuah studio desain, namun langkah seperti apa yang diperlukan agar hal tersebut dapat dilakukan dengan benar?
Saya merasa kalau media sosial itu penting, cuma kalau kami sendiri lebih banyak untuk supply kebutuhan inspirasi. Mungkin pas waktu develop moodboard. Tapi itu pun perlu untuk digali ulang juga karena saya rasa masih butuh untuk melihat source-nya lebih jauh. Dan gara-gara media sosial, orang jadi jarang buka website dan research lebih jauh. Mungkin media seperti It’s Nice That dan AIGA ( American Institute of Graphic Arts) bisa dilihat untuk sebagai source belajar. Sedangkan untuk studio, platform untuk sharing porto mungkin Pinterest, karena bisa jadi karya dari studio tersebut juga secara kolektif dapat dikumpulkan sama siapapun. Setiap karakteristik studio itu kan juga tidak sama, ada yang memang fokusnya ke digital content, ada juga yang fokusnya ke collateral yang output-nya juga beda. Itu otomatis berpengaruh ke platformnya.
Paling kalau strategi khususnya, kami berencana untuk bikin acara. Ingin membuat sebuah sesi obrolan kerja sama dengan ADGI. Obrolannya itu ingin mengikis gap antara desainer atau pekerja kreatif dengan client-nya. Jadi beberapa client saya mau diajak untuk mengisi talkshow itu, agar opininya nanti sengaja terbentur. Misalnya deadline di mata client itu bagaimana dan deadline di mata designer itu pun seperti apa. Untuk membicarakan itu sih, soalnya kan kadang-kadang tidak ketemu.
Seberapa penting acara-acara desain seperti Design District atau Seek-A-Seek dalam mengedukasi para pelaku maupun masyarakat?
Penting banget. Mungkin meskipun kalau saya melihat pasarnya sendiri paling banyak ke anak desain yang masih kuliah atau yang sudah memiliki praktik sendiri, pada akhirnya ketika orang ke sana mereka akan menjadi lebih aware. Mereka mungkin akan lebih mengenal proses lagi, dan akan mendapatkan insight soal konsep juga, terus lebih mengenal beberapa studio, desainer, atau seniman di sana. Lalu juga bisa menghasilkan kerjasama baru.
Kalau di Malang sebenarnya ada, tapi belum grounding ke disiplinnya. Kebanyakan masih berupa obrolan, misalnya sesi sharing dan lain-lain. Soalnya kami pun diundang ke sesi sharing kalau dari Malang sendiri. Jarang banget ada pameran desain. Bahkan saya rasa pameran desain di Malang kalau bukan dari kampus malah belum ada. Tapi saya pengen bikin sih tahun ini.
–
Artikel ini adalah bagian dari proyek kolaborasi British Council – DICE dengan Whiteboard Journal yang berfokus pada Creative Hubs di Indonesia. Berjudul “Direktori” kolaborasi ini akan menceritakan profil komunitas dan kolektif lokal, mulai dari video series, interview hingga buku. Tunggu rangkaian kontennya di website kami.