Menemukan Keseimbangan antara Fungsi dan Estetika bersama Stephanie Larassati
Kami berbicara kembali bersama Stephanie Larassati tentang pentingnya konteks dalam desain, peran arsitektur sebagai solusi, dan toko terbaru Bobo Tokyo di Margo City.
Words by Shadia Kansha
In partnership with Bobo Tokyo
Foto: Faradilla Rizky Amalia
Menciptakan ruang fungsional yang indah bukanlah sebuah pilihan bagi seorang arsitek, melainkan sebuah keharusan. Untuk mencapai keseimbangan tersebut, melibatkan empati dalam proses kreasi dapat menghasilkan ruang yang benar-benar bermanfaat bagi lahir dan batin penggunanya.
Berkolaborasi dengan Bobo Tokyo, kami berbincang dengan Stephanie Larassati, pendiri dari AT-LARS, untuk membahas tentang pentingnya konteks dalam desain, peran arsitektur sebagai solusi, dan toko terbaru Bobo Tokyo di Margo City.
Dalam filosofi Jepang “Ikigai”, pertemuan antara “hal yang disukai” dengan “apa yang dunia butuhkan” menghasilkan misi hidup. Apa misi Stephanie Larassati sebagai seorang arsitek?
Saya percaya kalau arsitektur itu adalah sebuah sarana untuk membantu orang, dan itu sepertinya memang mempengaruhi saya juga dalam proses desain, di mana saya selalu mengedepankan pembuatan desain atau karya yang betul-betul memikirkan kebutuhan orang banyak atau stakeholders-nya. Jadi bukan ambisi saya untuk membuat sebuah desain yang “terkeren” atau yang mengikuti ego. As a designer, I really find happiness ketika prosesnya melibatkan banyak orang, dan semua yang terlibat bisa menemukan identitasnya. My happiness comes from people finding their own place in my design and that is my goal.
Salah satu pendekatan desain yang dilakukan oleh AT-LARS adalah “Mindful Design”. Bagaimana pendekatan tersebut dapat berkontribusi pada suatu ruang?
Jadi, mindful design itu buat saya sebenarnya tercerminkan di prosesnya. Kita desain itu nggak cuman sekedar untuk menciptakan sesuatu yang enak dipandang atau sekedar “estetis” saja. Itu merupakan sebuah keharusan. Kita sebagai arsitek atau desainer harus bikin sesuatu yang indah. Kalau nggak, buat apa ya jadi desainer gitu, haha.
Bagian mindful-nya hadir ketika kita benar-benar bisa menghargai konteks dari tempat atau tugas yang kita dapatkan. Proses desain harus kontekstual dan ada banyak konteks yang harus dipertimbangkan ketika kita mendesain ruang. Ada banyak banget aspek yang harus dipikirin, gitu. Sebagai contoh, ini tempatnya berada di mana? Different places, different architecture. Siapa yang akan menggunakan tempat ini? Budget-nya seperti apa? Dan itu akan mempengaruhi desainnya. Resources di sekitar ini seperti apa? Apakah ada material yang cukup dan materialnya ada apa aja? Lalu future development yang seperti apa? Kita bikin bangunan dan ruang ini, visi-misi kedepannya apa? Jadi, desainnya itu mindful, dalam arti kita paham history-nya, kita tahu apa konteksnya sekarang dan ini mau dibawa ke mana.
Apa dilema yang sering dihadapi seorang arsitek ketika menyeimbangkan estetika dengan manfaat dalam suatu desain?
Menurut saya, estetika dan fungsi itu, actually there’s no dilemma between them. Karena buat saya, estetika dan fungsi itu jadi satu kesatuan. Bahwa estetika itu harusnya berangkat dari fungsi. Setidaknya itu yang saya dapatkan atau saya pelajari sejak kuliah di Jerman dulu. Dan itu juga saya terapkan di kantor arsitektur saya. Fungsi itu harus selalu ada dari sejak awal, bukan sekedar pilihan either fungsional atau estetis. Bukan, ini adalah bagian integral dari our process. Dan justru di situlah serunya menjadi arsitek. Kita bukan seperti artist yang melukis semau-mau hati kita gitu, tapi kita menciptakan sesuatu yang juga memiliki purpose. Jadi apa yang kita torehkan itu semua ada reasoning dan ada purpose-nya gitu.
Setelah mendesain berbagai ruang budaya dan komersial, AT-LARS berkesempatan untuk mendesain fasilitas screening di tengah pandemi. Tantangan baru apa yang ditemukan ketika mendesain fasilitas publik yang dibutuhkan secara mendesak?
Untuk menjawab itu, kita harus mengembalikan ingatan kita ke tahun 2020 dahulu yang adalah tahun ter-absurd kayaknya di hidup kita di mana kita sama sekali nggak tau harus gimana. Pastinya ada rasa takut, cemas dan seterusnya. Waktu itu, kayak semua orang, kita nggak ada project. Semua project stop, seluruh dunia stop. Saya dan tim saya, kita duduk bareng. Basically, we have all the time in the world lah saat itu.
Waktu itu saya suka baca berita. Saya ngeliat bahwa ada satu headline yang selalu muncul di mana-mana, nggak cuma di Indonesia, tapi seluruh dunia. Ya, kebutuhan akan medical space sangatlah urgent. Nggak cuman butuh cepat, tapi butuh banyak sekali. Saya lihat di sini ada dua poin penting: kecepatan dan scalability gitu. Saya berpikir bahwa itu adalah tema yang kita arsitek adalah expert-nya. Jadi, saya bertanya-tanya ke diri saya, apa yang bisa saya lakukan untuk kondisi ini? Karena saya sebagai arsitek, saya punya skill-nya. What can we do?
View this post on Instagram
Kebetulan, kita punya experience yang banyak dengan struktur-struktur yang cepat dan bangunan dengan struktur temporary yang mudah untuk dikonstruksi. Jadi saya melihat, kita punya modalnya nih untuk bikin sesuatu. Membuat sebuah ruang yang bisa membantu meringankan kondisi ini. Jadi what we do adalah kita menggunakan waktu kita yang banyak tadi itu untuk mendesain sebuah fasilitas skrining tanpa klien. Jadi saat itu gak ada permintaan dan merupakan buah dari inisiatif kita sendiri.
It was a really nice experiment. Kita nggak ada deadline, nggak ada apa-apa. We just do it for fun gitu. Well, not for fun, but by our own terms gitu. Dan setelah kita mendesain itu, kami propose ke St. Carolus Hospital di Salemba. Dan mereka menyambut baik proposal itu karena itu betul-betul menjawab tantangan mereka saat itu. Kebanyakan rumah sakit saat itu tidak punya tempat untuk bisa menampung pasien yang hadir, dan juga rumah sakit saat itu dianggap sebagai tempat yang cukup berbahaya ya. Dan kita menyediakan sebuah fasilitas skrining yang bisa memeriksa pasien yang datang sebelum masuk ke gedung rumah sakit di mana tempatnya itu nyaman, aman dan sesuai dengan standar WHO. Dengan begitu, pasien juga merasa lebih tenang untuk datang ke rumah sakit. Dan medical workers-nya juga merasa tenang untuk ke rumah sakit dan keluarga mereka pun di rumah juga tenang bahwa tahu bahwa di rumah sakit, mereka kondisinya baik baik saja.
5 tahun lalu, Anda bercerita pada kami bahwa setiap ruang memiliki memori. Kini, ketika ruang virtual memiliki lebih banyak memori daripada ruang fisik sebagai dampak dari globalisasi dan pandemi, apakah arsitektur menemukan hubungan yang baru dengan ruang publik?
Apa yang terjadi di pandemi saat itu, punya impact yang besar. I don’t think dunia virtual ini mempengaruhi secara langsung kebutuhan kita akan public space, tapi mungkin mempengaruhi bagaimana cara kita bekerja. Dengan adanya globalisasi kita dibukakan jalan untuk bekerja secara remote. Kita bisa dari Indonesia, kerja sama orang di Eropa yang sebelum pandemi sulit (terbayang bisa) terjadi atau kita merasa ada banyak hambatannya. Jadi, terbukalah banyak kesempatan kolaborasi yang menarik banget gitu. Kolaborasi selalu bisa menciptakan suatu hal yang yang baru, yang out of the box gitu. Pandemi mempengaruhi cara kerja dan akhirnya mempengaruhi hasil kerja juga.
Nah, kalau hubungannya ke public space, saya rasa pada ujung-ujungnya akhirnya kita akan balik lagi ke kehidupan biasa kita yang kita tahu sebelum itu. Bahkan kita akan semakin butuh public space. Kita makin mengerti pentingnya public spaces. Pentingnya udara segar, sinar matahari, berinteraksi sama manusia; semua terasa semakin penting. Dan public space punya kekuatan untuk menghadirkan itu.
Jadi saya seneng sih ngeliat makin banyak public space yang muncul di Jakarta, walaupun mungkin masih ada beberapa yang sifatnya lebih komersial, which is fine, yang penting bisa diakses ya. It’s really a good direction.
Cuma, yang menarik buat saya tentang public space itu adalah ke depannya, akan ada public space yang seperti apa? Sekarang banyak sekali diskusi-diskusi terutama di luar negeri tentang creating public space yang lebih sustainable yang mungkin bisa menggunakan material-material yang lebih berkelanjutan, yang bayou-based misalnya.
Di Indonesia, terutama di Jakarta, ada banyak kebutuhan akan public space yang bisa menjadi ruang berkumpul komunitas. Dan inisiatif untuk bikin public space itu masih cukup rendah gitu. Sebagai orang yang enjoy banget desain untuk a lot people, I feel really grateful ada di era ini karena ada lebih banyak kesempatan untuk mendesain public space yang lebih modern dan lebih sustainable.
Baru-baru ini, Anda mendesain toko offline terbaru Bobo Tokyo di Margo City. Boleh ceritakan tentang proyek tersebut? What are the challenges?
Toko offline ini ada beberapa challenge. Pertama, waktu yang diberikan itu super tight untuk desain. Kedua, ini bukanlah toko offline Bobo Tokyo yang pertama kalinya, right? Sudah ada yang sebelumnya. So, sudah ada visual branding atau visual identity tertentu yang sudah diciptakan. The challenge is: how to create a fresh design with an existing visual identity.
Di sini, kita bekerja sama dengan Max, kita udah kenal cukup lama and I really understand his vision in terms of design and functionality. Our vision is very similar. That’s why saya mengiyakan pengerjaan toko offline untuk Bobo Tokyo Margo City.
View this post on Instagram
Jepang merupakan bagian besar dalam identitas Bobo Tokyo. Apa saja unsur desain khas Jepang yang Anda terapkan dalam toko ini?
Bobo Tokyo asked us to take inspiration from Japan. Okay, tapi Jepang yang seperti apa? Apa kita bikin gambar-gambar gunung Fuji dan seterusnya? Waktu itu clear banget ada key point yang penting banget: the coolness of Japanese design [and/or] modern Japanese design.
Ketika kita ke Tokyo, we can feel the coolness of the space, gitu. Nah, itu satu hal yang jadi kata kunci di space ini. Terus kedua, kita mau balik lagi ke Jepang bukan dari segi plakatnya atau dari segi imaji-imaji nya, tapi dari spirit-nya itu. So, kita pelajari arsitektur Jepang [dan] desain Jepang. Ditemukan nature sering menjadi tema besarnya. Jepang juga punya elemen repetisi dalam desainnya. Kemudian, ada sistem yang terlihat rigid, tapi sebenarnya allowing a lot of flexibility. So nature, repetition, and system.
So, nature yang seperti apa? kita terinspirasi sama satu topik di Jepang yang sebetulnya sangat tipikal yaitu matahari. So, kita mengerti bahwa matahari itu penting banget buat orang Jepang. Di benderanya, kita juga tahu bahwa bulatan itu adalah representasi dari matahari. So, what we want to achieve is a space consisting of three layers. The ceiling (as the sun), the in-between (as human), and the floor (as the earth). So, we want to create that connection between atas dan bawah. That’s why there are poles. Jadi kalau kita ngebayangin di sini ini, kayak ada sinar matahari yang beaming to the earth gitu. That was the concept of it.
Kita semua make sure bahwa semua yang ada di sini itu highly functional dan highly flexible, gitu. That’s why pole-pole yang ada disini bisa mengadaptasi retail racking dengan bolongan-bolongan yang ada, allowing the railing to go everywhere sesuai dengan kondisi dari shop-nya gitu. Flexibility was also one of the key points in this design.
Ada juga wooden elements di sini. Kayu-kayu ini juga sangat erat kaitannya dengan Jepang dan juga memberikan kesan warmth ke dalam interiornya. Kita punya repetisi yang clearly very visible di space ini (ada repetisi dari kolom-kolom kayu), mengingatkan kita sama kolom-kolom yang ada di arsitektur Jepang. Kita juga menambahkan silver atau aluminium surfaces untuk memberikan fungsi-fungsi seperti rak.
Ditambah lagi, posisi toko ini benar-benar terlihat tegas di tengah, gitu. Ini juga satu hal yang ditekankan dari awal. Kenapa pilih di sini? Exactly karena spot ini. Jadi, kita sangat aware of how we create the ceiling because it’s the first touch point yang akan di-experience oleh customers.
How would you describe your fashion style?
Actually, I really like fashion. Aku suka banget dress up gitu. Dulu, I like to dress up to relieve my stress. [Berbicara soal style] aku suka yang sedikit androgini, I really like it. Aku juga suka banget sesuatu yang tailored. Sesuatu yang ada kontrasnya antara soft dan hard, dan ada twist-nya gitu, aku suka. Nggak tau apa itu bisa dirangkum menjadi satu kata style seperti apa, but those are the things that I like.
Apa must-have item yang selalu ada di wardrobe Stephanie Larassati?
So, I really like bags. I really, really do. Aku punya banyak banget tas yang dari berbagai macam ukuran dari yang kecil banget sampai yang macro-bag gitu. Tas menurutku merupakan aksesoris yang paling powerful. And then, outer. Leather jacket gitu. Itu aku suka pakai dulu, cuma sekarang di Indonesia karena panas kali jadi ya sulit haha. But yeah, I really do like outers.
What are your plans for the near future? Any hopes and/or manifestations?
Well, for future plans, just hoping for more projects to be realized. Semoga bisa merealisasikan projects yang lebih impactful. Collaborate with people, partners, or institutions. Hopefully juga bisa bikin impact lewat desain dan arsitektur while building my team, as a solid team. Right now we’re very small, but we hope to be a solid and sustainable team. Also, my last hope selalu adalah I can empower more female architects and Indonesian women to be professional architects. Sekarang ada banyak contoh-contoh arsitek perempuan muda yang make it, yang thriving, and I hope we can see more of them in the future.