Membahas Pentingnya Desain Humanis bersama Fandy Susanto
Membahas desain humanis, juga kreativitas dan orisinalitas di era digital bersama Fandy Susanto.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Wintang Warastri
Foto: Ardi Widja
Konsisten mengikuti minat adalah salah satu kunci yang dipegang Fandy Susanto dalam berkarir. Keputusan menekuni dunia desain grafis setelah melepas impian bermain basket tidak datang dari dorongan luar, melainkan dari komitmennya mengejar kesukaan hingga berbuah keberhasilan. Lewat prinsip kerja yang juga dibawa dalam studionya, Table Six, Fandy menjawab berbagai tantangan dunia kreatif seperti idealis versus komersil, karakter pribadi dan tren, juga orisinalitas dan relevansi dalam obrolan kali ini.
Bagaimana awalnya bisa menggeluti dunia desain grafis?
Sebenarnya awalnya aku ingin jadi pemain basket. Waktu SMP, aku suka sekali dengan basket. Aku ikuti NBA, semuanya, lalu aku melihat kedua orang tuaku bekerja, banting tulang, kok sepertinya hidup tidak ada bahagianya. Bangun pagi dan tidur malam demi mencari uang. Lalu aku memutuskan sepertinya harus jadi pemain basket, kalau begitu, karena aku akan dibayar dengan hal yang aku suka. Lalu waktu itu kerusuhan, dan aku akhirnya diterbangkan ke Malaysia dan disekolahkan di sekolah Australia, dan di sekolah itu mereka selalu mendorong siswanya untuk cari tahu mereka ingin jadi apa. Itu karakternya disana. Mereka selalu menanyakan “nanti dewasa ingin jadi apa?”, aku tahu aku main basket tidak jago, tapi aku serius sekali mempelajari basket. Tapi akhirnya bilang, pokoknya aku mau bekerja untuk sesuatu yang aku nyaman, yang aku suka. Aku suka menggambar, dan pengetahuan tentang desain sudah ada karena kakakku sebelumnya sudah sekolah desain grafis. Aku memang dari dulu menyukai hal-hal yang berhubungan dengan estetika. Kalau main game aku suka melihat kemasannya, waktu zamannya MiniDisc aku suka membuat sampulnya sendiri. Akhirnya menyerah, tidak jadi pemain basket tapi memilih jadi desainer grafis saja. Dari situ yang membuatku semacam memakai kacamata kuda, karena disuruh jadi apapun aku tidak bisa memikirkan yang lain lagi.
Lanjut kuliah desain grafis, karena kakak pernah sekolah di Australia jadi selepas Malaysia aku diminta melanjutkan SMA dan kuliah disana juga. Lalu ketika di Australia, aku bertanya kepada kakakku dimana sekolah yang paling bagus untuk desain grafis, ada namanya Billy Blue College [of Design]. Sekolah itu adalah sekolah kecil, kecil sekali, jadi memang sangat dikurasi dan aku beruntung bisa masuk. Ada sekitar 40 siswa per angkatan, tapi memang pelan-pelan membesar juga. Akhirnya aku masuk dan belajar desain grafis disana.
Dalam satu wawancara, Anda pernah berujar “design is my religion.” Boleh dijelaskan lebih lanjut tentang prinsip tersebut dan perannya di profesi dan kehidupan?
Sebenarnya aku agak malu menyebutkan itu lagi, mungkin itu muncul dari responku kepada situasi waktu itu. Jadi itu sekitar dua tahun yang lalu, waktu itu aku merasa kok susah sekali ya bekerja, susah sekali dapat uang padahal saat bekerja sebagai desainer itu aku memperhatikan semua detail yang ada dari pekerjaan. Aku sangat suka dengan detail, tipografi harus detail, tidak boleh ada widow, tidak boleh ada river, itu semua sangat aku pelajari dan pakai. Tapi memang ada yang peduli? Tidak ada. Jadi kalau aku bilang itu religion itu seperti mengatakan [minat ini] adalah a blessing and a curse at the same time. Kalau aku memperlakukan ini sebagai religion maka aku akan melakukan ini tanpa timbal balik, aku akan melakukan ini sepenuh hati, nanti mau orang melihat atau tidak aku harus ambil konsekuensinya. Memang cheesy, tapi aku waktu itu menganggap estetika seperti Tuhan saja, dia yang akan memperhatikan aku, sisanya aku tidak terlalu berusaha mendapatkan apresiasi dari pihak lain. Aku melakukan itu sebagai ibadahku, misalkan dalam Kristen, kalau berdoa kan mengambil satu tempat di pojok dan berdoa. Mungkin aku terbawa suasana. Tahun itu memang tahun yang bejat sekali, dituntut harus menghasilkan [komersil] tapi aku juga tidak mau berhenti berkarya yang terbaik. Disitu aku sempat putus asa, tapi tetap berusaha untuk menyemangati diri sendiri.
Aku punya tiga formula, satu, kliennya seperti apa, dua, proyeknya bagaimana, tiga, uangnya bagaimana.
Berarti ada pertentangan antara idealisme pribadi versus tuntutan komersil ya. Adakah prioritas diantara keduanya, atau mungkin sudah menemukan titik seimbangnya?
Pada akhirnya kita memang selalu bergulat disitu sih. Partnerku sekaligus kembaran dan adikku, dia sudah berkeluarga jadi dia tahu bahwa pekerjaan ini tidak bisa dianggap idealis melulu. Kalau kamu mau main [di industri] ya memang harus punya dana, untuk membuat sesuatu yang seperti di pameran [Seek a Seek] in ya harus ada dana, ya tidak apa-apa membuat yang seperti ini tapi memang harus punya uang juga. Aku punya tiga formula, satu, kliennya seperti apa, dua, proyeknya bagaimana, tiga, uangnya bagaimana. Kalau satu kasus bisa setor paling tidak dua dari tiga formula ini, akan aku ambil. Misal kliennya tidak bagus, proyeknya biasa saja tapi komersilnya bagus, ambil saja. Atau proyeknya bagus, dananya sedikit tapi kliennya asyik, akan aku ambil juga. Kami coba menimbang-nimbang secara personal dan profesional untuk setiap proyek, dan kalau misalnya kami ambil satu proyek yang tidak asyik tapi komersilnya menjanjikan, answer the brief as quickly as possible and get out [tertawa]. Setelahnya garap lagi sesuatu yang menyenangkan, jadi harus balancing. Aku selalu berkaca ke zaman dulu ketika masih ingin main basket, apakah ini pekerjaan yang aku suka, tidak mau bangun pagi dan malah menangis waktu mau ke kantor, tidak mau Minggu malam menjadi saat yang terburuk buatku. Itu bukan sesuatu yang mau aku lakukan seumur hidupku. Aku mau bangun pagi hari Senin tetap merasa senang. Untuk mencapai itu kan butuh hal-hal yang lebih terukur dari sisi manajemen waktu, uang dan orang, manajemen karya agar tetap bisa diapresiasi. Intinya untukku harus begitu, bangun pagi tetap bahagia.
Untungnya aku penggiat desain grafis yang percaya dengan detail, aku bisa melihat bagus/buruknya dari sekadar detail terkecil yang salah, ya seperti itu aku anggap idealismeku. Setiap kali aku melakukan sesuatu yang korporat, pasti berhubungan dengan teks dan komposisi. Komposisi tidak mesti sesuatu yang heboh, dan itu aku pertahankan sebagai idealismeku. Setiap pekerjaan harus memenuhi standar itu. Makanya aku bilang, tidak akan ada yang melihat, makanya aku bilang ya sudah ini religion aku saja, mau orang bilang “kamu berlebihan,” ya bagaimana kalau tidak aku mengatakan seperti itu. Mungkin akan sampai waktunya dimana aku bisa menggunakan idealismeku dan menghasilkan, cuma waktu itu kita harus respek ya, proses ini harus kita hargai bahwa ternyata aku tidak oke disini, aku oke disini. Di titik ini akhirnya ada orang yang mengapresiasi desainku, secara karakter atau gayanya. Yang paling merespon sekarang adalah di musik dan fashion, musik dan fashion ini selalu datang ke kami untuk mencari style. Menjadi proyek juga terutama karena fashion sedang naik juga. Dalam kesempatan itu mereka mengapresiasi aku, jadi konsentrasi di bidang ini juga akhirnya, disini kita bisa mendapat dua-duanya [idealisme dan komersial]. Memang uang tidak sebanyak itu, tapi paling tidak aku bisa memenuhi apa yang aku suka. Yang kedua, aku juga ada bentuk digital development, dan digital development itu lebih mudah mencari uangnya, karena aku dapat klien dari studio dan hanya perlu menerjemahkan menjadi situs, menjadi aplikasi, itu jadi side business aku, namanya Capital Six. Jadi dia istilahnya bisnis sampingan tapi jadi bread and butter kami, supaya aku bisa terus berkarya.
Bicara tentang perjalanan Anda juga tidak bisa dilepaskan dari Table Six yang sudah berdiri sejak 2012. Adakah perubahan mencolok yang dirasakan dari awal hingga sekarang, terutama tentang karakter dan proses berkarya?
Peraturan memang yang mendidik aku untuk bisa berpengetahuan sebagai orang yang rapi, tapi buatku itu tidak cukup.
Kalau dari sisi pribadi, dulu aku berkantor di perusahaan yang “corporate to the max”. Kliennya semua bank, uangnya banyak. Hanya bertahan disana 1,5 tahun bukan karena aku tidak mau, tapi karena aku tahu kalau aku tetap disitu maka aku akan berubah menjadi desainer yang rapi saja. Aku tidak mau bilang jelek, tapi rapi saja. Rapi saja itu misalkan tipografi rapi, kerning rapi, terasa tradisional dan konvensional. Logo harus begini, tidak boleh diapa-apakan, yang ini harus besar dan yang itu harus kecil, peraturan semua. Peraturan memang yang mendidik aku untuk bisa berpengetahuan sebagai orang yang rapi, tapi buatku itu tidak cukup. Aku melihatnya aku tidak mau sampai disitu, walaupun zonanya nyaman, disayang dan dipercaya oleh atasan tapi sampai situ tidak cukup.
Aku sadar aku bukan desainer yang born to be one. Aku tahu dan sadar akan hal itu, tapi aku observer dan cukup maniak akan desain.
Karena itu akhirnya aku mendirikan Table Six. Kalau bicara tentang perubahan proses dan karakter berkarya, aku banyak belajar bahwa waktu itu sebenarnya terlalu dini mendirikan Table Six karena seharusnya aku lebih banyak belajar dengan orang lain dulu, mengerti bagaimana mereka bekerja karena aku sadar aku bukan desainer yang born to be one. Aku tahu dan sadar akan hal itu, tapi aku observer dan cukup maniak akan desain. Aku merapikan semuanya, aku suka segala hal dan memperhatikan detail-detailnya, aku bekerja dua kali lebih keras dari kebanyakan untuk mencapai posisi yang sama dengan desainer berbakat. Kalau ingin lebih baik dari mereka, aku harus bekerja tiga kali lebih keras. Intinya aku mengejar terus, dan aku merasa perubahannya karena aku sadar terhadap kemampuan diri sendiri.
Table Six dulu ada di Kuningan, dia jauh dari keramaian dan aku jarang kenal sama orang diluar teman-teman desain sendiri, sampai akhirnya aku diajak untuk berpameran di Jepang, di Osaka. Pengalaman di Osaka membuka mataku karena ternyata aku bisa melakukan sesuatu yang tidak konservatif. Karena di level mana sih orang diajak untuk berpameran sebagai desainer? Diajak memamerkan karya, aku sadar kalau levelku harus naik. Aku semakin sadar kalau aku tidak boleh standar, aku harus mendorong diri sendiri supaya orang bisa mengapresiasi juga. Darimana mereka bisa melihat kalau aku bagus, ya dari sini. Alhasil karena itu juga kesempatan perdana, menurutku karyaku disitu kurang. Walaupun tetap diapresiasi disana, buatku tidak bagus sama sekali. Ketika disana aku mengambil pelajarannya, lalu aku juga mendapat dukungan dalam bentuk penghargaan, aku masih merasa kacau. Cuma aku memang bersyukur karena diajak bergabung, setiap diberi kesempatan untuk berpameran aku akan memikirkan untuk lebih jauh dan lebih baiknya nanti bagaimana. Itu aku rasa adalah perubahannya sejauh ini, aku tidak bilang aku sekarang sudah baik, sampai sekarang masih banyak yang harus diperbaiki. Memang tidak akan pernah puas, sadar dengan kekurangan sekarang untuk perbaikan diri selanjutnya maka akan naik terus kualitasnya.
Table Six saat ini juga sedang berpartisipasi dalam pameran Seek a Seek yang bertemakan Konjungsi. Bagaimana Table Six memaknai dan menerjemahkan tema tersebut dalam karya yang ditampilkan?
Aku pribadi juga membantu Seek a Seek, ketika kita bicara tentang Konjungsi, ada Mas Aji yang merangkai secara teks itu bagaimana, ada Max dari Studio 1212 juga yang membuat panel supaya berkonjungsi jadi sengaja menempel satu sama lain. Aku di bagian grafis membuat segala sesuatunya berkarakter seperti itu, berdempetan, ada bentuk-bentuk yang bersinggungan tapi tetap menciptakan sesuatu yang baik. Secara branding aku ingin mengarahkan ke situ, jadi aku membuat blok-blok warna, bentuk-bentuk tradisional tapi layout-nya berdempet. Ya semoga aku bisa menerjemahkan apa yang Mas Aji dan Max maksudkan.
Cara bekerja kami di studio banyak yang dikarenakan coincidence.
Kebiasaanku menyerap semuanya, aku bilang itu conjunction.
Kalau tentang Table Six di Seek a Seek, yang pertama kami pasti harus sesuai dengan karakter kami. Secara grafis studio kami memang menyukai teks, tipografi, sesuatu yang simpel dan repetitif. Jadi kuncinya seperti itu, dan cara bekerja kami di studio banyak yang dikarenakan coincidence. Banyak beruntung, saat sedang mengerjakan sesuatu lalu ketemu orang dan mengobrolkan sesuatu, karena aku menjadi spons dan menyerap itu semua, jadi terpikir “nah ini dia nih, idenya begini saja,” saat-saat seperti itu yang beruntung. Kalau putus asa dan dikasih sesuatu untuk bisa diterapkan, seperti ada yang bilang “pakai ini saja.” Kami memang tidak menerjemahkan tema Konjungsi secara literal, tidak terpikir sampai situ, tapi konjungsi yang aku maknai disini adalah when I am in conjunction with other people. Seperti waktu aku mengerjakan proyek, itu sudah terasa sekali makna konjungsinya. Kita mengobrol seperti ini sudah terpikirkan untuk proyek selanjutnya, besok bisa dibuat seperti ini. Itu kan sesuatu yang tidak sengaja, bersinggungan yang tidak direncanakan. Bentuk interaksinya seperti apapun juga, itu aku anggap berkah. Stres karena tidak ada ide, tiba-tiba bertemu kamu lalu langsung “nah ini saja idenya,” beautiful accident istilahnya. Jadi aku merasa selalu ada yang akan muncul ketika sudah merasa tidak mampu lagi, nanti bertemu siapa atau menjumpai apa dan akan terpikirkan yang baru. Kebiasaanku menyerap semuanya, aku bilang itu conjunction.
Humanis bisa diartikan dari orang, untuk orang, oleh orang.
Kembali ke prinsip berkarya, Anda juga pernah berujar bahwa desain harus humanis. Apakah definisi prinsip tersebut dari kacamata Anda, dan bagaimana perbedaan hasilnya jika mendesain tanpa prinsip tersebut?
Waktu menyebut prinsip humanis, ada dua hal buatku. Satu, dari karakterku. Aku cukup percaya dengan yang namanya Sixteen Personalities, menurut mereka aku bekerja terbaik dengan manusia, jadi dalam organisasi bersama orang-orang lain, terutama dari sisi empatiku ke orang lain. Karena aku sudah masuk di desain, aku berusaha menghubungkan sisi humanisnya dengan profesi ini. Yang kedua aku melihat dari yang kamu sebutkan tadi, humanis bisa diartikan dari orang, untuk orang, oleh orang. Kalau misalkan kamu sampai di titik serakah, ada perasaan greedy disitu, maka akan menghancurkan itu semua. Misalnya kalau mencari profit sebanyak-banyaknya, nanti akan melemahkan hasil akhirnya, karya dan hubungan jadi kurang baik. Itu sudut pandangku tentang humanis. Bahkan sampai ke cara pendekatan suatu proyek, itu yang paling penting untuk menjadi humanis juga. Misalkan kliennya makanan fast food yang sudah jelas tidak baik untuk orang, apakah masih mau aku kerjakan? Aku mau, bisa mengambil angle bahwa fast food bisa menyenangkan anak-anak, kesenangan bagus untuk kesehatan mereka. Kalau ada respek ke manusia, manusia akan kembali respek ke brand.
Boleh dibilang ini alasan, justifikasi, cuma aku akan selalu berada di lingkup itu dimana aku respek terhadap sudut pandang manusia. Karena ketika kita terbiasa sensitif disitu, kita jadi tahu misalkan kalau membuat penanda, kalau untuk orang tua tidak bisa menggunakan ukuran yang terlalu kecil. Atau misalkan ketika mengangkat barang berat, aku baru membaca tentang ini di sebuah bandara di Jepang, mereka punya tingkat efisiensi tertinggi. Semua tertata rapi, sampai perihal mengangkat barang pun mereka memperhatikan pekerjanya. Mereka punya perangkat robotik yang dipakai di badan untuk menyokong beban di punggung bawah supaya mengangkat barang jadi gampang. Itu kan sangat human-centric, dan kalau ada respek seperti itu nanti akan timbal balik, akan ada respek untuk brand-nya juga. Kalau ada respek ke manusia, manusia akan kembali respek ke brand. Berputar saja terus begitu.
Kalau dia tulus sebagai direktur kreatif, dia akan mendidik anak buahnya untuk berkarya.
Pasti ada perbedaan hasilnya ketika pendekatannya tidak humanis, perusahaan-perusahaan yang sudah jelasnya motifnya hanya bisnis dan profit, mencari uang sebanyak-banyaknya – disini kita bicara tentang rasa ya. Perasaanku seperti itu, penilaianku seperti itu. Dengan cara tutur kata, kemarin aku sempat mengobrol dengan teman, ada satu perusahaan desain yang sangat business-centric, saat membahas kok terasa tidak enak ya. Perasaan ini memang intangible, tapi bisa dilihat ada yang tidak tepat disini. Kalau dia tulus sebagai direktur kreatif, dia akan mendidik anak buahnya untuk berkarya. Aku percaya ini perkara ekosistem sih. Ini natural, ini organik, dari situ direktur kreatif akan menurunkan segala sesuatunya untuk anak buahnya agar bisa mengeksekusi. Kita tahu istilah buah yang baik jatuh dari pohon yang baik.
Sebenarnya seberapa jauh desain memiliki pengaruh dalam kehidupan sehari-hari, apalagi bagi masyarakat awam yang cenderung tidak terlalu memperhatikannya?
Desain akan selalu ada di kehidupan sehari-hari tapi tidak terlihat.
Desain akan selalu ada di kehidupan sehari-hari tapi tidak terlihat. Dia tidak bekerja untuk diapresiasi, sebenarnya, diapresiasi oleh khalayak secara umum itu tidak. Itu menurutku secara pribadi ya. Misalkan kamu membuat buku yang bagus, kalau orang awam tidak akan ada yang peduli dengan tipografi yang digunakan harus sekecil ini, kerning harus sebesar ini, itu kan mati-matian membuat sistemnya. Bikin buku itu tidak gampang, tapi tidak ada yang mengapresiasi. Istilahnya seperti the elephant in the room, sesuatu yang dampaknya sangat besar tapi tidak kelihatan. Akhirnya kita jadi asyik sendiri mengerjakan ini, yang mengapresiasi sesama disini, karena di luar memang ada yang peduli? Tapi disisi lain ada juga bentuk apresiasi dari umum, misalkan ketika seseorang suka suatu produk, itu kan karena brand-nya juga. Siapa yang membuat brand bisa bagus? Ya desainernya juga. Itu dalam lingkup kehidupan sehari-hari.
Kalau di Indonesia, aku selalu berpikir kami sebagai desainer grafis akan menjadi semakin baik kalau didorong lingkungan. Misalkan kalau aku pulang dari Jepang itu aku selalu bersemangat untuk mendesain, itu ada semacam inspirasi-inspirasi. Di Indonesia masih kurang di area itu, dalam arti kurang disuplai. Tapi sekarang orang-orang sudah mulai jalan-jalan, travel membuat orang semakin bisa melihat dan menantang dirinya untuk menjadi lebih baik. Ketika merasa diri sendiri sudah bagus disini, saat keluar dan jalan-jalan kemudian sadar kalau diri sendiri belum ada apa-apanya. Harus ada budaya yang mendorong seperti itu disini, kalau aku berbicara dari sisi pasar ya aku selalu percaya Yang berbicara ke pasar itu klien, yang berbicara ke klien dan produk adalah desainer.
yang berbicara ke pasar itu klien, yang berbicara ke klien dan produk adalah desainer. Mau kita sampai berbusa-busa bilang ke klien, kalau klien bicara ke pasar tidak sesuai dengan pesan dari awal ya memang putus di tempat pembicaraannya. Kita mesti kerjasama dengan klien yang baik, klien yang baik dalam arti dia mau mencoba, yang punya semangat dan arah yang sama, supaya ujungnya kita sama-sama berani. Kembali lagi, kalau tidak punya greed, maka kamu akan percaya kalau iya, kita sama-sama ingin idealis disini. Idealis berarti mau mendidik pasar, dan semakin banyak kok klien dan desainer yang mau bekerja sama dan punya visi yang sama, punya karakter sama yang baik. Maka kita semua nantinya akan pelan-pelan mengerti tentang pentingnya desain itu tadi. Aku pribadi melihat progres yang sangat baik disini, sekarang zamannya anak-anak muda yang lebih terdidik dan berani, apalagi dengan fasilitas yang lebih banyak dan mudah.
Yang tua bisa melihat yang muda “oh sekarang gerakannya seperti ini,” yang muda bisa melihat yang tua “oh, harusnya eksekusinya begini,” jadi relasinya sehat.
Aku tidak cuma tertarik dengan sesuatu yang extravagant, tapi juga seperti misalkan produk sabun cuci tangan lokal independen baru keluar, kemasannya kecil, desainnya bagus, botolnya bagus, sampai stiker segel juga dipikirkan bagus. Itu buatku sudah sangat bagus, dan kita secara kolektif kalau semua begini nanti kan akan membesar. Yang beruntung nanti – ya pasti berjalan beriringan, akan selalu ada produk-produk mainstream tapi akan ada juga produk-produk kecil dan independen. Kalau aku boleh mengutip Alkitab, kalau kamu setia dalam perkara kecil nanti pasti juga akan begitu dalam perkara besar. Maksudku, anak-anak muda ini dalam perkara kecil akan membikin sesuatu yang baik, aku melihat semuanya mulai baik. Kalau kita semua mulai kolaborasi, jangan stop, jangan menyerah, jangan kalah sama yang sudah ada, harus berjuang terus dari idealisme yang baik, aku rasa tinggal tunggu waktu saja. Aku masih optimis. Aku berusaha untuk memposisikan diri lebih positif, maksudnya ya nantinya dengan era instan begini penting adanya hubungan antara yang muda dengan yang senior. Kemarin barusan mengobrol di studio, aku menekankan soal bagaimana agar kita bisa dilihat sebagai desainer yang mature, yang qualified, ya menurutku misalkan dari material. Cara pemilihan dan penilaian material kita, cara kita mencetak, manajemen waktu, itu semua harus ditekuni, tidak bisa setiap kali output-nya digital saja. Anak-anak muda zaman sekarang sayangnya menurutku banyak yang bagus di layar digital saja, ketika ditantang untuk mencetak banyak gagalnya. Jadinya aku merasa yang hebat adalah para desainer yang lebih berpengalaman, mereka ini sudah mengerti. Jadi harus ada hubungan, harus ada jembatan supaya saling bisa melihat. Yang tua bisa melihat yang muda “oh sekarang gerakannya seperti ini,” yang muda bisa melihat yang tua “oh, harusnya eksekusinya begini,” jadi relasinya sehat. Hubungan itu yang aku tunggu, begitu.
Desain bukan hanya tentang logo, tentang tipografi, desain juga tentang memperhatikan kebutuhan orang lain.
Adakah pola pikir seorang desainer sebagai proses kreatif dapat diteladani oleh masyarakat awam, dan bagaimana aplikasinya?
Aku beri contoh. Di Jepang, di dalam ruang ganti di sebuah toko itu disediakan kotak yang berisi penutup kepala, untuk melindungi rambut saat berganti baju. Jadi sebelum fitting memakai itu dulu, supaya rambut dan bajunya tidak kotor. Itu sebuah pendekatan kreatif dan human, tapi juga mengeluarkan ongkos. Untuk apa membuat seperti itu, uang seberapa banyak yang mau dikeluarkan? Itu design-thinking, jelas. Desain bukan hanya tentang logo, tentang tipografi, desain juga tentang memperhatikan kebutuhan orang lain. Kalau dari sisi itu, terlihat bahwa desain itu bisa menjadi komunikasi, desain membantu khalayak ramai untuk tidak celaka di jalan, misalkan. Kalau negara konsentrasinya masih demi profit sebanyak-banyaknya karena permintaan untuk desain grafis banyak, aku ambil saja semuanya tanpa sortir. Sekarang kalau misalkan mengajari 100 orang versus 10 orang, mana yang lebih efektif kira-kira? Pasti 10, karena bisa lebih konsentrasi ke tiap individunya. Tapi karena sekarang maunya memenuhi pasar ya maunya mengajari semua. Produksi desainnya makin banyak, maka yang jelek juga semakin banyak. Klien dan pasar paham tidak soal ini? Tidak tahu mana yang baik mana yang buruk, yang penting yang murah. Untuk menjawab apakah itu mendidik klien dan pasar, memang tidak bisa seperti jalan pintas, itu pasti melewati banyak lapisan. Lapisan-lapisan ini yang harus diperhatikan, aku sering mendengar keluhan yang muda-muda tentang sesuatu yang tidak diajari di kampus. Ya [mereka] itu masa depan kita, mengapa tidak diajari, kesalahannya dari sedasar itu.
Dari sisi pemerintah, kalau boleh aku kritik sedikit ya sekarang posisinya masih salah-salah-benar. Sudah benar dari sisi mulai merangkul para kreatif ini, tapi memang ujung-ujungnya masih subyektif. Kita tidak bisa menyenangkan semua orang, dan ketika mengambil seseorang untuk menjadi kepalanya, ketika tidak satu selera pasti tidak bisa maju apresiasinya. Ada satu contoh, aku pernah dengar di Inggris, ada seorang desainer grafis yang menjadi salah satu dari pengambil keputusan di pemerintahan. Disini masih belum ada seperti itu, yang mengambil keputusan pasti penguasa politik. Yang mengambil keputusan pasti orang-orang dengan “kepentingan” tertinggi, yang belum tentu mengerti tentang desain. Misalnya sudah lolos kurasi, tapi ujung-ujungnya tetap yang memilih mereka-mereka saja. Apakah mereka punya pengertian tentang desain? Tidak, tapi mereka yang harus mengambil keputusan. Buatku itu aneh, kurang tepat pembagian perannya. Kita bicara tentang negara, harus diwakili oleh orang-orang yang memang punya ketrampilan. Misalkan ketika Olimpiade Tokyo 2020, siapa yang diikutkan ke dalam pitching desainnya? Kenya Hara salah satunya. Nasionalisme mereka dirangkul dalam pemerintahan, dijemput, tapi kalau di Indonesia to be honest untukku pribadi masih belum waktunya, masih jauh dari situ. Mungkin ini kita berbicara dari sudut pandang yang naif, karena kita ingin bikin sesuatu yang bagus sementara semua masih sama-sama mengerti kalau ini masih belum waktunya. Apresiasi ini akan berubah seiring waktu, aku percaya dia bakal berubah. Tinggal tunggu waktu, sementara disini kita semua bertahan.
Tentang posisi desain dalam masyarakat, menurut Anda apa sebenarnya tanggung jawab sosial seorang desainer grafis terutama lewat dunia kreatif yang dinilai berpotensi menjadi solusi bermacam isu di masa kini?
Ada yang memperhatikan tentang limbah, jadi saat konsultasi dengan klien, pengaruh kita bukan melulu estetika, kita harus mengukur dampak baik yang tangible maupun intangible. Kalau bikin brosur, bikin flyer – ini aku ambil contoh yang paling mikro, seperti jangan sembarangan membuat ukuran. Bisa memaksimalkan sesuai ukuran kertas, supaya limbah tidak terlalu banyak. Itu tanggung jawab paling kecil, kita harus sensitif, punya kesadaran, jangan bikin segila-gilanya tapi kita tidak memikirkan orang lain, sementara di negara maju pasti pola pikirnya sudah saling mempertimbangkan orang lain. Misalkan di Jepang, banyak arsitek kalau menggarap satu proyek di satu wilayah pasti akan menggunakan source yang ada disana, fokusnya di lokal. Itu kan bentuk kepedulian sosial.
Misalkan di Jepang, banyak arsitek kalau menggarap satu proyek di satu wilayah pasti akan menggunakan source yang ada disana, fokusnya di lokal. Itu kan bentuk kepedulian sosial. Kembali lagi, latar belakang desainer di dunia kreatif adalah untuk menyokong orang-orang, menyokong klien, dan akhirnya yang mengambil keputusan adalah pasti klien, pasti orang yang kita sokong. Jadi sejauh itu kita pikirkan, saat konsultasi kita bisa menyarankan apa yang terbaik untuk lingkungan dan komunitas. Kita sebagai orang yang rasional dan punya pandangan yang berbeda, kita bisa memberikan solusi kreatif. Jangan lupa untuk selalu punya CSR, sekecil apapun itu, pilih untuk membantu paling tidak salah satu bidang di Indonesia. Seperti kalau aku pedulinya dengan musik, aku akan selalu berusaha membantu dengan tidak akan memberi harga seperti biasanya untuk mereka, mungkin bahkan bisa pro bono. Kontribusiku terhadap satu sektor ada, bisa cari tahu klien musikku seperti apa dan siapa saja. Kadang ada yang bilang, “Fandy mahal sekali,” tapi mereka tahu kenapa aku melakukan itu. Hal-hal ini adalah yang paling tidak bisa aku lakukan, menurutku, aku tidak bisa turun ke jalan, berdemo di sana-sini, itu bukan ranahku rasanya. Ranahku disini, disini aku bisa membantu. Aku bergerak sambil mencari uang disini.
Menyinggung tentang pricing dalam dunia kreatif, bagaimana Anda menyikapinya?
Kalau semua motivasinya mencari uang maka tidak akan ada produk yang lebih cultivated, tidak ada Jepang, tidak ada orang-orang yang lebih memperhatikan craftsmanship.
Menurutku itu ekosistem, ekosistem yang saling berdampingan. Misalkan kualitasnya sama, kenapa harga lebih murah? Karena dia mencetak sebegitu banyaknya, pasar dia besar. Kalau misalkan Ferrari membuat mobil dalam setahun tidak sampai sepuluh ribu unit, tetap ada pasarnya dan pembelinya merasa eksklusif. Eksklusif itu juga jadi branding, dan aku rasa itu menjadi ekosistem masing-masing. Tugas desainer disini memang tidak banyak, dalam arti kita punya kapasitas memberikan ide, kalau misalkan mau membuat yang seperti ini harganya akan sebegini, iklannya nanti dengan cara seperti ini supaya market yang tepat bisa menangkap. Ada juga yang memang niatnya ingin menjual sebanyak-banyaknya, hard sell, dan tidak ada yang bisa disalahkan juga dari situ. Beda ekosistem saja, gagalnya hanya akan kalau kita tidak bisa menerjemahkan pesan yang ingin disampaikan dengan cara yang ideal. Tetap ujung-ujungnya uang, [tertawa] pasti, tapi pada akhirnya kepuasan kan tidak cuma tentang uang. Kepuasan adalah kalau orang bisa membuat sesuatu yang terbaik, bukan tidak mungkin. Kalau semua motivasinya mencari uang maka tidak akan ada produk yang lebih cultivated, tidak ada Jepang, tidak ada orang-orang yang lebih memperhatikan craftsmanship. Aku harap malah semua bisa bekerja sama.
Adakah kegelisahan personal yang pernah Anda rasakan saat menggarap karya-karya komersil, terutama dalam menanggapi dorongan tren-tren tertentu?
Pernah ada satu, aku mengerjakan proyek pemerintah yang sangat kaku tapi aku coba dekati dengan cara yang berbeda. Berkali-kali tetap membal karena kami keras dan mereka juga keras, dan supaya hubungannya tetap enak kami memutuskan sampai disitu saja, tidak perlu membayar penuh tapi seluruh materi yang sudah dikerjakan boleh dibawa. Pada dasarnya aku berusaha untuk obyektif saja, aku tidak punya motivasi cari uang sebanyak-banyaknya, jadi kalau ada tekanan seperti itu aku akan menyikapinya seperti itu saja. Aku bahkan sampai sudah lupa kasus-kasus yang seperti itu, untukku ini hal sensitif kalau kita membicarakan tentang karya yang dikomentari. Tapi di saat yang sama, intinya berusaha bersikap adil saja buatku, apakah benar pendekatan ini memang yang terbaik dan bukan hanya karena ego pribadi saja. Kalau aku yakin ini bukan karena ego pribadi dan aku yakin akan eksekusi proyek yang harus dilakukan, maka aku akan mendorong sebisa mungkin. Tapi kalau kliennya sama sekali tidak bisa diajak negosiasi, ya sudah, aku iyakan saja. Untuk apa kita berdebat dengan pihak yang tidak mau mendengarkan, aku bukan tipe yang merasa perlu banting tulang mati-matian untuk meyakinkan. Yang penting selesai saja, dan pada akhirnya aku diberkati dengan klien yang baik-baik, selalu apresiatif dengan caraku bekerja. Aku rasa kalau kita berkomunikasi dengan baik, peduli dengan mereka, kita tahu kita mendorong sesuatu yang tulus, aku rasa itu semua akan tersampaikan ke klien kok. Juga aku percaya good client leads to another. Itu yang pernah aku dengar dari Michael Bierut, desainer hebat yang pegang prinsip itu, dan aku sudah merasakan sendiri. But at the same time, poor client can lead to another poor client. [tertawa] that’s the consequences right? Aku akan selalu baik dengan klien yang baik juga denganku, akhirnya klien yang datang selalu baik semua. Kita pasti sensitif dari awal, ketika salah satu pihak mulai aneh-aneh dan terasa sepertinya tidak bisa bekerja sama. Berputar saja, tidak akan tiba-tiba bertemu yang baik atau buruk.
Desain di era digital tidak bisa dilepaskan dari andil media sosial, yang akibat efek bubble dan echo chamber kerap kali menyajikan estetika yang serupa. Bagaimana agar tetap bisa memiliki/menunjukkan karakter yang distingtif?
Desain harus sesuai konteks, harus menerjemahkan dan mendahulukan konteks. Konteks itu yang harus diambil sebagai esensinya.
Kalau membicarakan industri zaman sekarang, kesalahan ada di orang-orang yang tidak melihat konteks tapi main saja dengan styles tertentu.
Menurutku disini ada dua hal. Satu, desain harus sesuai konteks, harus menerjemahkan dan mendahulukan konteks. Konteks itu yang harus diambil sebagai esensinya. Filosofiku seperti itu, bukan hanya masalah style saja sekarang. Prioritas harus menjawab konteks dulu, jangan dulu menghajar tren ini-itu. Konteks harus direspon dan dibuatkan naratif, cerita tentang brand, cerita tentang konotasinya. Itu dulu saja, lalu baru diterjemahkan dengan style yang sesuai. Kedua, tentang tren memang tidak akan bisa hilang dari otak, karena misalkan dalam caraku bekerja, setiap hari menengok macam-macam konten di Instagram dan lain-lain, just flip through them, semuanya tersimpan di otak. Sadar atau tidak, semua yang aku lihat tersimpan meskipun random di belakang kepala. Lalu ketika waktu untuk eksekusi, kecenderunganku adalah referensi-referensi yang sudah tersimpan di kepala aku download lagi untuk bahan bekerja. Yang masuk di kepala adalah tren-tren itu tadi kan, tapi waktu aku keluarkan karena aku memang tidak melihat yang lain-lain jadi kadang tidak sengaja terlihat seperti mirip dengan inspirasinya. Tapi sebenarnya tidak juga, karena itu hasil percampuran macam-macam di kepala. Kalau membicarakan industri zaman sekarang, kesalahan ada di orang-orang yang tidak melihat konteks tapi main saja dengan styles tertentu. Satu contoh dari Experimental Jetset, setiap kali dia memakai Helvetica dan warna hitam putih. Orang bertanya, kenapa hanya pakai Helvetica, mereka menjawabnya sederhana saja, alasan hanya menggunakan Helvetica dan warna hitam putih saja supaya mereka bisa tidak peduli lagi dengan style, yang aku pedulikan adalah soal konten dan konteks. Helvetica adalah yang paling gampang disesuaikan dengan macam-macam, dan hitam putih juga tidak pernah salah. Jadi dia selalu memilih menjawab konteks dan konten.
Masalahnya, desainer grafis saat ini seringnya mementingkan style dan bukan konteks. Kalau konteks betul, pasti pemilihan elemen-elemen desain akan betul. Aku sendiri memang tidak pernah memperhatikan tren secara khusus, aku melihat diri sendiri sebagai spons. Jangan lupa setiap setelah desain untuk selalu mereview dan baru akan terlihat, apa benar memang terlihat terlalu menyontek atau bagaimana, apakah ini terlalu trendy, apakah sudah ada sebelumnya yang seperti ini, bagaimana caranya supaya ada twist dan terlihat berbeda. Jadi desain tidak berhenti di eksekusi, di final art Mengikuti arus tapi tidak kehilangan diri, menjadi relevan. Relevan itu sudah kata kunci paling tepat lah pokoknya.
sebuah proyek, apakah karya ini terasa seperti buatanmu tidak, tantang diri sendiri terus sampai akhirnya kamu merasa ini memang trendi tapi tidak juga at the same time. Mengikuti arus tapi tidak kehilangan diri, menjadi relevan. Relevan itu sudah kata kunci paling tepat lah pokoknya. Makanya traveling penting, karena kita akan keluar dan dengan kacamata yang melihat keluar, oh ternyata yang relevan itu seperti ini, kita sebagai spons tidak akan sibuk hanya foto-foto, tapi juga sibuk untuk menyerap semuanya ke otak. Jadi tidak hanya beredar di tren isi kepala kita.
Kamu harus terus terang dengan dirimu, harus jujur apakah kamu meniru atau tidak, cuma kamu yang bisa menjawab.
Media sosial juga mempermudah desainer untuk mencari inspirasi sekaligus memamerkan hasil. Melihat hal ini, adakah pergeseran makna orisinalitas dan kreativitas ketika batas antara inspirasi dan karya sudah semakin menipis/mengabur?
Kalau aku menganggap desain ini sebagai standar kepercayaanku, aku tidak akan melukai hatinya, aku tidak akan sebodoh itu karena hal ini sudah sepenting itu dalam idealisme hidupku.
Kalau boleh aku bakal balik lagi ke religion tadi ya. Selama kamu terus terang dengan diri sendiri – makanya menurutku pekerjaan desain grafis itu sulit, kamu harus terus terang dengan dirimu, harus jujur apakah kamu meniru atau tidak, cuma kamu yang bisa menjawab. Kedalaman hati orang siapa yang bisa menebak? Itu kan personal. Perkara kita dihakimi oleh orang lain, orisinal atau tidak, itu aku tidak peduli. Yang penting kamu tahu bahwa kamu memang tidak mengikuti orang lain, tidak sedang meniru karya orang lain, siapa yang peduli? Aku juga pernah waktu itu, membuat satu logo dan dibilang logonya meniru logo satu museum, padahal aku sama sekali tidak tahu soal museum tersebut. Kebetulan museum itu ternyata terkenal, dan bodohnya aku tidak tahu museum itu, [tertawa] aku kurang mencari informasinya. Pada akhirnya aku berpikir who cares? Aku waktu itu capek mengurus yang seperti itu, dan akhirnya memutuskan kembali ke diri sendiri. Aku mesti tenang, karena kalau aku berusaha membela diri berarti pasti waktu melakukan itu aku sudah terlihat ingin menutupi sesuatu. Tapi kalau tenang, ya sudah toh memang tidak ada niat ke situ. Kalau dibawa ke analogi religion lagi, misalkan hal yang paling ditakutkan adalah melukai hati Tuhan, jadi sama saja. Kalau aku menganggap desain ini sebagai standar kepercayaanku, aku tidak akan melukai hatinya, aku tidak akan sebodoh itu karena hal ini sudah sepenting itu dalam idealisme hidupku. Mana mungkin aku membohongi diri sendiri, untuk apa meniru orang. Memang ada waktunya kamu akan bersinggungan karena bermacam-macam info yang kamu serap setiap hari, tidak sengaja melihat kemudian tersimpan di otak, waktu eksekusi keluar semua dan kok ternyata terlihat mirip, ya sudah. Yang penting kamu tidak melanggar norma diri sendiri, ya sudah. Kalau memang betul aku meniru, pasti panik ketika disenggol bahkan sekali. Desainnya jadi berlandaskan rasa takut, dan seharusnya tidak ada tanggungan seperti itu di belakang.
Originality, aku tidak lagi terlalu suka dengan kata itu, karena buatku semua orang punya hak untuk mendefinisikannya sendiri-sendiri.
Pada akhirnya mereka yang menghakimi juga belum tentu punya kapasitas untuk berkomentar seperti itu, dan mereka juga belum tentu bisa diajak berdiskusi. Orang-orang yang punya level humility, dalam arti mereka sensitif dan tahu, itu yang bisa mengerti dan berdiskusi soal ini. Intinya, kalau kamu benar-benar fokus dengan karyamu sendiri, kamu tidak akan sibuk menghakimi karya orang lain. Kita juga bisa melihat dari track record orang, tendensi mereka berkarya seperti apa. Terlihat kok, apakah karyanya sering kelihatan meniru atau tidak. Originality, aku tidak lagi terlalu suka dengan kata itu, karena buatku semua orang punya hak untuk mendefinisikannya sendiri-sendiri. Yang penting be true to yourselves, setiap upaya yang dilakukan harus dipertanggungjawabkan semuanya ke dalam diri sendiri.
Keberadaan era digital juga tidak menyurutkan niat Anda menggelar Jakarta Art Book Fair. Bagaimana proses menginisiasi agenda tersebut, juga pendapat Anda soal keberlangsungan karya cetak di era digital?
Justru karena kita sedang ada di era digital, ini kesempatan besar untuk karya fisik bisa naik lagi. Seperti sedang makan saja, kalau setiap hari makan nasi gudeg yang dimana nasi gudeg itu karya digital, eneg juga kan? Semua orang akan mencari hal yang lain. Karya digital juga membuat banyak hal tidak eksklusif, karena mudahnya reproduksi. Kalau mau mendengarkan lagu disini saja, tidak perlu beli fisiknya. Tapi sekarang contoh, Jack White sekarang bikin perusahaan untuk mencetak vinyl, penjualannya lebih banyak daripada online. Memang manusia tidak akan pernah puas ya, kalau dikasih gratis mau sekali, tapi dibandingkan gratisan ternyata eksklusivitas lebih hebat. Harus punya fisiknya, tidak bisa hanya mendengarkan streaming.
Menurutku desain grafis berhubungan dengan semua indra
Menurutku desain grafis berhubungan dengan semua indra, aku selalu bilang desainer grafis yang lebih senior atau lebih hebat pasti jago memperhatikan material, karena dia sudah tahu bagaimana pemilihan itu akan berefek ke karyanya. Itu yang membuktikan kedewasaan seorang desainer grafis, kalau dia bisa memilih kertas yang betul, ketebalan yang betul, jahitan yang betul, akhirnya ya jadi buku yang betul. Jakarta Art Book Fair kenapa heboh lagi, karena tren orang-orang kembali ke membaca, meskipun minat baca Indonesia memang sayang sekali masih rendah. Tapi aku melihat secara spesifik anak mudanya tidak seperti itu, kita sudah mulai melakukan ini tahun lalu dalam versi mininya. Selama dua hari selalu penuh, orang berbondong-bondong beli dan habis. Aku melihat bahwa orang bisa makin mengapresiasi karya fisik ini diantara semaraknya digital.
Aku melihat bahwa orang bisa makin mengapresiasi karya fisik ini diantara semaraknya digital. Orang punya kecenderungan untuk tampil, kalau aku bikin buku digital sudah tidak keren. Bikin buku yang “berbeda”, beda dalam bentuk karya cetak ini. Berputar saja minatnya, tapi terutama untuk desainer grafis yang adalah orang-orang yang mengapresiasi seni dan estetika, aku berani jamin mereka akan apresiasi bentuk fisik juga. Aku sudah melihat sendiri, misalnya booth aku disini [Seek a Seek] itu orang-orang mengambil karyanya, aku melihat siapa saja yang mengambil dan terlihat kok tipe yang apresiatif itu seperti apa. Ada yang bilang art is the new religion, dan meskipun jelas ada seni digital, pada akhirnya konsep seni itu tangible buatku. Bisa dipegang, bisa dirasakan, misalkan karya digital itu video kan berarti bisa dilihat dan didengarkan. Aku merasa dunia cetak itu semakin exciting.
Aku dari dulu pecinta buku yang bisa dikoleksi, pameran buku seni itu sebenarnya cukup alternatif ya. Dia bukan pameran buku kebanyakan seperti literatur, edukatif atau novel begitu, tapi memang agak gimmicky, sesuatu yang memang informatif dan edukatif tapi dikemas dalam desain yang menarik, itu semua aku timbun di rumah. Koleksi ada banyak, setiap kali jalan-jalan aku pasti beli yang buku yang aneh-aneh, majalah, semua aku beli. Tahun lalu aku masih punya tempat di Kemang Timur, kemudian berpikir mau membuat meskipun kecil-kecilan, ingin mencoba pameran. Ternyata ramai. Kemudian kita baru sadar, Jakarta Art Book Fair kok tidak ada yang menjalankan, sayang sekali. Di banyak kota lain sudah ada, Singapura ada, Bangkok ada. Seperti menggabungkan seni dan informasi, itu menyenangkan kan. Topiknya banyak sekali, yang suka fashion ada, yang suka film ada, aku merasa di negara-negara tersebut sudah ada tapi di Indonesia mana? Dan terbukti kok, waktu kita bikin dan umumkan di media sosial, baru satu kali posting orang-orang sudah menghubungi, menanyakan caranya mendukung lebih jauh bagaimana. Banyak yang berterimakasih karena sudah menanggapi minat mereka. Ya ini adalah apa yang bisa aku lakukan, dan kebetulan sekali branding sebesar ini belum ada yang mengambil. Maksudnya bukan berarti harus aku yang melakukan, siapapun boleh dan aku akan senang, tapi kebetulan kami beruntung bisa mengambil kesempatan ini dan orang-orang di belakangnya juga adalah orang-orang yang suka bikin buku, mereka yang tidak main-main di area ini. Dengan tim seperti ini, harusnya ini menjadi sesuatu yang baik dan berkelanjutan.