Bicara Motion Graphic dan Perannya dalam Pertunjukan Bersama Isha Hening
Membahas pengalamannya membuat karya visual, penggunaan karyanya tanpa izin, serta serta apa yang terjadi di balik setiap panggung konser megah.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Stefano W. Abbas
Ketertarikannya terhadap teknologi dan desain membuat Isha Hening akhirnya memilih untuk terjun ke dalam bidang motion graphics dan menjadi Visual Jockey (VJ). Setelah berkarir selama kurang lebih 12 tahun, kini namanya dikenal sebagai ahli dalam bidangnya berkat karya-karya yang ia buat pada gelaran level internasional seperti Djakarta Warehouse Project dan Ideafest. Di tengah-tengah kemajuan industri kreatif, rupanya profesi VJ juga terus mengalami perkembangan signifikan. Jumlah pekerja kreatif di bidang ini menjadi semakin banyak dan persepsi publik terhadap setiap hasil kerja mereka makin baik. Kami berbincang dengan Isha Hening mengenai pengalamannya membuat karya visual, penggunaan karyanya tanpa izin, serta apa yang terjadi di balik setiap panggung konser yang megah.
Motion Artist atau Visual Jockey (VJ) adalah profesi yang tidak semua orang; di Indonesia, sadari peran pentingnya dalam sebuah pertunjukan. Saat ini, Anda adalah salah satu motion artist dengan nama paling besar di Indonesia. Apa alasan Anda terjun dalam bidang ini pada awalnya?
Alasannya sebenarnya, kan saya kuliahnya Seni Rupa, tetapi suka komputer. Dulu saya ingin jadi editor film, tetapi mulai mendapatkan pekerjaan untuk mengedit banyak waktu di kampus, lalu suatu hari saya butuh materi yang harus ada motion graphics-nya jadi saya belajar motion graphics. Gabungan saya kuliah Seni Rupa dan suka komputer, ternyata ini bisa menggabungkan kedua kegemaran itu. Saya mulai serius di motion graphics ketika saya sudah hampir lulus tahun 2007, saya mulai intern di post-production dan mulai mengerjakan motion graphics.
Jadi saya kuliah di Bandung di ITB, lalu di sana ada komunitas yang ‘ngulik’ new media art seperti musik elektronik dan salah satunya ada Visual Jockey atau VJ. Akhirnya saya mulai diajak teman-teman, waktu itu saya main untuk band pertama yang saya VJ-in yaitu Bottlesmoker. Saya main untuk mereka dan dari situ mulai mendapat tawaran untuk mengisi acara, mulai dibayar. Akhirnya saya berpikir, “Ternyata ini bisa jadi profesi,” dan seru. Terus lanjut sampai sekarang.
Apakah Anda pernah merasa jenuh?
Pasti pernah. Sebenarnya jenuh itu cuma kalau sedang di studio rasanya seperti, “Aduh capek banget nih ngerjain, bosen.” Tetapi begitu saya keluar di venue di FOH (Front of House), ya sudah jadi senang lagi lihat orang yang nonton konser dan lain-lain.
Motion Graphic adalah bidang yang sangat teknis dan di satu sisi sangat bergantung pada teknologi. Sementara, karyanya tetap dianggap sebagai karya seni. Dalam kondisi seperti itu bagaimana anda memperlihatkan sisi manusia dalam setiap karya?
Sebenarnya motion graphic itu pengerjaannya 70% adalah problem solving
Saya melihat teknologinya sebagai alat saja. Jadi, saya ingin membuat sesuatu dan yang bisa membantu saya ke sana adalah teknologinya itu. Tetapi jangan sampai saya jadi disetir oleh teknologi itu sendiri. Jadi lebih menjaga untuk tetap organik, tetap punya saya sendiri, jangan sampai kita yang jadi di-dictate sama teknologinya. Tetap kita yang harus kontrol.
Perkembangan teknologi sudah banyak sekali sekarang. Untuk membuat graphic otomatis, interaktif, segala macam itu juga jadi banyak. Motion graphic itu irisannya antara art dan desain juga, sementara part of designing adalah mencari solusi. Sebenarnya motion graphic itu pengerjaannya 70% adalah problem solving. Jadi kalau ingin membuat sesuatu tidak sesederhana, kalau saya mau gambar rumah, saya ambil pensil dan gambar rumah. Sudah ketahuan. Tapi kalau di motion graphics ada jalannya untuk ke sana karena kita lewat medianya teknologi itu.
Bagi orang awam visual yang diperlihatkan seorang VJ mungkin tidak lebih dari kumpulan gambar bergerak saja sehingga bidang ini sendiri cenderung terlihat generik karyanya. Apa yang Anda lakukan untuk memberi karakter tersendiri dalam karya Anda?
Pasti harus mendengarkan lagunya. Harus mendengarkan musisinya, dengar apa yang akan saya mainkan. Jadi tidak bisa sembarangan semua musisi kita kasih visual yang sama. Kalau jadi VJ, memang itu tugasnya. Perbedaannya adalah, kalau saya berkarya untuk konser, saya tetap harus jadi pendukung. Saya tidak bisa overpower musiknya. Karena kalau orang nonton konser, tetap saja pertunjukan utamanya adalah musisinya. Berbeda dengan kalau saya di pameran. Kalau pameran, saya membuat instalasi itu baru saya bisa bilang, “Ini karya saya.”
Maksudnya, di sini role saya sebagai artist akan selalu berbeda-beda. Either saat saya bekerja di konser di mana saya menjadi pendukung musisi, atau saya bekerja untuk corporate di mana saya harus menjadi designer untuk klien, atau saya pameran yang mana di situ saya baru bisa berkarya. Jadi kalau konser, memang sebaiknya walaupun saya ingin memasukkan karakter visual saya – tetap saja saya memasukkan unsur-unsur yang saya banget – tapi di satu sisi saya harus mengakomodir kebutuhan performernya. Karena kalau tidak begitu, saya tidak melakukan tugas saya. Jadinya egois, saya terkesan ingin tampil sendiri dan itu tidak akan bekerja dengan baik di sebuah konser. Kenapa sebuah konser bisa terlihat bagus performance antara lighting, visual, dan musiknya bisa harmonis, karena kita bekerja sama. Misalnya musisinya lagunya pelan lalu dia ingin warna biru, tetapi warna favorit saya merah. We cannot do that. Memang role-nya beda antara itu tadi.
Tidak hanya di Indonesia, secara global pekerjaan sebagai VJ didominasi kaum pria. Sebagai perempuan dan juga salah satu penggiat paling terkenal di Indonesia, bagaimana anda menyikapi hal itu?
Sebenarnya kalau sekarang, sudah biasa-biasa saja. Karena sebenarnya tujuan saya adalah saya ingin ada di titik di mana orang sudah tidak peduli saya laki-laki atau perempuan. Jadi saya tidak suka kalau ada orang beranggapan, “Oh lo VJ cewek yang bagus,” tidak seperti itu. Saya VJ yang bagus regardless saya cewek atau cowok. Saya ingin ada di titik itu, di mana orang tidak peduli saya perempuan atau laki-laki yang penting I got the job done, kerjanya bagus, dan hasilnya bagus. Jadi, kalau sekarang sudah tidak terlalu berpengaruh. Kalau dulu masih sering contohnya di FOH di-underestimate karena perempuan dianggap tidak mengerti hal-hal teknis, perlakuan-perlakuan sexist seperti itu dulu masih sering. Sekarang sudah jarang. Di industri ini perempuan memang masih sedikit. Tetapi dibandingkan dengan yang dulu sekarang jumlahnya sudah makin banyak, namun tetap masih kurang.
Tujuan saya adalah saya ingin ada di titik di mana orang sudah tidak peduli saya laki-laki atau perempuan
Di era kebebasan informasi dan komunikasi seperti saat ini, musuh besar para seniman adalah pembajakan. Ketika karya Anda digunakan tanpa izin bagaimana Anda menanggapi kejadian tersebut?
Dulu saya masih agak kesal dan hal seperti itu sering kejadian. Karya saya kadang-kadang ada saja (dipakai tanpa izin). Padahal saya membagikan VJ loops gratis tetapi masih saja ada yang ambil dari Instagram atau yang lain. Saya membagikan VJ loops karena di satu sisi saya pernah ada di posisi ketika ingin menjadi VJ lalu bingung karena tidak punya materi. Soalnya kerja seperti itu fast paced. Itu sebenarnya karena ingin membantu teman-teman satu profesi. Kita sharing saja, mereka bisa mendapatkan itu dengan legal dan tidak perlu membajak karya saya karena sudah dibagikan secara gratis. Kalau yang gratis banyak yang pakai dan saya senang kalau dipakai. Tetapi banyak juga yang membajak dan menggunakan tanpa izin, tetapi sekarang saya sudah bodo amat lah. Dulu saya masih kesal tetapi semakin lama saya berpikir, ya sudah. Saya rasa yang bisa melawan itu adalah dengan tetap terus berkarya saja. Maksudnya, saya yakin orang-orang yang memulai karir dengan membajak karya orang lain tidak akan ke mana-mana. Jadi sekarang saya lebih santai saja. Ya sudahlah. Meskipun, kerugian secara materi pasti ada.
Masih sering mendapat perlakuan dianggap ‘tukang’ banget.
Pernah ada satu stasiun televisi yang menggunakan karya saya tanpa izin dan awalnya saya mempermasalahkan. Saya tidak meminta kompensasi uang walaupun sebenarnya saya rugi secara materi. Seharusnya mereka membayar saya karena itu digunakan tidak hanya sekali, melainkan di beberapa episode acara dan lumayan banyak. Tetapi saya hanya ingin mereka minta maaf karena profesi kami ini, motion graphics, di Indonesia masih jarang dan dianggap remeh terus. Masih sering mendapat perlakuan dianggap ‘tukang’ banget. Pada saat itu saya lebih kesal dengan anggapan bahwa mereka bisa seenaknya saja terhadap orang-orang seperti saya. Waktu itu saya tidak minta ganti rugi materi, tetapi hanya ingin mereka minta maaf saja. Tetapi ternyata tanggapannya angin-anginan, jadi saya memutuskan ya sudah, take the high road saja tidak peduli dan tetap berkarya.
Sebagian besar penonton konser di Indonesia belum melihat stage visuals sebagai sesuatu yang penting atau serius. Sebenarnya bagaimana peranan visual dalam sebuah pertunjukkan? Apakah memang hanya sebagai media pendamping, atau sudah bisa dibilang sebagai suguhan utama setara dengan musisi atau semacamnya?
Dalam beberapa tahun terakhir ini, visual di konser-konser sudah menjadi menu utama juga.
Sebenarnya saya tidak setuju kalau dibilang orang masih melihat stage visual itu biasa saja. Karena dalam beberapa tahun terakhir ini, visual di konser-konser sudah menjadi menu utama juga. Jadi, menurut saya statement itu agak outdated untuk bilang visual masih dilihat tidak penting. Kalau melihat konser seperti Coachella atau yang lain, semua sudah mengedepankan visualnya dari zaman saya mengerjakan DWP (Djakarta Warehouse Project) dan sudah beberapa tahun terakhir itu sudah menjadi part of the performance. Jadi, menurut saya agak aneh kalau dibilang itu masih dianggap tidak penting. Karena sebenarnya tidak. Soalnya kalau lihat orang setelah konser mereka bisa membicarakan soal visualnya yang bagus.
Apakah dalam sebuah pertunjukkan peran motion artist dan musisi punya peran yang sama?
Balik lagi ke sifat performance-nya seperti apa. Jadi kalau itu audio-visual show, memang harus kerja sama terus. Sebenarnya begini, kalau mau mengadakan sebuah event semuanya harus kerja sama. Tetapi tetap saja, kalau acaranya konser, menu utamanya adalah performer-nya itu sendiri. Itu bagian yang tidak bisa dihilangkan. Namun semuanya connected.
Menurut Anda visual artist itu perlu lebih dikenal lagi atau tidak?
Mungkin perlu dikenal secara luas karena ini bisa menjadi pertimbangan profesi. Lebih menambah lapangan pekerjaan. Jadi jalur baru segi art & design bahwa ada pekerjaan menjadi motion graphic artist.
Karya visual yang Anda buat menampilkan begitu banyak elemen dan perlu diperhatikan dengan seksama agar bisa dicerna dengan baik. Dari mana Anda mendapatkan inspirasi dalam pembuatan karya?
Saya kebetulan sering bengong. Jadi memang 90% saya bengong saja, menghayal (tertawa). Jarang sih kalau dari baca buku atau hal lain saya lebih sering bengong dan menghayal. Kalau misalnya baca buku, dengar musik, atau saya suka memasak itu lebih rekreasional saja. Tetapi kalau inspirasi biasanya saya karena suka bengong saja. Tidak ada yang dipikirkan, menghayal saja. Kalau project corporate pasti ada brief-nya, tetapi akhir-akhir ini project saya brief-nya minim sekali, jadi terserah saya mau bikin apa. Jadi lebih banyak diam dan bengong.
Pengerjaan project paling lama dan rata-rata mengerjakan memakan waktu berapa lama?
Paling lama bisa sangat lama. Kalau paling cepat, secepat dua hari juga bisa (tertawa).
Prosesnya paling lama di tahap mana?
Karena tadi saya bilang motion graphics banyak problem solving, jadi proses paling lama adalah yang pertama mencari ide, lalu problem solving untuk mewujudkan dari ide berubah ke bentuk yang jadi itu yang lama. Tetapi kalau proses pengerjaannya sendiri, once saya sudah menemukan caranya biasanya cepat.
Mengerjakan proyek untuk pertunjukan, kolaborasi atau karya seni tentu saja memiliki perbedaan signifikan pada hasil akhirnya. Bagaimana Anda mendeskripsikan gaya visual yang Anda buat?
Kalau dari segi visualnya, karakter saya lebih banyak yang colorful, lalu agak psychedelic, dan lebih space-y. Tetapi dari konsepnya sendiri saya banyak explore macam-macam. Seperti human connection. Akhir-akhir ini saya banyak explore antara hubungan manusia dengan teknologi, seperti itu. Saya banyak menggunakan warna. Rata-rata karya saya colorful. Tetapi bukan berarti menutup kemungkinan untuk saya membuat sesuatu yang monokrom.
Banyak anak-anak muda sekarang yang talented, atau istilah saya dengan teman-teman kami menyebutnya “Desainer Instagram”.
Sekarang sudah ada beberapa motion artist di Indonesia mulai dikenal luas, seperti Ican Agoesdjam atau Izzzy (VNGNC). Menurut Anda sejauh ini bagaimana perkembangan VJ di Indonesia?
Perkembangannya menurut saya, gap-nya masih terasa sangat jauh. Mungkin saya akan terkesan seperti orang tua, tetapi concern saya adalah saya banyak bekerja dengan motion artist baru yang masih muda namun jarang ada yang bisa keep up dengan industry demand. Banyak anak-anak muda sekarang yang talented, atau istilah saya dengan teman-teman kami menyebutnya “desainer Instagram”. Mereka yang bagus di Instagram saja. Feed-nya bagus, followers banyak, engagement bagus, tetapi ketika mengerjakan project mereka tidak bisa memenuhi deadline, tidak bisa mengatur waktu, those kinds of things. Itu yang sangat menjadi concern saya. Masalah talent dan kreativitas, mereka jauh lebih memiliki informasi lebih banyak dan lebih keren dari zaman saya dulu, lebih eksploratif. Namun masalah kinerja, itu yang saya kuatirkan. Gap-nya ada di situ.
Saya rasa teknologi mempengaruhi juga karena dulu untuk mencari tutorial saja susah sekali. Jadi sudah terbiasa untuk mencari informasi. Sementara mereka yang baru, sebenarnya tinggal buka YouTube saja tetapi efek buruknya banyak yang menjadi manja. Sebenarnya sudah mulai banyak yang baru dan bagus juga. Izzzy salah satunya yang keren banget.
Tidak sedikit kerja sama yang Anda lakukan baik dari dalam negeri maupun internasional. Sejauh ini kolaborasi mana yang paling berkesan untuk Anda?
Saya tidak terlalu setuju dengan mental inferior seperti anggapan kalau main di luar negeri berarti sudah sukses
Mungkin yang paling berkesan sampai hari ini waktu saya tur dengan Raisa. Karena itu secara proses sangat menyenangkan dan kita semua puas dengan hasilnya. Saat itu tur di 5 kota sekitar 2-3 minggu dan musisi Indonesia belum banyak yang tur sendiri dan kita membawa set yang sama untuk setiap kota. Bagi saya itu production yang sangat serius untuk ukuran di Indonesia, dan lumayan menjadi benchmark untuk pekerjaan-pekerjaan selanjutnya. Untuk tur itu persiapannya sendiri lumayan lama. Dari 3 bulan sebelumnya sudah mulai siap-siap.
Kalau internasional kebanyakan saya kerja untuk corporate. Sebetulnya saya tidak terlalu setuju dengan mental inferior seperti anggapan kalau main di luar negeri berarti sudah sukses. Bagi saya kalau main di luar negeri tetapi cuma di club atau bar kecil juga buat apa? Sekaran saya lebih senang membangun sesuatu di sini. Saya senang membuat benchmark baru di sini. Ayo kita tingkatkan kualitas produksi kita. Jadi jangan inferior terus mentalnya. Jangan berpikir kalau mau keren harus kolaborasi dengan artis luar. Menurut saya musisi Indonesia pun keren dan kalau kita bisa start something locally. Oke, saya mengerjakan event lokal seperti DWP, namun secara kualitas itu international quality. I want to make something big here. Kenapa kita selalu mengejar perbandingan dengan artis luar negeri? Benchmark-nya jangan seperti itu. Harus yakin kalau kita bagus.
Kenapa kita selalu mengejar perbandingan dengan artis luar negeri? Benchmark-nya jangan seperti itu. Harus yakin kalau kita bagus.
Baik di Indonesia maupun luar negeri kita punya kualitas bagus. Jadi tidak bisa beranggapan, “Untuk ukuran orang lokal dia bagus, nih.” Tidak. Di internasional juga sebenarnya saya bagus. Kadang saya ada beberapa event di luar negeri, orang produksinya tidak selamanya lebih jago daripada orang Indonesia. Tetapi kita terus-terusan dengan mental yang harus main di luar negeri dulu baru dikatakan keren. Tetapi kalau di luar negeri cuma main di club kecil dan di Indonesia bisa main stadium show, saya rasa beda. Kita harus menghilangkan anggapan-anggapan itu. Harus dipikirkan skala dan kualitasnya.
Di antara begitu banyak penampilan yang Anda produksi, salah satu yang paling megah mungkin adalah video mapping di Monumen Nasional (Monas) untuk hitung mundur Asian Games. Bagaimana pengalaman mendapat ‘tugas kenegaraan’ tersebut?
Terus terang, saya mau mengambil pekerjaan itu karena bareng dengan teman-teman dari VJRI (Visual Jockey Republik Indonesia). Tetapi secara pribadi, saya jarang mengambil pekerjaan dari pemerintah. Waktu itu kami sekitar 6 orang kalau tidak salah. VJRI itu kami teman-teman lama dan saat mulai menjadi VJ, profesi ini masih jarang di Indonesia. Sehingga kami menjadi dekat. Generasi-generasi awalnya ini sebagai teman juga dekat. Waktu kami memulai itu orangnya sangat sedikit jadi semua kenal satu sama lain. Dulu kami punya VJ Forum, tetapi sudah tidak aktif. Dari situ, ada yang mendapat project-nya dan kami memutuskan untuk mengerjakannya bareng. Buat saya itu project menyenangkan dan seru. Bisa dianggap sebagai milestone.
Apa yang membuat Anda puas terhadap karya yang Anda buat?
Uangnya (tertawa). Tetapi terus terang saya belum puas. Walaupun saya bangga dengan semua karya saya, tetapi saya merasa masih bisa push untuk bikin yang lain lagi. Selain explore teknologinya, explore di kreatifnya juga bisa. Masih banyak yang ingin saya lakukan. Akhir-akhir ini saya banyak ikut pameran dan instalasi dan seru. Untuk teamLab, saya buat untuk opening-nya. Saya bangga dengan hasil untuk instalasi dalam pameran di Ideafest 2018. DWP juga saya bangga. Secara teknis acara itu selalu menantang tiap tahun karena itu konfigurasi LED dan lainnya rumit, secara sistem juga tidak gampang, jadi DWP selalu seru buat saya. Seperti ujian akhir tahun.