Arsitektur Sebagai Bagian Dari Peradaban Bangsa Bersama Ahmad Djuhara
Perbaiki struktur lewat seluruh jalur, jembatani relasi masyarakat dan pemerintah dengan arsitektur.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Wintang Warastri
Berbincang tentang profesi arsitek dan dunia arsitektur di Indonesia, rasanya tidak bisa tanpa berdiskusi dengan Ahmad Djuhara. Kiprahnya sebagai ketua Ikatan Arsitektur Indonesia selama dua periode membuat ia menyelami seluk beluk bidang arsitektur secara menyeluruh, mulai dari sistem pendidikan, tuntutan pekerjaan hingga otoritas perizinan. Semua perlu turun tangan kalau ingin mencapai kesejahteraan, juga harus ada kejelasan antara hak dan kewajiban, tutur Djuhara. Mulai dari kursi hingga jalur pedestrian, tidak ada detail yang luput dari bahasan demi menata masa depan.
Bagaimana awalnya bisa menggeluti dunia arsitektur?
Waktu SMA saya tidak kenal apa itu profesi arsitek, tapi kemudian disarankan dari teman-teman karena saya suka menggambar. Waktu itu ada yang namanya tes IQ, dua kali saya ikut di SD dan SMP, dua-duanya menyatakan lewat hasilnya saya dianjurkan belajar arsitektur. Di tes itu ada satu bagian tentang pemahaman ruang, kecerdasan spasial saya cukup baik. Itu yang membawa saya akhirnya, mulai dari anjuran psikolog sampai ke saran teman-teman. Saya kemudian ambil jurusan arsitektur di Parahyangan, tapi bahkan setelah lulus pun saya ternyata belum mengerti profesi arsitek itu seperti apa. Kebetulan waktu akhir masa kuliah, ada persinggungan waktu saya ikut Jambore Mahasiswa Arsitektur itu mulai melihat, “oh seperti itu ternyata,” kemudian ada pameran di Jakarta Design Center untuk arsitek muda Indonesia, dari situ juga mulai melihat dan akhirnya saya masuk dan magang di [PT] PAI, baru saya memahami cara hidup sebagai arsitek. Di PAI saya belajar banyak selama enam tahun, istri saya [arsitek, Wendy Djuhara] sepuluh tahun disana, kami belajar dan saya juga belajar lagi di beberapa tempat lain.
Tapi itu pun masih terasa belum cukup, saya kemudian diajak teman dari AMI [Arsitek Muda Indonesia] untuk menjadi pengurus di IAI [Ikatan Arsitek Indonesia] Jakarta. Jadi di IAI Jakarta dari tahun 2000 – 2006 saya belajar mengenai organisasi dan seluk-beluknya, kemudian tahun 2006 – 2009 saya jadi ketua IAI Jakarta. Tiga tahun saya belajar lebih lanjut mengenai IAI tidak hanya Jakarta tapi se-Indonesia, kemudian saya vakum selama enam tahun, tidak mengurusi IAI secara langsung, tapi kemudian saya maju sebagai ketua IAI nasional sampai sekarang. Masa jabatan saya sekarang di periode kedua. Nanti setelah selesai di 2021 saya mau berhenti dari kepengurusan nasional, saya jadi arsitek saja.
Tidak ingin kembali ke kepengurusan lokal, mungkin?
Salah satu keberhasilan organisasi adalah regenerasi, jadi salah satu target saya adalah menemukan orang yang bisa menggantikan saya dan rasanya sudah tercapai. Jadi ya saya sudah bisa melepaskan.
Membangun dan menjaga profesi arsitek, juga membangun dan menjaga arsitektur Indonesia.
Satu rencana besar dalam IAI adalah tentang RUU Arsitek. Boleh diceritakan tentang UU tersebut dan bagaimana prosesnya sejauh ini?
Memang program utama kami adalah tentang UU Arsitek dan kebetulan sudah tertunaikan di 2017, lalu masih harus ada peraturan peraturan pelaksanaannya, yang itu masih berjalan pembahasannya. Lalu ada pembentukan lembaga baru juga, yaitu Dewan Arsitek Indonesia. Tujuan dari IAI itu untuk menjaga profesi arsitek dan membangunnya di Indonesia, dua poin itu. Membangun dan menjaga profesi arsitek, juga membangun dan menjaga arsitektur Indonesia. Dalam perjalanan tujuan itu, IAI berhubungan dengan beberapa lembaga pemerintah, yaitu utamanya dengan PU [Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat] dan yang kedua adalah dulu BEKRAF dan sekarang PAREKRAF. Negara tidak boleh mengeluarkan uang untuk hal yang sama dua kali, jadi kalau dengan PU kami bicara standar minimum, segala macam peraturan dan perundang-undangan itu tadi, sementara dengan BEKRAF/PAREKRAF ada hal-hal seperti state of the art, startups, semua yang berada di atas kesepakatan minimum itu kami berharap didukung pemerintah tapi lewat PAREKRAF.
Undang-undang tentang arsitek sudah jadi di tanggal 8 Agustus 2017, ditandatangani Presiden Joko Widodo, namanya UU Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek. PP dan Permennya belum jadi padahal seharusnya tahun lalu, perjuangannya terhambat karena diintervensi oleh omnibus law. Dengan tujuan untuk memudahkan investasi, dia menyisir kembali 74 UU, dan UU Arsitek ini adalah salah satunya. Tadinya beberapa pasal dan ayat mau dipotong, tapi kami berhasil mempertahankan isinya lewat argumentasi kepada pemerintah bahwa ini malah perlu sekali untuk omnibus law, untuk kepastian hukum investasi, arsitek, arsitektur dan legalitas menjadi sangat vital. Pemerintah bisa melihat Singapura sebagai benchmark, bahwa disana ada yang namanya qualified person, dia perannya penting. Qualified person itu hanya orang-orang tertentu dari profesi tertentu yang bisa tanda tangan IMB [Izin Mendirikan Bangunan]. Bedanya qualified dari expert adalah dia punya legalitas, karena arsitek itu profesi yang regulated. Arsitek itu profesi yang berkekuatan dan berkonsekuensi hukum, dan hasil karyanya juga berkekuatan dan berkonsekuensi hukum. Jadi misalnya ada bangunan roboh dan ada korban meninggal, arsiteknya harus dipanggil. Semua bangunan mestinya – terutama bangunan publik dan pemerintah – harus jelas arsiteknya siapa, kalau tidak bangunannya bisa disebut tidak berkekuatan dan berkonsekuensi hukum. Semua bangunan di Indonesia mestinya begitu, tapi Indonesia besar sekali, jadi ada pembatasan untuk rumah-rumah dibawah 200 m2 atau disebut bangunan sederhana menurut standar PU, atau bangunan tradisional juga itu tidak termasuk. Dalam negara yang beradab, semua bangunan harusnya bisa diasuransikan, tapi kalau tidak tahu siapa arsiteknya jadi tidak bisa karena tidak ada penanggung jawab yang merupakan qualified person tersebut. Jadi memang yang dibutuhkan lebih dari expert, harus seseorang yang punya otoritas yang diakui.
Saya harus membela profesi saya. Kewajiban sosial itu penting, tapi harus disokong oleh model yang workable.
Profesi arsitek masih kurang dipahami oleh masyarakat dan pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, dimana-mana pejabat belum mengerti yang namanya arsitek itu apa. Profesi arsitek di Indonesia itu orientasinya ke Inggris dan Amerika, bukan Belanda. Kalau di Belanda arsitek itu insinyur, kalau di Asia bukan. Di Indonesia lebih unik lagi, insinyur itu bisa termasuk insinyur kimia, pertanian dan lain sebagainya. Mestinya yang diatur dalam perizinan ini ada ahli struktur, ahli mechanical, electrical and plumbing, dan arsitek. Di Asean sejak 1 Januari 2016 Indonesia itu terbuka untuk delapan profesi, membuka diri bersama sembilan negara lain. Di antara delapan profesi yang diatur ada dua di dalamnya, yaitu arsitek dan insinyur di bidang bangunan gedung, [insinyur] yang lainnya tidak diatur karena diperlukan dalam konteks perdagangan. Cross-border practice istilahnya, salah satu di dalamnya adalah ketika arsiteknya pindah wilayah baik untuk bekerja sendiri maupun menjadi pekerja. Karena banyak hal yang harus dipastikan dalam konteks perdagangan, delapan profesi ini menjadi diatur di Asean. Untuk itu juga di Indonesia harus ada kepastian hukum untuk bangunan, ada ahli-ahli tertentu yang profesional yang harus punya otoritas, yang punya otoritas ini menjadi arsitek karena dia profesi yang diregulasi. Salah satu alasan kenapa dia diregulasi adalah dia berhubungan langsung dengan keselamatan manusia. Kemarin waktu ada yang roboh di Slipi, itu seharusnya arsiteknya dipanggil, ahli strukturnya dipanggil, ahli MEP-nya dipanggil. Yang punya kapasitas tanda tangan IMB harusnya memang bertiga itu, karena salah satu ciri dari profesi adalah dia menyatakan diri kepada publik bahwa saya berkompeten dan saya bertanggung jawab. Ada juga profesi yang non-regulated dalam bidang jasa konstruksi, seperti desainer interior dan perencana kota, mereka bukan regulated profession karena tidak punya konsekuensi hukum. Mereka tidak tanda tangan apa-apa. Misalkan macet di Bintaro sini, apakah kita bisa menuntut perencana kotanya? Tidak, tapi di beberapa negara lain bisa karena perencana kotanya menyatakan saya yang mendesain, keseluruhan ini otoritas saya, jadi dia bisa menjadi obyek tuntutan hukum. Kalau bangunan membutuhkan kejelasan siapa yang desain, maka arsiteknya bertanggung jawab penuh, termasuk tanggung jawab hukum. Memang berat, makanya harus jelas.
Bagaimana UU ini nantinya akan mempengaruhi baik komunitas arsitektur maupun masyarakat secara luas?
Lulusan arsitektur itu bukan seorang arsitek.
Di Indonesia kita tahu masih ada sertifikat abal-abal, siapa saja bisa jadi arsitek, lulusan arsitektur mengaku sudah jadi arsitek, tidak langsung begitu. Lulusan arsitektur itu bukan seorang arsitek. Dia masih harus menempuh magang dua tahun, sejarah pendidikannya harus dilihat, berapa tahun total sekolahnya. Sekarang disini empat tahun, sementara standar internasional mensyaratkan lima tahun, jadi kita punya syarat-syarat harus mengikuti program profesi arsitek, atau ambil S2 tapi jalurnya desain dan bukan riset.
Kami membedakan jadi dua, ada pendidikan arsitektur dan pendidikan arsitek. Kalau arsitektur dari S1 sampai S3 bahkan profesor, silakan. Tapi kalau pendidikan arsitek, S1 kemudian pendidikan profesi dan magang. Magang itu di IAI, jadi seorang lulusan arsitektur yang sudah memenuhi syarat lima tahun bisa bekerja penuh di bawah bimbingan mentor selama dua tahun, 4000 jam kerja, pakai logbook bisa dicek, sudah mengerjakan apa saja. Otoritas profesi ya seperti itu, bukan dari pendidikan di universitasnya. Kampus tidak bisa ikut campur, kalau urusan tercampur – dan kita punya masalah itu lewat UU Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa gelar profesi diberikan oleh universitas, itu salah. Mungkin untuk bidang ilmu lain bisa, tapi kalau diterapkan pada pendidikan arsitektur dan arsitek kita ditertawakan di level internasional. “Kalian tidak setara dengan kami.”
Pemberian gelar profesi harusnya jadi otoritas dunia profesi, bukan pendidikan.
Pemberian gelar profesi harusnya jadi otoritas dunia profesi, bukan pendidikan. Jadi itu yang berusaha kami bereskan, kebetulan pemerintah sekarang sangat terbuka untuk mendengarkan salah satu tuntutan kami, ya sudah UU Dikti bisa seperti itu, tidak apa-apa, tapi untuk pendidikan arsitektur mohon dibedakan, seperti pendidikan kedokteran. Itu dibedakan dan sudah diatur sendiri oleh Kementerian Kesehatan kan.
Sekarang banyak peluang dengan pemerintah untuk membereskan ini, pemerintah sebelumnya tidak mau tahu. Pejabat Kementerian sekarang lebih terbuka, jadi sekarang kita sedang di persimpangan jalan untuk bisa membereskan semua hal. Kemarin sempat ada wacana untuk 40 – 60% kuliahnya bisa diambil di fakultas lain, itu kalau di bidang arsitektur salah besar. Contoh di Amerika, ada tiga jalur pendidikan arsitek dan arsitektur, pertama school of architecture, lulusannya disebut Bachelor of Architecture, sekolahnya lima tahun dan setelah lulus mereka orientasinya pasti jadi profesi arsitek, tidak bisa yang lain. Lulusannya boleh langsung ikut magang di asosiasi, selesai dengan ujian kompetensi untuk jadi arsitek. Kedua ada pendidikan liberal arts, sekolah arsitektur empat tahun dan nanti lulus dengan Bachelor of Arts. Kalau mau jadi arsitek boleh, tapi banyak juga yang tidak jadi. Lulusannya tidak bisa magang langsung, harus ambil S2 bidang arsitektur, master of architecture, jadi total sekolahnya jadi enam tahun, kemudian baru ikut jalur magang dan ujian tadi. Yang ketiga, ada school of building design, lulusannya jadi insinyur dan sama juga harus ambil master selama dua tahun kalau mau jadi profesi arsitek. Nah, kami mengusulkan model ini diterapkan disini, jadi sekolah arsitekturnya harus menyatakan mereka pakai model yang mana, itu yang ingin kami sampaikan ke Kementerian Dikti, bahwa kejelasan itu perlu diakomodasi. Karena kalau ditakar seperti tadi, yang 40% boleh mengambil kelas di fakultas lain, itu sah-sah saja kalau di model liberal arts, tapi kalau school of architecture jelas tidak boleh. Atau mungkin bukan tidak boleh, tapi ya untuk apa, kan sekolahnya sudah fokus. Di building science juga boleh, tapi [materinya] harus dari fakultas teknik, tidak bisa dari social studies.
Juga tentang pendidikan master di Indonesia, ada yang jalur riset atau orientasi akademis dan ada yang jalur studi profesional, jadi isinya belajar di studio dua tahun. Untuk yang mengambil jalur riset silakan saja, tapi yang seperti itu tidak bisa jadi arsitek. Pilihan itu penting kita hormati, tapi jangan melanggar standar profesi, karena sudah diatur sedemikian rupa. Kedua jalur itu harus ada yang mengakreditasi sendiri-sendiri, dua pihak yang berbeda karena nyawanya berbeda. Kalau dia sekolah dari sarjana sampai doktor lewat jalur non-desain, harus berbeda dengan yang jalur desain. Di Singapura, sekolahnya empat tahun dan di dua tahun terakhir mahasiswa dibolehkan untuk memilih, kalian mau menjadi desainer atau periset. Perbedaan ini yang masih perlu diperjuangkan [di Indonesia], karena sejak zaman Soeharto sampai SBY semuanya tidak berkonsultasi kepada profesi. Waktu itu sistemnya dibuat oleh orang ITB dan yang lain langsung ikut saja, jadi berantakan. Sekarang saatnya kami didengarkan, meskipun UU sudah jadi dan kami tidak akan menggugat itu, tapi secara otoritas profesi kita mau mengatur khusus. Kerumitan jalur pendidikan itu memang banyak sekali, dan spesifik untuk tiap-tiap bidang ilmu. Di Indonesia ada 177 prodi arsitektur, ada asosiasi perguruan tinggi arsitektur Indonesia, anggotanya 120 dan akreditasinya masih berbeda-beda, dan kami punya relasi yang baik dengan mereka.
Kembali ke agenda IAI, salah satu agenda internasional terbesar boleh dibilang adalah Venice Architecture Biennale. Bagaimana Indonesia merespon tema VAB tahun 2020 lewat karya “Transient Place Maker”?
Spesifik untuk Venice Architecture Biennale, mereka setiap tahun di awal tahun mengumumkan siapa kuratornya. Kurator ini kemudian mengumumkan temanya. Lalu dibuka undangan kepada seluruh negara yang terpilih. Indonesia termasuk yang dianggap pantas di antara 20-an negara yang diundang, kemudian disini kami mengelolanya dalam bentuk kompetisi. Kami membuka kesempatan untuk arsitek-arsitek Indonesia untuk bisa menyampaikan ide yang menjawab tema ini. Ada syarat-syaratnya juga tentunya, seperti harus autentik, harus tidak seperti ide-ide yang sudah pernah ada sebelumnya. Ini memang rumit, tapi ini adalah sebuah ajang dimana kita bisa berdialog dan masuk dalam level pembicaraan internasional.
Agenda VAB masuk di dalam misi state of the art, misi ketika kita harus mempromosikan arsitek dan arsitektur Indonesia di level internasional.
Misi di VAB itu menjadi salah satu yang penting dari tujuan IAI tadi, karena profesi arsitek di Indonesia masih belum dipahami oleh masyarakat, bahkan pemerintah juga belum. Tujuan yang lain adalah untuk menyetarakan profesi arsitek di level regional, Asia dan internasional, makanya VAB jadi berbunyi disini. Kembali ke tujuan IAI dengan PAREKRAF itu tadi, agenda VAB masuk di dalam misi state of the art, misi ketika kita harus mempromosikan arsitek dan arsitektur Indonesia di level internasional. Minggu lalu saya bertemu dengan Bapak Wishnutama, dia langsung menanyakan pertama apa KPI-nya? Kami menyatakan kalau ini berbeda dengan kebanyakan bidang lain. Bidang lain mungkin bisa dalam besaran ekspor, volumenya, jumlah rupiah, dan lain-lain. Kalau di arsitektur baik di Venice Art maupun Architecture Biennale, itu lebih kepada bagaimana kita positioning our thinking, tentang pemikiran dan ide, mengadu ide.
Kami pernah berpameran beberapa kali, yang hadir bukan IAI, bukan arsiteknya tapi negara. Di Venice Biennale yang hadir adalah negara Indonesia berhadapan dengan 17 negara lain dan arsitek-arsitek dari banyak negara. Dua tahun yang lalu ada arsitek Indonesia yang diundang oleh kurator VAB langsung, yaitu Andra Matin dan dia dapat penghargaan pujian Special Mention, itu luar biasa. Tapi diatas Special Mention ada namanya Silver Lion Award dan Golden Lion Award. Sementara itu ada standar yang lain, yaitu dibicarakan di majalah-majalah arsitektur dunia, itu gengsinya beda lagi. Selain Andra Matin sendiri itu ada Paviliun Indonesia, dua tahun yang lalu kuratornya adalah Ary Indra, Dua Studio dan David Hutama. Mereka dibicarakan di banyak majalah internasional, walaupun mereka tidak mendapat baik Silver maupun Golden Lion Award. Kecewa, tapi tetap bangga. Di 2014 Paviliun Indonesia juga ada, dengan judul Craftsmanship, punya Ary Indra judulnya Sunyata, jadi architecture of silence kurang lebihnya. Yang sekarang itu kan tema utamanya how we live together, jadi misi utama Paviliun Indonesia adalah membawa kado untuk dunia. Kado yang kita punya dari Indonesia adalah pemikiran tentang ini, dan itu prosesnya dikompetisikan. Banyak arsitek yang ikut, lima terbaik mempresentasikan idenya ke para juri, saya termasuk juri, dan kami memilih “Transient Place Maker” ini karena kami menganggap karya ini lebih potensial dibanding yang lain untuk bisa meraih Golden Lion Award. Targetnya langsung kesana. Pak Wishnutama langsung mendukung, jangan setengah-setengah, Presiden tidak mau yang setengah-setengah katanya.
Anak-anak muda yang sebelumnya tidak terdengar suaranya tapi rasanya pemikirannya berstandar tinggi untuk bisa dipamerkan.
Jadi memang ada dukungan penuh dari pemerintah untuk anak-anak muda yang sebelumnya tidak terdengar suaranya tapi rasanya pemikirannya berstandar tinggi untuk bisa dipamerkan. Mereka mengusung karya itu dengan memakai sebuah bentuk arsitektur bade, strukturnya memang dibangun untuk dibakar dalam upacara Ngaben. Dalam proses membuatnya itu mengikutkan seluruh komunitas kampung/banjar, langsung terlihat tema “how we live together” disana. Bahwa untuk bisa hidup bersama-sama, ada sebuah bentuk arsitektur yang mensyaratkan satu kampung untuk ikut serta, kalau tidak ikut bisa diasingkan soalnya. Jadi tiap orang harus punya kontribusi, dan kami rasa itu khas Indonesia sekali, khas Bali sekali. Lewat banyak diskusi, banyak perdebatan, apakah ini bisa mewakili Indonesia karena Bali sendiri sangat populer, banyak yang mengira bukan bagian dari Indonesia, tapi akhirnya kami menetapkan bahwa ini sangat Indonesia. Di negara lain mungkin ada yang seperti itu, tapi bentuk Bali ini dirasa punya magnet tersendiri. Strukturnya nanti akan besar sekali, tadinya bahkan mau bangun setinggi 24 meter, tapi ada komplikasi yang cukup rumit yang akhirnya dianggap justru bisa menarik perhatian karena kita dibandingkan dengan yang lain, karena ini dipertandingkan. Maka itu, kami sangat berharap pada anak-anak muda dari Bali dan Surabaya ini, mereka punya pikiran yang sangat luar biasa.
Berkaca dari keikutsertaan IAI dalam forum-forum internasional, bagaimana sebenarnya posisi dunia arsitektur Indonesia jika disandingkan dalam level global?
Kebanyakan arsitek dunia lainnya itu dari Jepang, dari Amerika, dari Inggris, negara-negara maju. Rasanya kita bisa melihat diri kita disitu sebagai tempat bercermin, seberapa jauh jarak kita terhadap para pemenang itu.
Kalau diukur dari ikut Venice Architecture Biennale, dia adalah salah satu ajang dan masih ada beberapa ajang lainnya. Saya bisa sebutkan Pritzker [Architecture] Prize, itu semacam hadiah Nobel tapi untuk arsitektur yang diumumkan setiap tahun. Andra Matin mungkin bisa sampai sana, karena yang dilihat keseluruhan body of work, kebanyakan arsitek dunia lainnya itu dari Jepang, dari Amerika, dari Inggris, negara-negara maju. Rasanya kita bisa melihat diri kita disitu sebagai tempat bercermin, seberapa jauh jarak kita terhadap para pemenang itu. Yang kedua itu ada juga Aga Khan Awards, tapi itu spesifik perlu ada konteks Islamnya. Dia sangat terhormat, tapi dia ranahnya lebih kecil dan terbatas, walaupun pemenang dari negara non-Islam banyak. Jadi memang yang sangat terbuka adalah Venice Biennale ini, dia sangat terbuka meskipun memang sangat eksklusif karena hanya berdasarkan undangan. Kalau diundang di antara ratusan negara di dunia, itu sudah bergengsi. Juga yang diulas dalam bermacam majalah di dunia itu biasanya 10 terbaik, jadi ketika masuk 10 terbaik juga luar biasa lagi. Jadi buat saya tahun ini adalah target yang realistis, dan uniknya juga kalau dalam penghargaan lain itu individu/organisasi, sementara di Venice itu penghargaan untuk negara. Negara yang diundang, jadi itu adalah sebuah benchmark yang saya rasa cukup pantas untuk menilai, walaupun ada plus minus, relevan atau tidaknya. Yang disampaikan disini adalah otak, sebetulnya banyak lagi benchmark yang lain untuk mengukur kemajuan, di level Asia juga banyak. Jadi kalau mau mengukur Indonesia arsitekturnya bagus atau tidak, bisa dilihat dari pencapaian kita disitu.
Dunia desain dan arsitektur khususnya terkesan masih memiliki label elitis. Berbicara tentang membumikan, seberapa jauh menurut Anda arsitektur memiliki pengaruh dalam kehidupan sehari-hari apalagi dalam konteks masyarakat awam?
Masih banyak hal yang perlu diperjuangkan dan dijembatani dalam profesi ini, misalnya seperti bagaimana arsitek bisa menyampaikan standar upah mereka, dan bagaimana kita melihat pembangunan Indonesia dan hubungannya dengan profesi arsitek, bagaimana dia overlap antara arsitek, urban designer, landscape architect, bisa sampai ribut itu. Juga tentang perencanaan kota-kota baru di Indonesia, itu masih relevan karena bangunan membentuk kota.
Sesederhana beda definisi antara arsitek dan arsitektur, arsitektur itu adalah bangunan, ruang di dalam bangunan, dan diantara bangunan. Obyek arsitektur itu mulai dari kursi sampai kota. Ada juga isu bagaimana pemerintah mengelola fee arsitek. Proyek-proyek arsitek di Indonesia 90% adalah proyek pemerintah. Arsitek di kota-kota besar memang sangat mewah karena mempunyai klien yang non-pemerintah, sementara kebanyakan hidup dari proyek pemerintah. Cara pemerintah menyelenggarakan proyek biasanya tidak dengan desain terbaik, tapi harga termurah. Kita bisa berargumen bahwa otak kita tidak cukup dihargai, yang penting hanya syarat-syarat yang benar, dan model penyelenggaraannya lewat tender. Menurut saya, desain tidak bisa ditender atau dilelang, dia hanya bisa disayembarakan, karena harus dilihat desain terbaik secara menyeluruh. Cara membandingkan desain dengan baik harus lewat kompetisi. Ada jurinya dan dimenangkan dengan standar desain, bukan dengan standar harga. Memang kalau lelang dan tender tugasnya mencari harga. Juga tentang harga, sikap mencari harga termurah dan harga terbaik atau logis itu beda. Di Indonesia biasanya dicari, “oke kamu menang, berani tawar berapa?” tidak dilihat desainnya.
Tata kota itu terkait erat dengan budaya lokalnya.
Peradaban suatu tempat itu menurut saya dinilai dari ada desain atau tidak, kalau tidak ada desainnya itu tidak beradab. Contohnya, kalau kita jalan kaki di kota ada yang namanya jalur pedestrian, sekarang kalau dibandingkan kota di Indonesia dengan Singapura atau Jepang misalnya, terasa ada beda desain jalur pejalan kaki tidak? Kalau di Indonesia, pembangunan jalur pedestrian itu diberikan kepada kontraktor, dikasih gambar satu potongan dikalikan sekian kilometer, nanti mau ketemu persimpangan atau apa, potong saja, tidak peduli desainnya seperti apa. Tidak peduli tentang kebutuhan manusia, apalagi yang dengan disabilitas. Jalan orang mana, jalan raya mana, tidak peduli. Sementara di negara maju semua faktor dipikirkan, ada desainernya dan ada yang bertanggung jawab, karena terpeleset sedikit bisa sue. Siapa yang digugat, pemerintah atau arsiteknya? Ya arsitek. Jadi sekarang, kejelasan tentang siapa yang bertanggung jawab itu semestinya berakar pada siapa yang mendesain.
Kalau kita lihat masih banyak cone, partisi jalan dimana-mana itu menunjukkan bahwa kotanya temporer, tidak punya kepastian tentang desain. Kalau sudah maju dan bertanggung jawab kan tidak banyak seperti itu, sudah jelas desainnya dan langsung dibuat, langsung jadi. Saya rasa kita perlu membangun peradaban lewat syarat-syarat membangun yang jelas, salah satu bukti peradaban kita bisa lihat dari arsitektur kota dan bangunannya. Selain kultur, tarian, bahasa, karya seni, makanan, yang langsung terlihat kan bangunan dan kota. Tata kota itu terkait erat dengan budaya lokalnya, misalnya seperti Belanda, jujur saya tidak suka karena terlalu modern kotanya. Di Belanda setelah jam enam tidak ada warung buka. Di sini setiap pojok gang ada, dan informalitas memang bagian dari budaya kita, itu menyenangkan. Di Thailand, Jepang juga masih ada, tapi sudah diatur sedemikian rupa, disini tidak diatur, tidak teratur. Disini ada pedagang kaki lima, wilayah dikuasai preman, arsitektur langsung tidak langsung berhubungan dengan itu semua.
Tentang posisi desain dalam masyarakat, menurut Anda apa sebenarnya tanggung jawab sosial seorang arsitektur lewat perannya dalam dunia desain dan kreatif?
Lebih dari tanggung jawab sosial, ini sudah seluruh peradaban, karena di dalam konteks itu ada masalah-masalah sosial, masalah-masalah ekonomi, masalah-masalah fisik yang harus diatur oleh mungkin walikota atau gubernur. Walikota di banyak negara itu berotoritas penuh untuk setiap elemen kota, mulai dari polisi sampai angkot. Di Amerika Latin, walikota Curitiba, Jaime Lerner, dulunya dia arsitek itu menciptakan dan berkuasa atas TransMilenio, yang kita tiru sistemnya. Walikota Bogota, dulunya profesor ekonomi tapi cara berpikirnya sangat arsitekturial. TransMilenio itu membuat pengendara mobil menjadi warga negara kelas dua, dan jalur pedestrian, pesepeda, angkutan publik semua menjadi prioritas. Kalau mau mengukur Indonesia arsitekturnya bagus atau tidak, bisa dilihat dari pencapaian kita disitu.
Peradaban yang bukan lagi menghamba pada kendaraan pribadi, tapi menghormati pejalan kaki dan mengoperasikan transportasi publik dengan massal, kalau bisa bahkan gratis.
Di rancangan pengendalian kota-kota terlihat ada yang menghamba pada mobil, ada yang prioritasnya pejalan kaki. Seperti misalnya Montreal dan Vancouver, Montreal orientasinya mobil sementara Vancouver sangat walkable. Ramah pejalan kaki itu tidak sesederhana ada jalur pedestrian, tapi jalur itu besar dan berlanjut. Saya baru ke satu kota di Taiwan, Hsinchu, disana antara jalur pedestrian dan jalan raya itu tidak ada beda ketinggiannya tapi tetap nyaman, karena mobil sudah jelas, jalur pedestrian bisa langsung keluar-masuk taman, jadi sangat beradab karena kejelasan visi dari pemimpinnya.
Pemimpin tidak harus arsitek, jelas, tapi by the way ada tiga lulusan arsitektur yang jadi pemimpin di Indonesia, yaitu Ridwan Kamil di Bandung, Danny Pomanto di Makassar, dan Ibu Risma di Surabaya. Terlihat karena mereka dididik di arsitektur, mereka paham soal tata ruang. Ibu Risma dulunya di Dinas Pertamanan, nah sekolah lanskap di Indonesia orientasinya masih tanaman, sementara sekolah lanskap di luar itu berorientasi pada ruang, ruang untuk manusia. Jadi taman itu bukan hanya cantik saja, tapi dia aksesibel tidak? Aman tidak? Karena kebanyakan ahlinya hanya gardening, komposisi tanaman yang enak dilihat tapi belum dipertimbangkan bisa lewat atau tidak orang-orang. Bukan hanya tanah untuk tanaman, tapi ruang untuk manusia juga. Overlap keahlian kami semua ada di tata ruang. Ada arsitek lanskap terkenal namanya Maya Lin, pendesain Vietnam Veteran Memorial, dia menang sayembara desain waktu umur 19 tahun lewat desain yang tidak berorientasi pada tanamannya tapi menata jalur. Mungkin saya salah, tapi setahu saya pendidikan lanskap disini belum sejauh itu.
Perihal perencanaan kota, Indonesia sekarang sedang mencanangkan perpindahan ibu kota. Adakah pendapat tentang penataannya jika dilihat dari sisi arsitektur?
Tidak peduli tentang kebutuhan manusia, apalagi yang dengan disabilitas. Jalan orang mana, jalan raya mana, tidak peduli.
Kalau dari kami, kami memperjuangkan agar urban designer untuk bisa diregulasi juga, tapi yang lebih penting lagi adalah ditata agar terlihat desainnya untuk mengakomodasi kebutuhan ibukota. Seperti bedanya Washington DC dan New York, kota ekonomi adalah New York dan DC itu untuk para pelobi. Makanya kalau datang kesana terlihat sekali beda ritme hidupnya, kota kecil dan untuk orang-orang tertentu terasa kurang “hidup”, “tidak asyik”, tapi bagi penduduk DC mereka butuhnya yang seperti itu saja. Memang nyawanya kota bisnis dan ibukota itu beda. Ada juga kota-kota baru seperti Astana, Putrajaya, itu baru. Tahu kota-kota baru di Indonesia? Ada kota-kota baru yang dibangun oleh PU, tapi tidak berhasil, namanya Tanjung Selor di Kalimantan Utara, ada Sofifi di Maluku Utara. Saya pernah datang kesana, masih kota mati. Tapi memang strateginya bisa dipahami, justru untuk menghidupkan sekitarnya, ya kita lihat saja nanti perkembangannya. Misalkan tadi Putrajaya, itu orang Malaysia banyak yang bangga dan banyak yang tidak suka. Kalau saya sendiri waktu kesana, istilahnya kurang sesendok. Karena dia eksklusif, orang Cina-Malaysia sepertinya tidak disambut disana, non-Muslim Malaysia tidak welcomed. Jadinya mati, juga karena tidak cukup jauh dari Kuala Lumpur, jadi orang hanya ada di hari kerja, akhir minggu ke KL semua. Punya rumah di Putrajaya, tapi tidak menghidupi kotanya.
Untuk pertama kalinya buat Indonesia, kota barunya berbeda pulau jadi orang harus pindah. Ini strategi yang luar biasa menurut saya, walaupun dari zaman Soekarno sudah memikirkan tapi waktu itu di Palangkaraya. Saya kira ini adalah kesempatan luar biasa untuk bisa bahkan menguji teori-teori baru tentang ibukota baru. Jadi beberapa kota yang baru di dunia yang menurut saya berhasil perkembangannya itu didesain oleh arsitek, seperti Ypenburg dan Almere di Belanda. Itu didesain oleh arsitek, dan kalau ada apa-apa yang bertanggung jawab mereka. Itu semua kota kecil, tidak seperti Jakarta yang megacity, mereka sengaja menahan pembangunan menjadi tetap kecil-kecil, mirip kampung tapi peradabannya kota.
Kota itu tidak harus besar, yang namanya urban sprawl itu membuat semua biaya menjadi tinggi. Nanti kota-kota kecil ini disambungkan oleh jalur kereta, konsepnya di dalam kota adalah 5 minute city, semua area bisa ditempuh dalam waktu lima menit. Ibukota baru kita ini bisa dirancang jadi 10 menit antara semua gedung pemerintah. Tapi satu kota kan tidak hanya pemerintah saja, ada bisnis kecil dan besar yang harus berinteraksi juga, jadi mestinya ada pendekatan desain yang baru yang bukan dengan mengukur jarak, tapi mengukur waktu. Seperti di Hong Kong, bisa jalan kaki kemanapun tanpa harus kehujanan karena jalur pedestriannya di level lantai 3 tanpa harus keluar ke bawah. Itu ada peraturan untuk gedung, semua bangunan yang dirasa publik harus punya akses antar bangunan, di level itu semua area terang, semua toko buka 24 jam, jadi aman. Ridwan Kamil juga pernah mengusulkan, semestinya drop off mobil itu di samping, jalur di depan harus mementingkan pedestrian. Contoh yang sudah ada dan sangat jelas, itu Orchard Road. Kita bisa mondar-mandir antar bangunan lewat dalam gedung, atau paling tidak di level underground. Disini memang masih belum komprehensif, kita masih generasi pertama MRT, masih belum memahami efektivitasnya, baru nyamannya saja.
Pernah tahu konsep TOD? Transit-oriented development, jadi di setiap perhentian MRT dalam radius 350 – 750 meter itu harus diberi insentif agar ridership-nya tinggi, juga kalau persimpangan jalur keluarnya harus banyak karena kalau tidak bahaya disaster tinggi sekali. Nah dari ridership ini berkembang potensi ekonomi. Kesempatan ini terbuka lebar di MRT kita, akan ada dari utara ke selatan dan timur ke barat, jadi Jakarta bisa terus berkembang jadi peradaban bisnis maju. Selain membuat ibu kota, pemerintah juga mencanangkan 10 metropolitan baru, untuk meningkatkan ekonomi di bidang dan lokasi masing-masing, tapi sebaiknya tidak didesain untuk menjadi urban sprawl lagi, harus tetap compact. Pangkal masalah penataan kota adalah kita terlalu berpangku pada keseragaman, bukan keberagaman. Padahal yang diperlukan adalah sekian modal yang berbeda dan pengelolaan yang berbeda-beda. Bisa ada kota yang tetap berorientasi kepada mobil, silakan saja. Tapi untuk kota yang lebih maju, dengan pemahaman compact city tadi, orientasi 5 menit berjalan kaki, performa kota dan bangunan yang bisa kita ukur. Kota yang baik diukur dari seberapa bahagia penduduknya, bagaimana bisa walkable. Arsitektur terkait dengan itu semua, karena urusannya dengan tempat dan ruang.