Berbincang Tentang Kisah Klasik Eross Candra dengan Musik, Gitar dan Sheila on 7
Kami berbincang dengan Eross Candra tentang perjalanan awal mula band Sheila on 7 hingga persiapan mereka untuk tampil kembali di Soundrenaline.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Soni Triantoro
Foto: Moses Sihombing
Eross Candra atau yang dikenal sebagai Eross, gitaris dari band sejuta copy Indonesia, Sheila on 7, meluangkan sorenya untuk berbincang dengan Whiteboard Journal. Pada kesempatan kali ini, Eross menceritakan awal mula Sheila on 7, cerita cintanya terhadap instrumen gitar, pentingnya orisinalitas dalam industri musik hari ini, hingga persiapan mereka untuk tampil kembali di festival musik Soundrenaline.
Kapan Eross pertama kali memantapkan diri untuk menjadi seorang musisi profesional?
Saat saya lulus SMA, saya dan anak-anak Sheila on 7 buat demo lagu. Pertama membuat demo itu kelas 1 SMA, dan zaman itu di tahun 1998 trennya adalah membuat demo musik dan dibawa ke Jakarta – itulah yang kami lakukan. Kami bawa lagu-lagu yang kami rekam sebagai demo dan kemudian dibawa ke Jakarta. Dari situ saya dan anak-anak sudah diskusi, kalau demo pertama tidak diterima kita akan mencoba demo kedua, ketiga dan seterusnya. Jadi dari awal setelah lulus SMA, secara jalan pikir, secara mengambil keputusan, kami sudah seperti musisi yang profesional. Yakni tidak ada opsi lain selain bermain musik. Mungkin baru setahun kemudian baru menghasilkan, sebelum-sebelumnya masih tampil di kafe-kafe lokal.
Walau begitu, ketika itu anak-anak masih kuliah, hitung-hitung menuruti kemauan orang tua, terutama Adam dan Duta, kedua orang tuanya dosen. Jadi dulu S1 adalah sebuah kewajiban, tetapi memang akhirnya di tengah jalan harus memilih, tidak bisa menjalankan dua-duanya.
Kami secara tim memilih menjadi musisi profesional setelah tanda tangan kontrak. Di situ ada hak dan kewajiban, dan itu memposisikan kita menjadi musisi yang profesional dan tidak memberi ruang untuk kehidupan akademis kami, dan itu terjadi saat kita masih umur 19 tahun.
Setelah album pertama “Selftitled” rilis, Sheila On 7 berada di posisi komersial yang belum pernah dicapai band Indonesia manapun sebelumnya. Bagaimana Sheila On 7 menjalani ledakan karier kala itu?
Jika ada yang bilang Sheila on 7 menjual jutaan copy dan belum ada band sebelumnya yang mencapai itu, saya sebenarnya tidak terlalu yakin. Mungkin sebelumnya sudah ada, tetapi dulu sistem royalti belum diterapkan. Yang saya tahu, Sheila on 7 saat itu bersama Sony Music Indonesia, dan mereka termasuk label yang dari awalnya menerapkan sistem royalti. Sony Music ‘kan perusahaan internasional, jadi mungkin sebagian besar harus mengikuti peraturan internasional. Dulu saya sering dengar beberapa musisi di Indonesia masih dibayar flat rate, yang berarti dibayar besar di muka, mau laku atau tidak, dibayar tetap segitu.
Kita lumayan beruntung karena dari awal karir kita mempunyai sistem royalti, dan ada kagetnya juga. Karena kami awalnya teman SMA, teman main, sekarang menjadi rekan kerja, jadi tentunya ada banyak penyesuaian. Maka dari itu, dari 5 original member, ada 2 yang sudah tidak di Sheila on 7, dan itu salah satunya karena perbedaan menyikapi keputusan yang kami ambil di hari itu, yang mungkin juga berakar dari perasaan tidak siap tadi.
Respon setiap orang kan pasti berbeda, dan yang 3 ini sampai hari ini masih bersama karena kami mempunyai 1 visi dimana kami menyikapinya sambil jalan. Karena tidak ada textbook-nya, maka dari itu kami coba sendiri, jatuh sendiri, bangun juga sendiri. Beruntung sekali sih, walau banyak yang bisa lebih baik, tetapi kondisi hari ini bisa dibilang ada faktor keberuntungan juga.
Jika kita sudah digariskan menjadi musisi, ya sudah, berkarya segenap hati saja. Mau musik itu didengarkan secara dibayar atau tidak, itu urusan lain.
Apa capaian besar yang bisa dikejar dari musisi hari ini jika zaman sudah tak berpihak pada penjualan album fisik?
Saya rasa, ketika ada manusia, di sanalah musik juga ada. Mau kapanpun zamannya, musik akan selalu ada, dibayar maupun tidak dibayar, musik akan selalu di sana. Orang berkarya dengan musik itu adalah sebuah kebutuhan, bukan lagi sesuatu yang harus diciptakan. Walau mungkin masih ada juga orang yang membuat musik supaya bisa hidup.
Namun, lepas dari itu, apapun hasilnya, apapun dunianya, musik akan selalu ada. Apapun bentuknya dengan aliran yang bermacam-macam, karena itu tergantung sesuai kondisi masing-masing. Sehingga, jika kita sudah digariskan menjadi musisi, ya sudah, berkarya segenap hati saja. Mau musik itu didengarkan secara dibayar atau tidak, itu urusan lain. Tetapi yang jelas, misi kita sebagai manusia di bumi, jika kamu mempunyai talenta bermusik, itulah yang harus kamu tekuni. Dan konsep itu yang saya lakukan sampai sekarang, saya digariskan hidup sebagai musisi.
Sheila On 7 masih dalam masa peralihan dari menikmati secara fisik dan menjadi digital yang hanya bisa didengarkan tapi tidak bisa dipegang. Dalam hal ini kami termasuk shock dalam artian, jika secara dapur, dulu ada pemasukan yang namanya royalti penjualan CD, dan juga ada pemasukan tur. Tapi sekarang pun label kesusahan menjual album secara fisik, sehingga mereka sekarang menjual secara digital yang persentasenya jauh lebih kecil dibanding menjual secara fisik, istilahnya uang dari 1 juta download dan 1 juta jualan CD itu jauh sekali.
Di luar masalah yang kita dapatkan, kami tetap bersyukur, kami masih memiliki sebuah hal yang tidak bisa dibajak dan belum tergantikan, yakni dalam hal performance. Hari ini, manggung itu sangat menyelamatkan kami sebagai kepala keluarga di rumah.
Tetapi soal esensi sebagai musisi itu tidak berpengaruh, ada jualan fisik atau digital, kami tetap main musik karena kami senang. Ketika kami manggung, itu seperti terapi juga. Secara naifnya berbicara, kami have fun saja dan lalu dibayar. Namun secara realistis kan harus dipikir lebih panjang lagi, ada kru, ada produksi dan sebagainya, dan itu yang harus dipikirkan agar manggung Sheila on 7 tetap balance dengan realitanya.
Apapun itu, kami senang menjadi seorang musisi, terkadang saat kami sedang di restoran dan di sana ada alat musik, tanpa disuruh kami akan tetap main saja, entah Duta jadi memainkan drum, saya jadi memainkan piano, pokoknya itu sudah basic kami, yaitu menjadi seorang musisi.
Perubahan zaman bisa jadi mengubah metode performing dan penjualan musik, tapi bagaimana dengan metode penulisan lagu?
Itu juga mengalami perubahan. Awal saya menulis lagu di tahun ‘97-’98, senjatanya hanya gitar. Kalau dulu, kami rekaman harus ke Jakarta agar hasil rekaman itu sesuai standar Indonesia pada waktu itu. Tetapi seiring waktu berjalan, sekarang ada recording digital juga. Saat recording sudah mencapai standarisasi digital, saya memutuskan untuk membuat studio di Jogja. Ketika sudah ada studio di depan mata dan bisa digunakan 24 jam, secara kreativitas istilahnya senjatanya bertambah.
Dulu hanya bisa memainkan gitar, vokal dan direkam. Selama 10 tahun terakhir saya sudah menulis lagu yang langsung masuk ke komputer. Dulu saya tidak terbayang menulis lagu dari beat drum terlebih dahulu, tapi sekarang sudah bisa. Membuat beat drum dahulu, lalu mencari riff gitarnya, itu yang tidak mungkin saya lakukan di tahun ‘97, karena memang belum ada teknologinya. Dan biasanya untuk membuat beat drum harus dilakukan dengan manusia, sekarang semua bisa dengan mudah dilakukan secara digital.
Namun memang human touch-nya sudah sedikit hilang jika kita terlalu mengeksplorasi digital. Musik Sheila on 7 dulu itu pada dasarnya lahir saat kami hangout bersama, kami nge-jam dan lalu ada lirik yang bagus dan lalu kami membuat lagu. Sekarang, kami hanya bisa memberi batas dan kualitas secara lagu dan lirik, karena kalau secara musik itu kemungkinannya sudah luas sekali. Bisa juga kami membuat lirik hari ini, baru musik dieksplor, atau musik dieksplor terlebih dahulu baru kami membuat lirik.
Apa proses kreatif yang Eross gunakan untuk menciptakan komposisi lagu cinta yang bisa menonjol di antara ribuan lagu lokal bertemakan cinta di luar sana?
Membuat lagu itu bagian dari terapi, jika hari itu Anda tidak bisa buat lagu cinta, ya tidak bisa, tidak ada rumus pastinya. Ketika Anda sudah merasa click jadilah musik yang bagus, lirik yang bagus hari itu. Saya sendiri tidak bisa memprediksi bahwa dalam sebulan saya bisa membuat lagu berapa dengan kualitas apa. Bisa saja, musik itu dimulai dari senandung, itu kan modalnya 0 rupiah, dibanding dengan lagu yang dimulai dari komputer yang modalnya ratusan juta rupiah. Hasilnya yang senandung mungkin akan bisa lebih menonjol dari yang dimulai dari komputer, namun yang ingin saya tekankan, yang namanya seni tidak bisa dirumuskan, tidak bisa diprediksi lagu itu bisa menjadi hit atau tidak.
Dari tahun ‘97 saya sudah mencoba apapun supaya saya bisa menjadi orang yang konsisten untuk bisa membuat beberapa lagu dalam sebulan dengan kualitas yang A, B maupun C. Kadang-kadang kalau terlalu dipaksa, saat didengar kembali malah menjadi malu, lebih baik dihapus saja. Jadi memang itu seperti sumur saja, jika kering ya tidak bisa dipaksa.
Apakah ada pakem tertentu dalam membuat lagu?
Jarang sih, yang saya tahu hanya pakem membuat lagu untuk film. Contohnya, “Bendera”, saya membuat lagu itu khusus untuk film “Bendera”. Saya diceritakan ceritanya itu seperti apa. Lalu “Gie”, itu juga khusus dibuat untuk film “Gie” yang bercerita tentang jalan pikir karakter Soe Hok Gie. Jadi, membuat lagu untuk film sudah ada pakemnya, jadi lebih mudah karena tidak melebar. Apalagi kalau kita sudah click dengan filmnya, dan kita suka dengan filmnya, itu lebih mudah. Tapi pernah juga saya dapat tawaran film yang saya sampai menolak karena saya benar-benar tidak bisa, saya tidak yakin dengan karya saya.
Hari ini, manggung itu sangat menyelamatkan kami sebagai kepala keluarga di rumah.
Album “Pejantan Tangguh” yang paling progresif secara komposisi justru secara komersial tak selaku tiga album pertama. Apakah ini menjadi refleksi tersendiri bagi Eross dalam menetapkan standar komposisi di karya-karya berikutnya?
Album “Pejantan Tangguh” harus ada karena itu merupakan perjalanan yang harus dilalui oleh Sheila on 7. Kami tetap berprogresi selama merilis album, dan sampai di album ke-4, kami sudah menjadi lebih bijak dan tidak penasaran tentang apa yang bisa dilakukan. Istilahnya kami sudah mendokumentasikan imajinasi di era album ke-4. Karena memang di album pertama, kami masih berumur 18 tahun dan secara musikalitas kami masih terus berkembang. Jika tidak diikuti, kami akan menjadi terlalu fokus pada industri, dimana kami hanya melakukan apa yang label suka, yang fans suka. Itu sama sekali bukan cita-cita dari Sheila on 7. Beruntung sekali, Sony membebaskan sekali keputusan kami, contohnya, dari album 1 sampai 3, string itu merupakan ramuan musik Sheila on 7, tetapi untuk album ke-4, kami beralih ke brass. Hal itu membuat banyak orang kaget, tapi Sony mengabulkannya.
Album “Pejantan Tangguh”, secara musikalitas merupakan kemenangan tersendiri untuk Sheila on 7, dan secara jualan, biar label saja yang pusing, karena kami senang dengan hasilnya. Tanpa Pak Jan (Jan Djuhana), mungkin tidak ada single seperti “Pejantan Tangguh” dan “Melompat Lebih Tinggi”. “Melompat Lebih Tinggi” itu single non-cinta yang sampai hari ini masih relevan. Waktu itu kami berpikir untuk memilih lagu “Untuk Perempuan” untuk menjadi single karena film “30 Hari Mencari Cinta” itu adalah film yang sangat perempuan, tetapi Pak Jan tetap kekeuh dengan “Melompat Lebih Tinggi”. Namun kami tetap tidak menduga, hal yang sudah kami buat bersama itu mempunyai daya ledak yang lebih.
Kenapa di single terbaru, “Film Favorit” memutuskan untuk mulai menggunakan music director?
Ini juga proses bagi Sheila on 7. Lagu “Film Favorit” merupakan karya di luar Sony, jadi kami sudah beralih ke indie. Jadi saat kami dikontrak dengan Sony tahun 1998, kontrak itu tidak ada yang namanya management artis, kami hanya mempunyai kontrak dengan Sony untuk penjualan lagu. Saat penjualan lagu mulai turun dan selama kami tidak ada artist management dengan Sony, kontrak kami sudah tidak relevan.
Sekitar 5 tahun terakhir, setiap Sony merilis album untuk Sheila on 7, mereka sudah tidak ada budget untuk music director, kadang bahkan kami yang nombok. Jadi, kami baru bisa memakai music director itu setelah kita independen, padahal dari dulu kami sudah ingin memakai music director karena bagaimanapun, di luar negeri pun, produser dan music director bukan hal yang aneh.
Ketika sudah tidak bersama Sony, kami harus mencoba sesuatu yang belum pernah kami coba, yaitu menggunakan music director yang dapat melihat musik Sheila on 7 dari luar itu seperti apa. Sehingga saat membuat “Film Favorit”, kami buat terlebih dahulu musiknya dan baru diberikan ke music director, sehingga tidak dari nol.
Seberapa penting orisinalitas karya bagi Eross?
Jika kita membicarakan karya original, mau sejauh mana? Itu dasarnya tidak ada yang pasti. Itu tadi, hukum yang membuat manusia, musik juga yang buat manusia. Tetapi memang jelas jika ada lagu yang cuma mengganti lirik, itu sudah bukan karya murni. Namun ada juga yang mencomot lirik atau nada saja. Kalau buat saya, dengan kondisi yang seperti ini, kondisi yang secara hak intelektual banyak diterobos, sekarang hanya bisa dipikirkan, apakah Anda suka dengan karyanya? Anda suka mendengarkan lagunya?
Jika tidak, tidak usah didengarkan, karena sekarang banyak sekali lagu lain. Secara hak, tidak ada yang melindungi tetapi diputar terus, dan banyak yang terhibur dengan lagu itu. Grand master-nya juga tetap ada di Tuhan, walau banyak orang yang berkomentar itu bukan lagu original, lupakan. Toh Anda bisa menikmati. Kalau sang musisi tahu kalau ia comot sana comot sini, jangan ia seolah-olah berkarya tanpa inspirasi, itu tidak bagus. Yang penting bersikap yang seharusnya.
Apa apresiasi terbaik untuk seorang penulis lagu?
Kalau secara komplit, dulu saya SMA hidup tidak memikirkan uang, sekarang ternyata banyak sekali biaya hidup. Jika mau konkret ya dalam bentuk uang. Mau bagaimanapun kan orang mendapat uang melalui bekerja, melalui effort. Saya juga membuat musik melalui effort, dari sisi seniman, jika Anda menyanyikan lagu saya, Anda posting, dan ada cover, itu merupakan penghargaan bagi saya. Setiap ada yang meng-cover lagu saya, ataupun sekadar lirik yang masuk sebagai caption, sebagai seniman, saya sudah merasa dihargai.
Mungkin awalnya, saya membuat lagu itu untuk terapi saya sendiri, tetapi jika itu bisa membuat hari orang lain menjadi lebih baik, mengapa tidak? Perasaan itu membuat saya menjadi lebih baik juga.
Pertama kali saya mendengar orang lain menyanyikan lagu kami, Sheila on 7 masih murni indie. Dulu kami membuat lagu pertama judulnya “Kita” dan lagu itu sudah banyak diputar di radio lokal Jogja. Pada waktu itu saya dan Adam mengikuti bimbingan belajar dan orang di sebelah kita menyanyikan lagu “Kita”, dan dia tidak tahu kalau Adam dan saya adalah yang membawakan lagu itu.
Kalau indie kami harus sekuat tenaga bekerja sendiri. Dulu nama radionya Geronimo Indie, dan setiap lagu hanya diberi kesempatan diputar sekali, jadi untuk diputar lagi kami harus request, dan kami request sendiri. Kami jadi sangat rajin mendengarkan radio untuk tahu apakah lagu kami diputar apa tidak, sampai pada waktunya tidak ada satupun dari kami yang mengirim request, ternyata orang lain sudah request. Dari situ ternyata orang sudah mulai familiar dengan lagu kami karena mereka ternyata yang request untuk memutar lagunya.
Bagaimana Eross melihat posisi instrumen gitar serta format band dalam tren industri musik yang belakangan makin berpihak pada musik rap dan elektronik?
Itu kalau saya lihat, di dunia memang tren kita sangat bergeser dibanding tahun 1994 atau 1997. Seperti band Oasis yang memiliki massive hit di saat gitar itu masih sebagai menu utama. Sekarang gitar sangat identik dengan musik rock seperti Foo Fighters. Istilahnya mereka seperti pahlawan terakhir musik bergitar, bahkan di band seperti Coldplay dan Maroon 5 part gitarnya sudah hampir tidak ada. Untuk saya yang dari dulu basisnya gitar, sebisa mungkin jika ada bagian yang cocok untuk gitar, harus saya masukan, saya harus bertanggung jawab sebagai gitaris.
Anak saya tidak tertarik dengan gitar dan lebih memilih musik elektronik.
Jika ada pendengar baru anak kecil atau siapa yang mendengarkan musik Sheila on 7, dia harus akrab dengan bagian gitar yang ada. Sehingga, jika ia memilih instrumen yang ingin dipelajari ia akan memilih gitar. Tetapi teknologi memang tidak terbendung, dan itu terjadi dengan anak saya. Anak saya tidak tertarik dengan gitar dan lebih memilih musik elektronik. Namun, sebisa mungkin semoga di masa depan ia akan lebih berminat kepada bergitar. Komunitas gitar juga akan tetap hidup.
Apa kunci untuk tetap mampu merawat antusiasme pendengar selama belasan tahun di industri dan pasar yang begitu dinamis?
Kalau itu, tidak ada jawaban yang bisa dijelaskan secara detail. Namun yang jelas, saya melakukan itu secara sungguh-sungguh. Ketika menulis lagu, rekaman, atau manggung. Walau tidak manggung saya di rumah pun tetap mengeksplor dengan gitar. Selesai manggung pun saya tidak berhenti memegang gitar karena semua berawal dari gitar, keseharian pun sangat gitar sekali. Mungkin secara jiwa, selalu bergetar dengan gitar, sehingga ketika seseorang sudah memegang gitar setiap hari, energi saat manggung itu sudah beda sekali, yang kami lakukan harus sungguh-sungguh. Pokoknya kami harus menghasilkan karya. Bahkan, saat saya liburan ke luar negeri, kalau liburan tidak bawa gitar, ujung-ujungnya saya pasti beli gitar, jadi lebih baik membawa gitar.
Banyak musisi besar yang tak berumur panjang dan bergegas buntu perkembangan artistiknya di tahun-tahun selanjutnya. Apakah Sheila On 7 juga sempat menghadapi tantangan serupa? Bagaimana kalian mengalahkannya?
Kalau ditanya secara kuantitas, kami di bawah sekali sekarang dibanding tahun 2000-an. Kami tidak seproduktif dulu dalam pembuatan lagu, tetapi secara kualitas, kami jauh lebih bagus dibanding tahun 2000-an. Kami lebih nyaman membuat musik dalam jumlah sedikit, tetapi lebih puas. Selain memang sudah tidak memungkinkan secara waktu, secara kreativitas jatuhnya saya yakin lebih memaksa. Sekarang rasa penasarannya sudah tidak sebanyak dulu. Jadi jika ditanya bagaimana, bertingkahlah sesuai dengan kamu rasakan. Saya hari ini, kalau membuat lagu, bisa dari musik lain, saya akan buat versi saya. Namun karena saya tidak berbakat mencontek, jadi lagu tersebut akan menjadi versi gagalnya. Namun versi itulah yang musik yang kita bawakan.
Seniman itu menyerap energi dari sosial, walau ia pendiam, atau introvert, tetap ada energi dari sekitarnya. Kalau masih SMA masih main sana sini, masih pacaran, itu energinya sangat banyak untuk diserap. Kalau sekarang sudah berkeluarga, energinya itu kan lebih stabil, ini lebih solid, lebih pasti.
Namun sesuatu yang mulai dengan kepastian, itulah awal dari kebuntuan itu. Secara seniman, kami harus lebih kreatif lagi, kalau dulu setelah manggung kami bisa liburan sendiri. Sekarang kami pulang, antar anak sekolah, kami harus bisa mendapat energi dari situ juga. Untuk lagu “Film Favorit” saya membuat lagu itu untuk teman saya yang tidak mendapatkan pacar, saya membuat lagu itu untuk mendikte bahwa seharusnya ia itu berlaku seperti ini atau seperti itu karena saya juga gregetan. Dari situ saya selamat memilih angle, karena saya sudah tidak mungkin pemeran di “Film Favorit”, tetapi saya bisa berimajinasi, kalau saya jadi dia, saya akan seperti ini. Kita harus pintar mencari perspektif dalam berkarya.
Pada waktu itu saya dan Adam mengikuti bimbingan belajar dan orang di sebelah kita menyanyikan lagu “Kita”, dan dia tidak tahu kalau Adam dan saya adalah yang membawakan lagu itu.
Tahun ini Sheila on 7 akan kembali tampil di Soundrenaline, ada persiapan khusus?
Sejauh ini belum ada karena memang jadwalnya masih agak lama, jadi kita masih menyelesaikan jadwal yang sudah ada dulu. Jadi mungkin nanti dekat-dekat Soundrenaline kita baru akan prepare.
Tahun ini Soundrenaline ada kurator musik dan aktivitas yang terdiri dari sosok kreatif. Sebagai musisi yang telah cukup sering bermain di Soundrenaline, bagaimana melihat perkembangannya dari tahun ke tahun?
Setiap kali Sheila on 7 main di Soundrenaline, selalu ada perkembangan yang positif. Dari dulu kami selalu merasa Soundrenaline itu seperti hari rayanya musisi, di mana kami bisa bertemu musisi-musisi lain, bisa hangout bareng. Secara produksi juga semakin matang dan semakin bagus, dan beberapa tahun terakhir itu di Bali, jadi selain tempatnya mendukung, acaranya bagus, dan produksi makin bagus, kita selalu senang kalau main di Soundrenaline.
Apa proyek Anda ke depan?
Liburan. Kalau Sheila on 7 pasti ada single single lagi, kalau secara musik, mungkin saya akan buat album gitar lagi dan dengan six string ada manggung di Bali. Untuk secara musikalitas, jadwal tidak kurang, saya harus wise untuk mengatur karena saya juga seorang ayah, yang penting waktu tidak kurang untuk anak dan keluarga.
Kalau manggung, secara fisik beberapa dari kita ini sudah berbeda. Saya waktu itu sempat sakit otot, jadi sekarang sebelum manggung benar-benar harus pemanasan dulu, karena memang badan harus lentur dulu sebelum manggung, apalagi saya bawa gitar yang berbanding dengan berat badan saya tidak enteng, bawa gitar 3 atau 4 kg selama sejam-dua jam itu lumayan berat untuk saya. Tetapi kan fisik orang berbeda beda, seperti Duta, harus tidur dahulu kalau tidak cukup tidur suaranya hilang.