Berbicara Tentang Muhammadiyah, Masyarakat dan Bangsa bersama Syafi’i Maarif
Kami mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan Buya tentang pentingnya pemahaman yang menyeluruh, pluralisme, hingga toleransi antar masyarakat.
Words by Ghina Sabrina
Ahmad Syafi’i Maarif adalah seorang akademisi yang juga dikenal dengan sapaan “Buya” yang berakar pada tanah lahirnya, Sumatra Barat dan juga pemahamannya yang mendalam terkait pengetahuan agama Islam. Awal ketertarikannya terhadap ilmu agama muncul dari pendidikan dasar Muhammadiyah yang ia lanjutkan hingga mendapatkan gelar doktor dari Universitas Chicago, Amerika Serikat. Ia pun menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah dari tahun 1998-2005 dan pada tahun 2003 mendirikan Maarif Institute yang mempromosikan penggunaan nilai-nilai keagamaan untuk mendorong dialog dan kerja sama antaragama. Sikap kritis, pandangan plural dan komitmen kebangsaan tinggi membuatnya sebagai salah satu tokoh cendekiawan yang dihormati berbagai kalangan.
Publik mengenal Anda sebagai ulama dan akademisi yang fokus pada ajaran Islam. Bagaimana ketertarikan Anda terhadap ilmu tersebut muncul?
Awalnya mungkin karena saya berasal dari lingkungan muslim. Warga kampung saya 100% memeluk agama Islam, mungkin kalau saya lahir di kampung yang isinya mayoritas pemeluk agama Kristen, saya mungkin akan memeluk agama Kristen. Dan kalau saya lahir di kampung yang isinya mayoritas pemeluk agama Buddha mungkin saya akan memeluk agama Buddha. Memang itu sudah begitu, takdirnya begitu.
Saya kemudian belajar dan terus menerus belajar, sampai ke Chicago. Saya mengalami pengalaman belajar di madrasah, juga di sekolah sekuler. Saat S2, saya mengambil ilmu sejarah, dan saat S3 saya kembali ke studi Islam. Di Chicago, nama departemennya adalah Department of Near Eastern Languages and Civilization, dan di dalamnya ada Arabic. Saya berada di situ dan kembali lagi di bidang tersebut. Saya berusaha mengingat-ingat kembali ilmu yang pernah saya dapatkan di sekolah agama, seperti mempelajari Bahasa Arab. Selama 4 tahun lebih saya berada di Chicago.
Anda memiliki latar belakang pendidikan yang panjang dan yang menarik adalah pernah sekolah Muhammadiyah serta menempuh pendidikan di Universitas Ohio dan Universitas Chicago. Bagaimana Anda menerapkan ilmu yang Anda dapat untuk kemudian membentuk pemikiran Anda?
Manusia pada dasarnya tidak pernah statis dan seseorang yang belajar pasti mengalami perubahan. Saya berasal dari Muhammadiyah, dan Muhammadiyah itu dahulu pernah menjadi anggota istimewa di Partai Masyumi, sampai dibubarkan pada tahun 1960 dan selama itu selalu membela negara Islam. Tapi, setelah saya belajar di Chicago, pikiran saya mengalami perubahan yang cukup drastis. Saya berpikir bahwa nama tidaklah penting, yang penting itu adalah substansinya. Saya mulai berpikir, sepertinya saya mulai dipengaruhi oleh Bung Hatta, mantan wakil presiden Indonesia. Ia mengatakan untuk jangan memakai “ilmu gincu”, tampak tapi tak terasa. Pakailah “ilmu garam”, tak tampak tapi terasa. Supaya Islam menggarami kultur bangsa ini, untuk semua. Bukan hanya untuk umat Islam, melainkan semuanya untuk merasakan garam itu – dan ini yang belum tentu dipahami oleh orang-orang Islam lainnya, termasuk yang di media sosial, dan kerap disebut sumbu pendek.
Manusia pada dasarnya tidak pernah statis dan seseorang yang belajar pasti mengalami perubahan.
Islam itu sumber moral, etika, walaupun hukum tidak banyak. Ada istilah, “Rahmat bagi alam semesta”, ayatnya terdapat pada Al-Qur’an, surat Al-Anbiya ayat 107. Isinya adalah kami, kata Tuhan, tidaklah mengutus engkau wahai Nabi Muhammad SAW, kecuali untuk menebarkan rahmat kepada alam semesta, untuk semua orang, termasuk orang yang tidak percaya agama. Hal itu menurut saya sudah tidak dipahami oleh sebagian orang Islam, terutama yang garis keras.
Pada tahun 1998-2005, Anda dilantik menjadi Ketua PP Muhammadiyah dan kemudian mendirikan Ma’arif Institute. Apa misi di balik aksi Anda melihat pergerakan yang Anda buat, misi apa yang ingin Anda sampaikan ke publik?
Saya ingin mengupayakan agar Muhammadiyah menjadi tenda besar untuk semua, dan menjadi tenda bangsa, walaupun itu tidak mudah. Begitu juga melakukan gerak lintas agama, lintas kultural. Hasilnya relatif dan ada, walaupun kecil. Bangsa ini menurut saya bangsa yang sangat plural. Kita punya Bhinneka Tunggal Ika dan itu merupakan hal yang sangat bagus, meskipun ada beberapa kelompok kecil yang tidak menyukai hal itu. Terdapat beberapa orang yang ingin memonopoli kebenaran dan itu pilihan mereka. Hal itu diperbolehkan, tapi jangan sampai mengganggu yang lain. Kita harus saling menghormati. Kalau tidak saling menghormati, planet bumi ini akan penuh dengan prahara.
Anda merupakan salah satu tokoh lintas agama yang menggalakkan toleransi di Indonesia, dan dalam buku Anda sendiri tertulis, “Sebuah bangsa dapat mengalami kehancuran bila toleransi sosial, agama, dan budaya tidak mantap.” Melihat kondisi negara hari ini, apakah kalimat tersebut sudah menjadi kenyataan?
Hal tersebut merupakan peringatan, agar jangan terjadi. Walaupun sudah terjadi sebagian, dan itu bukan merupakan gelombang besar, walaupun riak-riak sudah tampak. Ini menunjukkan adanya teori kebenaran tunggal, yakni anggapan dimana mereka hanya menganggap diri mereka saja yang benar, dan di luar mereka tidak. Kelompok-kelompok yang ingin memonopoli kebenaran tersebut sudah tampak bibit-bibitnya, tersebar di beberapa perguruan tinggi dan itu harus dibendung karena akan sangat berbahaya.
Bagaimana Anda melihat perkembangan masyarakat Islam sekarang ini di era media sosial yang cenderung mengabaikan kebenaran dan lebih mementingkan penyebaran berita yang memancing emosi pembaca untuk kepentingan pribadi?
Jelas hal tersebut melanggar agama, etika, dan Pancasila. Sejak tahun 2010, terdapat istilah post-truth politics, dimana banyak hal yang tidak benar tapi tetap dipercaya. Sebagai contoh, buku “Mein Kampf”-nya Hitler merupakan sebuah kebohongan dan kepalsuan yang diulang-ulang dan dipercaya. Sesungguhnya hal ini merupakan kemerosotan peradaban sejagad. Umpamanya adalah Amerika, yang dikenal the best in democracy. Pada kondisi ini, demokrasi yang mengabaikan keadilan dapat melahirkan seorang Trump. Contohnya lagi adalah Jerman, yang dapat melahirkan seorang Hitler. Demokrasi dapat pula memecah-belah. Demokrasi harus setia pada jati dirinya. Kalau di gereja ada istilah bonum commune, yakni demokrasi harus membawa bangsanya kepada suatu kesejahteraan bersama.
Demokrasi harus membawa bangsanya kepada suatu kesejahteraan bersama.
Sejak beberapa tahun belakangan ini, tengah muncul tren untuk mengadopsi paham Islam fundamentalis di kalangan masyarakat. Bagaimana Anda melihat posisi mereka sebagai salah satu faktor tumbuhnya sikap intoleransi di kalangan masyarakat?
Biasanya fundamentalis belum tentu radikalis. Saya rasa karena terdapat orang-orang yang kurang memahami agama secara utuh, sejati, dan otentik. Dan mungkin juga ada masalah sosial ekonomi yang mengitari mereka, seperti orang putus asa. Mereka ingin eksklusif, berbeda dari yang lain. Mereka ingin merasa unggul, percaya diri tapi semuanya palsu.
Melihat dari berita akhir-akhir ini, banyak suara yang mengatasnamakan Islam di Indonesia tidak dapat membedakan antara Arabisme dan Islam, dan cenderung terjebak pada simbol-simbol saja. Apa kritik Anda mengenai fenomena ini?
Itu merupakan sesuatu yang disebut anomali, yang sebenarnya menyimpang. Hal ini merupakan kelemahan sebagian muslim non-Arab yang tidak bisa membedakan mana Islam yang, kira-kira, mewakili Al-Quran dan kenabian dan dengan Islam yang saya sebut dipenuhi oleh misguided Arabism. Seseorang yang tidak mengerti Islam autentik akan mudah terjebak di sini. Hal ini merupakan gerakan yang ditunggangi oleh mereka yang haus akan kekuasaan, dan dapat digunakan dalam dunia politik serta menyebabkan keadaan menjadi semakin buruk. Mungkin juga karena ada semacam paranoid, merasa dikepung oleh musuh. Ketimpangan sosial ekonomi masih terasa, walaupun memang ada pertumbuhan ekonomi, hasilnya dinikmati oleh kelompok yang bukan kelompok besar. Di sisi lain, kelompok besar tidak mau belajar terkait dengan kelompok kecil yang dapat menjinakkan uang. Uang itu jadi hal yang liar bagi kelompok besar karena mereka tidak mau belajar.
Terkait masa Pilkada kemarin, terlihat bahwa banyak tokoh-tokoh yang cenderung mengemukakan sosok sebagai yang paling layak memimpin hanya karena faktor tertentu yaitu agama. Bagaimana Anda menyikapi hal tersebut?
Ya itu memang ada. Tapi, saya rasa apabila warga negara semakin cerdas dan terdidik, hal itu akan berubah. Proses pencerahan harus selalu dilakukan agar manusia dapat berpikir lebih jernih dan berimbang, dan hal tersebut membutuhkan perenungan. Keinginan untuk berkuasa yang tak terbendung, apabila tidak ada acuan moral, pasti akan merusak.
Proses pencerahan harus selalu dilakukan agar manusia dapat berpikir lebih jernih dan berimbang
Indonesia akan menghadapi pemilihan presiden di tahun 2019 mendatang dan sudah banyak aktor-aktor yang mulai menggiring opini publik dengan berita dan seruan yang belum tentu benar. Apa saran Anda bagi masyarakat dan bagi politisi untuk menghadapi Pilpres di tahun depan?
Pertama, kita lihat bagaimana rekam jejak mereka, apakah orang tersebut mementingkan golongan partainya, atau bangsa dan negara. Lewat itu, kita dapat melihat sesuatu secara rasional dan objektif. Dan itu butuh pendidikan. Bangsa ini layak disadarkan akan hal itu. Pengaruh media sosial disini cukup besar, tapi karena politik percaya kebenaran, orang cenderung menghiraukan mana yang pantas dan tidak pantas, baik dan buruk. Karena apabila orang sudah terlalu mementingkan kekuasaan, hati nurani akan lumpuh.
Menyambung hal tersebut, ada salah satu tokoh Tuan Guru Bajang (TGB) yang dulu dipuja karena mendukung Prabowo dan sekarang diterpa isu yang dibesar-besarkan karena mendukung Jokowi. Apa tanggapan Anda mengenai hal tersebut?
Saya rasa, pada masyarakat demokrasi, hal tersebut merupakan hal yang biasa. Asal saja jika kita menjalankan sesuatu itu harus datang dari suara hati, jangan dari topeng-topeng. Dan memang, hal tersebut terjadi dari suara hati dan kesadarannya, walaupun ia akhirnya dicaci maki, bahkan di-bully oleh partainya sendiri. Beliau merupakan ketua alumni Al Azhar di Indonesia. Dan kini, ia ingin menyebarkan Islam jalan tengah, tidak ekstrim dan tidak eksklusif, melainkan inklusif.
Kapan Anda merasa punya momentum untuk turun tangan merespons sebuah isu sosial?
Sambil mengajar, saya juga seorang aktivis, dan hal ini sudah terus menerus saya lakukan, sudah puluhan tahun, bukan baru. Saya selalu merasa perlu untuk turun tangan, karena saya mencintai bangsa ini. Baik buruk harus dibela, dan untuk siap menjadi bangsa dan negara, perjuangannya masih panjang dan berliku-liku. Jadi jangan disia-siakan dan jangan dikhianati.
Anak muda sekarang, menurut istilah Anthony Giddens, dipengaruhi oleh anggapan bahwa dunia ini adalah runaway world.
Bagaimana Anda melihat perkembangan anak muda sekarang ini? Apakah Anda optimis bahwa mereka akan membuat Indonesia lebih open-minded?
Anak muda sekarang, menurut istilah Anthony Giddens, dipengaruhi oleh anggapan bahwa dunia ini adalah runaway world. Mereka sedang mencari, dan suatu saat mereka akan sadar kembali. Memang ada keterputusan pemahaman antara anak muda dengan masa lampau kita. Terdapat rantai yang terputus. Bukan hanya yang muda saja, yang elite juga tidak paham pengaruh proses menjadi bangsa. Sebetulnya, bangsa kita belum jadi betul, masih proses dan on going. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati. Bhinneka Tunggal Ika, yang dahulu berasal dari Mpu Tantular yang berusaha untuk menyatukan Hindu dan Buddha, sangatlah penting dan universal.
Apa proyek yang sedang Anda siapkan?
Untuk sekarang, saya tidak punya proyek. Saya mengalir saja.