Untuk Seni dan Ekosistem Kebudayaan yang Inklusif bersama Alia Swastika
Kami berbincang dengan Alia Swastika perihal pengamatannya terhadap kedudukan pelaku seni perempuan dalam ekosistem seni saat ini.
Words by Whiteboard Journal
In partnership with British Council - DICE (Developing Inclusive Creative Economy)
Teks: Ibrahim Soetomo
Foto: Biennale Jogja Foundation
Pelaku seni perempuan memegang peran penting dalam dinamika seni hari ini. Dari lini kesenimanan hingga sektor seni lainnya, pelaku seni perempuan kian mendapat ruang, rekognisi dan apresiasi. Namun, Alia Swastika melihat bahwa kita masih perlu meningkatkan apresiasi ini lebih luas lagi. Kami berbincang dengan Alia Swastika perihal pengamatannya terhadap kedudukan pelaku seni perempuan dalam ekosistem seni saat ini, perlunya memprioritaskan kesetaraan gender dalam kegiatan-kegiatan seni, serta pentingnya menempatkan pelaku seni perempuan dalam kanon sejarah seni di Indonesia.
Bagaimana Alia melihat kedudukan seniman dan pelaku seni perempuan dalam ekosistem seni kita?
Menurut saya, sebenarnya pelaku seni perempuan punya peran yang penting dan signifikan dalam membangun ekosistem seni di Indonesia. Banyak di antara direktur atau pemimpin organisasi seni adalah perempuan, dan mereka menggerakkan dinamika seni yang paling nyata di lapangan. Misal Direktur IVAA, Direktur Cemeti, Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, dan Direktur Kelola. Ini harus menjadi fakta yang digarisbawahi. Mereka harus diberi kesempatan juga untuk memajukan kapasitasnya dan membangun jejaring. Demikian pula seniman. Semakin banyak seniman perempuan yang menjadi bagian penting dalam dinamika skena seni, dan menghasilkan karya-karya berkualitas. Banyak sekali kemajuannya.
Pelaku seni perempuan punya peran yang penting dan signifikan dalam membangun ekosistem seni di Indonesia.
Anda sudah berkiprah sebagai kurator dan periset sejak 2000-an, apakah Alia melihat adanya perkembangan pada apresiasi seniman perempuan?
Sebenarnya seperti saya sebutkan, ada banyak kemajuan yang cukup signifikan terutama jika kita melihat pada jumlah atau kuantitas. Tetapi soal apresiasi dan penghargaan masih perlu terus ditingkatkan. Harus dimulai memprioritaskan suara perempuan dalam penciptaan wacana dan penulisan kembali sejarah seni. Sekarang masih banyak sekali diskusi seni yang pembicaranya semua laki-laki, atau buku-buku yang semua ditulis laki-laki. Hal-hal semacam ini harus mulai dikurangi. Perlu kesadaran bersama dari semua pihak yang terlibat.
Apa langkah untuk menciptakan ekosistem seni yang inklusif yang termasuk di dalamnya adalah seniman perempuan baik kuantitas maupun kualitas?
Kita harus merayakan pengetahuan perempuan sebagian bagian nyata dari dinamika seni kita.
Langkahnya terutama membuat program-program di mana pengarusutamaan gender menjadi prioritas. Agen seni laki-laki harus memberi ruang lebih besar kepada perempuan, karena memang ada peran-peran yang dihapus selama puluhan tahun. Kita harus semakin banyak membuat pameran sejarah dan arsip tentang seniman perempuan, penelitian dan penulisan buku, diskusi, pembuatan film atau podcast untuk mendistribusikan pengetahuan. Kita harus merayakan pengetahuan perempuan sebagian bagian nyata dari dinamika seni kita.
Selama ini, pameran-pameran seniman perempuan hanya dilakukan untuk memperingati hari-hari tertentu yang berkaitan dengan perempuan, misal hari Kartini atau hari Ibu. Pendekatan ini juga harus diubah. Seniman perempuan juga harus dilibatkan dalam pameran-pameran di mana ada keberagaman gender, bukan hanya untuk merayakan identitas keperempuanan. Justru menjadi bagian arus utama juga berarti bahwa seniman perempuan masuk dalam signifikansi dinamika seni secara umum.
Apa harapan terhadap kedudukan perempuan dalam kesenian ke depannya?
Saya berharap suatu saat seniman atau pelaku seni perempuan itu menjadi bagian dalam kanon sejarah seni. Bukan cuma Affandi, Raden Saleh, S. Sudjojono atau Jim Supangkat, tetapi Trijoto Abdullah, Emiria Soenassa, Hildawati Soemantri, Siti Adiyati, juga menjadi bagian dari pengajaran seni rupa kita. Begitu pula dalam proyek-proyek seni ruang publik, harus ada lebih banyak seniman dan kurator perempuan dilibatkan untuk memperkaya perspektif.
Selain itu, penting juga untuk melihat gerakan kebudayaan perempuan sebagai bagian dari gerakan kemanusiaan secara umum. Artinya gerakan kebudayaan perempuan menjadi bagian dari upaya untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan sosial. Gerakan perempuan harus berkontribusi pada upaya menciptakan dunia yang lebih baik. Seni dan budaya mempunyai peluang yang sangat besar dalam konteks ini.
Saya berharap suatu saat seniman atau pelaku seni perempuan itu menjadi bagian dalam kanon sejarah seni. Bukan cuma Affandi, Raden Saleh, S. Sudjojono atau Jim Supangkat, tetapi Trijoto Abdullah, Emiria Soenassa, Hildawati Soemantri, Siti Adiyati, juga menjadi bagian dari pengajaran seni rupa kita.