Tentang Keberlanjutan & Kolektif Sebagai Tempat Belajar bersama Indra Ameng & Julia Sarisetiati
Kami berbincang dengan Indra Ameng dan Julia Sarisetiati tentang proses ruangrupa berevolusi dari awal hingga keterlibatannya di Gudskul Ekosistem.
Words by Whiteboard Journal
In partnership with British Council - DICE (Developing Inclusive Creative Economy)
Teks: Ibrahim Soetomo
Foto: GUDSKUL/JIN PANJI
Keberlanjutan merupakan salah satu faktor penting dalam kerja kolektif. Tak melulu menyoal tentang ketersediaan ruang dan uang, keberlanjutan kolektif juga adalah tentang berbagi pengetahuan. Dari sinilah sebuah kolektif juga dapat menjadi ruang belajar bersama. Kami berbincang dengan Indra Ameng dan Julia Sarisetiati tentang proses ruangrupa berevolusi dari awal hingga keterlibatannya di Gudskul Ekosistem, serta pentingnya menciptakan ekosistem yang dinamis eksploratif agar tetap relevan dengan zaman.
Sebagai pelaku yang telah aktif dalam kerja kolektif dari tahun 2000an, bagaimana Ameng dan Sari melihat pola-pola kolektif untuk bisa bertahan dan berumur panjang?
Indra Ameng (A): Kalau gue melihatnya dari konteksnya. Konteks pasti beda-beda. Terus juga balik lagi, kita mesti melihat visi misi terbentuknya sebuah kolektif. Kalau kolektif dari 2000-an hampir semuanya karena ada momen di mana ada era baru. Keterbukaan setelah ‘98 itu memang menjadi konteksnya. Kemudian kalau dari perkembangannya itu kita juga bisa lihat setelah 20 tahun. Masing-masing punya jalur sendiri untuk ditempuh, tapi juga ada yang bubar. Rata-rata sebenarnya problem-nya kalau gue lihat itu adalah bagaimana supaya bisa tetap kontekstual dan relevan. Dan bagaimana supaya bisa bergerak atau berkembang atau juga berubah. Makanya kadang ada perpindahan jalur, jalan dan cara, sama necessity-nya, keperluannya, dan satu lagi: regenerasi.
Pola di kolektif yang lahir tahun 2010 ke atas pasti konteksnya beda. Mungkin bisa dilihat lebih ke wilayah artistiknya. Berkumpulnya kolektif itu lebih ada pandangan artistik yang baru. Sementara mungkin kalau kolektif sebelumnya ada masalah politis juga. Ada masalah kebutuhan untuk menyatakan pandangan-pandangan baru yang sifatnya mungkin lebih ideologis. Sementara kalau kolektif di 2010 ke atas itu urusannya sama waktu. Gimana caranya memperlihatkan konsistensi.
Orang butuh banyak ruang untuk bisa tumbuh.
Julia Sarisetiati (S): Kalau menurutku sama seperti Ameng, setiap generasi punya tantangan zaman, tapi kuncinya adalah bagaimana cara mereka mengidentifikasi tantangan itu dan bisa meresponnya. Tetap tidak ada bedanya, mau zaman dulu maupun sekarang, tetap butuh ruang untuk bisa melakukan kerja-kerja identifikasi, bisa berkumpul, tukar pikiran, kerja bareng untuk merespon tantangan yang ada. Makanya tetap kebutuhannya sama menurut aku. Dalam konteks creative hub jadinya meresponnya dengan cara-cara yang kreatif pastinya.
ruangrupa sudah berkiprah dari 2000, apa yang membuatnya bisa bertahan hingga saat ini?
S: Ini ruang yang dibutuhkan di mana-mana. Orang bisa tumbuh. Orang butuh banyak ruang untuk bisa tumbuh. Makanya ruangrupa jadi terus relevan buat gue personal.
Kami juga berevolusi dari ruru awal tahun 2000. Waktu itu masih ruangrupa di Tebet. Memang sudah ada ide bekerja bersama jejaring yang selama ini udah sering terlibat mengembangkan kerjaan bareng-bareng. Seperti dengan Serrum dan Forum Lenteng, untuk bikin unit usaha bersama. Memang cita-citanya supaya ada banyak cara bisa bertahan hidup. Awal mulanya itu. Maka dari itu kita bikin yang namanya RURU Corps. Terus mikir mikir lagi, ngobrol-ngobrol lagi, kok kayaknya kita masing-masing ada di Jakarta, tapi beda-beda tempat, dan susah ngobrol, padahal masing masing punya resource, punya sumber daya yang beda-beda, punya program, punya keahlian, punya pengetahuan, yang sebenarnya akan menjadi kaya banget kalau terkoneksi. Cuma tantangannya adalah situasi Jakarta yang susah sekali untuk bisa ngobrol, untuk bisa kerja bareng. Kita sudah capek di jalan.
Maka, waktu dapat kesempatan mengelola Gudang Sarinah Ekosistem, pas banget jadinya. Punya satu ruang bersama yang memang menjadi pengalaman baru buat kami. Yang tadinya hanya mengatur kolektif dengan format rumah, jadi harus mengelola institusi besar yang super mahal. Kami bahkan belajar banget dari hal-hal yang selama ini terlihat remeh temeh seperti mengelola toilet. Begitu kita nge-host ribuan orang, ternyata mengelola sebuah toilet juga menjadi pengetahuan.
I: Satu lagi, kalau melihat 20 tahun ruangrupa, di situ akan terlihat bagaimana kami coba beradaptasi ngerespon perkembangan. Kalau di ulang tahun ke-10, kami bicara tentang kebutuhan untuk ekspansi. Kenapa kami perlu ekspansi? Karena memang kami melihat kalau punya ruang, berkolaborasi, berjejaring dan saling terkoneksi satu sama lain itu dibutuhkan. Pertama, kami juga pengen ada sharing power, jadi tidak ada satu grup yang jadi besar sendiri, tapi maunya bagaimana supaya bisa gede bareng-bareng. Kemudian juga karena kami concern sama regenerasi, pembagian peran, sampai akhirnya divisi-divisi di ruangrupa harus bisa belajar bekerja menghidupi divisinya masing-masing. Makanya dipecah-pecah, dengan didukung ceritanya Sari tentang bagaimana kami mengembangkan si unit bisnis. Karena sebelumnya tidak ada.
S: Sebelumnya, kami tidak ada bayangan untuk membuat unit-unit lain demi keberlanjutan. Ternyata ada banyak cara dengan memanfaatkan potensi-potensi yang ada di ekosistem, sesuai keahlian masing-masing. Tapi yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana suatu program bisa hidup dengan sendirinya. Misalnya RRRecfest, acara bisa di-support oleh si biro komunikasi, tapi dia bisa hidup dengan mengelola festivalnya itu sendiri. Saat itu adalah periode di mana hal-hal itu dieksplorasi.
I: Misalnya bagaimana RURU Shop bisa mengelola dirinya sendiri. Jakarta 32°C juga ketika di Gudang Sarinah belajar mengelola festivalnya sendiri. Secara pribadi, gue belajar banyak banget di Gudang Sarinah.
S: Gimana caranya kami tidak jadi center. Lebih membagi pengalaman, memberi ruang, dan memfasilitasi.
I: Supaya terjadi pembagian peran, ada delegasi ke yang baru, yang muda, untuk bereksperimen, dan terus supaya tidak menjadi center. Banyak inisiatif kecil-kecil dan bagaimana caranya supaya mereka bersinergi. Nah, di situ susahnya, bagaimana kita bisa bersinergi antara satu divisi dengan divisi lainnya. Bagaimana kita bisa saling bertukar resource. Jadi sebenernya, kalau dari perspektif gue fase Gudang Sarinah itu jadi trial and error-nya.
S: Itu laboratorium yang sangat mahal, tapi di sana kita belajar banyak. Mungkin pembelajarannya akan berbeda ketika harus menggunakan ruang-ruang lain di luar ruang yang kita kelola sendiri.
Dari Gudang Sarinah, ruangrupa belajar banyak terkait mengelola resource dan sebagainya. Apakah dari situ muncul gagasan tentang “Lumbung”?
S: Konsep lumbung yang adalah istilah kami untuk collective pot ini sebenarnya sudah lahir di tahun 2011. Lumbung ini adalah embrionya RURU Corps, unit usaha yang difungsikan untuk menghidupi gagasan yang ada di ruangrupa. Tapi si collective pot yang kita sebut Lumbung itu baru muncul di Gudang Sarinah. Ini karena kami sudah punya lebih banyak anggota dengan keahlian masing-masing. Kami membayangkan konsep Lumbung ini jadi lebih tangible.
Dari situ, kami juga jadi transparan secara finansial seiring waktu sampai akhirnya itu terjadi dan beneran kami bisa saling support. Misalnya ada kekurangan untuk membayar listrik, atau menggaji karyawan, memang kalau sumber dana yang ada itu kurang, salah satu organisasi di sini bisa dengan sukarela menaruh surplus.
Jadi memang praktiknya sudah dimulai dari Gudang Sarinah. Waktu itu kan berasa banget kerjanya. Sesederhana nyatuin audiens aja. Kita punya audiens masing-masing. Ini ketika disatukan, resonansinya lebih besar. Itu juga bisa dilihat sebagai resource. Ibaratnya, kalau dari kacamata musisi, lirik lo lebih kedengeran. Musik lo jauh lebih besar volumenya. Berasa banget dampaknya ketika di Gudang Sarinah.
I: Satu lagi yang paling krusial dari pengalamannya ruangrupa selama ini adalah gimana kita invest banyak sekali di waktu. Waktu ketemu, waktu nongkrong, segala macem. Tapi itu juga karena itu memang visi kami, bahwa kami memang concern sama proses. Dan proses itu memang ada investasi waktu. Karena kita harus taking care waktu yang lebih panjang dari semua proyeknya. Semuanya harus digarap dari nol, dari gagasan dasar, dari sketsa. Jadi kalau tidak ada investasi waktu yang cukup, kita tidak bisa bicara apa-apa.
Tapi itu juga karena itu memang visi kami, bahwa kami memang concern sama proses. Dan proses itu memang ada investasi waktu.
Proses ini sebenarnya yang akhirnya diakumulasi ke experience kolektif. Bagaimana akhirnya experience saat perbedaan individu yang punya pengetahuan beda-beda ini bisa memberi kontribusi ke berbagai proyek yang dilakukan. Dan akhirnya proses kolektif ini berjalan dengan alami, dengan organik. Dan itu akhirnya berpengaruh juga ke berbagai hal, misalnya, kerja kolektif ini terjadi dengan kesadaran bahwa tidak ada satu ide tunggal. Ini memang ide bersama. Sudah lupa siapa yang pertama kali ngomong, toh yang pertama ngomong belum tentu ide dia yang paling bisa direalisasikan, karena harus ada input dari yang lain. Atau misalnya dengan support dari jago kerja lapangan, produksi, negosiasi, keuangan, dan sebenarnya collective experience ini yang akhirnya juga memperkaya dan berjalannya kolektif-kolektif ini. Kenapa akhirnya selalu berubah atau bisa berkembang? Karena kita menyadari bahwa ini selalu ada kolaborasi, harus ada kerja kolektifnya, karena itu kita tidak boleh jadi sesuatu yang eksklusif, kita harus ngebuka lagi.
Makanya akhirnya setelah 10 tahun kami misinya justrunya expand. Lewat pameran “Decompression” itu kami membuka ruang, membuka kerjasamanya. Kalau dilihat dari fase Gudang Sarinah itu entitasnya juga sudah jauh lebih besar dibanding ruangrupa waktu di Tebet. Di situ sudah campur-campur banget. Dan di situ kita tidak melulu mentargetkan keberhasilan atau berprofit, penekanannya di proses. Belajar dan berproses bareng. Kalau yang gagal, banyak (tertawa).
S: Eksperimentasi memang akhirnya yang jadi luar biasa mahal.
I: Tapi memang dibutuhkan keberanian untuk terbuka dan kerja bareng dengan kelompok atau entitas lain yang mungkin berseberangan. Itu dibutuhkan untuk memperkaya proses.
S: Gue sih melihatnya menarik banget kalau melihat usaha-usaha membaca praktik kolektif kayak gini. Ruang ini dimaknai apa sih sebenarnya? Mengapa jadi penting untuk membiayai satu ruang yang ngasih kesempatan untuk orang bereksperimen? Ini kan menghamburkan uang jadinya. Kalau konteksnya adalah kita menggunakan dana publik dari pemerintah, itu harusnya bisa dikontribusikan kembali kepada publik manfaat-manfaatnya. Tapi kan tetap butuh ada ruang untuk nurture. Jadinya ke situ. Intinya butuh ada ruang untuk tumbuh.
I: Jadi tadi kalau balik lagi ke pertanyaan soal collective sustainability, kunci adalah investasi waktu lebih, sama proses. Kita percaya bahwa proses itu memperkaya masing-masing yang terlibat. Dan satu lagi, bagaimana proses itu jadi ruang yang ternyata menjadi kebutuhan banyak pihak. Akhirnya kebutuhan itu terus ada. Itu relasinya.
S: Makanya kolektif generasi muda selalu punya kebutuhan untuk merespons satu hal, tapi juga butuh ruang untuk tumbuh dan eksperimentasi dan mengambil resiko. Kalau tidak ada ruang, tidak akan ada hal-hal baru yang mungkin menjadi jawaban kontekstual dalam konteks periode zaman mereka hidup.
I: Kalau Iswanto Hartono menggambarinnya itu banyak noise, tapi harus jadi voice, tapi juga butuh ruang atau tempat sebagai speaker yang mengamplifikasinya.
S: Bisa jadi speaker. Bunyinya akan menjadi kencang ketika kita banyak yang taruh suara.
I: Kami sudah punya kepercayaan sama kerja kolektif dan kolaborasi yang akhirnya jadi perkumpulan berbagai surplus pengetahuan. Dia punya resonansi. Karena kalau tidak ada kebutuhan akan pengetahuan atau skill atau keahlian dari si ini dan si itu akhirnya jadinya noise aja.
S: Inisiatif-inisiatif baru ini kan noise sebenarnya. Mereka butuh ruang untuk jadi voice. Gimana caranya voice ini bisa beresonansi? Ya kita kerja bareng.
Inisiatif-inisiatif baru ini kan noise sebenarnya. Mereka butuh ruang untuk jadi voice. Gimana caranya voice ini bisa beresonansi? Ya kita kerja bareng.
Berarti memang kegiatan yang berbasis proses ini jadi prinsip collective as school?
I: Bagaimanapun juga, praktik kami itu praktik artistik, seni rupa. Itu kan selalu butuh kebaruan juga dalam mengartikulasikan gagasan-gagasan. Karena itu kita harus belajar terus, makanya ruang selalu dibutuhkan. Gimana sih mengartikulasikan itu? Tidak bisa kalau lo cuma kayak jadi demonstran atau aktivis turun ke jalan. Tidak bisa. Praktik kita artistik. Kita harus kasih artikulasi yang berbeda, yang imajinatif dan bisa menginspirasi orang lain. Makanya ketika ada issue atau hal apapun, sebenarnya kalau di praktik yang kita percaya, kita bukannya confront sama sistem yang kita tidak suka, tapi kita bikin sistem sendiri. Supaya sistem ini menawarkan alternatif atau imajinasi yang lain. Supaya sistem yang kita confront terganggu karena kita memberi tawaran lain.
S: Makanya lagi-lagi ini menjadi sekolah. Proses membuatnya sembari belajar. Terus menerus mengidentifikasi dan mengevaluasi.
I: Karena di sini juga, kalau kita ngomongin capitalism, atau satu pihak yang punya power, dia udah mengambil dengan mudahnya apa-apa yang diinisiasi sama gerakan-gerakan radikal.
S: Yang beda itu sirkulasinya. Apakah dia kemudian beroperasi sebagai lumbung atau dia memperkaya diri sendiri. Bedanya itu. Yang nyaplok biasanya attitude-nya beda.
I: Akan digunakan untuk kepentingannya sendiri. Kalau seni rupa, misalnya, galeri akan mamerin karya seni, itu akan dijual untuk memperkaya yang punya galerinya, misalnya. Sedangkan kalau kami punya ruang, ruang ini mesti untuk keperluan yang lebih besar, bukan untuk memperkaya dirinya. Semisal kalau ada galeri memberikan tawaran alternatif tapi itu untuk memperkaya dirinya sendiri, itu akan sama saja. Karena hasilnya tidak didistribusikan lagi.
Situasi caplok mencaplok ini terjadi ketika ruangrupa terbentuk?
I: Pasti ada. Dan tidak apa-apa juga. Biarin saja. Kalau buat gue sih ya itu memang hukum alam. Satu hal yang menarik adalah kolektif ini beda dengan individu. Sekolah individu itu ada, tapi sekolah kolektif tidak ada. Di kolektif itu ada satu proses di mana kita menciptakan satu karakter dalam konteks seni. Sampai kalau ada orang yang caplok gaya lo, itu pasti sudah teridentifikasi.
Urusan yang penting kalau di kerja kolektif itu gimana harus bisa berbagi peran dan rolling kerja.
S: Agar individu bisa tahu kompleksitasnya dan punya empati juga terhadap kerja-kerja reproduktif. Akhirnya punya kesadaran bahwa semua peran itu penting.
I: Intinya adalah jangan uangnya yang nge-drive, tapi gagasannya yang nge-drive. Karena pasti akan beda banget.
S: Economy for the people atau People for the economy. Subjeknya yang mana nih? (Tertawa)
Intinya adalah jangan uangnya yang nge-drive, tapi gagasannya yang nge-drive.
I: Kalau misalnya perumpamaannya klub bola, bisa siapa saja yang ngegolin. Seharusnya begitu kalau dia udah punya pola permainan, tidak penting siapa yang mencetak gol. Operannya bisa dari belakang, bisa dari samping. Jadi sebenarnya kalau ngomongin sustainability, perlu juga dilihat gimana distribusi perannya baik bisa siapa aja yang menciptakan gol atau memberi surplus. Surplus ini bukan soal uang atau dana saja, tapi juga surplus pengetahuan dan pengalaman. Kalau tidak begitu, hanya ada dari satu orang saja dan itu capek. Habis dia. Endurance-nya tidak panjang. Sustainability itu juga tentang endurance. Kalau satu diperah, aduh. Misalnya yang kita perah misalnya hanya Serrum Arthandling, akan susah.
S: Masing-masing harus tumbuh.
Praktik yang dinamis ini memang bisa terus-menerus beradaptasi dan berevolusi ya.
I: Iya. Karena tantangannya beda terus. Tantangan zamannya, tantangan generasi. Tiap generasi punya masalah sendiri. Beda-beda. Kita harus belajar terus, kita mesti tahu ruang yang seperti apa yang bisa dikasih. Karena bentuk ruangnya juga akan berbeda.
S: Ruang bersama seperti ini makin tidak ada. Sekarang isinya ruang komersil semua.
Tiap generasi punya masalah sendiri. Beda-beda. Kita harus belajar terus, kita mesti tahu ruang yang seperti apa yang bisa dikasih.
I: Lihat saja sekarang perkembangan kampus yang sudah tidak bisa menjawab tantangan zaman lagi. Dengan percepatan informasi yang ada hari ini, mereka tak bisa lagi menghadapi ini.
S: Iya. Sudah kuno. Sekolah itu harusnya berevolusi. Ini di seluruh dunia terjadi. Kita sudah lumayan terlambat. Di beberapa negara mereka bahkan sudah coba ngeruntuhin border-border atau departemen-departemen itu dan berpikir bagaimana caranya kita bisa lintas disiplin. Kalau kita masih panjang.
Belum lagi pasar tenaga kerja yang bisa menyerap mereka itu semakin sedikit. Kadang-kadang tidak kontekstual juga. Misalnya ada satu departemen yang sudah surplus, tapi orang-orangnya diproduksi terus, sementara pasar tenaga kerja yang mampu menyerap mereka itu sudah tidak bisa nampung lagi. Jadi semacam “pembodohan”. Seharusnya mereka bisa dengan cepat menangkap kebutuhan yang kontekstual. Jangan diproduksi terus, nanti mereka kerja di mana? (tertawa)
I: Keinginan kami adalah menjadi tempat bagi mereka yang nantinya bisa jadi inisiator atau produser. Dan iklim atau ruang yang bisa menciptakan itu kan kurang banget.
S: Butuh dipikirkan juga arsitekturnya bagaimana. Sekolah, kan, arsitekturnya terdiri dari tembok-tembok. Jangan-jangan ini memang arsitektur kolonial. Makanya sekolah harus mengubah desainnya. Karena kalau tidak, lantas dengan cara apa orang bisa berinteraksi?
I: Membicarakan collective sustainability kalau buat gue memang praktik yang terus berkembang dan tidak akan mati karena kebutuhannya tetap ada. Dan kebutuhan hari ini adalah kerja kolaborasi. Berjejaring dan saling membuka dirinya, karena bukan lagi zamannya kompetisi yang negatif.
Lantas dengan membangun ruangrupa, kemudian studi kolektif Gudskul, adalah untuk menghadapi dan meng-counter situasi institusi yang terjadi hari ini?
S: Awalnya itu sebenarnya sesimpel karena kami sudah punya pengalaman berpraktik selama 20 tahun, lalu kita melihat banyak yang struggling untuk bisa sustain. Makanya kami datang ke kolektif-kolektif yang ada di banyak kota untuk ceritain bahwa kami sudah punya Gudskul sebagai ruang kolektif. Gimana nih bisa jadi kesempatan pengalaman berbagi pengalaman dan pengetahuan bagi mereka yang sebenarnya percaya dan punya praktik-praktik yang serupa? Makanya kami bikin program studi kolektif selama 1 tahun di Gudskul. Misalnya, Ameng punya pengalaman yang ada di badannya, lalu gimana caranya dengan membuat sekolah pengalaman ini bisa diartikulasikan lagi?
I: Dan ini juga masih akan terus berkembang. Belum jadi formula yang ajeg juga. Kalau dulu kan zaman di Tebet kami nongkrong seharian dari mulai kerja bareng bikin proyek atau bikin pameran atau bikin party, minum minum, kan di situ prosesnya justru. Nah ini sekarang kami coba dibikin jadi kelas. Itu saja tidak mudah mengartikulasikannya.
S: Iya. Bisa kita evaluasi dan pertanyakan lagi. Apakah memang formatnya kelas? Atau memang harus kerja bareng, jadi kami bisa ikut belajar?
I: Yang tidak bisa kita pungkiri adalah bahwa hampir semua yang dialami di sekolah atau di kampus itu mereka mengembangkan kemampuan individu, bukan belajar kerja bersama. Itu juga tidak mudah. Mengganggu mindset itu susah, untuk bisa berimprovisasi, atau untuk memantik orang supaya mau berinisiatif untuk mengerjakan kerjaan yang memang dia punya concern di situ bukan hal yang mudah. Akhirnya itu juga perlu tempat belajarnya juga, karena tidak gampang kita buat ide dan merealisasikan proyek sendiri di tengah kebutuhan sehari-hari.
S: Iya, apalagi di Jakarta (tertawa).
I: Makanya dari awal di ruangrupa kami menyadari itu. Butuh ruang untuk kerja bareng karena kami tahu keterbatasan kami masing-masing dalam menginisiasi ide-ide kami sendiri. Dan akhirnya ruang ini tumbuh dengan sendirinya. Ketika awalnya kita kerja bareng untuk garap pameran proyek program, pada akhirnya masing-masing dari kami bisa channeling dirinya, atau mengembangkan dirinya masing-masing dari proses belajar ini. Dia bisa menemukan perannya sendiri. Dan untuk menemukan peran ini tidak bisa cuma sebentar. Butuh waktu. Kami percaya bahwa tidak ada yang bisa instan dalam berkolektif, karena kita menghadapi sistem yang sudah lama di pendidikan.
S: Mindset individual. Mindset kompetisi.
I: Gue tidak ngomong kalau model ini paling benar. Ini cuma satu model yang kami tawarkan. Banyak model-model lain yang bagus dan keren. Kami hanya ngomongin model yang kita percayai. “Oke, ini kami ada sekolah, dan ini yang kami tawarkan.”
Karena memang setiap daerah itu punya persoalan berbeda ya.
I: Iya. Dan ini belum ada rumusnya.
Tapi apakah perlu rumus?
I: Tidak. Tapi kalangan akademik membutuhkan itu.
S: Mereka butuh resep yang bisa dimasak. Padahal kalaupun ada, resep dasarnya harus dimasak dengan cara lo sendiri karena konteks ruang yang beda.
I: Ketika kami presentasikan Gudskul saat jalan-jalan, mereka minta resep. Apa rumus yang kami pakai? Tidak ada (tertawa). Karena balik lagi ke realitasnya masing-masing. Realitas geografis. Satu hal, kami percaya sama kerja kolektif. Caranya seperti apa? Ya itu masing-masing bisa menemukannya sendiri. Jadi yang ditawarkan itu bukan rumus, tapi model. Berbagai model yang bisa dimodifikasi dan diadaptasi lagi. Makanya ketika kita ngomongin konsep lumbung, itu kan sebenarnya prinsipnya. Kita tidak ngomongin lumbung secara tradisional, secara pertanian.
S: Ini menjadi metafor. Yang disetor bukan padi, tapi sumber tangible dan intangible apapun itu yang cocok dan ada di komunitasnya. Yang menarik dipelajari lagi adalah gimana sih prinsip berbaginya di lumbung tradisional? Model governance-nya gimana sih? Dan kalau ditarik ke konteks Gudskul, ya collective governance. Mungkin dulu tetap ada senior-senior yang mengatur soal pembagian, tapi kalau sekarang, yang harus dipelajari adalah etika bagaimana mengelola sumber daya secara bersama-sama. Itu kan proses belajar.