Potret Diri sebagai Kritik Sosial bersama Agus Suwage
Kami berbincang dengan seniman Agus Suwage tentang lukisan potret diri sebagai kritik sosial, pameran tunggalnya di MACAN kini, serta isu identitas sebagai suatu yang niscaya diangkat oleh seniman lintas zaman.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Ibrahim Soetomo
Agus Suwage merupakan seniman multidisiplin dengan karir yang merentang 30 tahun. Sebagai seniman yang mulai berpraktik di masa Orde Baru, lukisan-lukisan potret dirinya banyak bicara identitas, sosial, politik, dan budaya yang kerap dibalut humor, satir, parodi, hingga simbol-simbol obskur. Kini, rentang karirnya dapat kita lihat di pameran “Agus Suwage: Theater of Me” di Museum MACAN. Prinsip kerjanya sederhana, yaitu terus mengeksplorasi dan biarkan gagasan karya muncul secara natural, seperti awal kesukaannya pada seni rupa. Kini, yang penting baginya adalah gagasannya tetap terus hidup.
Agus Suwage telah berkiprah selama 30 tahun. Karya Anda merentang lukisan, patung, seni gambar hingga instalasi. Mari kilas balik, bagaimana awal mula ketertarikan Anda dengan seni rupa? Apakah dari kebiasaan gambar-menggambar sedari kecil?
Saya bukan dari keluarga yang background-nya seni, tapi sejak kecil saya sudah senang menggambar. Saya sebenarnya berasal dari keluarga yang awam banget, kan. Saya dibesarkan dari keluarga pedagang, tidak pernah diberi kursus, tidak pernah diberi les, saya bukan dari keluarga yang terlalu memperhatikan itu. Namun, saya mencari sendiri. Tidak dilarang keluarga, tapi juga tidak di-support sebenarnya.
Waktu kecil misalnya, ayah saya sering menyuruh saya jemuran–waktu itu saya masih umur-umur SD–antara jam 8 – 9 pagi. Rumah saya kan di pertokoan, ada semacam trotoarnya, dan saya berjemur di situ. Dijemur di trotoar begitu, kan, bosan? Maka saya sudah mulai menggambar pakai kapur. Gambarnya bisa panjang sekali. Misal gambar kereta api bisa sampai ujung trotoarnya. Saya semacam belajar sendiri.
Di rumah juga disediakan papan tulis dan saya menggambar pakai kapur. Dan saya baru sadar juga, saya ternyata sudah menggambar graffiti dari kecil (tertawa). Saya gambar pakai arang dan tembok di belakang rumah itu penuh coret-coretan. Kemudian, di tahap sekolah, saya sempat meraih juara melukis di tingkat Kabupaten Purworejo.
Saat SMA, saya masuk sekolah Katolik. Saya mengambil jurusan IPA. Di sana saya banyak menggambar garis-garis dengan mistar, lebih terukur dan bukan gambar bebas. Setelah itu saya memilih jurusan desain grafis di ITB.
Anda mengambil pendidikan desain grafis di ITB, bagaimana akhirnya Anda memutuskan untuk menjadi seniman penuh waktu?
Waktu itu, saya pernah melihat pameran grafis dari kelompok Decenta. Anggotanya kan dosen-dosen Bandung. Saya sangat tertarik dan punya angan-angan kalau saya ingin sekolah ke jurusan ini, seni grafis. Saya sebenarnya daftar ke dua kampus, yaitu ISI, mengambil jurusan Lukis, yang kedua ITB. Kalau di ITB kan enggak ada penjurusan di setahun pertama. Pendidikan dasar dulu. Saya diterima di ISI, tapi saya gak ambil karena bosan dan SMA saya sudah di Jogja. Maka saya pilih ITB.
Entah mengapa, saya masuk ke jurusan desain grafis. Kemungkinan besar karena waktu itu saya terpengaruh teman-teman sekitar, di mana mereka mengatakan kalau ambil desain grafis masa depannya lebih gampang begitulah. Waktu masuk penjurusan desain, saya juga sempat menyesal, “Kenapa saya milih ini?” Namun dikarenakan untuk pindah jurusan saya harus mengulang dari awal lagi, saya lanjutkan saja sampai selesai. Tapi, setelah saya sadari, jurusan desain justru jjadi benefit buat saya, karena saya jadi tahu ilmu-ilmu desain dan saya mempraktikkannya karena saya pernah jadi desainer grafis. Tapi setelah memutuskan pilihan hidup, kayaknya saya gak cocok di desainer karena banyak kompromi. Saya susah kompromi dengan klien. Dan mungkin panggilan jiwanya sedari awal adalah seni murni. Sehingga saya memutuskan menjadi seniman penuh waktu. Ini pakai proses, gak semerta-merta jadi, karena sempat takut susah hidup, karena zaman itu stereotipe seni murni masih berat. Kalau saya di desain saya punya penghasilan tetap, seperti itu.
Berarti sempat bekerja sebagai desainer grafis, ya?
Ya, saya pernah bekerja desainer grafis di perusahaan Jepang selama setahun. Setelah itu saya sempat mendirikan biro grafis bernama Work Gallery bersama teman-teman. Kebetulan studio saya agak gede, jadi saya sering pajang lukisan di sana. Saya memang hobi memajang karena memang panggilan hati. Waktu itu saya masih mengekos, saya akan pajang-pajang karya.
Kemudian ini ada hubungannya dengan kurator Jim Supangkat. Waktu itu Jim sering jadi kurator, dan dia juga salah satu senior. Dia dulu bekerja di Yayasan Seni Rupa Indonesia. Dia lihat karya-karya saya–waktu itu dia sedang menyusun buku kalau tidak salah–tapi di satu sisi kan dia kurator? Jadi dia ajak saya pameran di YSRI itu. Habis itu saya jadi percaya diri, terpilih bukan di pameran desain grafis, tapi seni murni. Keinginan jadi seniman menguat. Habis itu saya diajak pameran di Belanda, ada karya yang laku, saya makin percaya diri. Saya makin yakin untuk jadi full time artist.
Anda banyak melukis potret. Jika ada yang belum pernah melihat langsung, saya rasa setidaknya orang akan melihat lukisan Anda tersebar dalam cover-cover buku, misalnya. Dalam dunia seni rupa, melukis potret diri maupun tokoh tertentu merupakan sebuah tradisi panjang. Bagaimana awal mula ketertarikan Anda pada lukisan potret? Apa yang membuat lukisan potret Anda berbeda?
Jika ditelusuri, lukisan potret bagi saya bukan sekadar medium untuk dokumentasi wajah, melainkan saya menggunakan wajah, gestur, atau postur sebagai komentator ide-ide saya, sebagai ekspresi bahwa saya ingin mengkritik dan mengkomunikasikan pengalaman saya dari mimik wajah atau postur tubuh saya. Self-portrait saya merupakan medium untuk ekspresi dan ide, bukan hanya wajah secara verbal seperti foto. Ini banyak pengaruhnya, ya. Saya melihat banyak karya, terutama seorang seniman Jepang, Yasumasa Morimura. Ia mengapropriasi karya-karya lain dari misalnya Edouard Manet atau Andy Warhol. Dalam lukisan, wajah dia akan didandani dengan detil yang luar biasa. Ada juga seniman-seniman lain yang bukan melukis self portrait, seperti Rembrandt. Kemudian yang medium foto ada juga Cindy Sherman.
Kemudian saya sempat satu rumah dengan seorang fotografer Erik Prasetya ketika saya tinggal di Jakarta. Dia sering motret-motret saya, dan ketika saya lihat fotonya, saya pikir, “Oh, ini bisa dilukis nih!” Dari situ saya mulai drawing. Semenjak itu saya minta untuk difoto agak ngelunjak, karena gratis, kan? (tertawa) Secara ekonomi, saya tidak perlu pakai model foto. Tapi secara konsep, karena saya pakai wajah saya untuk kritik, saya lebih baik melakukan self critique dulu.
Rasanya proses berkarya Anda bukan resep rahasia. Anda akan terlebih dahulu memotret diri sendiri, kemudian melukis berdasarkan jepretan tersebut. Ada tanggapan yang menyatakan bahwa Anda menjadi subjek dan objek lukisan sekaligus, kalau tidak salah Enin Supriyanto yang bilang begitu?
Ada komentar dari Lee Wen, seorang seniman Singapura yang kini sudah meninggal. Kami pernah mengobrol dan dia bilang, “Kamu itu sebenarnya sedang melakukan performance, tapi strategi kamu beda, politiknya beda. Kamu membekukan performance jadi potret dan tidak dipertunjukkan secara live, tapi justru freeze-nya yang kamu pakai.” Saya terkadang memang begitu. Saya memperagakan ide saya, misalnya, makan kodok. Ide saya untuk karya ini adalah kerakusan manusia, judulnya “The Super Omnivore” (2003), pemakan segalanya. Praktiknya, saya harus foto dulu, kemudian memperagakan selayaknya performance. Terpaksa saya harus memakan kodok mentah-mentah. Saya sadar, ketika saya melakukan performance, misalnya harus tidur, pakai topeng babi, berguling jatuh dari tangga, itu semua benar diperagakan dan di foto. Alasannya sama, yaitu untuk menyampaikan suatu gagasan yang bukan hanya wajah tapi ide.
Self-portrait saya merupakan medium untuk ekspresi dan ide, bukan hanya wajah secara verbal seperti foto.
Anda juga kerap memberi tribute pada tokoh-tokoh terkenal, dari Chairil Anwar, ke Frida Kahlo, ke Thom Yorke. Bagaimana Anda mencerna proses melukis potret yang bukan Anda? Apakah tindakannya sama–bahwa mereka adalah subjek dan objek sekaligus?
Ada masanya. Saya melukis self portrait secara intens itu dari tahun 1995 hingga 2005, hampir tidak menyentuh tema lain. Saya merasa jenuh. Saya ingin mengakhirinya karena capek, bosan, dan ingin ganti topik. Saya berpikir untuk menggambar para performance artist dulu. Menurut saya, performance artist yang bagus itu ada di kalangan perempuan. Saya lukis ulang dari foto. Kemudian saya beranjak ke tokoh-tokoh musik karena saya dekat musik. Kemudian ada Chairil Anwar. Ini hubungannya dengan kematian. Ada semacam kontradiksi. Chairil dikenal “ingin hidup 1000 tahun lagi”, tapi saya benturkan dengan bahaya merokok. Rokok itu kan secara medis membahayakan dan mengurangi umur.
Menampilkan figur merokok itu kan simbol. Selain itu, subjek-subjek lukisan Anda kerap disituasikan dengan humor, satir, mime, dan simbol-simbol enigmatik maupun populer. Apakah ini siasat Anda menyampaikan kritik di tengah-tengah pemerintahan Orde Baru?
Rasanya tanpa disadari itu akibat dari studi saya belajar desain grafis. Saya memikirkan cara apa yang bisa saya lakukan supaya komunikatif. Saya menggunakan humor, meski pun kesannya menjadi humor-humor gelap, atau cynical. Seperti karikatur yang mengkritik tapi tidak keras. Mungkin ada teori-teori komunikasi tanpa saya sadari yang keluar dengan sendirinya.
Saya ingin mengajak Anda melukiskan situasi berkesenian di 90-an. Nampaknya, tahun 1993–1994 merupakan tahun yang marak. Selain konteks pemerintahan Orde Baru, wacana yang berkembang di tahun tersebut ialah postmodernisme. Seniman-seniman turut menyuarakan pendapatnya di pameran Biennale IX (1993) dengan medium eksperimental macam instalasi dan performance. Anda sendiri terlibat di pameran itu dengan menampilkan instalasi. Bagaimana Anda bersikap pada wacana tersebut?
Saya sebenarnya tidak terlalu ambil pusing. Saya lebih perhatian sama kemunculan pembaharuan, karena istilah ‘seni rupa kontemporer’ pada masa itu kan masih baru ya. Kemudian, ada postmodern itu. Menurut saya pada saat itu adalah, “Ini urusan penulis, bukan urusan seniman.” Saya mengikuti, tapi ini bukan urusan saya. Saat itu semua masih bertanya, “seni kontemporer itu sebenarnya seperti apa, sih?” Hal ini menurut saya menjadi bekal sekaligus pembelajaran, karena saat itu masih dikotomis dan membingungkan sebenarnya.
Selang dua tahun, Anda mengadakan pameran tunggal pertama kali di Cemeti, Yogyakarta. Bisa ceritakan dalam babak apa Anda saat itu?
Secara personal, saat itu merupakan tahap mencari gaya dan kepercayaan diri sendiri, sehingga babak tersebut penuh akan uji coba dan eksperimen style. Saya juga memerhatikan tema-tema pameran. Awal-awal karya saya banyak berfokus pada komentar-komentar sosial politik diri saya sendiri, dan saya lebih cenderung menegaskan siasat tersebut dibanding gerak postmodernisme atau gerakan lainnya. Tahapan ini merupakan pembelajaran setelah ada pencarian, meski pun hal ini terus berkembang. Pameran saya di Cemeti ada hubungannya dengan medium. Waktu itu saya menggunakan charcoal sebagai media utama. Ini mungkin ada kaitannya dengan ilmu-ilmu postmo dan sebagainya. Kenapa, misalnya, lukisan harus menggunakan cat minyak? Tahun itu setelah 1997, setelah saya menang penghargaan Philip Morris, Agus Dermawan pernah menanggapi, “Ini sih bukan lukisan, ini ilustrasi. Ilustrasi, kok, memang Philip Morris?” Buat saya, komentar seperti itu membuat saya senang. Di lain sisi kan ini pertentangan wacana. Saya justru semakin yakin kalau charcoal bisa jadi medium utama. Hal ini jalan terus hingga sekarang. Misalnya menggunakan medium bukan kanvas, tapi kertas. Kalau di pasar, orang pasti akan menyarankan saya melukis kanvas. Saya terganggu dan justru bersikeras menggunakan kertas (tertawa). Itu kenikmatan bagi saya.
Kini sudah 20 tahunan sejak pameran tunggal pertama Anda. Pameran survei di MACAN Agus Suwage: The Theater of Me menampilkan lebih dari 80 karya Anda. Apa yang membuat Anda konsisten berkarya selama 30 tahun ini? Bagaimana Anda merawat gairah berkarya?
Dalam pameran tunggal, biasanya inisiatif datang dari saya. Pameran saya yang di Jogja, yang dikoordinatori oleh Enin Supriyanto, “Still Crazy After All These Years”, hampir seperti pameran di MACAN, bahkan yang di MACAN mungkin belum ada separuhnya secara jumlah periodenya, karena pameran itu menampilkan karya dari waktu saya kuliah hingga 2009/2010. Karya terbaru saya untuk “Theater of Me” itu adalah “Potret Diri dan Panggung Sandiwara” yang dibuat di 2019 yang isinya ada 60 potret. Karena kan rencananya pameran ini diadakan pada 2020. Waktu itu sudah direncanakan, Aaron Seeto bahkan sudah ngobrol sama saya di 2019. Bedanya kerja dengan museum, pameran “Still Crazy After All These Years” itu kami buat sendiri. Saya yang membiayai semuanya saat itu. Bahkan kami buat buku. Kalau saat ini, inisiatif datang dari Museum MACAN. Soal judul, tema, itu dikerjakan kurator. Kenapa misalnya “Theater of Me”? Mungkin secara kuratorial, walaupun karya saya erat dengan komentar-komentar sosial, politik dan agama, tapi saya menggambarkannya tidak secara gamblang atau verbal, tapi ada layer-layer, taruhlah ada fiksi, sandiwara, yang kalau disatukan bisa menjadi lakon atau teater. Rasanya itu. Karya saya kan beragam. Ada yang politik, personal, keagamaan, humor dan binatang. Mediumnya juga beragam, dari kertas, kanvas, instalasi, fotografi.
Buat saya seni adalah jamu, kalau saya gak minum, bisa gila. Katarsis saya adalah seni.
Karena Anda selalu menemukan gangguan, sehingga karya seni menjadi medicinal.
Buat saya seni adalah jamu, kalau saya gak minum, bisa gila. Katarsis saya adalah seni. Kebetulan katarsis ini bisa menghidupi saya. Itu yang saya syukuri. Saya senang-senang sendiri, buat saya sendiri, tapi hal ini bisa menghidupi saya.
Kini isu identitas tidak hanya berkait dengan politik yang vertikal. Seniman-seniman menyuarakan sikapnya mengenai identitas dan kaitannya dengan gender, budaya, keberagaman, kaum terpinggirkan, hingga upaya representasi lainnya. Nampaknya, selepas Orde Baru, isu identitas tidak akan pernah berakhir, bahkan selalu menemukan relevansinya?
Buat saya, identity secara alamiah akan keluar dengan sendirinya, tidak usah dibuat-buat. Ambil contoh, kalau saya orang Jawa pasti harus menggambar unsur-unsur Jawa atau harus ada wayangnya. Oke, itu pasti akan keluar, tapi dalam konteks kesenian personal, saya lebih senang yang natural saja.
Jadi, saya percaya pada identitas yang keluar secara natural, tidak perlu dicari-cari.
Jika self portrait yang sudah saya tekuni selama 15 tahun menjadi identitas, saya oke saja. Tapi saya tidak peduli dan tidak merasa harus bertahan dengan self portrait terus. Menurut saya itu menipu diri. Saya akan bekerja sesuai kesenangan saya. Hal ini sebenarnya kelihatan. Karya saya ada yang garisnya halus, ada yang kasar. Karya saya seperti siklus. Saya menemukan kebebasan dan tidak terbebani. Jadi, saya percaya pada identitas yang keluar secara natural, tidak perlu dicari-cari.
Kini kita melihat budaya menciptakan avatar seraya dengan maraknya wacana metaverse dan akselerasi digital. Dalam hal ini rasanya batas-batas identitas dan sistem sosial sudah luntur dan justru memunculkan yang baru. Bagaimana tanggapan Anda terkait ini?
Saya pikir itu berkembang sesuai dengan zaman dan juga sangat tergantung dengan kepentingan global, tidak bisa secara parsial. Makanya identitas dapat dengan gampang bisa disalahgunakan sebagai senjata atau sebuah trik karena dunia juga sudah bergeser. perkembangannya juga tidak mandek lagi. Selalu ada yang baru atau bahkan yang baru mengulang yang lama juga bisa dianggap baru. Saya lihat akan begitu terus.
Menurut Anda, apakah ini jadi tantangan seniman-seniman kini?
Iya sih, karena seniman juga harus melihat situasi. Untuk saya sendiri, saya terbuka terhadap apa aja — perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Tapi, itu hak kamu untuk memilih, apakah kamu masih bersikukuh dengan gaya lamamu sendiri atau mengikuti perkembangan zamannya sekarang?
Saya enggan untuk ikut-ikutan tren zaman sekarang, seperti NFT. Jika saya belajar, saya cukup memahami global saja, tapi kalau saya belajar lagi, saya malas. Saya memahami garis besar dan praktik NFT, tapi saya gak tertarik. Orang mau ikut atau tidak, itu terserah saja.
Terakhir, sebagai seniman yang tidak mengenal jeda, apa rencana Anda ke depan?
Saya sangat takut kalau sudah tua tidak bisa ngapa-ngapain (tertawa). Sekarang pun sudah terasa. Misalnya melukis cat air. Melukis cat air kan butuh bidang datar, dan untuk mengerjakan bidang besar, saya perlu meja besar, sehingga tubuh harus berinteraksi. Tulang belakang saya sudah berumur jadi banyak pertimbangan juga. Saya kan maunya produktif, tapi saya juga harus realistis. Kalau instalasi, kerja saya sedikit, karena yang mengerjakan banyak dan saya akan bantu mengontrol. Tapi terakhir-terakhir ini saya malah jarang buat karya tiga dimensi. Kalau bisa, saya ingin hidup seribu tahun lagi, di ranah pemikiran terutama. Fisik memang butuh dijaga dan dikompromi, tapi ide dan pikiran kalau bisa jangan mati.
–
Agus Suwage: The Theater of Me
Museum MACAN
AKR Tower, Jl. Perjuangan No.5,
Jakarta Barat, Jakarta, 11530
Selasa–Minggu
10.00–16.00