Perjalanan Teater Jim Adhi Limas dari Bandung Sampai Perancis
Kami berbincang dengan salah satu legenda teater lokal, Jim Adhi Limas tentang pengalamannya 50 tahun berlakon di teater dan film Perancis, hingga representasi Asia di perfilman Eropa.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Winona Amabel
Foto: Ardi Widja
Tahun 1958, Jim Adhi Limas bersama teman-temannya mendirikan Studiklub Teater Bandung, grup teater kontemporer yang belum umum pada masa itu. Kurang lebih sepuluh tahun setelahnya Jim mendapatkan beasiswa untuk belajar teater di Perancis. Selain mendalami teater ia juga berakting dalam film-film Perancis, selama 50 tahun hingga akhirnya ia kembali ke Indonesia tahun 2017 lalu. Di Komunitas Salihara, Whiteboard Journal berbincang dengan Jim tentang perjalanan awal Studiklub Teater Bandung (STB) sebagai pelopor teater kontemporer Indonesia, pengalamannya selama 50 tahun berlakon di teater dan film Perancis, hingga representasi Asia di perfilman Eropa.
Bagaimana perkenalan awal Anda dengan dunia teater?
Sejak kecil saya itu pemalu. Kalau ada tamu ke rumah saya harus dipanggil dulu baru keluar. Saya sering diajak nonton film oleh ibu dan nenek saya, terlalu sering malah, tapi saya menikmatinya. Bapak saya senang menonton wayang wong (wayang orang), jadi pengaruh teater itu terutama dari wayang wong. Saya sebelumnya tidak mengerti bahasa Jawa karena saya lahir di daerah Sunda. Ibu saya dari daerah Bogor sementara bapak saya dari Kudus, jadi bapak itu berkomunikasi dengan keluarganya selalu dalam bahasa Jawa.
Makanya saya senang menonton wayang wong yang di dekat pasar di Kosambi, Bandung. Biasanya Sabtu diajak, “Ayo ikut!”. Dia tahu saya senang, saya tidak mengerti tapi dia ceritakan saya. Karena itu pada kunjungan pertama kembali ke Indonesia saya bilang ingin melihat wayang wong lagi, berkeliling sampai Jogja dan Solo. Di Solo itu ada Sriwedari, di Jakarta ada Bharata jadi saya nonton juga. Karena saya senang sekali, saya bermimpi bahwa kalau saya pentas atau di film bisa menjadi orang lain, yang awalnya saya tidak berani atau tidak bisa. Jadi sejak kecil itu saya ingin mendalami belajar tentang teater dan film.
Kebetulan bapak saya itu kerja sejak muda sekali, jadi dia ingin pendidikan anak-anaknya lebih tinggi, pokoknya lebih baik dari dia. Makanya waktu itu ketika Indonesia sudah merdeka tahun ’50an saya didaftarkan ke sekolah menengah Belanda di Museum Kristen di Bandung di jalan Dago, itu sekolah terakhir Belanda setelah kemerdekaan. Karena ‘kan orang-orang Belanda pulang tapi tidak bisa sekaligus, membutuhkan waktu sekian tahun, jadi ini terakhir. Di sekolah menengah ini kami belajar empat bahasa: Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman. Saya akhirnya bisa membaca dalam empat bahasa. Jadi ketika kami mendirikan teater STB itu saya bisa membaca naskah-naskah drama dalam bahasa aslinya kemudian diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Bapak saya meskipun suka wayang wong dia tidak setuju saya naik pentas. “Itu untuk hobi saja,” katanya, “tapi kamu tidak bisa hidup dari itu.” Dia keberatan.
Akhirnya setelah sekolah menengah, agar bapak senang saya pendidikannya lebih tinggi, akhirnya saya melanjutkan ke universitas, ke ITB tapi seni rupa, karena dalam keluarga ibu saya ada bakat yang mana dari kakek, ibu dan paman-paman saya semua pandai menggambar, saya juga suka. Jadi saya ambil jurusan seni rupa. Bapak setengah senang, “Ya ITB bolehlah, tapi seni rupa, kamu mau seperti paman kamu?” Ada paman dari ibu saya yang pelukis, saya bilang, “Memangnya kenapa? Dia hidupnya benar, punya keluarga dan segala macam.” Bapak saya tidak pernah melarang atau menghalangi saya, untungnya itu.
Kemudian saya masuk seni rupa. Waktu itu pada tahun ’57 atau ‘58 itu ada perayaan 10 tahun berdirinya seni rupa ITB. Untuk malam perayaan itu diadakan pertunjukan, diusulkan bagaimana kalau drama. Akhirnya kami memilih drama Bali yang ditulis orang belanda bernama Jeff Last, “Jayaprana” judulnya. Jeff Last itu seorang penulis Belanda yang bermukim di Indonesia dan dia senang sekali dengan Bali. Naskah “Jayaprana” itu menaati semua jiwa Balinya. Dia menulisnya dalam bahasa Belanda namun dalam gaya Shakespeare yang lima babak. Semua kerinduannya terhadap Bali, adat Bali, masuk ke situ. Dan meskipun bentuknya seperti Shakespeare dia menaati juga sifat teater klasik Indonesia. Ibaratnya di Barat kalau teater itu ‘kan dipisah-pisah, ada teater komedi, ada opera. Sementara di Asia umumnya dalam drama itu ada nyanyian, omongan, lawakan, hingga ada bagian tragisnya. Misalnya di kisah wayang seperti Ramayana dan Mahabarata ada Petruk, Semar yang melawak, ada bahasa kasar rakyat dan bahasa halus. Jadi di Eropa itu dipisah-pisah sedangkan di timur semuanya ada di satu pertunjukan.
Akhirnya kami mementaskan “Jayaprana” yang disenangi oleh penonton. Kami mahasiswa-mahasiswa seni rupa ITB yang mementaskan itu ingin melanjutkan, akhirnya kami mendirikan Studiklub Teater Bandung (STB) ke notaris. Kami sebetulnya tidak mempunyai uang tapi didukung oleh Pikiran Rakyat, surat kabar dari Bandung, justru salah satu wartawannya sangat suka dan ikut menandatangani. Selain wartawan itu juga ada 7 orang yang menandatangani, dan masih ada barang 10 orang yang semuanya menjadi inti dari kelompok itu. Jadi itu pada tahun ’58 didirikan, hingga saya berangkat tahun ’68 itu kurang lebih 10 tahun. Waktu itu saya tidak berencana untuk tidak kembali, tadinya mau hanya 9 bulan, tetapi akhirnya menjadi 50 tahun.
Saya sekarang di sini bertemu dengan orang-orang, saya bilang sekarang ada kemajuan yang semestinya. Orang-orang kesenian seperti teater, tari, dan musik bisa hidup dari karyanya. Dulu itu kami selama 10 tahun tidak seorangpun yang pernah dibayar, sampai saya berangkat. Tapi kami seperti profesional karena kami menciptakan publik dari tahun ke tahun, langkah demi langkah, semakin banyak. Kami kalau pentas itu uangnya dari pesanan, ada kelompok yang bukan teater sama sekali mau merayakan sesuatu, ingin kami yang pentas. Jadi kami beri usul mau seperti bagaimana, mereka setuju. Setelah 1 hingga 2 malam untuk yang meminta acara itu, kami menggunakannya untuk repertoire. Selama 10 tahun begitu. Banyak budayawan yang menjadi simpatisan sekali, misalnya Iwan Simatupang yang bilang, “Kalian harus berkenalan dengan ATNI, Akademi Teater Nasional Indonesia,” seperti Teguh Karya dan Wahyu Sihombing itu di Jakarta, sekarang yang masih ada tinggal Tatiek Maliyati, aktris utama dari ATNI. Kemudian sebulan setelahnya kami dihubungkan dengan Jakarta, jadi Jakarta (ATNI)-Bandung (STB)-Jogja (Rendra), menjadi 3 kota yang sering saling berkontak dan mementaskan pertunjukan teater modern.
Anda mendirikan Studiklub Teater Bandung (STB) tahun 1958, grup teater modern tertua yang masih berkiprah hingga kini. Menurut anda bagaimana peran STB dalam perkembangan awal teater kontemporer Indonesia?
Peran STB bersama ATNI di Jakarta dan Rendra di Jogja, kami di sini menciptakan teater modern yang mencontoh teater barat tapi kita sadur ke Indonesia. Misalnya pada tahun ’65 itu kami mementaskan “Hamlet” oleh Shakespeare tapi dalam pakaian keraton, dan teks terjemahan Trisno Sumardjo kami cek kembali dengan aslinya. Nama tokoh-tokohnya kami sesuaikan dengan pakaiannya, karena kalau pakaiannya keraton tapi namanya Hamlet kan orang jadi terganggu. Makanya Hamlet diganti menjadi Jaka Tumbal, Ophelia jadi Nyai Ayu Hutainten, penasehat negara Polonius jadi Adipati Gerendaka, Raja Claudius jadi Prabu Sanggarbuana.
Sebelum ke Perancis, Anda sering menyadur naskah-naskah luar, salah satunya “Badak Badak” (“Le Rhinocheros”) karya Eugene Ionesco dan “Perang Troya Tidak Akan Meletus” (“La Guerre De Troie N’aura Pas Lieu”) karya Jean Giradoux. Bagaimana perbedaan konteks budaya mempengaruhi proses penerjemahan dan penggarapan naskah tersebut untuk ditampilkan?
Sejak semula, kami menganggap bahwa Indonesia setelah merdeka mesti bisa selangkah dengan luar negeri. Naskah pertama yang kami pentaskan itu justru beberapa naskah yang sedang dipentaskan di Amerika, Eropa, dan Australia. Kami pikir kalau mereka bisa, mengapa kita tidak? Kami belum pernah mementaskan yang seperti itu tapi akhirnya bisa membuktikan bahwa kami bisa selangkah dengan barat. Kami cuma membaca naskah, teori, reportase foto, tetapi tidak pernah melihat hasil yang dipentaskan. Namun karena itu tahun ’50-an jadi tidak mungkin ke luar negeri karena jauh sekali, sulit, kecuali Belanda setelah kemerdekaan terkadang mengundang kelompok-kelompok tertentu tapi jarang.
Dan ternyata setelah saya ke Eropa, “Lho, ternyata yang kami laksanakan itu tepat dan mengena.” Karena itulah saya anggap bahwa periode pertama, ketika saya hidup 30 tahun di Indonesia itu bagian kehidupan yang lebih penting dibandingkan di Eropa. Karena yang penting di Eropa itu saya sempat melihat, memperhatikan, dan terjun di dunia pertelevisian dan perfilman. Mungkin juga jika saya kembali, perkembangan di Indonesia seperti filmnya Teguh Karya dan lain-lain sudah berkembang, tapi di sana saya jadi memperdalam.
Di Eropa sebagai orang Asia itu kesempatannya tidak banyak, tidak besar, karena mereka tidak mementingkan peran Asia. Saya seringkali bermain menjadi mafia atau pemilik restoran, peran-peran kecil. Meskipun ada pengecualian saya memainkan peran-peran menarik, misalnya sebagai komisaris polisi atau tentara. Saya itu bosan kalau perannya itu-itu saja, tapi yang penting bagi saya sebenarnya bukan itu. Karena di sana saya bersekolah sambil bekerja, tapi itu juga sebenarnya cara kami di STB dulu, otodidak sebagai murid dan guru, double.
Saya sering diserang oleh Lekra, komunis, waktu itu mereka marah-marah kalau saya nulis. Mereka bilang yang dari Barat itu tidak boleh karena mereka jelek, rusak, dan tidak berguna untuk Indonesia.
Pada periode 1958 hingga 1967 ketika anda aktif di STB, terjadi banyak peristiwa sejarah yang mengakibatkan ketidakstabilan iklim politik di Indonesia. Apakah kondisi tersebut membawa pengaruh pada aktivitas Anda berteater?
Waktu itu kami mau mementaskan “Hamlet” jadi judulnya “Jaka Tumbal”. Untuk uang saku saya kerja di Pikiran Rakyat sebagai kritikus teater, sekali atau dua kali seminggu. Saya sering diserang oleh Lekra, komunis, waktu itu mereka marah-marah kalau saya nulis. Mereka bilang yang dari Barat itu tidak boleh karena mereka jelek, rusak, dan tidak berguna untuk Indonesia. Pokoknya mereka menyerang bagian itu. Saya sering menulis, misalnya ada festival film dari Cina atau Soviet, waktu itu namanya bukan Rusia, saya berterus terang dalam tulisan saya yang bagus saya bilang bagus dan begitupun yang jelek. Mereka menganggap saya tidak boleh menulis yang jelek untuk film Cina atau Rusia. Padahal saya selalu menulis ini bagus, itu jelek, dan menjelaskan alasannya. Tapi mereka itu inginnya semua bagus menurut ideologi komunis. Jadi saya sering diserang.
Bukan hanya saya. Waktu itu kami sudah mempersiapkan pementasan “Jaka Tumbal” itu, tapi pengurus STB banyak yang takut akan diserang karena “Hamlet” ‘kan dari Barat. Padahal sudah ditentukan lama, kurang lebih 1,5 tahun dari segi teks dan pemindahan nama-nama supaya betul-betul diterima sebagai cerita Indonesia. Latarnya diubah menjadi keraton Jawa agar tidak dipersoalkan. Ternyata sebagian besar pengurus STB berunding tanpa saya, padahal saya sudah latihan. Waktu itu karena tidak dibayar jadi kami latihan menggunakan waktu bebas, karena ada yang punya pekerjaan samping, salah satunya wartawan Pikiran Rakyat, Bram M. D., jadi kalau ada kesibukan kerja dia tidak bisa latihan. Jadi saya biasanya daftarkan, “Kamu bisanya hari apa.”
Saya sudah mulai latihan. Suatu hari saya mendapatkan kabar dari angkatan muda. Dia bilang, “Jim, mungkin kita tidak usah jadi mementaskan ya.” “Mengapa?” saya tanya. Mereka berunding, katanya mereka takut nanti STB diserang dan dihancurkan. Saya bilang, “Ini ‘kan persiapan sudah 1,5 tahun, langkah demi langkah dari teksnya, perpindahan ke suasana keraton.” Ternyata Shakespeare sifatnya universal ya, teksnya tidak hanya diubah ke bahasa Indonesia, tapi juga dengan perubahan nama, mitologi, dan sejarah itu dirubah, dan ternyata tidak ada problem, langsung mengena. Akhirnya saya bilang, “Mengapa takut? Saya yakin kalau diserang itu kami bisa membela diri. Bagaimanapun juga, yang takut boleh mundur.”
Ternyata angkatan mudanya antusias. Jadi kami lanjutkan tapi dengan menciptakan seperti annex, bukan dengan nama STB meskipun yang dimainkan oleh orang-orang STB. Kita pakai nama Teater Perintis. Jadi kalau pementasan itu diserang, yang hancur nama Teater Perintis, STB-nya terlindung.
Tapi memangnya ada ancaman dari pemerintah?
Bukan pemerintahnya, tapi politik Nasakom, nasionalisme, agama, dan komunisme itu berdampingan dan bersama-bersama untuk membangun Indonesia. Ada istilah berdikari (berdiri di kaki sendiri), itu maksudnya jangan tergantung pada orang lain. Ketika Perang Dingin, negara lain antara memihak kelompok Amerika dan Eropa, atau Rusia dan Cina. Politiknya Soekarno itu membuat Konferensi Asia Afrika (KAA), itu untuk Asia jangan mau diperintah oleh kekuatan-kekuatan Barat atau Rusia-Cina.
“Hamlet” juga kami pentaskan dengan ide kerumitan komplot-komplotan di cerita itu yang bisa menjelaskan perkomplotan yang terjadi di Indonesia.
Kalau yang berpikir dan memperhatikan akan mengerti kalau pementasan itu mirip situasinya dengan di Indonesia.
Kembali ke “Jaka Tumbal”, akhirnya dipentaskan dan tidak diserang. Karena “Jaka Tumbal” itu sendiri sebenarnya nasionalisasi “Hamlet”, bukan dari asing lagi sudah menjadi milik Indonesia. Akhirnya orang-orang STB yang takut itu kembali lagi, membantu mengerjakan tapi di belakang layar, yang maju itu angkatan mudanya. Awalnya ‘kan kami pentaskan di pusat kebudayaan Bandung hingga akhirnya kami mendapatkan undangan untuk mencari dana dari tentara di Jakarta. Saya lupa tempatnya, tapi waktu itu hadir pak Nasution beserta istrinya, itu satu bulan sebelum peristiwa G30S. Yang memimpin STB itu Tien Sri Kartini, waktu kami sedang tur itu dia bilang akan terjadi sesuatu soal Indonesia yang tidak enak, dan betul juga sebulan setelah itu G30S. Kami juga mengobrol dengan Pierre Tendean yang dibunuh. Itu satu hal aneh secara tidak sengaja. Dan “Hamlet” juga kami pentaskan dengan ide kerumitan komplot-komplotan di cerita itu yang bisa menjelaskan perkomplotan yang terjadi di Indonesia. Kalau yang berpikir dan memperhatikan akan mengerti kalau pementasan itu mirip situasinya dengan di Indonesia.
Bisa ceritakan bagaimana Anda mendapatkan beasiswa untuk belajar teater di Comedie Francaise Conservatoire dan Universitaire Internationale du Théâtre de Paris?
Justru itu kebetulan karena kami sempat mementaskan karya Eugene Ionesco dan “Caligula” karya Albert Camus, ditonton oleh Pierre Labrosse dari Centre Culturel Francais (Pusat Kebudayaan Perancis), dan kebetulan dia senang sekali. Suatu ketika selesai menonton berbicara dengan saya, katanya, “Kalau kamu mendapatkan kesempatan untuk belajar di Perancis mau tidak”. Saya bilang, “Saya mau saja, mengapa tidak?” karena waktu itu tidak ada tawaran begitu untuk studi.
Setahun atau satu setengah tahun setelahnya dia mengatakan pada saya, “Saya dapat beasiswa untuk kamu,” Saya bilang, “Tunggu dulu, saya meminta izin dulu ke kawan-kawan lain,” Karena waktu itu saya sedang mengerjakan “Perang Troya Tidak Akan Meletus”, akhirnya keberangkatan saya diundur. Waktu itu sebenarnya beasiswa dari negara asing itu dikendalikan dan ditentukan oleh pemerintah, tapi karena dari rumpun kebudayaan khususnya teater itu tidak ada sebelumnya, pemerintah tidak tahu mau diapakan. Akhirnya saya langsung saja berhubungan dengan Pusat Kebudayaan Perancis itu, tidak melewati pemerintah.
Di Perancis anda pernah bermain sebagai Slimane di pertunjukkan teater “Slimane ou I’homme-cailloun”. Bagaimana pengalaman Anda hingga menjadi pemeran utama di naskah karya Jean Pelegri tersebut?
Naskah itu sendiri ditulis oleh orang Perancis yang lahir di Aljazair, bernama Jean Pelegri. Kehidupannya terikat sekali dengan Aljazair, meskipun dia sendiri bukan orang Islam. Slimane itu seorang tukang kebun, mengurus taman untuk tuan Perancisnya. Mereka berhubungan baik sebagai tuan dan bawahan, hingga datang perang Aljazair itu. Slimane tidak mengerti mengapa situasi awal yang rasanya baik-baik saja, akhirnya menjadi kacau. Dia memiliki anak dari kakaknya yang orang Aljazair, anak itu berkelahi dengan anak tuan tanah. Mereka mengatakan bahwa Aljazair harus merdeka, sementara orang Perancis bilang Aljazair itu milik perancis. Jadi yang berkonflik itu bukan yang tua, melainkan angkatan muda. Slimane itu mula-mula merasa bingung dengan yang terjadi namun akhirnya mengerti kepentingan Aljazair untuk merdeka.
Drama itu tadinya mau dipentaskan di festival naskah-naskah dan kreasi baru di Paris. Saya diminta oleh sutradara yang masih muda sekali untuk memainkan peran slimane itu karena dia pernah melihat saya main di workshop dan dia senang. “Jim, kamu main,” dia bilang. Tadinya saya menolak, saya bilang, “Saya belum pernah main dalam bahasa Perancis, ditambah lagi saya belum pernah memerankan tokoh yang selama dua jam lebih tidak keluar dari panggung.” Saya bilang saya tidak berani, itu terlalu panjang saya harus berbicara terus. Tokohnya hanya Slimane, si tuan tanah, 2 orang muda itu, dan 2 orang Aljazair yang peran kecil, tidak banyak. Saya bilang, “Saya sangat takut bermonolog.” Jadi ada adegan dimana saya harus menggambarkan gempa bumi di Aljazair lewat monolog. Dia bilang, “Saya akan membimbing kamu, percayalah pada saya. Kalau kamu mau percaya pada saya, saya akan mencoba.” Saya akhirnya terima, dan saya bertemu dengan penulisnya,
Ketika penulisnya melihat saya, dia bilang, “Ini bukan orang Aljazair. Cerita tersebut adalah peristiwa sejarah dan harus diperankan oleh orang Aljazair!” Di Perancis juga banyak orang Aljazair, turunan dari kolonialisasi mereka. Dia bilang, “Saya tidak setuju.” Kemudian sutradaranya bilang pada penulis, “Saya akan mengerjakan dulu satu-dua adegan dengan dia, nanti kamu lihat. Tidak apa-apa kalau kamu tidak setuju tapi beri kami kesempatan dua minggu.”
Hal itu dilaksanakan dan setelah dua minggu penulisnya lihat kemudian dia setuju. “Saya mengerti sekarang kalau anda mau membawa cerita ini di luar dari konsep sejarah itu.” Jadi memang ceritanya mau dilihat lebih universal, bahwa kemerdekaan itu sesuatu yang penting untuk siapapun dan dimanapun. Malah sekarang penulisnya menjadi seorang teman yang baik, dia udah tua sekarang. Saya diundang ke rumahnya untuk makan bersama dan segala macam. Kami main bersama di teater nasional yang dibiayai negara, sedikit di pinggiran kota Paris.
Saya dapat kritik, laporan dengan foto, di semua surat kabar penting di Perancis, kritik bahwa permainan saya bagus. Anehnya saya dapat pujian dimana-mana. Waktu itu saya masih dalam program beasiswa, kepala program beasiswa itu bilang dia bangga sekali bahwa saya dapat dibicarakan di surat kabar secara baik. Festival naskah-naskah baru itu dilaksanakan selama 2 sampai 3 hari, kurang lebih 4 sampai 5 pementasan, tapi sutradaranya bilang, “Saya ingin melanjutkan.” Dia ingin pindah ke teater lain, mementaskannya selama 2 bulan.
Akhirnya selama 2 bulan itu saya main setiap hari. Di Perancis itu kalau main teater memang setiap hari, kecuali libur satu hari dalam seminggu, misalnya hari Senin. Itu pengalaman yang tidak bisa saya dapatkan di sini, dulu dan sekarang juga, tidak ada teater yang pentas setiap hari selama 2 bulan. Itu teater kecil, tapi kita sukses mementaskannya. Saya mendapatkan pengalaman baru bagaimana setiap malam aktor harus bermain seolah-olah untuk pertama kalinya. Segar, jangan seperti bosan atau menjadi rutinitas. Itu tantangan yang mungkin waktu itu dan sekarang juga masih belum bisa didapatkan. Itu termasuk teknik keaktoran supaya dalam memainkan cerita yang sama tapi terlihat segar.
Selain teater, anda juga banyak menjadi aktor film. Apakah latar belakang Anda di dunia teater mempengaruhi cara bermain peran dalam film?
Justru sebelumnya selain teater, oleh ibu dan nenek saya, saya senang diajak menonton aktor berakting dalam film. Akhirnya ketika di Perancis saya mendapatkan kesempatan. Kalau di film itu kan ada rush, diperlihatkan oleh sutradaranya untuk dilihat setiap shot-nya itu sudah benar atau tidak. Saya lihat diri saya sendiri pertama kali saya merasa geli, saya benci melihatnya. Tapi kalau tidak seperti itu saya tidak akan belajar, aneh rasanya tapi saya harus belajar. Jadi saya terpaksa memperhatikan akting film yang berbeda dengan teater.
Soal gerakan, justru kalau di teater itu harus bergerak berlebihan di pentas namun yang ditangkap penonton harus kelihatan seperti normal, itu kontradiksi.
Bagi saya, ini saya mengatakan ini di setiap kunjungan di sini kepada anak-anak muda, saya bilang, “Penting sekali bagi kalian untuk menguasai apa arti film itu.” Karena akting film itu sedari perasaan sudah harus tepat. Karena close up itu, kalau perasaan tidak kena maka mata langsung membentangkan ketidakjujuran. Close up itu dekat sekali. Soal gerakan, justru kalau di teater itu harus bergerak berlebihan di pentas namun yang ditangkap penonton harus kelihatan seperti normal, itu kontradiksi. Sementara di film itu kalau action ya action, tapi kalau close up, gerakan harus minimal tetapi perasaan hati harus sepenuhnya. Seperti bunga, harus berkembang. Itulah bagi saya yang penting, misalnya harus berbicara ke lawan main yang jauh tapi tidak boleh banyak bergerak karena dalam close up itu akan keluar frame. Itu hal yang harus dikuasai. Ini susah, tapi saya belajar kalau sedikit demi sedikit. Misalnya ketika kita berkelahi sambil berbicara, saya tidak boleh bergerak. Pandangan mata harus dalam tapi terasa seolah-olah normal
Saya berbicara pada anak-anak muda sekarang. Ada aktor yang bisa untuk teater dan film, ada orang teater yang mencoba berperan dalam film tapi tidak berhasil, atau aktor yang mau berlakon di teater tapi ternyata cocoknya di film. Bukan berarti satu lebih baik dari yang lain, itu tergantung masing-masing tapi tetap penting untuk dicoba.
Bagi Anda yang telah masuk dan menjalani lanskap cinema di dalamnya, bagaimana pendapat Anda tentang representasi tokoh Asia dalam perfilman Eropa? Sejak tahun 70an hingga sekarang, apakah ada perubahan yang berarti?
Sekarang sudah lebih maju, misalnya mereka mengambil Chow Yun Fat atau Ken Watanabe ke Amerika. Mereka main beberapa film kemudian kembali ke negaranya. Itu aktor-aktor besar, aktor-aktor kecil itu tidak cukup perkembangannya. Sekarang untungnya film itu mulai lebih kuat ke Asia, Hollywood sekarang jarang, banyak memproduksi film yang komik tapi film-film yang serius semakin berkurang. Sedangkan di Asia, bagi saya sekarang ini Korea yang paling kuat. Akhirnya pasaran itu kembali, karena uang juga.
Dulu itu tidak mungkin ada orang Asia main di film Barat. Saya ambil contoh film “Dragon Seed”, bibit naga, itu mengambil cerita tentang pendudukan Jepang di Cina waktu Perang Dunia II. Semua peran utamanya dimainkan oleh orang kulit putih, orang Amerika. Peran-peran kecilnya baru dimainkan oleh orang Cina. Tapi semua peran utama dan peran pembantunya itu orang kulit putih. Mereka pakai make up, salah satunya Katharine Hepburn, aktris besar yang menang 4 kali di Oscar, tapi dia sekaligus aktris pentas juga, bermain sebagai orang Cina yang melawan orang jepang. Film itu ada DVD-nya, hitam putih.
Mereka main bukan untuk menjelekkan, sepenuhnya memerankan orang Asia meskipun kelihatan memakai make up, pakai kulit ikan agar matanya sipit.
Waktu itu mustahil bagi aktor Asia untuk main di film-film Barat menjadi pemeran utama. Untuk generasi sekarang sering dianggap rasis tidak mau dilihat lagi. Salah, itu dapat dijadikan studi. Waktu itu situasinya demikian, dan hasilnya juga bagus dimainkan oleh aktor-aktor besar. Mereka main bukan untuk menjelekkan, sepenuhnya memerankan orang Asia meskipun kelihatan memakai make up, pakai kulit ikan agar matanya sipit. Selain Katharine Hepburn, ada aktornya Walter Huston, Aline MacMahon, dan ada aktor keturunan Turki bernama Turhan Bey. Tentara Jepang juga diperankan orang kulit putih kecuali figuran. Karena mereka pikir, bintang besar harus dijual ke seluruh dunia, kalau ada film tentang Cina misalnya, dulu di Asia tidak seperti sekarang banyak aktor yang bisa disewa, diminta bermain.
Jadi bagi saya itu menarik sebagai studi bersejarah, juga dalam belajar berakting. Lihat itu sebagai keanehan tapi jangan langsung bilang itu rasis. Tidak, itu mereka sejujur-jujurnya. Karena itu latar filmnya ‘kan Perang Dunia II, Amerika mendukung Cina melawan Jepang waktu itu. Jadi itu pemberontakan Cina terhadap penduduk Jepang digambarkan dalam cerita. Penulisnya seorang Amerika bernama Pearl S. Buck yang memenangkan piala nobel, dulu dia adalah anak seorang misioner di Cina. Lahir dan besar di sana, jiwanya ingin bercerita tentang Cina.
Cerita lain dari Pearl S. Buck itu, film hitam putih juga, adalah “The Good Earth”. Bercerita tentang petani di Cina, Wang Lung dan istrinya O-Lan yang diperankan Luise Reiner, pakai make up seperti itu juga agar kelihatan seperti orang Asia. Itu diproduksi oleh MGM, dulu rumah produksi paling bagus dan keuangannnya juga paling kuat, apapun yang mau diproduksi langsung jadi. “The Good Earth” bercerita tentang suami istri petani dan anaknya di Cina pada tahun ‘30an, hingga ada serangan jangkrik yang memakan panen mereka. Latar tempatnya itu tidak benar-benar dibuat di Cina. Mereka buat di studio beberapa hektar dimana mereka bisa membangun apapun yang mereka mau, terlihat seolah-olah itu wilayah di Asia pada zaman tersebut. Mereka juga membuat hamparan sawah padi di Cina itu yang diserang oleh jangkrik.
Film itu harus ditonton. Luise Rainer itu aktris keturunan Austria yang pergi ke Amerika, menang Oscar 2 kali. Dia meninggal pada usia lebih dari 100 tahunan baru-baru ini. Film itu bagi anak muda sekarang perlu dilihat. Saya dulu kalau mau melihat lagi film yang saya senangi mungkin sudah tidak ada. Sekarang sudah bisa beli film dalam bentuk DVD, dari film bisu sampai film sekarang, tapi sayangnya anak muda sekarang tidak tertarik, tidak memedulikan dan mau tahu. Saya bilang harus, walaupun kalian tidak akan melakukan cara itu, tetapi perlu belajar dan menjadi kekayaan pengetahuan kalian.
Sekarang yang maju di teater Inggris adalah bagaimana raja-raja Shakespeare seperti Henry V dan Henry VI, dimainkan oleh orang kulit hitam, orang Inggris keturunan Afrika. Di Inggris sudah lama raja-raja Inggris bisa dimainkan seperti itu, tapi di Perancis belum terjadi. Di Amerika, Denzel Washington pernah memainkan Richard III sebagai orang kulit hitam, orang yang casting memang ada kulit putih dan kulit hitam. Penonton tidak bertanya-tanya, meskipun kulitnya hitam itu memang Richard III karena mereka berpikir mainnya bagus. Itu ada kemajuan, saya pikir sekarang sudah lebih terbuka.
Pada SIPFest kemarin Anda menyadur sketsa-sketsa pendek dari penulis Perancis Roland Dubillard yang dibawakan dengan nama “Omongobrolan”. Bagaimana sebenarnya interpretasi anda terhadap kutipan percakapan absurd sehari-hari yang ditulis Dubilliard?
Tadinya saya mau yang serius, membacakan “Bhagawad Gita”. Kemudian saya mendapatkan bukunya dari sini, ternyata terjemahannya terlalu arkaik, terlalu untuk belajar atau studi. Karena buku itu aslinya sanskerta kemudian diterjemahkan ke Indonesia. Saya baca, saya bilang saya tidak bisa membaca ini karena orang akan tidur, bosan. Ini bagusnya sebagai analisa studi terjemahan pindah bahasa. Saya membaca “Bhagawad Gita” dalam terjemahan bahasa Inggris bagus seperti Shakespeare namun terjemahan bahasa Indonesianya seperti untuk di universitas.
Akhirnya saya menolaknya, saya cari dalam drama-drama yang saya senangi. Tapi kemudian kesulitannya saya hanya berdua atau bertiga, sementara saya bilang kalau hanya suatu bagian atau cuplikan dari drama-drama panjang mungkin sulit dimengerti oleh yang hadir, atau harus dengan penjelasan tambahan, “Ceritanya seperti ini, ini adalah adegan sekian,” Saya bilang tidak akan memuaskan juga. Jadi karena saya anggap dunia ini begitu serius dan mengerikan, saya bilang “Mengapa tidak komedi saja.” Bukan komedi lucu saja, tapi ada artinya dan ada kepentingan lain lebih dari lucu.
Saya pernah main Dubillard itu tahun ’81 atau ’82 di Perancis, saya main sebulan di sebuah festival teater di Paris. Dubillard itu seorang penulis 7 sampai 8 naskah drama panjang, tapi dia lebih terkenal menulis sketsa-sketsa pendek untuk 2 orang itu. Setiap sketsa itu membentangkan absurd-nya manusia dalam sehari-hari membuang waktu untuk hal-hal yang, bukan tidak penting, tapi memakan waktu dan sebetulnya tidak perlu. Itu menjadi persoalan. Jadi saya berbicara seperti itu karena saya merasakan sendiri dalam kehidupan saya kadang bercakap dengan orang membicarakan hal yang tidak penting.
Dubillard itu sebenarnya mengkritik tingkah laku atau cara omong manusia yang akhirnya membuat berselisih padahal sebetulnya tidak penting. Acaranya jadi begitu lucu, tapi tidak lawak saja tidak kosong. Saya bilang itu saja, dan saya tidak bisa membuat permainan kata berputar balik mengulangi hal-hal tertentu yang absurd. Saya bilang kalau dalam situasi Perancisnya mungkin tidak begitu kena, bagaimana kalau disadur ke situasi Indonesia bisa dan cocok tanpa perubahan inti. Jadi saya pilih 4 sketsa untuk disadur. Di Perancis itu cuma ada vous dan moi, anda dan saya, sementara saya pilih tiap adegan itu dengan situasi yang bisa menggunakan anda dan saya, gue dan lu, saudara, kamu dan aku, jadi saya bisa gunakan menurut sitasinya masuk ke dalam bahasa Indonesia.
Apa proyek Anda mendatang?
Karena saya di Perancis itu meninggalkan penyutradaraan dan terjun hanya di akting saja, dalam usia ini saya merasa ingin menyutradarai lagi. Jadi saya senang bertemu dengan angkatan muda ini, saya optimis sekali, tinggal kalian perlu lebih mencari dan mempelajari dan memperkaya dengan hal-hal lain. Kalau ada kesempatan saya ingin sekali menyutradarai dalam pementasan, bukan hanya workshop. Saya terbuka dengan itu. Saya datang ke sini sudah rencana berkali-kali di masa lampau namun terhambat karena masalah dana. Saya sudah pensiun tapi terpaksa kerja terus karena tidak cukup.
Tahun lalu anak angkatan muda, Valencia Hutabarat yang banyak saya berkontak akhirnya sanggup menyelenggarakan kedatangan saya kesini setelah 50 tahun. Saya berterima kasih sekali tapi sampai sekarang saya belum pernah berhasil bertemu dengannya. Akhirnya saya kembali, dan pada kunjungan pertama ini mas Nirwan dari Salihara hadir ketika saya membaca di Galeri Cemara 6 milik ibu Toeti Heraty. Saya tidak tahu kalau dia hadir, kemudian pada permulaan bulan Maret ini saya dapat berita dari Salihara. “Kami akan menyelenggarakan 10 tahun festival kebudayaan di sini, dan kami rasa mau mengundang anda untuk pembacaan naskah, konferensi, dan juga menyelenggarakan pameran.” Mereka meminta mas Goenawan Mohamad yang dulu senang sekali dengan STB. “Kamu mesti menjelaskan bagaimana 10 tahun pertama STB, membuat pameran dan idenya dari sini.” Saya setuju sekali karena sekarang bagian 10 tahun pertamanya yang banyak salah, lupa, dan tidak diketahui. Kami dalam 10 tahun itu mementaskan 29 pementasan, dan sekarang kadang mereka setahun sekali.
Sementara ini, mas Nirwan mengatakan, “Kalau pembacaan itu dijadikan pementasan, kamu bisa tidak tahun depan (tahun 2019)?” Saya bilang kalau kesempatannya ada dan bisa diselenggarakan. Itu ‘kan pembacaannya 50 menit, saya bilang bisa kalau ditambahkan menjadi satu jam. Kemudian dia bilang kalau memang jadi, bisa diselenggarakan pementasan yang dibawa ke Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, dan Denpasar.
Oleh orang-orang lain saya diberi pesan kalau ada kesempatan, saya ada keinginan seperti ini, saya akan berusaha di sini, dan kontaknya tercapai dari 2 kunjungan di sini. Saya sudah tua tapi saya bilang, selama saya mampu, saya ingin terjun kembali.