Mengenal Industri Komik bersama Salah Satu Colorist Marvel, Sunny Gho
Kami menemui Sunny Gho untuk mengetahui lebih jauh mengenai komik sebagai media untuk berekspresi dan kondisinya saat ini.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Stefano William A.
Semenjak kecil sudah menggemari komik, Sunny Gho kemudian tumbuh menjadi sosok pionir di industri komik Indonesia. Mengerti tentang seluk-beluk pergerakan komik nusantara, Sunny memandang komik sebagai duta budaya untuk bisa memperkenalkan Indonesia di mata dunia. Menjadi salah satu colorist komik untuk DC dan Marvel, sebelumnya ia telah melakukan beberapa usaha untuk mengembangkan industri ini melalui KOSMIK yang menghadirkan berbagai macam jenis komik karya para komikus lokal, hingga menginisiasi event Popcon Asia sebagai wadah berkumpul para kreator yang bergerak di ranah budaya populer. Kami bertemu dengan Sunny dan berbincang mengenai potensi medium komik di Indonesia, platform komik yang semakin banyak bermunculan, hingga tren film adaptasi komik yang menjamur akhir-akhir ini.
Menjadi komikus belum bisa dibilang sebagai sebuah pekerjaan yang umum di Indonesia. Mengapa Anda memutuskan untuk terjun ke bidang ini?
Dari kecil, sebenarnya cita-citanya memang buat komik. Terus mimpi ini memang dikejar. Tidak memikirkan profesinya bagaimana, cari duitnya bagaimana, yang dikejar cuma agar saya bisa bikin komik. Saya masuk kuliah desain di DKV Trisakti tahun 2000. Di situ baru tahu bahwa di kampus itu ada komunitas komiknya. Saya baru bergabung di situ. Soalnya yang menggambar pilihannya cuma dua waktu itu. Kalau bukan seni murni ya desain. Kalau seni murni dilihat orang tua mungkin seperti, “Nanti anak saya mau jadi apa?” Kalau desain masih lebih teknis. Akhirnya saya tahu bahwa di desain itu tidak banyak diajari gambar tapi ada komunitas komik. Semuanya mulai dari situ. Waktu itu tahun 2002 ada Pekan Komik Nasional di Petra Surabaya. Di situ saya bertemu dengan teman-teman komik dari banyak daerah. Baru tahu bahwa di Indonesia banyak yang jago. Dari awalnya saya tidak tahu apa-apa, tambah semangatnya di situ.
Menurut saya, komik ini penting sebagai duta budaya.
Tahun 2002 itu tidak ada komik Indonesia sama sekali. Tahun 2000-2002 suka ada demo di toko buku. Demonya benar-benar seperti demo sembako. Soalnya dari tahun 90-an yang mereka lakukan itu menerbitkan komik terjemahan, dan orang bertanya-tanya kenapa tidak terbitkan komik lokal? Jawabannya gampang sebenarnya. Karena tidak ekonomis. Penerbit kalau misalnya beli dari Jepang, mereka beli ketika sudah tamat. Jadi mereka bisa rilis satu bulan sekali. Buat mereka itu enak, tiap bulan konsumen bisa beli komik. Kalau orang Indonesia yang buat komik, tidak bisa. Tidak bisa jadi seperti itu dalam sebulan. Akhirnya tahun 2003 salah satu divisi komik di Gramedia, namanya MnC, menerbitkan komik lokal; ada “Dua Warna”, “Alakazam”, dan “Tomat”. Di situ saya bekerja sebagai colorist.
Tadinya saya ingin gambar komik, tapi ternyata saya tidak reliable. Saya tidak bisa menggambar dengan cepat. Saya terinspirasi teman saya dari Solo yang hebat menggunakan cat air. Dia punya satu buku yang diwarnai dengan cat air dan saya merasa itu sangat keren. Saat itu saya berpikir, kalau saya tidak bisa gambar sendiri, saya bisa membantu karya teman saya jadi keren. Padahal saat itu tahun ketiga saya kuliah, dan tidak pernah lulus mata kuliah mewarnai. Komik yang diterbitkan waktu itu berwarna. Formatnya mirip komik Amerika. Di situ diminta oleh Gramedia 50 halaman per bulan. Akhirnya saya kerjakan mewarnai pakai komputer. Sampai sekarang saya berprofesi sebagai colorist. Mulanya di situ. Jadi pelajaran pertama saya sebagai digital colorist pas diberikan deadline itu. Sampai tahun 2005 komik lokalnya tidak terbit lagi mungkin karena saat itu komik Indonesia belum terlalu digemari.
Anda kemudian menjadi comic artist untuk dua raksasa komik dunia, DC dan Marvel. Bagaimana perjalanan Anda hingga bisa dilirik dua perusahaan tersebut?
Saat saya berpikir untuk bisa kerja di industri komik, kuliah saya lumayan terbengkalai. Saya lulus tahun 2005, tapi setelah lulus saya tidak punya pekerjaan karena penerbitan komik sudah berhenti. Dan colorist itu sangat bergantung pada yang menggambar. Kalau yang menggambar komik tidak ada, saya tidak ada pekerjaan. Akhirnya saya upload gambar ke DeviantArt. Mulai ada klien dari Jerman untuk saya warnai gambarnya. Lumayan waktu itu, satu gambar satu juta. Waktu di MnC 30 ribu rupiah untuk satu halaman. Jadi saya lebih giat lagi untuk mengerjakan gambar dari luar negeri. End up, saya bergabung ke satu artist agency dari Singapura. Saya di situ sampai tahun 2012. Dari situ saya bisa bekerja untuk penerbit-penerbit besar di Amerika. Tahun 2009 saya artist Indonesia pertama yang bekerja di Marvel.
Anda adalah salah satu pelopor bangkitnya industri komik Indonesia modern lewat Makko (yang dibangun lagi dengan nama Kosmik) serta Glitch. Menurut Anda, sebesar apa potensi industri ini di Indonesia?
Saya tidak bisa menjawab secara clear cut. Tapi begini, sebagai profesi sekarang sudah bisa. Tahun 2015 belum umum seseorang dibayar untuk membuat komik, sekarang sudah bisa. Banyak orang sudah sadar akan hal itu. Bahkan komikus yang sukses bisa sangat kaya. Tahilalats misalnya. Ada contoh sukses, ada jalur yang umum dengan distribusi lewat LINE Webtoon, Ciayo, Comico, atau penerbit lain yang sudah umum. Dulu ketika saya membuat Makko hal itu belum umum. Secara profesi itu perubahannya. Yang membuat saya senang sekarang untuk menjadi komikus tidak ada masalah lagi sebagai profesi. Masalah jadi komikus ada banyak lagi tapi itu yang paling basic sudah berubah. Kalau secara industri, dari dulu tidak ada judul yang diterbitkan, sekarang ada hingga ratusan judul yang aktif. Di Instagram hingga di platform komik online. Menurut saya potensinya pasti ada karena komik ini bagian dari industri kreatif yang kalau di dunia itu tidak bisa dipisah. Film Amerika saja sekarang rata-rata film adaptasi komik. Tapi industri di sana sudah jadi. Di sini lumayan aneh.
Saya belum melihat jalannya Indonesia untuk punya industri komik sendiri yang mandiri.
Mereka di sana develop sudah puluhan tahun. Kita tidak punya dasar yang kuat. Misalnya, LINE Webtoon kan gratis, sekarang anak-anak yang masih SMP atau SMA tahu kalau komik itu gratis. Kalau gratis kenapa harus beli? Itu menelurkan model bisnis yang berbeda. Kita tidak bisa menggunakan model bisnis Jepang atau Amerika. Itu karena kita tidak punya fondasi tadi. Contohnya, komik gratis ini kalau dibawa ke Amerika pasti tidak akan jalan, karena industrinya sudah ingrained. Kalau beli komik 4 USD tiap minggu itu biasa. Sekarang menurut saya, kita at the mercy of mereka yang bisa membuat banyak komik secara gratis. Budaya baca ini dikontrol oleh pihak luar dan bisa provide itu cuma mereka. Indonesia tidak punya industrinya. Saya belum melihat jalannya Indonesia untuk punya industri komik sendiri yang mandiri. Kita masih bermain pakai cara luar kalau sekarang. Meski begitu, produk komiknya sendiri, menurut saya pantas untuk tetap dibuat, tapi strateginya harus dipikirkan. By itself, komik mungkin tidak punya nilai yang tinggi, tapi ide, cerita, karakter, itu yang valuable. Ini adalah karya seni atau bisa dibilang juga karya sastra yang harus tetap dijaga. Dari sudut pandang itu, kita belum dianggap sebagai literatur, sebagai bacaan yang mendidik. Itu pantas diperjuangkan juga. Komik adalah bacaan penting yang bisa menjadi agen budaya bahwa orang harusnya bisa belajar tentang Indonesia lewat komik.
Popcon Asia sebagai salah satu acara terbesar di Indonesia mengenai budaya pop juga adalah hasil kerja Anda. Apa yang membuat Anda menginisiasi terciptanya acara ini?
Seperti yang saya bilang, saya lahir dari event. Kalau tidak bertemu dengan orang-orang itu, saya tidak akan tahu bahwa bisa kolaborasi. Dan sejak tahun 2002-2003 itu sudah tidak ada. Dulu Pekan Komik Nasional di Jakarta ada tahun 1999, terakhir diadakan sekitar 2002. Akhirnya saya buat acara Pekan Desain dan Komik Trisakti (PDKT) dua kali sekitar tahun 2003-2004. Setelah itu tidak ada lagi di Indonesia. Sampai akhirnya tahun 2011 kami membuat Popcon. Intinya waktu itu kami berpikir ada orang yang bisa membuat animasi di Bandung, ada yang buat game di tempat lain, ada yang bisa bikin toys, tapi semuanya tidak saling kenal. Padahal komik di luar sana ekosistem ini terhubung semua. Ketika ada kesempatan untuk berkolaborasi, mau bertemu di mana? Akhirnya kita mempertemukan semuanya di Popcon. Sederhananya, seperti itu. Yang kami bisa banggakan dari Popcon hanya orang-orang yang bertemu di Popcon dan akhirnya berkarya bareng.
Berbicara mengenai komik, ada perbedaan yang khas antara komik rilisan Amerika Serikat dan Eropa yang penuh warna dan perhatian tinggi pada artwork, dengan komik di Asia (manga sebagai yang paling terkenal) yang kebanyakan hitam putih. Apa yang menjadi dasar dari perbedaan itu?
Cara memperlakukan komik di tiap negara itu berbeda. Orang memandang komik itu berbeda. Kalau beli komik di Jepang lebih murah dari beli makan siang. Contohnya “Shonen Jump” itu harganya sekitar 500 Yen. Itu tidak bisa untuk beli makan siang. Kenapa bisa seperti itu karena itu dicetak di kertas yang jelek. Intinya hanya untuk tahu apa cerita minggu ini. Satu komik itu isinya ada 20 judul. Kalau orang hanya mengikuti beberapa judul saja, setelah dibaca judul yang diinginkan, bukunya langsung dibuang. Kertas komik itu memang untuk daur ulang. Untuk mengakomodasi cara seperti itu jadi tidak bisa berwarna. Halaman berwarna menjadi halaman yang luar biasa. Itu sudah hal yang penting, tapi tidak dianggap sebagai sesuatu yang secara keseluruhan adalah karya seni.
Berbeda dengan di Perancis, untuk proses pembuatannya, 1-2 tahun pun bisa ditunggu pembaca. Bukunya besar, hardcover, dan mahal. Itu dianggap sebagai karya seni. Peluncurannya bisa dilakukan di galeri. Setiap halamannya dilukis, bahkan bisa dibeli satu per satu. Di Amerika, sebenarnya sama dengan di Jepang tapi tidak murah. Dulu komik di sana bisa dibeli lewat magazine stand sebelum banyak toko khusus komik. Dan di sana dari dia lahir memang sudah berwarna. Warna akhirnya menjadi daya jual lebih. Itu sudah menjadi kebiasaan. Indonesia tadinya tidak terbiasa membaca komik berwarna sampai ada Webtoon. Sejak ada Webtoon semua komik berwarna. Komik tidak berwarna menjadi dipandang rendah. Sudah gratis, maunya ada warna. Paling mantap lah kita.
Bangkitnya industri komik dunia salah satunya didorong adaptasi film yang sangat sukses. Dengan akan dirilisnya film pahlawan super dalam negeri seperti “Gundala” yang ditangani Joko Anwar, menurut Anda apakah komik pahlawan Nusantara juga akan bangkit?
Tergantung. Joko Anwar dan Timo Tjahjanto (Si Buta Dari Gua Hantu), saya rasa mereka pasti membuatnya dengan benar. Kalau bisa diterima, dua itu bisa membuka jalan untuk pahlawan Indonesia yang lain atau yang baru. Memang ada di pundak mereka menurut saya. Kalau tidak diterima jadinya malah menyusahkan, soalnya nanti tidak ada yang mau invest. Produser itu latah, bahkan di Amerika. Kalau itu laku, pasti akan dibuat juga, entah siapa yang akan membuatnya. Tapi kalau tidak laku, untuk meyakinkan siapapun yang mau membuat film superhero berikutnya. “Gundala” dan “Si Buta Dari Goa Hantu” mengemban beban untuk membukakan jalan.
Seperti film atau musik, komik adalah media untuk berekspresi. Seperti apa pergerakan underground atau karya-karya independen di industri komik?
Kalau di Amerika, Jepang, atau Eropa sangat jelas mana yang mainstream dan tidak. Bisa dilihat musik dan komik itu mirip. Ada label yang besar, dan ada indie. Di sini (Indonesia) agak blur. Siapapun komikus yang dibayar perusahaan untuk membuat komik itu sudah mainstream menurut saya. Sederhananya, menurut saya lumayan berimbang kalau di Indonesia. Tahilalats itu mainstream exposure-nya tapi dia tidak mengandalkan medium mainstream apapun misalnya dengan established media. Dia sendiri saja yang taruh di Instagram. Itu indie-by-definition karena dia tidak tergantung pada siapa-siapa. Dia berhenti tiba-tiba juga bisa. Jadi, brand komik paling kuat di Indonesia malah yang indie akhirnya. Kalah dibanding yang mainstream, yang punya backing-an penerbit besar. Kalau underground ada lagi. Itu komiknya fotokopian. Tidak bisa ketemu di Instagram atau Facebook. Jadi ada 3 menurut saya underground, indie, dan company besar yang bisa dibilang mainstream. Di sini yang indie dan mainstream bersinggungan terlalu dekat jadi saya anggap blur.
Komik adalah bacaan penting yang bisa menjadi agen budaya bahwa orang harusnya bisa belajar tentang Indonesia lewat komik.
Sering dipandang sebelah mata sebagai bacaan anak-anak, pesan dalam komik biasanya tidak dianggap serius atau klise. Padahal biasanya ada subteks serius yang ingin disampaikan. Bagaimana proses kreatif Anda untuk menyampaikan pesan-pesan seperti itu lewat komik?
Untuk membuktikan bahwa komik bukan bacaan anak-anak itu hal mudah, sebenarnya. Contohnya ada banyak. Tapi malahan tidak ada yang membuat komik untuk anak-anak karena itu. Komikusnya sudah lebih tua, akhirnya jarang yang punya kesadaran bahwa orang baca komik pas masih kecil. Sekarang komikusnya ingin membuat komik yang dia ingin baca. Itu normal. Tapi karena kita terlalu ribut membuktikan bahwa komik bukan bacaan anak-anak, kita lupa bahwa kita harus membuat yang untuk anak-anak. Biasanya ada orang tua yang mencari komik bagus untuk anaknya. Sekarang tidak bisa kita berikan pilihannya. Harusnya komik itu ada bagian bahwa itu memang bacaan anak-anak.
Menurut saya, komik ini penting sebagai duta budaya. Kalau saya yang produksi, komiknya harus bisa dibaca oleh orang Indonesia, kalau orang luar yang baca dia harus bisa belajar sesuatu tentang kita, dan penting untuk penulis tahu mau berbicara soal apa. Misalnya, “RIXA”, komik tentang orang Indonesia yang ingin menjadi astronot, atau komik lain yang misalnya ingin berbicara tentang HAM, hal-hal itu yang dikedepankan. Itu yang malah saya tarik mundur. Saya lebih senang kami membuat social change, tapi itu taruh di belakang. Saya lebih ingin membuat sesuatu seperti “Black Panther”, yang menonton ada begitu banyak orang, dan pesannya tetap bisa disampaikan. Dibandingkan lebih berat di unsur social change dan lupa bahwa komik harusnya menghibur. Contohnya komik kami yang baru, yang sedang dibuat ini, terbit nanti di LINE Webtoon minggu keempat Mei. Itu mengenai public shaming. Dan memang untuk menjual komik itu kami tidak bisa bicara tentang hal ini di belakang.
Kini ada tren komik bermunculan di aplikasi seperti LINE yang mengundang social commentary. Bagaimana Anda melihat perkembangan platform yang mulai bermunculan?
Platform komik sekarang ada 3 yang aktif. Ada LINE, Ciayo, dan Comico. Itu game-nya sekarang. Kalau ingin membuat komik, buat formatnya seperti itu yang baca juga dari mereka. Itu audience paling besar sekarang untuk validate komik seseorang. Itu sebenarnya lebih enak, karena dulu tidak ada. Misalnya ada komik, 200 halaman, diterbitkan lewat Gramedia, kemudian tidak dilirik oleh orang-orang. Tidak ada stage untuk bicara. Komik lokal pasti akan tertutup oleh komik Jepang. Sekarang panggungnya lebih terbuka untuk mendapat perhatian. Dan kalau tidak mau menerbitkan komik lewat platform–platform itu, pilihannya menerbitkan sendiri.
Komik bisa juga menjadi media propaganda seperti Superman & Captain America atau protes terhadap isu sosial, misalnya seperti yang dilakukan lewat komik strip Charlie Hebdo. Bagaimana pandangan Anda terhadap tren tersebut?
Itu tidak pernah tidak ada. Tinggal seberapa tipis atau seberapa tebal cara menutupinya. Atau seberapa direct bahwa komik itu untuk protes. Saya rasa semua komik punya sesuatu yang ingin dibicarakan. Masalahnya, gamblang atau tidak. Kalau ada komik yang tidak berbicara tentang apa-apa, pasti tidak akan dibaca juga.
Apa komik yang Anda harapkan bisa diadaptasi menjadi film?
Yang saya pikir asik itu “Raibarong”. Harusnya itu keren kalau dijadikan film. “Manungsa” juga dijadikan film bagus, tapi susah (tertawa). Kalau jadi anime “Flick Royale”. “Wanoja” juga lucu.
Apa saja rencana proyek Anda selanjutnya?
Tahun ini kami mencoba mengembangkan script untuk film. Kami merencanakan satu cerita yang bisa ada filmnya dan ada komiknya berbarengan. Dan juga “Code Helix” komik tentang public shaming yang akan terbit bulan Mei. Ceritanya anak SMA yang bisa hack semua handphone temannya dan dia merasa justified untuk kasih tahu hal-hal buruk temannya.