Membahas Bagaimana Teater Indonesia Dapat Berkembang Pesat Bersama Happy Salma
Berbincang dengan Happy Salma tentang kecintaannya pada sastra, perkembangan teater Indonesia, dan teater sebagai panggung untuk mengangkat isu-isu sosial.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Mayra Tahir
Didorong dengan kegemarannya terhadap sastra Indonesia, Happy Salma telah menghidupkan karya-karya sastra terbaik dari Indonesia. Dengan membangun Titimangsa Foundation, ia telah sukses menampilkan karya sastra menjadi pertunjukan teater yang disambut oleh masyarakat. Mulai dari pementasan “Bunga Penutup Abad” yang berdasarkan karya Pramoedya Ananta Toer, hingga “Perempuan-Perempuan Chairil” dari Chairil Anwar. Di tengah-tengah kesibukannya untuk memproduksi pentas teater “Nyanyi Sunyi Revolusi” berdasarkan karya-karya Amir Hamzah, kami berbincang dengan Happy Salma tentang latar belakang keterlibatannya dengan teater, perkembangan teater Indonesia di tengah krisis ekspresi, dan juga relevansi teater di Indonesia.
Seperti apa perkenalan Anda dengan dunia teater?
Awalnya tahun 2006 ya. Sebenarnya lebih ke karena saya suka sastra, jadi karena saya suka sastra salah satu ahli wahananya itu kan ada beragam macam bentuk – salah satunya teater. Kebetulan waktu itu ada teman-teman saya yang membuat pertunjukan “Nyai Ontosoroh” dan saya ikut terlibat di sana. Dari situ, saya mendapat kesenangan sendiri bahwa di balik kerjaan saya yang lain; pada waktu itu kan saya banyak syuting untuk televisi dan film sesekali, saya menemukan bahwa perlu salah satu media untuk menyalurkan idealisme saya yaitu ahli wahanakan karya sastra Indonesia. Jadi awalnya karena area sastra dulu.
Oh memang tertariknya dari sastranya, lalu menjurus ke teater?
Karena pilihannya tidak banyak. Salah satunya alih wahana itu, ada teater. Dan ternyata itu memang bagi saya; untuk sekarang itu, lebih cocok.
Apa yang membuat Anda berpaling kepada teater dari dunia televisi dan film?
Memang market atau industri teater itu masih jauh di tanah air.
Karena memang; satu, keterbatasan waktu, lalu juga saya kan harus ada yang dikorbankan ya. Saya harus membuka market dan peluang juga. Karena tidak bisa dihindari. Memang market atau industri teater itu masih jauh di tanah air. Kita masih mengandalkan dari berbagai CSR. Dari perusahaan kayak sekarang kita ada CSR dari Djarum Foundation. Selebihnya mengandalkan dari tiket – dan tidak bisa sepenuhnya mengandalkan dari tiket. Jadi memang harus struggling banget dan itu harus ada yang dikorbankan.
Ada beberapa memang saya tidak bisa terlibat di sebuah kekaryaan yang saya suka juga, tapi saya tidak menyesal. Saya memang memilih – ini pilihan saya dengan ikhlas. Paling ya seperti sudah lama saya tidak syuting-syuting tahun kemarin. Paling nanti saya syuting tapi juga yang peran-peran sedikit, yang syutingnya hanya seminggu, seperti untuk “Buffalo Boys” hanya 6 scene, “Wiro Sableng” cuma 5 scene. Hanya untuk melepaskan itu aja.
Berarti memang membatasi diri untuk mengambil tawaran akting untuk TV atau film?
Tergantung sih, kalau ada gairah itu muncul lagi – tergantung naskahnya juga. Tetapi selama ini belum ada yang menggugah hati saya. Dan sejauh ini yang membuat saya semangat ya naskah-naskah yang saya adaptasikan di teater seperti ini. Kayak Amir Hamzah ini risetnya dua tahun setengah, jadi memang saya benar-benar into it ya.
Mengapa di kemudian hari, Anda tertarik untuk mendukung teater sebagai produser?
Di awal, saya banyak mengambil peran, mulai dari bermain, produser, jualan tiket, semuanya. Memang tidak ada pilihan, karena pasarnya memang harus saya bangun. Lama-lama kepercayaan itu muncul dari yang awalnya orang jarang membeli, sekarang antusiasnya sudah lumayan cukup. Bahkan beberapa kali pertunjukan dalam beberapa hari aja udah sold out. Itu menandakan bahwa sudah mulai ada kesadaran,“Wah sudah mulai hidup!” Lalu saya merasa jangan hanya saya saja yang merasakan manfaat di antara panggung, dan itu memberikan efek luar biasa di dalam keputusan-keputusan kami dalam proses lainnya.
Kalau sekarang, pemain film bisa dari modelling atau dari bintang iklan, tapi mereka juga punya kapasitas dan keinginan yang sama untuk belajar.
Kalau zaman dulu, banyak aktor-aktor lahir dari panggung karena memang mungkin pembuat film itu kebanyakan orang teater. Kalau sekarang, pemain film bisa dari modelling atau dari bintang iklan, tapi mereka juga punya kapasitas dan keinginan yang sama untuk belajar. Kalau mengikuti kelompok-kelompok teater yang jadwalnya mungkin belum cocok, saya memberikan alternatif lain saja dengan ruang kolaboratif Titimangsa ini. Jadi di sini pemainnya saja ada dari Teater Garasi dari Jogja, dari Teater Satu Lampung, ya macam-macam.
Ada Mas Iskandar Loedin. Dia juga biasa sama Mas Garin Nugroho dan Mas Eko Supriyanto – jadi kami bentuknya kolaboratif. Biasanya dia keliling dunia, nah biasanya pas di Jakarta ada beberapa proyek, pimpinan artistik biasanya sama dia.
Mengapa Anda memutuskan untuk membuat Titimangsa Foundation?
Memang harus saja, karena ketika kita membuat sebuah kegiatan harus ada organisasinya. Karena harus ada yang dipertanggungjawabkan, pendanaan terus ada, laporan pajak dan lain-lain. Jadi memang Titimangsa pun terjadi karena memang ini keharusan. Makanya, kita sebut Titimangsa karena memang tepat pada waktunya. Kalau tidak, tidak mungkin saya bisa membuatnya.
Bagaimana proses adaptasi sebuah karya literatur agar menjadi produksi teater?
Perlu proses yang setia, dan panjang. Biasanya saya mengerjakan segala sesuatu bisa paralel jadi seperti benih yang saya sebar, lalu dilihat mana yang duluan tumbuh. Seperti “Nyanyi Sunyi Revolusi” yang harusnya akan tampil lebih dulu di tahun lalu, tapi ternyata saya punya nazar waktu saya membuat pertunjukan adaptasi tetraloginya Pramoedya Ananta Toer. Saya ke rumah Pram, melihat semua arsipnya, dan menurut saya, dia adalah salah satu dokumentator terbaik selain HB Jassin. Sayang saja kalau hanya sebagian orang yang melihat. Lalu saya bilang sama keluarganya, “Nanti kalau saya sukses pentasnya saya bikin ya pamerannya”. Dan ternyata sukses! Nah waktu mau buat pemeran, saya tidak begitu paham tentang kurasi apa segala macam. Untuk itu, saya mengajak kerja sama Dialogue Artspace karena menurut saya tempat itu memang cocok untuk anak muda, tapi juga anak muda yang kritis.
Kebetulan dengan Teh Engel Tanzil juga sudah lumayan dekat dan dia pertama kali mengkurasi juga di situ. Lalu ada Danny Wicaksono, ada Hermawan Tanzil, banyak dibantu oleh orang-orang yang support. Nah karena itu sukses luar biasa, ada 48 ribu pengunjung dalam satu bulan, akhirnya ada pihak sponsor dari CSR dari Djarum Foundation kami pentaskan lagi padahal saya belum banyak planning – saat itu saya sedang mempersiapkan “Nyanyi Sunyi Revolusi”. “Bunga Penutup Abad” ibaratnya produk yang sudah jadi; tinggal diolah dan pemainnya begitu solid, setia, semangat tinggi hanya dengan persiapan dua bulan pun bisa terjadi pentas dan sold out juga tiketnya.
Seperti apa proses riset Amir Hamzah yang memakan waktu 2,5 tahun untuk pentas “Nyanyi Sunyi Revolusi”?
Iya tapi itu banyak berhentinya juga. Saya kerjakan “Chairil” dulu. Di sisi lain saya sempat syuting, mengurus keluarga, anak, suami. Bisnis juga. Jadi memang pending-pending. Tapi sejak itu masih terus berjalan komunikasi bersama tim. Saya di Bali, penulis di Bandung, sutradara di Lampung – membutuhkan komitmen yang sangat luar biasa karena kecintaan.
Harapan apa saja yang Anda ingin capai melalui teater dan Titimangsa Foundation?
Harapannya bisa terus berkarya saja itu sudah hebat.
Harapannya bisa terus berkarya saja itu sudah hebat. Berarti dinamikanya berjalan dengan baik, secara ekonomi berjalan dengan baik, daya beli tiket juga baik. Daya peduli dari sponsor dan juga kesadaran penonton berarti juga baik. Jadi saya hanya terus bisa berkarya itu sudah anugrah buat saya karena saya tahu mewujudkan itu bukan sesuatu hal yang mudah.
Ada keinginan untuk membawa play yang sudah dipentaskan untuk dibawa keluar?
Tentu saja ada, karena pasti menarik. Tapi di sini saja dulu menurut saya, dan kalau bisa dibawa ke daerah-daerah lain. Hanya saja kendalanya adalah banyak di daerah-daerah gedung pertunjukannya tidak begitu memadai.
Beberapa orang bisa mengatakan bahwa aktor teater berbeda dengan aktor layar. Apa alasan Anda untuk memilih aktor layar seperti Tara Basro dan Marsha Timothy untuk pertunjukan Anda?
Ingin lintas platform, kalau di luar negeri pemain di Teater Broadway bisa main film karena mereka ingin fokus ke akting atau sebaliknya. Dengan begitu, akan timbul industrinya. Nah pelan-pelan ketika kita mulai begitu, bisa bagus juga. Di sisi lain, anak-anak panggung juga belajar dari teman-teman yang biasa di visual dan begitu juga sebaliknya. Karena intinya berkesenian itu bagi saya bukan soal berakting saja, tetapi proses pencarian jati diri. Proses hidup.
Karena intinya berkesenian itu bagi saya bukan soal berakting saja, tetapi proses pencarian jati diri. Proses hidup.
Jadi sebetulnya untuk belajar keaktoran atau berproses di panggung, teater itu bukan hanya semata-mata harus jadi aktor atau ketika kamu mencintai sastra bukan harus jadi wartawan. Tetapi itu menjadi inspirasi dan mengolah rasa kita dalam berkehidupan. Jadi kalau itu bisa terus, kan bagus orang-orang seperti Reza Rahadian, Marsha Timothy – mereka punya dedikasi yang luar biasa. Kadang-kadang, “Kenapa pemainnya itu-itu aja?” Ya karena tidak mudah juga menemukan aktor-aktor yang mau melepas zona amannya mereka.
Akankah teater sama derajatnya dengan film dalam segi jumlah penonton, antisipasi, dsb?
Beda. Satu visual, yang satu dilihat langsung. Orang batuk kamu bisa lihat. Sebetulnya di panggung itu adalah akting yang sejujurnya. Tabungan latihan itu sangat diperlukan dalam arti kelihatan orang latihannya banyak atau tidak di panggung. Tapi ya tentang bagaimana proses dan berkesenian tentu sama. Tapi, dimensinya saja berbeda – misalnya tentang melihat dari sudut pandang kamera.
Sebagai pelaku, bagaimana teater bisa dipergunakan sebagai platform untuk mengangkat isu-isu sosial seperti sustainability dan kesetaraan gender/feminisme?
Dengan menyiarkan sebanyak-banyaknya, memang menjadi suatu impian kami untuk mengangkat isu tersebut. Karena naskah sastra itu sudah mencakup isu-isu itu semua. Saya percaya bahwa sastra berbicara dengan kehidupan manusia, walaupun zamannya beda. Peristiwa di “Nyanyi Sunyi Revolusi” itu terjadi di tahun 40-an, tapi masalah yang dihadapi sepertinya sama. Tentang memiliki dendam, memaafkan, ketidakadilan, salah paham, patriarki, hal-hal seperti itu ada semua. Karena kita mementaskan karya sastra, apa yang kita mau angkat tentang isu kemanusiaan – semua ada di sana. Secara tidak langsung, mungkin penonton tidak menyadari, bahwa kita sedang menempelkan isu itu. Itulah kekuatan sastra.
Saya percaya bahwa sastra berbicara dengan kehidupan manusia, walaupun zamannya beda.
Seperti misalnya dulu waktu SD saya membaca “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisjahbana. Saya ini membaca tentang kisah cinta Tuti, Maria dengan satu laki-laki. Cinta segitiga. Tapi setelah dewasa saya paham ternyata bukan soal kisah cinta tapi tentang kesetaraan gender, emansipasi, feminisme, dan lain-lain. Jadi semua itu tergantung dari kekayaan batin orang yang menontonnya.
Melihat perkembangan teater kecil yang bermunculan, apakah masa depan teater di Indonesia terbilang cerah?
Orang seni, dimanapun mereka hidup, apapun zamannya, mereka tetap kreatif. Didukung atau tidak, dengan siapa pun mereka akan terus kreatif. Saya percaya dengan kata-kata Putu Wijaya, “Seni itu beranjak dari yang ada”. Jadi apapun masih bisa terus berkembang. Hanya kapasitasnya adalah di batas atau tidak. Tapi orang-orang berkesenian ini terus mereka berkarya, apapun kondisinya.
Apakah proyek berikutnya untuk seorang Happy Salma?
Saya belum bisa cerita.