Memaknai Kembali Sejarah Alternatif di Exi(s)t #7
Exi(s)t #7: From Another Time mengangkat tema sejarah alternatif dan menampilkan 8 seniman muda dengan karya yang berkisar dari mitos hingga politisasi sejarah.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Ibrahim Soetomo
Foto: Ardi Widja
Sejarah ditulis oleh para pemenang. Adalah sebuah ungkapan yang hidup dimana penguasa mengontrol narasi bangsa, menggiring isi kepala rakyatnya untuk menyepakati kecenderungan politis yang mereka jaga. Ungkapan ini hidup di masa lalu kita, dan hantunya masih berkeliaran hingga sekarang, terutama di kepala-kepala mereka yang ignoran. Tapi rasanya, sekarang sudah mulai ada pergeseran. Bahwa kita sekarang masuk pada masa di mana informasi semakin terbuka, dan pintu kebenaran bisa dibuka dari ujung jari kita. Dalam masa yang begini, sejarah akan ditulis oleh mereka yang mempertanyakan kembali.
Hadirnya Exi(s)t #7 adalah penanda akan masa ini. Melalui tajuk “From Another Time”, pameran ini mengajak 8 seniman muda untuk mengeksplorasi sejarah dan narasi alternatif dengan rentang interpretasi seluas-luasnya. Bahasan ini dihadirkan dalam karya yang menyasar pada mitos, kolonialisme, hingga politisasi sejarah di Indonesia, dan mengelaborasinya dengan medium seperti video, found object hingga performance. Walau terlihat menggugah, karya yang hadir nyatanya belum memberikan tawaran sejarah alternatif yang kuat. Alih-alih demikian, karya-karya di pameran ini terkesan kurang riset, cenderung ilustratif, bahkan beberapa di antaranya keluar dari konteks pameran.
Karya Yovista Ahtajida misalnya, ia menarik namun berada dalam framing yang kurang tepat. Menyentil isu komodifikasi agama beserta motif-motif politik di belakangnya, “Nasyid goes Punk vol. 1,” Yovista memadukan lagu-lagu dari grup Nasyid (nyanyian yang menyampaikan ajaran-ajaran Islam) bernama Izzatul Islam dengan musik punk rock. Sehingga kita dapat mendengar lantunan sholawat dalam distorsi bandel punk rock. Ini adalah sebuah isu yang belakangan kerap diangkat oleh Yovista. Pameran tunggalnya, Hijrah, yang diadakan pada November lalu di Lir Space, Yogyakarta, juga mengangkat isu-isu serupa. Namun, seberapapun karya ini dapat secara kritis menyentil isu agama yang belakangan terjadi, “Nasyid goes Punk vol. 1” tidak cocok jika ditempatkan dalam bingkai kuratorial “From Another Time”. Presentasi karyanya pun terkesan tidak tuntas, sementara penempatan karyanya terasa tidak pas.
Lain halnya dengan Alexandra Karyn yang mengambil pendekatan “sejarah adalah sekarang.” Pada sudut kiri cafe Dia.lo.gue, di belakang bar, ia menulis sebuah pernyataan terkait dengan pendekatan sejarah yang ia pilih. “I’m not a political artist”, tulisnya. Kemudian ia menjabarkan tiga baris yang menegaskan sikapnya pada sejarah. Ia melanjutkan: “However, there is a quintessential aspect of history that I like — that history is happening, with every time passing, history is in the making”. Baris-baris selebihnya memaparkan pandangan Alexandra terkait sejarah dan kaitannya dengan manusia, ingatan dan momen. Selain merangkai pernyataan, Alexandra juga menyebarkan karya teks berformat koran yang isinya seakan-akan meliput malam pembukaan Exi(s)t #7, disertai dengan kolom-kolom yang menceritakan momen kebersamaannya dengan rekan-rekan seniman sebelum pameran diselenggarakan. Kesemuanya mengacu pada konsep “sejarah adalah sekarang.”
Karya berjudul “Index” milik Alexandra juga sebenarnya tak kalah menarik karena dapat menyuguhkan pendekatan konseptual, namun ia belum menjadi tawaran kuat. Saya tertarik pada pernyataannya terkait sejarah, yaitu “I’m not a political artist.” Apakah pernyataan ini menyangkut persepsi bahwa karya-karya yang mengangkat isu sejarah selalu berujung politis? Jika iya, apakah seniman yang mengangkat isu sejarah harus selalu politis? Ajang ini seharusnya dapat mendobrak pandangan-pandangan tersebut.
Karya Tandika Cendrawan paling representatif dalam pameran ini. “Usia Sebuah Nama Melebihi Nafas” menelusuri dekrit mantan presiden Soeharto pada 1966 yang melarang penggunaan nama-nama Cina. Tandika, sebagai perwakilan generasi ke sekian yang terkena dampak dari dekrit itu, kemudian menelusuri nama marganya, yaitu “Tan,” atau “Chen,” atau “Tjhin,” dan mengajak para pengunjung (jika ada) untuk menuliskan nama keluarganya dalam sebuah buku kecil. Bersamaan dengan ini, Tandika juga memamerkan foto serta found object seperti buku “Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia” (1979). Karya ini sedikit banyak mengingatkan kita pada proyek jangka panjang FX Harsono yang juga menolak keterlupaan kolektif penduduk beretnis Cina di Indonesia, sehingga, secara konsep, pendekatan Tandika tidaklah baru. Walau demikian, karya ini dapat menawarkan sebuah narasi alternatif lengkap dengan presentasi risetnya.
Keleluasaan dalam meneliti dan mencari referensi tentunya memungkinkan mereka untuk mengemas pendekatan sejarah yang baru.
Melihat pameran ini, kita diajak untuk memaknai kembali seberapa dekat isu sejarah dengan seniman-seniman muda. Haruskah kita kembali memandang sejarah secara politis? Atau, seberapa jauh kita dapat mengimajinasikan pembacaan sejarah yang lain? Pengemasan isu ini menjadi tantangan bagi para seniman muda yang memiliki ketertarikan pada sejarah. Keleluasaan dalam meneliti dan mencari referensi tentunya memungkinkan mereka untuk mengemas pendekatan sejarah yang baru.
Kebanyakan karya di “From Another Time” belum mengelupas lebih dari yang ada di permukaan. Jika sejarah alternatif ditujukan untuk melihat sisi lain atau bahkan pandangan baru dari sejarah, maka Exi(s)t #7 hampir tidak memberikan keduanya. Mari berharap bahwa From Another Time tidak menjadi presentasi akhir, melainkan suatu permulaan dari riset berkelanjutan para seniman di kemudian waktu. Tidakkah riset merupakan salah satu kunci di program ini?