Melihat Perkembangan Seni di Pulau Dewata dari Masa ke Masa Bersama Ayu Laksmi
Berbincang dengan Ayu Laksmi, seorang musisi sekaligus seniman asal Bali mengenai perkembangan ekosistem serta perspektif seni dari lensa budaya dan tradisi Bali.
Words by Whiteboard Journal
In partnership with British Council - DICE (Developing Inclusive Creative Economy)
Teks: Annisa Nadia Harsa
Kultur sebuah daerah memengaruhi bagaimana cara seorang seniman melihat pergerakan dan mendekati sebuah proses kreatif. Dari tingkat apresiasi serta penghormatan terhadap seni, peranan yang dimainkan oleh tiap generasi, hingga ada atau tidaknya wadah yang mampu mengangkat karya seorang seniman. Semua hal tersebut pun telah memengaruhi perspektif Ayu Laksmi, seorang musisi, seniman, serta aktris yang telah lama berkecimpung di industri seni Bali. Pada kali ini, kami berbincang bersama dengan Ayu Laksmi mengenai perjalanan karirnya sebagai musisi, awal mula ia bereksplorasi dengan alat musik tradisional, pentingnya melihat seni sebagai bentuk penghormatan, serta cara ia menyikapi seni di tengah pandemi.
Apa yang membuat Anda pertama kali tertarik untuk berkecimpung dalam dunia seni musik dan pertunjukan?
Saya lahir di kota kecil Singaraja bungsu dari empat saudara, dua perempuan dan satu laki-laki, kami dibesarkan oleh seorang Ibu yang merupakan single mother karena ayah kami meninggal saat saya usia empat tahun. Saat kecil belum paham tentang makna akan ketertarikan, sebagai anak bungsu, boleh dikatakan patuh pada apa yang diarahkan oleh Ibu dan saudara-saudara. Orang tua saya sangat menjunjung tinggi pendidikan juga mencintai seni. Walau sekolah wajib menjadi fokus utama, tetapi di waktu senggang diarahkan untuk ikut dalam berbagai ajang festival seni. Berawal dari lomba seni suara dan menjadi juara, walau hanya tingkat Kabupaten. Sebagai manusia Bali, seni tari wajib diikuti di sekolah dasar. Kalau kegiatan seni drama tidak intens, hanya sesekali untuk pertunjukan untuk acara di sekolah.
Mulai tahun 1972-1987 saya menjadi aktif mengikuti lomba yang pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan, tanpa beban harus menjadi pemenang. Peristiwa ini pulalah menjadi ajang belajar untuk mengendalikan emosi dalam menyikapi kemenangan sekaligus kekalahan.
Kehidupan berjalan pada tempat, waktu dan situasi yang berbeda-beda, berbeda pula saya memandang, menyikapi juga laku saya terhadap seni. Dulu saat kecil, remaja, dewasa hingga kini, terlalu panjang untuk diceritakan.
Sepanjang perjalanan Anda bereksplorasi dalam seni, apakah ada ketertarikan yang kuat kepada satu bidang? Apakah itu musik, seni pertunjukan, atau tari?
Berbagai genre musik yang ada sudah pernah dicoba, namun masih membuat saya bertanya, mulai festival, masuk industri rekaman, lalu kembali ngamen di kafe, hotel, kerja sebagai penyanyi di kapal pesiar, hingga mengarungi lautan Karibia. Di tahun 2000 saya mulai merasa jenuh ngamen, lalu bertapa, mengosongkan diri. Pada tahun tahun 2002 lah saya baru merasa menemukan diri sendiri, ketika membuat karya sendiri dengan genre world music. Ambisi pernah ada, redam ketika mengenal arti bijak. Idealis, ya, tetapi saya mengalah ketika memahami arti kata realistis.
Singkat cerita, dari segala seni yang telah ditanam dalam diri, pikiran, hingga perasaan, seni pun tumbuh kembang menjadi sesuatu yang dapat menghidupi diri. Akhirnya, pada tahun 2010 saya berdaya upaya melahirkan karya berjudul “Svara Semesta”. Tentu prosesnya panjang dan kadang lelah memang, mulai jadi produser, menciptakan lagu, membuat arrangement dasar, menulis booklet, mendesain album, mendistribusikan, menggelar konser apalagi karena mencari sponsor sulit untuk musik saya. Namun, ketika ada “Svara Semesta”, saya menjadi merasa punya rumah, setiap saat saya merasa saya bisa pulang, pulang ke rumah, pulang ke diri sendiri.
Dari “Svara Semesta”, mulai tumbuhlah cabang yang menjadi ranting-ranting, ranting film, ranting tari, ranting teater, ranting sastra, ranting visual dan lainnya, sampai pada ranting spiritualisme. Dengan kemampuan saya yang terbatas di berbagai medium, sedikit di sini, sedikit di sana, semuanya dikemas menjadi seni pertunjukan.
Bagaimana awal mula Anda mendapat gelar “lady rocker” pada tahun 80-an?
Saat itu, recording adalah peristiwa mewah, apalagi dengan sebuah major label. Kami yang berasal dari daerah sulit menembus tingkat nasional.
Dari mengikuti Festival Rock di Bali pada tahun 1984. Lalu, pada tahun 1987 saya berpartisipasi mewakili Bali dalam All Indonesian Rock Festival di Surabaya dan Malang. Tidak menang, hanya mencapai tujuh besar, tetapi memang saat itu saya satu-satunya peserta perempuan dan seangkatan dengan Slank serta Grass Rock. Lalu, di salah satu ajang Festival saya bertemu talent scout, Tamam Husein, dan ada tawaran recording. Saat itu, recording adalah peristiwa mewah, apalagi dengan sebuah major label. Kami yang berasal dari daerah sulit menembus tingkat nasional.
Ini bukan berarti saya penyanyi dengan suara yang hebat, orang Bali banyak yang berbakat, namun jarang ikut festival. Nah, inilah berkatnya dari mengikuti festiva-festival. Lalu, saya meluncurkan album rock di tahun 1991 berjudul “Istana yang Hilang”. Setelah album itu, saya benar-benar menghilang dari industri recording. Judul ini meninggalkan renungan pada saya, jadi ketika membuat album “Svara Semesta”, seluruh lagu berkisah tentang hal yang positif, cinta kasih serta penghormatan pada manusia, alam semesta dan Tuhan.
Bagaimanakah perspektif Anda mengenai industri seni dan musik pada zaman itu? Apakah ada perbedaan yang signifikan di dalam industri seni dan musik Bali di zaman 80-an dan sekarang?
Pada masa itu pelaku seni belum terlalu banyak, serta mediumnya untuk menunjukkan diri seputar bakat juga terbatas, hanya melalui festival. Kalau kita menang atau mengukir prestasi, maka kita bisa dimuat dalam berbagai media cetak dan kemudian diundang untuk wawancara di radio maupun TV. Tak ada yang lain kecuali RRI dan TVRI, maka publik akan lebih gampang mengenali para pelaku seni.
Dari pengalaman dan pendapat saya, produser masih pegang kendali yang kuat dalam Industri seni. Seniman belum bisa terlalu bebas mengekspresikan karyanya, jadi selera publik seolah olah diseragamkan. Tapi ini hanya opini dari saya ya, sebagai penyanyi yang pernah mampir sebentar dalam dunia industri musik, lalu tidak betah dan menghilang atas kemauan saya sendiri yang sebenarnya sekaligus bayar janji pada Ibu selesaikan kuliah, akhirnya tamat pula di Fakultas Hukum UNUD (Universitas Udayana). Mungkin, akan ada opini berbeda dari pihak musisi atau penyanyi lain yang sukses pada masa itu. Dari masa ke masa pasti zaman akan membuat warna dengan cara yang beda, karena referensi yang kita terima pada masa itu juga berbeda dengan sekarang.
Terlepas dari semua itu, industri musik pada masa itu lebih terasa berprosesnya karena harus melalui berbagai tahapan yang tidak instan. Yang paling saya rindukan adalah penghormatan pada musik dalam bentuk fisik, baik kaset atau CD. Masa kini berbalik situasinya, semua orang jika mau bisa membuat rekaman, menciptakan pangsa pasarnya sendiri, promosi sendiri juga. Seniman lebih bebas berkarya. Namun, di satu sisi sangat disayangkan bentuk fisiknya yang hilang, cilaka-nya perangkat untuk memutar perlahan-lahan juga menghilang dan tergantikan dengan digital. Tapi, saya tetap membuat “Svara Semesta” dalam bentuk fisik CD, yang membeli tentu hanya orang-orang yang ingin mengetahui makna dari lagu-lagu saya yang tertulis dalam syair-syair menggunakan bahasa kuno seperti Kawi, Sanskrit, Latin, bahasa daerah Bali, Jawa, dan Melayu. Ada sih, sedikit, dengan Bahasa Indonesia, Inggris.
Bagaimana tanggapan Anda mengenai pergerakan kolektif dalam menghidupkan ekosistem seni budaya dan musik di Bali?
Manusia Bali berpegang pada konsep hidup Tri Hita Karana, yaitu hubungan yang harmonis antar sesama, alam semesta, dan Tuhan. Berkesenian adalah sebentuk sesaji atau persembahan. Seni, budaya, adat, tradisi serta agama sejak dahulu menjadi satu. Dari zaman leluhur, kemudian zaman saya lahir, hingga saat ini masih tetap demikian. Seniman modern memiliki akar tradisi demikian pula, sebaliknya seniman tradisi memberi ruang pada seniman modern. Andai dalam situasi berjalan sendiri sendiri, maka akan berjalan sendiri, tanpa merasa ada yang ditinggalkan atau dilupakan. Andai dalam situasi yang mengharuskan untuk berkolaborasi, satu sama lain pasti akan saling dapat berinteraksi, saling toleransi, dan saling menyempurnakan. Hingga yang modern bisa menjadi ada nuansa tradisi, sebaliknya yang tradisi bisa menerima sentuhan modern. Demikian pula yang saya lakukan dalam album “Svara Semesta”, memberi sentuhan tradisi dalam kemasan nuansa yang baru, baik berupa nyanyian, gamelan, atau syair. Ini semacam upaya saya untuk menjaga kesadaran akan akar dan identitas dari mana diri ini berasal serta tidak lupa akan asal usul.
Perempuan di Bali tentu saja berpengaruh, bahkan pengaruhnya besar. Saya mengibaratkan perempuan Bali adalah eksekutor, penyelenggara dari segala peristiwa, baik itu peristiwa, lahir, hidup, atau mati.
Bagaimanakah Anda melihat peranan seniman perempuan di pergerakan-pergerakan kolektif di Bali dan bagaimana perspektif tersebut memengaruhi pergerakan itu?
Dengan bersatunya agama atau kepercayaan serta seni, budaya, adat, dan tradisi, telah menciptakan hukum kebiasaan bahwa setiap manusia otomatis mengambil peran dengan sukarela, tanpa diminta tanpa disuruh. Dari para lelaki, perempuan, juga anak-anak, semua menempatkan dirinya pada posisi yang berlaku secara umum atau biasanya. Tak hanya perempuan semua memiliki pengaruh. Perempuan di Bali tentu saja berpengaruh, bahkan pengaruhnya besar. Saya mengibaratkan perempuan Bali adalah eksekutor, penyelenggara dari segala peristiwa, baik itu peristiwa, lahir, hidup, atau mati.
Apa yang memicu Anda untuk mengeksplorasi penggunaan instrumen tradisional?
Semua yang terjadi dalam hidup saya dari masa ke masa, kadang terjadi begitu saja tanpa rencana atau cita-cita. Tak berlebihan jika saya katakan semua yang terjadi dalam diri saya, baik yang tampak dan tak tampak, adalah upaya untuk membantu diri saya mencapai solusi. Khusus tentang penting, instrumen tradisional, berawal dari sebuah tugas yang tak lazim, di mana saat itu saya ditunjuk untuk tampil sendirian dalam sebuah ajang Book Fair di Frankfurt. Karena dalam album “Svara Semesta” saya mengubah beberapa syair kuno dari abad ke-10 maka terdamparlah saya dalam peristiwa yang harus bermusik tetapi dalam situasi yang bukan di panggung musik.
Memanglah sejak dulu saya ingin bernyanyi sambil memainkan alat musik, namun tak ingin instrumen modern. Dalam kegalauan saya mencari alat, lalu jelang keberangkatan, tak sengaja saya nonton pertunjukan teater, saat itu saya melihat penting, instrument unik dari Karangasem, Bali Timur. Hati saya berdegup saat mendengar, saat itu saya sudah yakin, nah inilah yang akan menjadi kekasih saya. Tapi mau beli alatnya tidak ada yang menjual. Lalu, bertemu dengan seseorang bernama A. A. Khrisna, di mana dialah orang pertama yang saya lihat memainkan alat penting itu, juga padanya saya belajar sedikit cara memainkan. Seminggu kemudian saya harus berangkat dan beliau berbaik hati meminjamkan alatnya.
Saat itulah untuk pertama kalinya saya nembang diiringi dawai penting, walau masih status belajar, petikan masih terbata-bata, tetapi saya tidak sendirian melewati panggung yang tak lazim itu. Hingga kini saya mulai terbiasa memainkannya, mungkin cara saya memegang juga memetiknya tak sama dengan guru saya. Namun demikianlah seni dan seniman di Bali baik tradisi dan modern terbuka, lentur, dinamis, memberi serta menerima ragam cara.
Hingga kini kolaborasi instrumen musik tradisi dan modern memasuki era penciptaan karya-karya baru dari para seniman di Bali, baik tua maupun muda, bahkan anak-anak. Kolaborasi musik tradisi modern ini, setiap tahun dapat disaksikan dalam ajang Pesta Kesenian Bali, ajang ini sudah digelar rutin selama 40 tahun. Selain dalam ajang festival, juga menjadi salah satu penanda dibukanya kongres International atau hanya sekedar hiburan yang digelar di hotel hotel berbintang.
Bagaimanakah Anda melihat dan mendefinisikan lanskap seni, pertunjukan, rupa, maupun musik, di Bali?
Menurut saya, kolaborasi adalah cara kita belajar hidup toleransi di masyarakat.
Seni apapun itu, dasarnya seniman Bali menyikapi seni sebagai persembahan. Seni adalah cara kita berkomunikasi yang kita yakini dapat dipahami oleh sesama manusia, alam, serta ekspresi bersyukur atas karunia yang diberikan Tuhan. Demikian pula adanya kerjasama antara seni satu dengan yang lainnya, baik musik, tari, rupa, drama, dan sastra. Sampai saat ini, antar seniman saling mengabarkan, saling memberi ruang, serta dengan suka rela mengisi jika diberi ruang. Jika tak ada ruang tersedia di panggung, maka kita isi ruang panggung untuk penonton. Panggung besar, panggung kecil, bahkan sejak dahulu panggung digelar di rumah. Namun pertunjukan dimanapun, digelarnya tetap dilakukan dengan totalitas. Menurut saya, kolaborasi adalah cara kita belajar hidup toleransi di masyarakat.
Apakah menurut Anda faktor yang memengaruhi definisi atau identitas tersebut?
Seni di Bali bagaikan urat nadi, sebagai penanda adanya Yadnya atau persembahan, juga penanda adanya kelahiran, kehidupan, juga kematian. Dapat tumbuh, berkembang, karena tempatnya di Bali.
Sebuah kesenian lahir berdasarkan adanya kesadaran estetika yang dimiliki manusianya. Kami menyebutnya dengan Desa, Kala, Patra, dengan kata lain, tempat, waktu, serta situasi. Seni di Bali bagaikan urat nadi, sebagai penanda adanya Yadnya atau persembahan, juga penanda adanya kelahiran, kehidupan, juga kematian. Dapat tumbuh, berkembang, karena tempatnya di Bali. Karena turun-temurun kuat dijaga dan dirawat oleh manusianya dari satu generasi ke generasi berikutnya pada waktu yang setiap saat boleh digelar, sekalipun dalam lingkungan terkecil pun, serta dalam situasi apapun, baik suka maupun duka, dalam sebuah cara dan upacara.
Menurut Anda, apa sajakah dampak yang sudah terlihat dan terasa di lanskap seni akibat pandemi ini?
Dampaknya bisa baik bisa buruk, tergantung memandangnya dari mana. Namun, karena Manusia Bali meyakini serta menerima filosofi dualisme dalam diri manusia yang dikenal dengan istilah Rwa Bhineda, dua hal berbeda dalam kehidupan yang menjadi satu dan tak terpisahkan satu sama lain. Ada siang ada malam, ada suka maupun duka, ada positif dan negatif, dan seterusnya. Rwa Bhineda inilah yang menjadi dasar dari hukum keseimbangan dalam Semesta. Saya sebagai seniman yang belakangan ini aktif di Jakarta dengan adanya pandemi ini tentu menjadi terhenti dari segala kegiatan seni, baik musik maupun film. Namun, di saat langkah tak bisa keluar, saya lebih banyak dapat melakukan perjalanan untuk masuk ke dalam diri. Waktu yang ada pun lebih panjang. Saya pikir hal ini pula dirasakan sama dengan para seniman lainnya, juga sebagian manusia di seluruh dunia. Aktivitas saya dan teman-teman di Bali adalah yoga, meditasi, ritual di rumah saja dan belajar hal-hal yang baru.
Apakah krisis pandemi seperti ini akan membuahkan suatu gerakan seni dengan gaya dan perspektif baru?
Iya, akan banyak ada kelahiran karya karya baru, cara berpikir baru, cara bertutur baru, cara berlaku yang baru. Namun, sebagaimana sebuah kelahiran harus melalui penderitaan. Manusia dalam melengkapi keinginannya sebagai pemenuhan sebuah kebahagiaan, mungkin tak sengaja atau ada yang sengaja, melukai semesta. Lalu semesta sakit dan menderita. Namun manusia belum peka, ketika kini semesta menyembuhkan dirinya, giliran manusia yang sakit dan menderita. Semoga peristiwa pandemi ini bisa jadi renungan serta pelajaran bagi kita semua, untuk selalu hormat pada tanah, air, cahaya, udara, dan ruang hampa sebagai lima energi agung.
Suka tidak suka, harus diterima. Banyak event-event cancel, bahkan parade Ogoh-ogoh yang biasanya dirayakan sangat riuh menampilkan karya seniman se-Bali dan sudah dipersiapkan sejak tahun lalu pun cancelled. Kini, berbagai ritual dilakukan di rumah untuk menolak bala, cara-cara para leluhur kita terdahulu saat menghadapi wabah dimana hal tersebut ada dan tertulis dalam berbagai lontar pun kembali kita lakukan.
Selain ikut menggelar upacara atau ritual tersebut, yang saya alami setelah hampir satu bulan benar-benar di rumah saja justru menjadi sangat sibuk dengan project seni kolaboratif. Teman-teman, temannya teman, saling menunjuk dan ketika saya ditunjuk, seolah-olah merasa berdosa jika menolak. Maka terciptalah cara-cara baru, menggelar aktivitas seni tanpa harus bertemu langsung satu sama lain, yang disiarkan melalui media sosial. Kini semua orang telah memiliki channel masing-masing, tentang apa konten yang ingin ditampilkan untuk publik tentu menjadi kuasa masing-masing pihak.
Menurut Anda, bagaimanakah seharusnya pekerja seni menyikapi efek pandemi ini secara pemikiran dan dalam praktik seni mereka?
Doa, tetap tenang, positive. Pikiran, tutur dan laku, tetap productive. Patuh pada apa yang dianjurkan pemerintah, baik daerah maupun pusat, ciptakan kebahagiaan dengan cara masing-masing, membuat rencana apakah setelah pandemi. Namun kita pun harus siap dengan segala kemungkinan terburuk yang terjadi dalam kehidupan.
Apakah Anda sedang dalam proses penggarapan atau merencanakan proyek seni baru untuk masa depan?
Masa depan… Iya ada… Kan hidup harus selalu ada pengharapan. Namun izinkan saya tak menggemba- gemborkannya ya. Yang jelas, tak jauh jauh dari dunia seni dan kreatifitas.
–
Artikel ini adalah bagian dari proyek kolaborasi British Council – DICE dengan Whiteboard Journal yang berfokus pada Creative Hubs di Indonesia. Berjudul “Direktori” kolaborasi ini akan menceritakan profil komunitas dan kolektif lokal, mulai dari video series, interview hingga buku. Tunggu rangkaian kontennya di website kami.