Melalui Kolektif, Melestarikan Nilai Lokal bersama Muhammad Sibawaihi
Muhammad Sibawaihi berbagi pendapatnya mengenai peran sebuah kolektif dalam melestarikan budaya lokal, serta ceritanya mengenai Bangsal Menggawe, festival budaya yang mengangkat isu-isu sosial di kawasan Pemenang.
Words by Whiteboard Journal
In partnership with British Council - DICE (Developing Inclusive Creative Economy)
Keindahan alam Lombok mendorong industri pariwisata namun berpotensi menggerus kebudayaan lokalnya. Dari sinilah Muhammad Sibawaihi bersama Komunitas Pasir Putih berinisiatif melestarikannya sembari mengajak masyarakat untuk melakukan hal serupa melalui kegiatan literasi media. Pada perbincangan ini, Muhammad Sibawaihi berbagi pendapatnya mengenai peran sebuah kolektif dalam melestarikan budaya lokal, serta ceritanya mengenai Bangsal Menggawe, festival budaya yang mengangkat isu-isu sosial di kawasan Pemenang.
Bagaimana timbul inisiatif menumbuhkan literasi media melalui jalur kesenian?
Sebelumnya, kami bikin jurnal online, tulisan kawan-kawan kami cetak lalu kami jadikan buletin. Di buletin itu tidak hanya berita lokal tapi juga ada karya puisi di situ. Karena pada dasarnya, berbagai macam isu baik itu seni, budaya, sosial, politik ekonomi yang ada di tingkat lokal itu tidak memiliki wadah. Maka ketika kami memiliki kesadaran literasi media, kami juga memiliki kesadaran untuk membuka platform bagi kawan-kawan di Pemenang. Bagi mereka yang punya karya apa pun, baik itu sastra atau non-sastra, mereka punya wadahnya.
Komunitas Pasir Putih punya kesadaran bahwa kami tidak hanya memandang media sebagai media secara umum, tapi sebenarnya apa saja yang kami punya di Pemenang ini bisa jadi media untuk mewujudkan cita-cita Pasir Putih. Misalnya, di Pemenang ada kebiasaan masyarakat untuk berkumpul di berugak. Berugak itu semacam gazebo, itu kan sebuah ruang, sebuah wadah yang bisa jadi tempat berbagi tentang apa saja terutama isu-isu lokal. Misalnya lagi kami punya acara, atau perayaan, itu dijadikan media oleh kawan-kawan untuk melakukan apa saja.
Jadi komunitas bisa menjalankan peran sebagai katalisator dan kolaborator?
Sangat. Bagi gue bisa dua-duanya. Atau bahkan mungkin kita bisa berfungsi sebagai banyak hal. Fungsinya bisa sangat banyak, terutama katalisator dan kolaborator. Mungkin
juga lebih tepatnya fasilitator, namun yang sering kita pakai itu “seniman panitia.” Cukup kita berada di belakang layar dan masyarakat yang bergerak. Karena memunculkan rasa kebanggaan di masyarakat itu penting. ketimbang melulu kolektifnya yang memunculkan diri dengan anggapan bahwa “kita yang mengubah masyarakat.” Lebih baik masyarakatnya. Selain kita menjadi fasilitator dan katalisator, kita juga menjadi supporter. Tukang tepuk tangan saja (tertawa). Ketika misalnya ada anak muda yang brilian dan cerdas, ya sudah dia saja yang maju, kami tukang manas-manasin saja. Begitu dia maju, dia jadi apa gitu, kami tepuk tangan. Tapi kerja-kerja menulis, mengarsip dan meriset itu tetap harus dilakukan. Dia tidak boleh berhenti.
Salah satu program Komunitas Pasir Putih adalah kami ingin mengaktivasi Bangsal untuk kembali menjadi ruang kultural masyarakat. Kami melihat Bangsal sebagai media untuk masyarakat kembali melihat kebudayaan mereka sendiri. Jangan sampai kebudayaan yang masyarakat Pemenang anggap adiluhung itu hilang oleh industri. Maka icon-nya harus muncul. Bangsal ingin diubah menjadi tempat untuk orang berkumpul untuk memancing, melakukan ibadah keagamaan, berkumpul untuk berbicara persoalan keseharian mereka.
Jangan sampai kebudayaan yang masyarakat Pemenang anggap adiluhung itu hilang oleh industri.
Andai ada kolektif di tempat lain mau mengangkat kearifan lokal di wilayahnya, apa langkah awalnya?
Ini pertanyaan yang juga sering kami pertanyakan kami diri sendiri dan sering kami diskusikan. Menariknya, di Lombok atau di tempat lain, muncul kolektif-kolektif baru. Muncul orang yang memiliki gagasan yang sangat luar biasa. Misalnya dari Pemenang saja banyak orang yang kemudian merasa sadar bahwa Lombok Utara ini kabupaten memiliki kekayaan yang luar biasa. Ada sejarah yang belum pernah terbuka, ada banyak. Tapi persoalannya itu orang ingin ujug-ujug, tiba-tiba, terus hilang. Nah, gue rasa yang paling awal yang harus dilakukan, berdasarkan pengalaman Pasir Putih, nulis aja dulu yang banyak. Proses literasi diri orang yang memiliki gagasan, kemudian komunitas itu sendiri, kemudian masyarakat, itu harus diajak dulu bertahun-tahun melihat, menganalisa, menulis dan mempublikasikan persoalan-persoalan mereka sendiri sampai benar-benar memahami persoalannya apa, yang mau dibuat itu apa sebenarnya. Orang ujug-ujug bikin festival A, atau festival B, tapi gue lihat ngapain kita buat ini? Ini jarang dipahami. Bisa saja seperti itu tapi pasti akan temporer. Akan cepat muncul dan cepat juga hilang.
Kerja-kerja yang diambil Pasir Putih itu kan kerja hati, kerja seumur hidup. Kerja aktivisme itu kan seumur hidup.
Pasir Putih baru tahun ke-6 bikin festival. Dulu awalnya saking semangatnya kami mau bikin festival film atau festival video, karena kami anggap penting, atau merasa film itu sebagai alat pendidikan untuk masyarakat untuk memberikan pengetahuan, tetapi persoalannya apakah kita sudah membangun kebiasaan atau budaya itu? Itu yang jarang orang sadari. Gue rasa cukup menarik ketika yang dilakukan awal-awal itu upaya memahami diri dan sosial melalui kerja-kerja literasi, menulis, membaca ulang, menganalisa, diskusi. Mungkin setelah kita bertahun-tahun melakukan penulisan atau pembacaan realita sosial, mungkin kita akan hadir misalnya dengan pasar buah, karena ternyata kita memiliki potensi itu, atau misalnya baru kita sadar bahwa penting bagi kita punya pusat studi bahasa, karena bahasa ini akan punah. Pasir Putih hadir dengan festival karena melihat Pemenang itu banyak bintang, banyak orang dari maestro gambus, maestro rudat yang sudah diangkat oleh kementerian sebagai maestro, terus ada tiga agama, ada patung, ada wihara, ada banyak hal yang kami pikir dibutuhkan panggung, dan panggung itu adalah Bangsal Menggawe. Mungkin di tempat lain bacaannya akan berbeda dan solusi yang ditawarkan akan berbeda. Dan kalau misalnya kembali bahwa festival ini adalah media bagi Pasir Putih, mungkin ke depan nanti, festivalnya tidak ada lagi tapi cita-citanya sudah terwujud. Kerja-kerja yang diambil Pasir Putih itu kan kerja hati, kerja seumur hidup. Kerja aktivisme itu kan seumur hidup.