Kultur DIY dan Kolektif Sebagai Counter Culture bersama Wok The Rock
Kami berbincang dengan Wok The Rock mengenai pembacaannya mengenai kultur berkolektif saat ini, kolektif sebagai budaya tandingan bagi hegemoni industri, dan pandangannya tentang arah kultur kolektif di Indonesia ke depannya.
Words by Whiteboard Journal
In partnership with British Council - DICE (Developing Inclusive Creative Economy)
Teks: Ibrahim Soetomo
Tradisi gotong royong telah menjadi motor penggerak kolektif di Indonesia. Dengan bekerja bersama, sebuah kolektif dapat bergerak dan secara progresif dalam mencapai suatu tujuan. Zaman berubah, tantangan kolektif pun berubah. Perubahan ini dilihat oleh Wok The Rock yang telah progresif berkolektif sejak awal 2000-an. Kami berbincang dengan Wok The Rock mengenai pembacaannya mengenai kultur berkolektif saat ini, kolektif sebagai budaya tandingan bagi hegemoni industri, dan pandangannya tentang arah kultur kolektif di Indonesia ke depannya.
Menurut Anda, kenapa kultur DIY dan art movement di Indonesia sangat kuat?
Memang di sini sudah punya tradisinya. Sebelum ada konsep DIY yang diadopsi dari Barat, kita sudah punya itu secara tradisi kayak gotong royong. Apalagi di kota-kota yang non-metropolitan, itu pasti masih memiliki tradisi itu. Mengerjakan sesuatu tidak sendiri, tapi cenderung mengerjakan sesuatu bersama-sama. Itu yang kemudian terlihat kuat mungkin oleh orang Eropa atau publik internasional.
Karena sudah punya tradisi seperti itu, kemudian di tahun 90-an itu kan mulai mengadopsi konsep-konsep DIY dari Amerika dari Eropa, itu semakin menguatkan saja, seperti mengafirmasi tradisi yang kita miliki. Makin mantap mengerjakannya. Itu yang terjadi.
Wok sudah berkiprah dari 2000-an bersama MES 56 dan Yesnowave, bagaimana melihat kultur DIY dan kolaboratif berkembang hingga saat ini?
Berkembang tentu saja ya. Perkembangannya menurutku makin meluas. Bahkan hingga ke taraf yang umum atau mainstream. Bahkan sekarang dengan berlakunya popularitas digital itu yang kemudian bikin korporat-korporat besar itu runtuh. Bisnisnya runtuh. Itu bisa dilihat kalau mereka mengadopsi budaya-budaya DIY ini, budaya-budaya indie. Bisa dilihat siapa sekarang yang mendominasi, paling tidak di ranah musik. Yang mendominasi festival-festival musik sekarang siapa? Tidak lagi Slank, kan? Tapi Tulus (tertawa). Anak-anak indie sekarang memegang peran. Yang laku itu seperti gitu. Itu yang diadopsi sama industri, salah satunya di industri rokok. Diapropriasi. Artinya perkembangan sekarang DIY itu sudah diadopsi oleh korporat, sampai sebegitunya kalau sekarang. Sudah diadopsi secara menyeluruh.
Sebelum ada konsep DIY yang diadopsi dari Barat, kita sudah punya itu secara tradisi kayak gotong royong. Apalagi di kota-kota yang non-metropolitan, itu pasti masih memiliki tradisi itu. Mengerjakan sesuatu tidak sendiri, tapi cenderung mengerjakan sesuatu bersama-sama.
Wok sendiri melihat pengadopsian ini bagaimana, apakah berdampak baik atau justru tidak?
Itu tantangan buat kami-kami ini yang masih berada di ranah akar rumput. Industri besar belajar dari akar rumput, mereka memantau pola kita. Dan cara memantaunya pun sudah sistematis, melalui algoritma di digital, di internet. Itu jadi alat mereka untuk memantau semuanya, apa yang dilakukan di akar rumput.
Tantangannya di situ, apakah kemudian kami yang di akar rumput ini kemudian hanya menjadi sapi perah saja? Kalau kemarin ngobrol sama Boit dari Omuniuum, Bandung, dia cerita bahwa komunitas musik di Bandung sudah terpecah gara-gara pola ini. Itu tantangannya. Acara festival atau apa pun yang didukung oleh rokok itu kan kemudian gratis. sedangkan beberapa teman-teman yang menginisiasi sebuah proyek atau acara yang belum tentu didukung oleh rokok, yang masih dilakukan secara mandiri, itu masih memberlakukan ticketing, karena ticketing itu kayak patungan untuk produksi acara. Di waktu yang sama, audiens ini sudah terbiasa acara gratis oleh rokok. Kemudian jadi tidak beli tiket. “Kok ticketing sih?” Malah kayak gitu. Nah ini jadi tantangan buat kita semua.
Menurut Wok, apa yang bisa kita lakukan untuk meng-counter itu, terutama bagi kolektif muda?
Kalau menurutku pribadi, kerja berjejaring harus semakin dimantapkan. Karena dengan berjejaring itu kita bisa secara teknis meminimalisir pengeluaran produksi. Misalnya kita mau bikin acara musik, namun dananya terbatas, sound system sudah tapi ada, tapi tidak ada subwoofer misalnya, kalau ada kolektif atau komunitas lain, itu bisa meminjamkan. Berbagi resource ini penting. Berjejaring itu menjadi penting karena kita bisa berbagi resource. Dengan begitu kita akan meminimalisir biaya produksi.
Dengan berjejaring, semuanya semakin terbuka lagi. Di Bandung posisinya sudah sulit berjejaring, karena setiap komunitas sudah enak sendiri-sendiri. Sudah disusuin sama industri besar, kemudian mereka tidak saling bekerja sama lagi. Tantangannya kemudian, mereka harus sadar bahwa untuk menampilkan satu hal yang progresif, rokok belum tentu bisa mendukung, dan saat sebuah kolektif sudah bisa melakukan sesuatu yang progresif dan tidak didukung oleh rokok, kolektif akan kebingungan, gimana nih caranya, karena sudah terbiasa disusuin. Makanya penting untuk terbuka dalam berjejaring.
Listen to a playlist of tracks from @yesnowave – the Indonesian net label “building a post-capitalist alternative to music industry norms since 2007” https://t.co/mjMkauZ9g4
— The Wire Magazine (@thewiremagazine) June 8, 2020
Kata kuncinya memang untuk menjadi progresif ya.
Iya. Makanya kemudian sekarang mulai muncul forum-forum antar kolektif. Bahkan antar kota. Karena ini sangat penting.
Ke depannya, apa yang Wok lihat dalam geliat kolektif di Indonesia?
Kolektif di Jawa sekarang akan bekerja sama dengan teman-teman di luar Jawa. Itu proyeksiku.
Kolektif di Jawa sekarang akan bekerja sama dengan teman-teman di luar Jawa. Itu proyeksiku. Kalau aku pribadi pengen seperti itu. Maksudnya kayak gini, kalau aku mau bikin acara tur band di Jawa itu sangat mudah, sudah sangat mudah, tanpa sponsor pun bisa dilakukan. Nah, tapi bagaimana dengan kalau kita mau tur ke Makassar, misalnya. Bagaimana bisa ke sana? Ini buat aku sendiri penting untuk menjalin kerja sama dengan kolektif-kolektif di luar Jawa. Dalam konteks ini juga pengen menjalin kerja sama dengan Timor Leste, atau Asia Tenggara, yang paling dekat ya Timor Leste. Seperti itu.
Proyeksiku untuk geliat kolektif di Jawa ya seperti yang aku bilang tadi, memantapkan kembali berjejaringnya, membuka diri untuk kerja sama, berbagi resource dan selanjutnya mengembangkan jaringan ini dengan teman-teman ini di provinsi-provinsi lain. Itu yang paling penting. Karena ini sudah mulai. Kemarin Senyawa main di Pontianak, di Makassar, di Bali, itu mendapatkan tidak hanya sambutan dan apresiasi tapi juga pola kerjasamanya sudah terjalin, sudah ada kesadaran untuk pembiayaan bersama. Ini kan yang perlu dimantapkan lagi. Proyeksi pergerakan sudah tidak ke Jawa, tapi sudah ke bagaimana caranya kita bisa main di Manado, main di Palangkaraya, seperti itu.