Konser Kemerdekaan Setubuh Pohon
Pentas Collabonation Indosat di Pendopo Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, 29 Mei 2021. Jelajah kultural Iga Massardi, Sal Priadi, Kunto Aji, Petra Sihombing, Gondrong Gunarto, Danang Pamungkas, dan Barata Sena. Perhelatan kemerdekaan di masa pandemi.
Words by Whiteboard Journal
In partnership with IM3 Ooredoo
Teks: Yudhistira ANM Massardi
Foto: IM3 Ooredoo
Pohon adalah makhluk tak bergerak. Kehidupannya ditunjang oleh akar yang menghunjam ke dalam bumi. Ia bertumbuh ke atas, bercabang, berdaun, beranting, berbunga, berbuah. Memberikan andil kepada kehidupan, sebagai nutrisi bagi manusia, sebagai tamasya bagi jiwa dengan keindahan dedaun dan bunga.
Bagi seorang pematung, batang dan dahan pohon adalah materi yang kemudian menjadi bagian dari jiwa pencarian estetik dan penjelajahan artistik, sejauh imajinasi menarik dan melontarkannya ke semesta kemungkinan reka kriya.
Bersama angin, pepohonan meliukkan gerakan-gerakan melambai dan menghentak. Bersama angin, mereka menggesekkan daun dan ranting, menimbulkan aneka bunyi suit dan derak. Bersama unggas dan serangga, pagi, siang dan malam, mereka memainkan simponi kehidupan. Menciptakan aneka suara dengan melodi alami.
Ketiga komponen itu, pohon dengan aneka lekuk dan bentuk, angin dengan aneka lambai dan goyang, menciptakan frekuensi bebunyian brass, string dan perkusi tak terduga.
Ketiga komponen itu menggerakkan insting dan intuisi manusia untuk memberikan respons, menciptakan kreasi-kreasi imitasi dan interpretasi, melahirkan karya-karya representasi dan reinterpretasi. Menumbuhkan cipta seni: yang sakral dan profan. Menginspirasi penciptaan karya-karya pemujaan, adiluhung, eksperimental dan juga produk hiburan keseharian.
Dengan latar belakang dan pemahaman seperti itulah, kita bisa mengapresiasi konser Collabonation yang dihelat oleh Indosat Ooredoo di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, 29 Mei 2021.
Pentas itu merupakan hasil kerja kolaborasi yang spektakuler. Tidak hanya karena melibatkan sekitar sepuluh orang pemusik dengan latar belakang tradisi Jawa/Solo di bawah arahan Gondrong Gunarto, sembilan orang penari Jawa di bawah arahan Danang Pamungkas dan melibatkan empat pemusik yang namanya sedang berkibar di blantika musik pop: Kunto Aji, Sal Priadi, Petra Sihombing dan Iga Massardi (yang, bersama Petra, sekaligus bertindak sebagai music director); spektakel itu menjadi istimewa dan berbeda karena menggunakan aneka instrumen musik yang luar biasa. Yakni, karya-karya patung kayu ciptaan Barata Sena, seniman kriya dari Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Karya-karya itu memang tak dikehendaki berhenti sebagai patung-patung bisu, melainkan karya-karya kriya yang memiliki peluang bagi berlangsungnya sebuah “kehidupan baru”. Yakni, dengan memberinya dawai-dawai string sehingga patung-patung kayu berbagai bentuk dan ukuran itu bisa bersuara ketika digesek seperti cello, atau dipetik seperti bass besar dan kecapi, atau diketuk seperti piano. Beberapa patung lain yang berbentuk seperti meja, dibuat untuk bisa berfungsi sebagai perkusi jika ditabuh sekaligus bisa menjadi panggung mini sehingga orang bisa menari di atasnya.
Patung-patung akustik-perkusif berukuran gigantik itu (tinggi dan lebarnya ada yang lebih dari satu meter, dengan ketebalan hingga 15 cm), dengan berbagai bentuk unik, dari yang seperti dinding abstrak hingga yang berongga berwujud adi busana perempuan hingga yang berupa rangkaian saron atau gong-gong kecil digantung berjejer dan menimbulkan bunyi ketika ditiup atau digoyang bertumbukan. Kesemua karya patung itu, sore itu, mendadak menjadi seperangkat instrumen orkestra eksperimental yang spektakuler.
Sebagai sebuah pementasan, yang terjadi sore itu di pendopo besar adalah pergelaran atau eksibisi multimedia dalam format teater-tari-musikal. Pendekatannya, tentu saja, eksperimental/kontemporer, improvisatoris. Sebuah penjelajahan bunyi dan ruang sepanjang 45 menit yang merambah khasanah klasik/tradisi hingga pop kekinian.
Dibuka dengan pembangunan suasana magis melalui bebunyian ritmis pelan ditingkahi suara lirih-rintih dua sinden (Yeni dan Nur) yang mengalunkan tembang Jawa dalam nada salam pemujaan (meditatif) sembilan orang penari (delapan perempuan dan seorang lelaki) kemudian memasuki ruang. Mereka, seperti para penari sakral bedhaya, bergerak melalui dan mengisi ruang-ruang sempit di antara instrumen-instrumen bunyi itu, merespon dengan pandangan mata dan sentuhan. Berkain batik dengan bagian atas terbuka dan selempang bersimpul di atas bahu, para penari itu bergerak mengikuti tempo musikal yang terus berubah rampak dan rancak, dari pelan hingga cepat menuju klimaks yang dinamis penuh semangat. Dengan senggakan dan lengkingan suara dua sinden yang mencekam, gerak para penari berubah dari pola-pola feminin menjadi maskulin.Salah seorang penari naik ke atas instrumen meja dan menari bergelora, membuka ruang vertikal yang magis dan gigantis.
“Upacara” pembukaan yang berkeringat itu berlangsung sekitar sepuluh menit. Para penari kemudian eksit. Mereka kelak masuk lagi, seperti angin, mengisi ruang di momen-momen “kosong” yang memang perlu diisi untuk “memampatkan” repertoir.
Para pemusik muda berbaju putih bercelana hitam melanjutkan permainan dengan sebuah komposisi bernuansa tradisi-pop-rock karya Gondrong Gunarto, yang menggasak kecapi merahnya secara ekspresif bak gitaris rock. Lagu “Panca Indera” itu, dengan tingkahan gitar elektrik, meskipun di beberapa bagian mengalir bebas, ia tetap menjaga alun melodi, sehingga iramanya masih bisa diikuti sebagai sebuah karya yang “lazim.”
Mengalir tanpa jeda, musik berlanjut dalam format medley, dimulai dengan lagu “Bengawan Solo” yang dialunkan dalam tempo lambat oleh Kunto Aji bersama Sal Priadi. Inilah bagian tengah yang memberikan “ruang eksperimental” bagi Iga dan kawan-kawan untuk memasuki sebuah wilayah kultural (Jawa) yang mungkin selama ini tidak pernah mereka gauli secara musikal. Dan untuk sebuah kerja kolaborasi, yang diperlukan tidak hanya dialog personal dengan semua personil yang terlibat, melainkan juga sebuah keterbukaan sikap, laku, dalam proses isi-kosong, menerima-memberi, berbagi dan bertukar wawasan, berlatih bersama (di studio dan kediaman Barata Sena di Kampung Jajar). Berkali-kali. Berhari-hari.
Nomor medley itu rupanya sekaligus menjadi “jalan ke luar” atau mungkin lebih tepatnya “jalan masuk” bagi para “artis Ibukota” itu ke dalam frekuensi tradisi Jawa (Tengah). Setelah lagu ciptaan Gesang yang masyhur itu, Petra masuk dengan vokal dan gitarnya — tetap bersama Sal dan Kunto — membawakan sepenggal dari lagu hitnya, “Nirmala”, dilanjutkan dengan potongan lagu hit Sal Priadi “Bulan yang Baik ” dan lagu Kunto Aji “Sulung.” Bagian ini diakhiri dengan selarik kalimat lagu “Hagia” Iga Massardi, “Seperti kami pun mengampuni… ” dalam repetisi yang menukik dan meninggi.
Segera sesudah itu musik bergerak liar, riuh, gaduh, seakan-akan memerdekakan seluruh emosi, mendedahkan semangat kolaborasi yang bebas, terbuka, berpesta bersama. Iga dan Petra meningkahi dengan kocokan dan lengkingan gitarnya dengan ragam warna suara. Kunto ikut meramaikan tabuhan perkusi, Sedangkan Sal bergerak setengah menari mengitari ruang. Itulah klimaks yang sesungguhnya bukan merupakan akhir pertunjukan, melainkan sebuah awal dari semangat kreatif yang harus terus diletupkan untuk membebaskan diri dari belenggu pandemi Covid-19.
Sungguh. Perhelatan — yang urung dipentaskan terbuka di Bale Kambang akibat terjangan Covid — itu terbilang akbar. Diprakarsai oleh Senior VP Brand Management & Strategy Indosat Fahroni Arifin, atraksi itu bisa dimaknai sebagai “proklamasi kemerdekaan” para seniman/kreator seni pertunjukan di Indonesia. Ini bukan hanya menjadi sebuah hal penting bagi kesenian, melainkan sebuah keharusan bagi kehidupan masa depan kebudayaan Indonesia! Menyiangi akar, agar plasma-plasma dan pohon jatidiri terus tumbuh, membesar, memberikan nutrisi kepada jiwa bangsa, menaungi kebhinekaan Nusantara. Bravissimo!