Kolektif Kita, Dari Masa Ke Masa bersama Farah Wardani
Kami berbincang dengan Farah Wardani mengenai perkembangan berkolektif di Indonesia dari masa ke masa, serta pentingnya pengarsipan untuk melestarikan dan membangun sejarah seni kita.
Words by Whiteboard Journal
In partnership with British Council - DICE (Developing Inclusive Creative Economy)
Teks: Ibrahim Soetomo
Berkolektif merupakan praktik seni paling kuat di sepanjang sejarah kesenian di Indonesia. Di masa kemerdekaan, kita mengenalnya dengan konsep ‘sanggar’. Praktik ini berkembang hingga kini kita mengenalnya dengan ‘kolektif’. Dalam hal ini, Farah Wardani memiliki cerita tentang bagaimana praktik itu berkembang. Kami berbincang dengan Farah Wardani mengenai perkembangan berkolektif di Indonesia dari masa ke masa, serta pentingnya pengarsipan untuk melestarikan dan membangun sejarah seni kita.
IVAA pernah menerbitkan satu buku mengenai kolektif di Indonesia, apa saja pembacaan Anda mengenai perkembangan kolektif kita dari masa ke masa?
Kolektif seni itu punya sejarah sendiri. Punya tempat sendiri dari sejarah seni rupa kita. Salah satu perbedaan yang cukup distingtif antara seni rupa kita dengan yang di luar adalah kalau di luar, institusinya sudah terbangun. Konteks ”luar” ini katakanlah Barat atau yang memakai model Barat, dalam hal ini Singapura juga termasuk, karena mereka juga memakai struktur Barat. Jadi eksistensi institusi seperti akademi, museum, art centre ini sangat berperan penting. Seni rupa mereka bergerak melalui itu.
Konsep sanggar ini sebenarnya salah satu karakter kesenian kita.
Kita tidak seperti itu. Memang ada institusi, tapi perkembangan infrastruktur dan institusi di Indonesia, dan peran negara, itu tidak pernah stabil. Selalu ada ketidaksinambungan. Intinya institusi di sini tidak bisa mengakomodir praktik seni rupa, akhirnya seniman mencoba mengambil perannya sendiri dan mencoba membangun ekosistem atau social support-nya sendiri. Itu sudah dari dulu ketika zaman sanggar. Konsep sanggar ini sebenarnya salah satu karakter kesenian kita. Sanggar itu prinsip atau model tradisional dari zaman seni modern. Sanggar ini punya empu, seniman maestro menjadi empu, lalu ada pengrajin itu murid-muridnya. Ini model yang diambil. Sebenarnya ini seperti gabungan, ketika zaman seniman kemerdekaan, zaman seniman modern, model sanggar ini yang kemudian diambil. Ini sebenarnya bentuk kolektif zaman dulu. Konsepnya seperti atelier. Gabungan antara atelier, atau studio kalau di Barat, tapi di sini istilahnya jadi sanggar. Dan sanggar ini persis seperti sekarang, konsepnya selalu ada yang jadi leader-nya, entah di rumah yang akhirnya jadi studio dan tempat berkumpul, tempat bertukar ilmu dan bekerja bersama.
Sampai kemudian seniman akhirnya jarang pakai kata sanggar lagi. Sanggar ini kan ranahnya masih pengkaryaan. Berkarya untuk menciptakan karya seni lukisan itu agak modernis karena ambisinya mirip dengan atelier. Ketika era ‘90-an akhir, terutama saat sudah mulai masuk seni kontemporer, apalagi saat itu periode jatuhnya Soeharto, terjadi pergeseran. Seniman dan mahasiswa di zaman Orba itu dilarang melakukan collective practice. Berkumpul pun susah. Menjelang dan setelah reformasi, konsep bergeser menjadi ruang alternatif. Dulu sering disebut itu, alternative space atau artists run space. Saya sempat mengalaminya. Dan memang inisiatif ini masih bergantung pada ruang, pada space, karena masih ada ruang seperti galeri atau ruang yang kemudian jadi ‘palugada’. Kerja juga, berkumpul juga, tidur juga, berpameran juga. Masih bergantung pada ruang. Tapi pada akhirnya harus ada usaha untuk me-maintain ruang itu. Makanya pindah lagi, ngontrak lagi. Seperti itu pola alternative space di 2000-an awal.
Nah, apa yang terlihat dari pertengahan 2000-an sampai sekarang, memang orang akhirnya memakai istilah kolektif. Kolektif ini kemudian menjadi semacam respon bagaimana di satu sisi art scene sebenarnya jadi mapan, lebih terinstitusionalisasi juga, karena ada pergerakan seni rupa global. Museum-museum luar dan art market juga makin booming. Jadi konsep alternative space ini sudah tidak lagi relevan. Alternatif terhadap apa? Apa yang di-alternate? Tapi spirit berkumpul bersama, saling mencoba membangun ekosistem, saling membangun jejaring, social support itu masih tetap. Saya rasa karena ini karakter masyarakat kita yang memang harus berjejaring.
Kata kolektif ini mungkin dari ‘collective collegial’. Kini, bahkan institusi mapan pun mencoba memakai istilahnya dalam organisasi mereka. Dalam praktiknya, kolektif ini tidak hirarkis, tidak korporat. Dan dia tidak terbatas harus punya ruang, karena ada ruang digital, ada wadah lainnya. Walaupun ada juga yang tetap mempertahankan harus pakai ruang. Ruang ini kadang-kadang ini kebanyakan karena ada kebutuhan pameran. Tapi sekarang model seni rupa tidak harus berpameran. Pameran bisa di mana saja.
Sedangkan kita berkumpul karena just trying to do something. Tidak melihatnya sebagai transaksional. We do art, because we just do.
Ini mungkin sejalan dengan sekarang yang akhirnya banyak coworking space atau konsep sharing economy. Berkembangnya seperti itu, dan saya rasa ke depannya pastinya akan berevolusi lagi bentuknya, entah bagaimana lagi nanti bentuknya seiring dengan perkembangan teknologi, dan sosial politik. Tapi saya rasa, karakter masyarakat kreatif kita, masyarakat seni kita, memang dari dulu selalu berjejaring dan selalu mencoba membuat support system sendiri, itu akan selalu ada, entah apapun bentuknya.
Kita buat support system bukan karena kita butuh uang. Di Singapura, polanya sangat berbeda. Seniman-seniman biasanya kerja sendiri, dan jika mereka berkumpul atau berkolektif, itu ujung-ujungnya karena mereka mau minta duit dari negara, karena memang disediakan. Sedangkan kita berkumpul karena just trying to do something. Tidak melihatnya sebagai transaksional. We do art, because we just do. Buku yang IVAA buat ingin coba menunjukkan itu, dan itu murni dari temuan arsip yang ada. Saya tidak bilang bahwa temuan kami di situ sudah lengkap dan paripurna, at least that’s what we tried to do (tertawa).
Jadi polanya dari sanggar, alternative space, lalu kolektif kreatif. Ada tiga milestone. Dan itu memang sangat berkaitan sekali dengan perkembangan masyarakat di Indonesia secara luas. Kolektif ini jadi kelebihan utama bagi karakter seni kita. Itu yang membuatnya selalu dinamis dan keren. Sampai sekarang pun, konsep kolektif ini jadi dialog “seksi” di luar negeri. Harapan kita kemudian adalah bagaimana model ini dilihat sebagai sesuatu yang penting. Jangan “Oh lucu ya ada kolektif ini, kolektif itu.” Kolektif jangan be seen as something peripheral and cute, tapi bahwa ini ada potensi untuk jadi objek riset lebih mendalam.
Kolektif ini jadi kelebihan utama bagi karakter seni kita.
Sekarang sudah banyak niat dari pemerintah untuk lebih mengakomodir seni kita. Seni sedang cukup dilihat. Lantas tantangannya adalah bagaimana menemukan model dukungan untuk seni. Dulu dengan Bekraf, sekarang dari Dikbud, itu harus menemukan model sendiri yang tidak sekadar membuat sesuatu yang “wah”, tapi harus mengakomodir dinamika kolektif-kolektif ini. Katakanlah dari bentuk subsidinya atau dukungan finansial, tapi juga bagaimana merangkul dan saling bekerjasama untuk ekosistem yang tetap dinamis dan kreatif.
Anda menginisiasi IVAA sebagai pusat arsip seni Indonesia, bagaimana melihat pentingnya arsip dalam kebudayaan kita?
Sudah 13 tahun saya mengerjakan arsip. Awalnya membuat IVAA itu karena kesulitan saat mencari referensi, terutama tentang seni rupa. Dulu itu, IVAA bermula dari merombak perpustakaan Yayasan Cemeti yang sudah punya arsip. Kami mulai dari situ, melakukan digitalisasi arsip fisik, itu awal era online dan digital revolution. Kami coba tap in ke situ, bagaimana mem-preserve secara digital kemudian membaginya pada publik. Sesederhana itu.
Sebenarnya yang kami lakukan itu peran negara ya (tertawa). Tapi mereka tidak ada di sana. Jadi kami mencoba mengambil peran itu, peran kecil sebagai penyedia referensi sejarah seni rupa melalui arsip, terutama digitalisasi arsip. Itulah yang coba dijawab oleh IVAA. Peran kami penting karena pengarsipan ini inisiatif yang masih jarang dilakukan. Tapi semakin ke sini, esensi pengarsipan ini semakin luas. Contohnya ada pada soal kebolongan-kebolongan dalam sejarah seni rupa kita. Itu satu. Banyak sekali yang belum selesai. Kanon sejarah kita itu sudah sebenarnya sudah ada, tapi hubungannya dengan sejarah kita, katakanlah sejarah bangsa, itu masih banyak sekali bolongnya. Contohnya adalah arsip seni zaman Lekra atau 65, itu cuma salah satu dari beberapa mata rantai yang hilang dari seni rupa kita. Masih banyak yang lainnya, seperti tentang seniman perempuan dalam sejarah seni rupa kita. Sebenarnya dari arsip yang kita punya sekarang, sudah mulai terbukti bahwa dari dulu, tidak cuma laki-laki yang menggerakkan seni kita (tertawa).
Kita bergantung pada riset dan pelestarian arsip untuk kemudian bisa membangun pengetahuan dan sejarah seni kita.
Arsip-arsip karya bersejarah di Indonesia itu banyak sekali yang hilang. Ada beberapa dikoleksi di Istana Negara, atau disimpan di Galeri Nasional, kebanyakan untuk karya-karya besar. Tapi di luar itu, banyak sekali yang hilang, kita lalu hanya bisa melihat melalui arsip. Kalau di luar, karya seperti Mona Lisa atau karya Andy Warhol itu sudah terjaga dari dulu. Sedangkan di sini, karya bersejarah kita mungkin banyak yang hancur atau sudah tidak jelas keberadaannya, dan kita hanya bisa melihatnya melalui arsip. Jadi kita hanya bisa berpegang pada what is left. Kita hanya bisa melihat karya-karya yang mungkin terselamatkan saja, dan yang sudah entah kemana itu hanya bisa dilihat melalui arsip. Dari situ kita bisa mengurai sejarah kita.
Apa yang kami lakukan ini endless. Kita juga tidak tahu apalagi yang akan kita temukan. Mungkin kami akan menemukan kepingan yang hilang, atau justru menemukan mata rantai baru yang hilang, karena ini adalah kerja berkelanjutan. Ini adalah produksi pengetahuan yang bagi saya itu penting. Ini juga penting buat masyarakat kita, dan bisa menjelaskan mengapa seni itu penting dalam perkembangan masyarakat. Kita bergantung pada riset dan pelestarian arsip untuk kemudian bisa membangun pengetahuan dan sejarah seni kita. IVAA saja bisa melakukannya, bayangkan hasilnya kalau kerja pengarsipan ini dikerjakan bersama dengan kolektif, pelaku arsip, peneliti, atau pelaku sejarah.