Budaya Melalui Medium Fotografi bersama Muhammad Fadli
Kami berbincang dengan Muhammad Fadli mengenai berbagai macam proyeknya sebagai fotografer, bagaimana fotografi dapat menjadi medium untuk mempelajari budaya lokal, dan pandangannya tentang fotografi di Indonesia.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Adinda Mutiara Anisa
Muhammad Fadli adalah seorang fotografer Indonesia kelahiran Sumatera yang berfokus pada fotografi dokumenter dan potret. Proyek fotografinya banyak mengeksplorasi berbagai tema seperti sejarah, subkultur, lingkungan, dan masalah sosial. Ia juga merupakan salah satu anggota pendiri Arka Project, yang merupakan sebuah kolektif independen fotografer di Indonesia. Kami berbincang dengan Muhammad Fadli mengenai berbagai macam projeknya sebagai fotografer, bagaimana fotografi dapat menjadi medium untuk mempelajari budaya lokal, dan pandangannya tentang fotografi di Indonesia.
Bagaimana awalnya Anda tahu bahwa Anda suka dengan fotografi dan ingin menjadikannya sebagai pekerjaan?
Sebetulnya kalau sekedar suka motret bisa dibilang sudah dari SD, tapi baru mulai benar-benar tertarik sewaktu kuliah. Waktu itu sempat dipinjami kamera oleh unit kegiatan di kampus dan semua berlanjut dari situ. Soal menjadikannya sebagai pekerjaan boleh dibilang tidak pernah betul-betul diniatkan juga. Kebetulan saja begitu tamat kuliah langsung diterima bekerja sebagai jurnalis foto di sebuah koran lokal di Padang, meski minim pengalaman di dunia jurnalistik. Perjalanan berlanjut ke 2011, saat itu saya memutuskan pindah ke Jakarta dan memotret untuk Tempo sekitar satu tahun lebih sebelum akhirnya bekerja lepas hingga sekarang. Proses transisi dari hanya hobi hingga akhirnya bekerja full-time sebagai fotografer relatif natural.
Selain berfokus pada fotografi dokumenter, Anda juga merupakan fotografer portrait. Dari kedua hal tersebut, mana yang paling terasa spesial bagi Anda secara pribadi?
Tidak ada yang lebih spesial. Keduanya sama saja, dan terkadang juga saling melengkapi. Misalnya dalam karya dokumenter, seringkali saya menggunakan pendekatan potret juga. Jadi ada hubungan timbal balik yang saling menyeimbangkan.
The Banda Journal adalah buku Anda yang akan terbit awal tahun depan. Bolehkah Anda ceritakan proses dalam mewujudkan buku tersebut?
Seringkali memotret hanyalah persoalan eksekusi setelah melewati proses riset dan perencanaan cerita yang matang.
Sejak kecil saya punya ketertarikan dengan sejarah. Saya masih ingat, sewaktu SMP sempat ada bahasan tentang sejarah penjajahan di nusantara dan dari situ saya mengenal Kepulauan Banda secara sepintas. Untuk proyek The Banda Journal sendiri ini baru kepikiran pada tahun 2014, saat itu saya sedang mencari ide untuk karya personal selanjutnya. Saat itu, teman saya Fatris MF, baru saja kembali dari sana dengan kisah-kisah yang membuat saya penasaran. Akhir tahun itu juga, saya akhirnya memutuskan untuk berangkat ke sana. Niat awalnya hanya untuk jalan-jalan dulu, tapi begitu berada di sana saya langsung menyadari potensi cerita yang ada, terutama terkait dampak jangka panjang penjajahan di kepulauan ini dan kondisinya hari ini. Fatris MF kemudian jadi kolaborator dalam proyek ini, saya memotret dan dia menulis. Tadinya buku ini rencananya diterbitkan tiga tahun lalu, tapi keterbatasan biaya jadi halangan. Entah karena proyek ini terkesan terlalu serius dan tidak berkisah tentang yang indah-indah, mencari sponsor terasa susah sekali. Tapi kalau dipikir-pikir ada bagusnya juga. Dengan terundurnya jadwal terbit ke awal 2021 kami jadi punya waktu untuk memaksimalkan segala aspek dari buku ini. Dan karena alasan yang sama juga akhirnya desain buku ini bisa ditangani langsung oleh Jordan Marzuki dan Laras Koesoemo (dengan penerbit JordanJordan.co). Desain final saat ini jauh lebih bagus ketimbang yang saya bayangkan tiga tahun lalu hahaha..
Rebel Riders juga merupakan salah satu karya Anda yang meliputi berkeliling Indonesia untuk melakukan dokumentasi. Apa yang membuat Anda tertarik dalam membuat proyek tersebut?
Karya Rebel Riders sebetulnya bermula karena saat itu kebetulan saya tengah mengikuti program Southeast Asia Photography Masterclass dari Obscura Photography Festival di Penang pada 2016. Bagian awal karya ini dibuat untuk syarat lulus dari program tersebut. Sebagai fotografer, ketertarikan saya pada subkultur Vespa ekstrim ini bisa dibilang sangat wajar. Kita selalu tertarik dengan sesuatu yang tampak berbeda dan medium fotografi adalah alasan yang ideal untuk memasuki ruang-ruang yang kita tidak familiar atau hal-hal yang biasanya kita tidak terlalu peduli.
View this post on Instagram
Melalui pekerjaan Anda sebagai fotografer dokumenter, Anda telah menjelajah berbagai kota di Indonesia dan mungkin juga belajar tentang budaya mereka, apa hal yang paling berkesan dari pengalaman tersebut?
Kalau mau meromantisir, tentunya saya akan bilang bahwa perjumpaan saya dengan budaya yang beragam adalah pengalaman yang paling berkesan. Tapi justru sebaliknya, setelah berkeliling nusantara justru yang paling berkesan itu saya jadi sadar kita ini sebetulnya tak jauh berbeda.
Setelah berkeliling Nusantara justru yang paling berkesan itu saya jadi sadar kita ini sebetulnya tak jauh berbeda.
Bagaimanakah Anda melihat budaya lokal melalui pekerjaan Anda sebagai fotografer dokumenter? Apakah ada hal yang membuat Anda mempunyai perspektif baru setelah itu?
Menjumpai dan mengamati budaya lokal yang kita tidak familiar tentu saja berpengaruh terhadap sudut pandang kita. Selalu ada hal yang bisa kita pelajari dari mana pun. Dan rasanya tidak harus jadi seorang fotografer untuk melihat itu.
Apa yang bisa Anda ceritakan tentang pengalaman Anda sebagai kontributor di National Geographic, The Wall Street Journal, serta The Washington Post?
Secara umum, pengalaman paling berharga sebagai kontributor media-media tersebut adalah saya jadi harus memacu diri sendiri untuk memenuhi standar yang tinggi, tidak cuma soal fotografi tapi juga pengetahuan akan isu-isu yang jadi topik bahasan. Seringkali memotret hanyalah persoalan eksekusi setelah melewati proses riset dan perencanaan cerita yang matang.
Di masa pandemi ini, apakah ada kesulitan yang dirasakan selama bekerja sebagai seorang fotografer dokumenter?
Sebetulnya tidak ada kesulitan yang berarti. Yang berbeda, atau mungkin yang membuat tidak nyaman dan merepotkan, hanya penerapan protokol kesehatan. Selain itu relatif tidak ada berubah dari metode kerja.
Dulu, ranah fotografi identik dengan kualitas yang ditentukan dari hardware kamera yang mahal, bagaimana perkembangan fotografi di era di mana teknologi smartphone sudah demikian canggih?
Itu anggapan yang tidak sepenuhnya benar juga. Peralatan tentunya berpengaruh terhadap kualitas, tapi jika kita bisa memahami batasan dari peralatan kita sendiri saya pikir banyak karya yang berarti tetap bisa diciptakan. Kalau kita lihat ke masa lalu, dari perkembangan teknologi fotografi sendiri kita bisa tahu, dulu bahkan dengan alat yang relatif terbatas orang tetap saja bisa berkarya. Yang utama adalah ide. Soal teknologi smartphone yang semakin canggih, yang menarik justru bukan perkara kualitas foto, tapi bagaimana kini hampir semua orang tidak bisa lagi memisahkan kesehariannya dari fotografi.
Sebagai fotografer dokumenter, bagaimana membangun relasi dengan subjek foto supaya subjek foto bisa lebih nyaman dan “bercerita”?
Menurut saya tidak ada resep khusus untuk membangun relasi dengan subjek selain sikap saling menghormati. Soal foto yang “bercerita”, itu lebih ke interpretasi orang yang menikmati foto tersebut. Saat melihat dari balik kamera rasanya mustahil untuk tahu foto mana yang nantinya akan jadi karya yang “bercerita”.
Apakah fotografer dokumenter memiliki tanggung jawab kepada subjeknya supaya misalnya subjek tersebut tidak lantas menjadi subjek eksploitasi?
Sebagai fotografer kita selalu punya tanggung jawab dan kewajiban agar tidak salah merepresentasikan orang yang kita foto.
Tentu saja fotografer punya tanggung jawab itu, dan ini tidak cuma bagi fotografer dokumenter. Tapi di sisi lain, penting juga diingat kalau medium fotografi ini secara alamiahnya memang eksploitatif. Kita bahkan bisa lihat dari istilah-istilah yang digunakan seperti ‘mengambil foto’ dan ‘menembak (shoot). Lalu sejarah juga menunjukkan fotografi juga bukan medium yang ‘suci’. Orang-orang Eropa misalnya, menggunakan fotografi untuk merekam orang-orang di daerah jajahannya sebagai bagian dari proses penjajahan itu sendiri. Terkait ini saya punya cerita yang cukup menarik dalam konteks hari ini. Beberapa waktu lalu, seorang influencer (dia juga fotografer) dari Jakarta datang ke Papua dan berpose dengan orang-orang berpakaian adat lokal. Si influencer berpose mengenakan pakaian yang biasa dikenakan orang-orang Eropa saat bersafari ke Afrika, semacam menyandingkan antara yang modern dan terbelakang. Apa interpretasi yang timbul jika kita hubungkan dengan betapa represifnya pemerintah Indonesia terhadap orang Papua? Secara visual itu foto yang bagus, tapi di saat yang sama kesan othering-nya sangat kental. Dengan diunggah di Instagram demi mendulang popularitas ia menjadi semacam eksploitasi. Singkat kata, sebagai fotografer kita selalu punya tanggung jawab dan kewajiban agar tidak salah merepresentasikan orang yang kita foto. Tapi tentu saja hal ini tidak selalu bisa ada dalam kendali kita. Saat foto tampil ke publik interpretasi yang timbul bisa beragam. Kita tentu saja tidak bisa membatasi imajinasi penikmatnya. Tapi di saat yang sama kita juga harus selalu mengusahakan agar tidak terjadi misrepresentasi yang bersifat negatif.
Sebagai salah satu fotografer dengan karya yang mencapai media/publik internasional, bagaimana melihat fotografi bisa memberi wacana lebih tentang Indonesia, supaya perspektifnya tidak lagi-lagi eksotisme, atau turisme melulu?
Menurut saya fotografi hanya bisa memberi wacana lebih tentang Indonesia saat dia dikombinasikan dengan bidang keilmuan lain. Dan biasanya fotografi semacam itulah yang lebih menarik.
Apakah Anda mempunyai rencana untuk menggarap suatu proyek yang diinginkan di masa depan?
Tentu saja, ada beberapa proyek dokumenter yang sedang berjalan. Salah satunya terkait lingkungan. Bukannya merahasiakan, tapi karena idenya sendiri belum terlalu matang, mungkin jadi terdengar konyol kalau harus diceritakan sekarang hehehe..
Menurut Anda, apa hal terpenting yang harus diingat atau dicatat oleh para calon fotografer di Indonesia?
Dalam konteks fotografi dokumenter, yang penting diingat dalam berkarya adalah betapa pentingnya konsistensi. Ini sering sekali dilupakan, tapi bagaimana mungkin kita dapat menghasilkan karya yang berkualitas tanpa konsistensi? Proyek dokumenter terkadang mengharuskan kita terus-menerus mencari bahan dan melakukan riset dalam waktu yang tidak singkat, terkadang selama beberapa tahun.
Lalu ada juga menurut saya hal yang penting yang justru seringkali berada di luar fotografi. Setiap fotografer harus bertanya pada dirinya sendiri, kisah apa yang menarik dan berarti baginya secara personal? Karya-karya yang bagus seringkali hanya bisa diciptakan dengan melihat ke dalam diri kita sendiri. Kisah macam apakah yang menarik buat kita pribadi dan kemudian untuk diceritakan lagi?