Bisakah Chairil Anwar Terbebas dari Julukan Binatang Jalang?
Dikuratori oleh Laksmi Pamuntjak dan Cecil Mariani, pameran ini memetakan sosok, karya dan pemikiran Chairil yang berkisar antara penyair, seniman, serta kaum intelektual Indonesia dan dunia, baik sezaman maupun yang mendahuluinya, melalui arsip-arsip dan instalasi grafis.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Banyu Albirru
Foto: Witjak Widhi Cahya/Komunitas Salihara
Pameran yang merayakan seratus tahun kelahiran Chairil Anwar melalui arsip-arsip dan instalasi grafis.
Mendiang Subagio Sastrowardoyo pernah menulis, “Sekali seseorang telah mencapai karisma, semacam kekeramatan kedudukan di tengah masyarakat, sulit opini publik dibelokkan atau ditumbangkan.” Seseorang yang ia maksud adalah penyair Chairil Anwar (1922—1949). Chairil, tak diragukan lagi, adalah penyair tenar. Statusnya ditopang banyak kritikus sampai-sampai ia dipuja-puja. Akibatnya, karya-karya Chairil tak lagi dikritik, dan pemahaman kita padanya dikaburkan oleh kesakralannya. Subagio lantas bertanya, “Adakah pengenalan yang dekat pada Chairil Anwar sungguh-sungguh berdasarkan pengetahuan serta pengertian tentang sajak-sajaknya?”
Pameran ‘Aku Berkisar Antara Mereka’ menjawab pertanyaan Subagio.
‘Aku Berkisar Antara Mereka’ adalah pameran karya dan biografi Chairil Anwar. Pameran ini merupakan bagian dari program Seratus Tahun Chairil Anwar yang diselenggarakan oleh Komunitas Salihara. Bekerja sama dengan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, pameran ini memetakan sosok, karya dan pemikiran Chairil yang berkisar antara penyair, seniman, serta kaum intelektual Indonesia dan dunia, baik sezaman maupun yang mendahuluinya, melalui arsip-arsip dan instalasi grafis.
Dalam teks kuratorialnya, kurator Laksmi Pamuntjak dan Cecil Mariani mengikutsertakan tahun kelahiran Chairil ke dalam apa yang disebut oleh Ezra Pound sebagai ‘Tahun Satu’ dalam era Modernisme sastra. Pada tahun ini lahir karya modernis macam novel Ulysses oleh James Joyce dan puisi The Wasteland oleh TS Eliot; Sedangkan Franz Kafka tengah menulis novel The Castle, dan Rainer Maria Rilke merampungkan sajak-sajak Duino Elegies. Secara sejajar, kurator menempatkan Chairil sebagai pelopor sastra modern Indonesia yang hidup dalam gelombang modernisme dunia di awal hingga pertengahan abad 20.
Kurator juga memahami betapa lekatnya Chairil dengan julukan Binatang Jalang. Chairil jadinya dikenal sebagai penyair pembangkang, bohemian, kurangajar, serta tafsiran-tafsiran lain yang kian menebal mitos itu. ‘Aku Berkisar’ hendak mendekonstruksi mitos-mitos tersebut, dan mengembalikan Chairil pada identitas hakikinya: kata-katanya.
Dalam ruang galeri Salihara yang bundar, alur pameran melaju searah jarum jam. Begitu memasukinya, kita terlebih dahulu menyimak linimasa kehidupan Chairil, dari lahir hingga kepergiannya, serta daftar karyanya pada 1942—1949. Kita kemudian berkenalan dengan tokoh-tokoh terdekatnya, yaitu H.B. Jassin yang berjasa menerbitkan Chairil ke dalam skena sastra, serta kalangan seniman di kelompok Gelanggang Seniman Merdeka, termasuk Rivai Apin dan Asrul Sani.
‘Aku Berkisar’ kemudian melebar, mempertemukan kita dengan tokoh-tokoh lain sepanjang hidup Chairil. Dari seni rupa, ada Affandi dan Basuki Resobowo; dari politik dan jurnalisme, ada Sutan Sjahrir, pamannya, dan Gadis Rasid. Pada tengah-tengah galeri ada tokoh-tokoh tercinta dalam sajak Chairil. Misalnya saja Sri Ajati, yang padanya Chairil dedikasikan sajak ‘Hampa’ (1943) dan ‘Senja di Pelabuhan Kecil’ (1946). Sosok-sosok tersebut tampil dalam kain-kain bergantungan, ditemani oleh kutipan-kutipan sajak yang ditujukan pada mereka.
Chairil juga menerjemahkan karya-karya penulis dunia. Pada bagian ‘Penyair-Penyair Dunia dalam Puisi Chairil’, kita dapat membandingkan sajak Preludes to Attitude oleh Conrad Aiken dengan terjemahan bebas Chairil berjudul Fragmen. Ada pula perbandingan antara The Young Dead Soldiers oleh Archibald Macleish, dengan Krawang-Bekasi, yang terkenal karena Chairil dituduh menjiplak sajak Archibald itu.
Bagian yang membuat saya terkesima adalah ‘Chairil dan Prosa’. Kita berkesempatan membaca esai Hoppla! (1945), yang memuji puisi-puisi Amir Hamzah, namun mengkritik tajam sastrawan Pujangga Baru lainnya di 1930-an. Ada juga Membuat Sajak, Melihat Lukisan (1949), yang membicarakan keharuan sebuah sajak bagi pembacanya. Chairil jago menulis prosa. Setelah terbiasa membaca sajak yang memadatkan ragam makna pada satu-dua kata, prosa-prosa Chairil lugas-meluas dan tetap berapi-membara.
‘Aku Berkisar’ memiliki pola pikir desain. Cecil Mariani, sebagai seorang desainer grafis, punya andil dalam merancang dan menataletaknya. Desain pameran ini rapi, dan hirarki antar teks yang jelas dan mudah. Unsur rupa dan teks yang menjalin dengan elok membuat ‘Aku Berkisar’ pameran yang hidup. Padahal, materi yang kita simak banyaknya arsip, meski berupa cetakan pindaian, yang mungkin selama ini tersimpan tak terjamah di almari-almari.
Namun, sehubung ‘Aku Berkisar’ adalah literary exhibition, maka kita butuh meluangkan waktu lebih banyak dalam menyimak materi-materinya. Tentu kita tak berkewajiban membaca semua. Yang jelas, ‘Aku Berkisar’ merupakan pameran yang pelan, tak bisa dinikmati sekali jalan. Pameran ini jelas ambisius, namun teduh dalam nuansa biru.
Meski demikian, aspek biografis Chairil nampak jauh menonjol ketimbang kata-katanya. Bukan berarti pameran ini gagal mencapai tujuan. Hanya saja, usaha mengembalikan Chairil pada kata-kata tak semudah yang dikira. Sajak-sajak Chairil, terutama, hanya menyelinap demi mendukung cerita-cerita. Sedangkan sosok pribadi, tak hanya Chairil tapi juga tokoh lain, malah lebih berbunyi dan berbicara.
‘Aku Berkisar’ bukan mengembalikan Chairil pada kata-kata, melainkan menjadikannya manusia biasa. Pameran ini menunjukkan Chairil dengan segala kompleksitasnya: Ia bergumul dalam sunyi, namun juga bergaul sana-sini; Ia pemberani, namun ada kalanya pasrah pada ilahi; Ia bergairah, namun tak jarang kalah dalam membangun asmara. Chairil mencerap dunia, namun yang tumbuh mekar darinya ialah pembaruan sajak berbahasa Indonesia.
Apakah ‘Aku Berkisar’ berhasil menyucibersih Chairil dari julukan Binatang Jalang? Ya, namun dengan sebuah namun. Ya, karena pameran ini mampu menarasikan ulang sosok, karya dan pemikirannya. Namun, pameran ini tetap saja menjadikan Chairil sosok sakral, meski bukan lagi Binatang Jalang. Jika Chairil tak sesakral itu, tak akan ada upaya sebesar dan seambisius ini. Kita harus bertanya lagi: Citra Chairil seperti apa yang sebenarnya kita kehendaki? Apakah kita menginginkannya dekat, meresap dalam keseharian masyarakat? Atau tetap berjarak, sehingga pemaknaan padanya terhindar dari penyakralan baru? Bagaimana seharusnya kita membaca karya-karyanya? Membebaskan Chairil dari mitos bukanlah tugas pameran ini semata. Meninjau kembali perkataan Subagio, kita butuh kritik-kritik berani demi pengenalan yang dekat. Dari situ, kita dapat memaknai Chairil sebagaimana mestinya.
–
Seratus Tahun Chairil Anwar: Aku Berkisar Antara Mereka
28 Oktober—4 Desember 2022
Komunitas Salihara
Jl. Salihara no. 16, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12520