Angga Sasongko Berbagi Harapannya akan Pasar dan Budaya Film Indonesia
Berbincang dengan Angga Sasongko tentang kritiknya terhadap film lokal, hero lokal di era Marvel hingga kesempatan untuk berkarya di masa yang akan datang.
Words by Whiteboard Journal
Mengenyam pendidikan di Ilmu Jurnalistik dan Politik, Angga Sasongko kemudian dikenal berkat karya filmnya bersama Visinema Pictures, mulai dari “Cahaya Dari Timur: Beta Maluku”, “Filosofi Kopi” serta “Wiro Sableng 212” yang akan menjadi remake film hero lokal, Wiro Sableng.
Untuk mengetahui bagaimana dirinya menjalani proses kreatif di setiap pembuatan filmnya, kami berbincang dengan Angga mengenai prinsipnya dalam membuat film, pandangannya terhadap perfilman dan kondisi penonton di Indonesia, dan posisi Wiro Sableng di antara tren film komik Marvel.
Angga mendapat pendidikan Ilmu Politik saat kuliah, namun apa titik balik yang membuat Anda tertarik untuk mengeksplorasi ranah film?
Sebenarnya kurang tepat jika dikatakan ‘titik balik’ karena memang dari SMA saya sudah terlibat di dunia ini. Waktu itu tujuannya supaya saya bisa dapat uang saku tambahan untuk nongkrong sama teman-teman SMA, mulai lah saya cari kerja sampingan. Awalnya saya jadi fotografer, dengan modal pinjam kamera dari tetangga. Dari fotografer pensi – buat dokumentasi – sampai fotografer buku tahunan saya lakukan. Di akhir kelas 2 SMA, saya baru mulai kenal dengan yang namanya pembuatan film. Dulu, kan, Dennis Adhiswara lagi sering buat film, lalu saya juga jadi sering baca-baca majalah tentang film juga dan akhirnya mulai coba bikin film pendek. Ternyata film-film yang kami buat ini bisa masuk ke festival-festival lokal. Itulah momen di mana saya merasakan kalau, “Oh, this is my thing!”
Karena dulu saya juga sering nongkrong di Kemang, ada namanya Kine Klub 28 di Gedung Dua8. Waktu itu masih kelas 3 SMA, dan saya mulai sering bertemu dengan banyak praktisi film, salah satunya adalah Erwin Arnada. Dari bertemu Erwin Arnada inilah lalu saya mendapatkan kesempatan untuk magang di Rexinema selepas SMA. jadi sebenarnya saya sudah kerja di film dulu baru kuliah. Awalnya saya kuliah di UI itu D3 broadcast journalism, baru setelah lulus saya langsung kerja sebagai produser di Astro yang sewaktu itu baru buka di Indonesia. Lalu belum lama di Astro, Mas Erwin memberikan tawaran ke saya kembali ke Rexinema untuk menjadi sutradara film “Jelangkung 3”. Sehabis menggarap film ini, saya yang waktu itu berusia 22 tahun akhirnya mulai mencoba untuk membuat Visinema Pictures. Saya masih ingat, Visinema Pictures ini dibuat di sebuah garasi di daerah Jatipadang yang saya sewa, sembari saya ambil kuliah lagi di Ilmu Politik. Tapi karena antara waktu kerja – syuting – dan waktu kuliah sangat sulit dipertemukan satu sama lain, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti saja dari kuliah politik. Sayang juga, sih, sebenarnya.
Jika dilihat dari film-film yang pernah Angga buat, ada latar belakang sejarah atau isu kemanusiaan/sosial yang Angga selipkan sebagai bagian dari cerita. Misal imbas yang bisa dari peristiwa ‘65 di “Surat dari Praha”, dan isu agraria di “Filosofi Kopi”. Apakah hal tersebut memang yang ingin Angga jadikan dasar setiap bercerita melalui film?
Saya memang tertarik dengan politik dari awal. Saya selalu merasa saya butuh sesuatu yang bisa terus mempertajam cara saya berpikir, di mana untuk hal ini politik yang bisa melakukan hal tersebut. Selain itu lebih ke karena saya punya kesadaran kalau film itu harus merepresentasikan apa yang jadi pikiran saya saat membuat film tersebut. Apa yang saya pikirkan pada hari itu, dan apa yang sedang terjadi di lingkungan sekitar saya. Apapun yang menjadi kegelisahan saya, apa yang menjadi pertanyaan saya untuk hal-hal yang punya konteks sosial dan politik, saya merasa hal ini perlu untuk saya masukkan ke dalam karya yang saya buat.
Karena pada dasarnya saya merasa bahwa saya punya tanggung jawab sebagai seseorang yang punya privilege dan akses ke platform atau media lebih luas untuk mengkontribusikan sesuatu ke banyak orang secara luas. Bahwa film bukan hanya sebagai vehicle untuk bercerita, tetapi juga sebagai vehicle untuk berdialektika dengan banyak orang dan membuat statement. Jadi sebisa mungkin, dan sekecil apapun, saya ingin meng-capture apa yang saya pikirkan, sehingga suatu hari ketika saya nonton film saya lagi, saya bisa melihat bagian dari saya – sisa-sisa dari diri saya – dulu itu seperti apa. Kalau nanti anak saya lihat, dia bisa tahu apa yang bapaknya pikirkan saat itu dan proses bagaimana bapaknya tumbuh menjadi manusia. Juga ketika orang-orang lain menonton film saya, setidaknya mereka bisa sedikit mendapatkan gambaran akan pemikiran dan apa yang yang terjadi di tahun tersebut. Ya, seperti kapsul waktu, film menjadi sebuah monumen untuk peradaban.
Di saat tidak sedang mengarahkan suatu film, Angga juga terlibat dalam memproduksi film. Bagaimana menempatkan diri di dua posisi berbeda ini?
Sebenarnya jatuhnya jadi tiga posisi, karena saya juga sebagai CEO di Visinema group (tertawa). Ini hal-hal yang sejak awal saya jalankan dari saya membuat film untuk pertama kalinya. Film pertama saya, “Foto, Kotak, dan Jendela” – meskipun tidak masuk di bioskop – saya sudah menempatkan diri saya sebagai produser juga, dari menghitung budget hingga ikut memikirkan cara promosi dan distribusi. Jadi semua film yang saya kerjakan itu saya produseri juga, tapi di satu sisi, saya juga running the company. Maka dari itu saya selalu bingung kalau ditanya bagaimana caranya memisahkan posisi sutradara dan produser, karena bagi saya sendiri semuanya itu terjadi by nature saja – sudah kebiasaan.
Belakangan banyak film muncul dengan pendekatan remake dan nostalgia (misalnya “Dilan 1990” dengan suasana 90-an) bagaimana Angga melihat tren ini, dan apa yang bisa dilakukan untuk bisa menawarkan konsep yang segar tapi tetap bisa menyentuh hati penontonnya?
Sebenarnya melihatnya dari sudut pandang industri dulu. Industri film ini sedang mengalami pertumbuhan yang luar biasa, tapi di satu sisi film juga jadi sesuatu yang highly competitive karena dalam kurun waktu satu tahun muncul banyak film, sementara ketersediaan layar sedikit sehingga running time film di layar semakin singkat. Atas dasar tersebut, maka mungkin banyak produser yang merasa akan lebih aman untuk membuat satu film atau konten yang IP-nya sudah dikenal orang sebelumnya. Karena dengan melakukan ini, dia akan dua atau tiga langkah lebih di depan dibanding mereka dengan original content. Ditambah biaya produksinya juga bisa jauh lebih murah. Dan buat saya ini hal yang wajar, because at the end of the day everyone is trying to survive. Tapi bukan berarti original story akhirnya menjadi tidak lebih menarik.
Kalau saya melihatnya ada dua hal; untuk industri film bisa tumbuh secara berkelanjutan, dan penonton juga tetap mendapatkan tawaran produk yang menarik, baru, dan beragam, maka kita perlu jalan dengan dua pendekatan. Ada film-film yang trend-oriented – let them grow, it’s ok – tapi juga jangan sampai dengan adanya pertumbuhan penonton film yang luar biasa dan pendapatan yang semakin baik, we take them for granted yang mana akhirnya malah bisa memunculkan suatu bubble sendiri. Karena ketika kita hanya memikirkan tren, orang-orang bisa semakin bosan dan kelamaan bubble itu akan meledak dengan sendirinya. Maka dari produser-produser perlu mengambil sikap yang namanya counterprogramming content – konten-konten yang berada di luar jalur tren, yang belum pernah ditawarkan sebelumnya. Hal ini penting untuk menjaga antusiasme penonton yang sudah tinggi, karena industri juga menawarkan hal-hal lain yang berbeda. Nantinya counterprogramming content ini yang bisa menjadi tren baru, lalu masuk ke arus utama. Hal ini terus terjadi dan bersikulasi, sehingga pertumbuhan yang ada tidak terbentuk menjadi bubble itu tadi.
Dalam beberapa tahun ke depan, akan ada beberapa film yang mengangkat sosok hero lokal seperti Gundala Putra Petir hingga Wiro Sableng yang Mas Angga sutradarai, bagaimana kira-kira film seperti ini bisa bersaing dengan film-film Marvel?
Saya yakin Wiro Sableng, dengan budget setara catering Marvel, tetap bisa jadi film yang sekelas dengan Marvel.
Pasti sekeren Marvel. Saya yakin Wiro Sableng, dengan budget setara catering Marvel, tetap bisa jadi film yang sekelas dengan Marvel (tertawa). Pihak Fox International Productions pun mengakui ini. Sekarang ini kami sudah selesai secara offline dan sudah picture locked juga, dan mereka senang dengan apa yang sudah kami kerjakan. Terlihat dari tidak adanya revisi sama sekali, dan ini pertama kalinya terjadi terhadap proyek kerja sama antara Fox dengan pihak luar. Selain itu, meskipun kami bekerja sama dengan Fox di film ini, karya ini masih 100% Indonesia. Post production seperti CGI dikerjakan di Tangerang Selatan dan Yogyakarta. Sound production-nya pun juga.
Banyak film Indonesia yang mendapatkan pujian dari festival-festival film di luar negeri, tetapi ketika film tersebut diputar di jaringan bioskop di sini, rata-rata hanya bisa bertahan naik layar dalam waktu sebentar. Seperti “Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak” dan “Sekala Niskala” kemarin. Bagaimana tanggapan Angga sendiri mengenai hal ini? Apa yang biasanya dilewatkan oleh orang Indonesia sehingga tidak menyadari apa yang dilihat penonton di luar dari film kita? Apakah ini berarti apresiasi masyarakat kita terhadap film Indonesia masih kurang?
Karena memang pasarnya yang juga beda. Jadi jenis film ini dibagi dua, ada mainstream dan sidestream. Film-film mainstream ini yang memang tujuan dari awal dibuatnya itu untuk bersaing di kanal arus utama – seperti televisi dan bioskop jaringan. Di sini produser akan membuat film dengan mencari keinginan dari yang dimiliki oleh pasar. Tapi bukan berarti film sidestream tidak punya market-nya sendiri. Seperti “Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak”, ya film ini memang harus limited screening, karena jumlah 100.000 penonton film “Marlina” itu sama rasa dengan 1 juta penonton film mainstream. Film ini memang dari awal bukan sebagai mass product. Mudahnya kalau di bidang fashion, ada lini couture dan ready-to-wear. Film “Marlina” itu couture. Jadinya tidak bisa dibandingkan secara langsung karena tidak apple to apple – tidak sebanding.
Karena Angga juga sempat bicara bahwa “penonton film Indonesia lah yang harus diselamatkan”. Apa yang sebenarnya Angga maksud dengan kata “diselamatkan” itu sendiri?
Diselamatkan dari banyaknya produser di Indonesia yang membuat film tanpa punya kapasitas untuk membuat film. Contohnya begini, berapa film Indonesia yang kamu tonton dalam setahun? Lima film? Dari lima judul tersebut, ada berapa film yang bisa buat kamu benar-benar merasa senang dan dekat dengan filmnya? Dua? Lihat, kan, dari lima film langsung turun jadi dua. Bayangkan kalau ada 100 film diproduksi selama satu tahun, tapi hanya ada 15% dari umlah tersebut yang memang layak untuk dibayar, berarti kita memang krisis produk yang layak. Sama saja dengan kamu beli kopi seharga 15 ribu rupiah, ya, padahal kopi tersebut dijual dengan harga seribu rupiah saja sudah tidak layak. Kalau begini yang dirugikan siapa? Ya penonton!
Karena dari 100 film Indonesia sekarang ini, hanya ada 15-20% jumlah film yang menurut saya layak ditonton.
Penonton masuk bioskop, bayar, menyisihkan waktu sekitar 2 jam, tapi saat mereka selesai menonton yang mereka pikirkan tentang film tersebut, “What the fuck! Ini film apaan sih?!” Itu yang saya rasakan; karena dari 100 film Indonesia sekarang ini, hanya ada 15-20% jumlah film yang menurut saya layak ditonton. Film-film yang lain? Ada saja film yang script-nya baru rampung satu minggu sebelum syuting dimulai. Jadi memang penonton film Indonesia yang harus kita selamatkan, karena jantung industri ini salah satunya ada di penonton.
Begini. Saya melihat di sini terdapat 3 stakeholder: penonton, investor, dan pemerintah. Pertama, dengan adanya penonton maka secara otomatis demand akan mengikuti di belakangnya. Jadi kita butuh kasih supply. Ketika ada supply ini, kita akan butuh banyak talent yang baik untuk bisa membuat produk-produk tersebut layak bagi penonton. Sewaktu dua titik ini bertemu, maka investasi akan datang dengan sangat mudah. Lalu ketika mudahnya investasi masuk, dan membuat pasar menjadi besar, stakeholder yang paling atas – pemerintah – akan mulai punya sorotan ke sini. Kalau mau dikatakan dalam satu kalimat: Menjaga demand penonton dengan memberikan supply yang layak untuk penonton sehingga timbul kepercayaan terhadap industrinya, maka investasi akan melirik industri tersebut, dan pemerintah akan menganggap dan berpikir bahwa industri film memang punya nilai arti karena memiliki peran di dalam perekonomian negara. That’s it.
Berarti apakah hal ini berkaitan dengan bahwasanya penyataan “sebagai penonton Indonesia harus mendukung karya anak bangsa” itu kurang pas?
Memang krisis. Sepuluh tahun terakhir ini saya merasa kalau kesalahan paling fundamental salah satunya adalah nasionalisme kerdil atau nasionalisme sempit. Rasa nasionalisme yang merasa apapun yang bersifat Indonesia itu harus didukung. Ya, ini yang saya rasa juga menjadi salah satu kesalahan di pemerintahan sekarang. Semuanya yang penting itu Indonesia dan sebagainya, sehingga akhirnya backfire ketika ada 51 tenaga kerja asing saja semuanya langsung pusing. Padahal tenaga kerja kita di luar negeri itu ada jutaan. Maka dari itu, sikap “dukung karya bangsa” tersebut sangatlah kerdil.
Sesederhana, ya, kalau karyanya jelek tidak perlu didukung. Contohnya Terminal 3 (baca: Bandara Internasional Soekarno-Hatta), jelek banget! Ini boleh kalian quote; jelek, desainnya tidak jelas, menyebalkan, pokoknya the worst big airport di dunia. Selama saya bepergian ke luar, belum pernah saya menemukan bandara seburuk Terminal 3 ini. Lalu kalau kita kritik perihal masalah ini, kebanyakan akan menanggapinya dengan, “Itu kan karya anak bangsa!”. Terus kalau mau menanyakan ke komisarisnya langsung, Rhenald Khasali, akun kita malah di-block. CEO Angkasapura yang sebelumnya membangun terminal bandara ini sekarang malah jadi menteri perhubungan. Hancur – sudah tidak benar negara ini. Maksudnya, sama saja dengan yang kita bicarakan tadi. Bukan berarti kita harus bilang kalau karya-karya ini bagus hanya karena “karya anak bangsa” itu tadi.
Mungkin di sini kita bisa berkaca pada negara Jepang, salah satunya. Di jepang, untuk produk lokalnya bisa dihargai oleh negaranya sendiri, mereka pakai sistem dumping – yang mana produk terbaiknya dijual di Jepang, sedangkan produk berkualitasnya lebih rendah yang dijual keluar. Ini sudah dilakukan lama sekali oleh mereka, sejak tahun 70-an. Maka dari itu bisa dilihat setiap orang lihat suatu produk pasti respons langsung dari mereka salah satunya adalah, “Ini masih buatan Jepang ya?”, lalu kita ambil produknya.
Dalam wawancara kami bersama Ifan Ismail, ia mengatakan bahwa budaya menonton yang dulu dimiliki masyarakat kita itu mulai hilang ketika jaringan bioskop XXI masuk ke Indonesia, sehingga sekarang ini kebanyakan melihat menonton itu bukan jadi sesuatu hal yang penting. Apakah Angga merasakan hal yang sama mengenai hal ini?
Saya sendiri merasa kalau kita sebenarnya tidak bisa hanya menyalahkan satu pihak. Buat saya semuanya itu pasti bergeser. The world is changing. Di sini tidak bisa bilang kalau kita harus selalu sama dengan kondisi kita yang dulu. Semua nilai-nilai terdahulu itu berubah sejak masuknya teknologi digital dan sebagainya. Perekenomian berubah, pun fundamental-fundamental sosial mengalami hal yang serupa. Misal, dulu orang bisa menikmati film sebagai sebuah aktivitas budaya karena dunia kerja mereka tidak se-kompetitif waktu sekarang ini. Atau pertumbuhan ekonomi juga tidak setajam hari ini. Saya rasa wajar jika film atau sosok kreatif-nya sendiri tidak punya kewajiban dan kemampuan untuk menahan laju perubahan. Peradaban berubah, and it keeps changing.
Di sini kita sebagai content creator dan filmmaker harus ikut berkembang seiring perubahan tersebut. Dalam kurun waktu 20 atau 30 tahun lagi, bisa saja orang tidak lagi datang ke bioskop. Mungkin nanti sudah cukup menonton dengan memakai VR, atau nonton piala dunia dengan kondisi kita bisa berada di tengah lapangan juga lalu melihat Ronaldo lewat sambil mengejar bola di samping kita (tertawa). Semua itu mungkin terjadi suatu hari nanti, karena teknologi berubah, juga cara pandang dan menikmati seseorang akan sesuatu ikut berubah. Perubahan menurut saya bukan hal yang perlu kita salahkan, melainkan harus kita embrace, lalu kita jaga dan pelihara supaya nantinya tahu apakah perubahan tersebut baik untuk peradaban dan kita juga berkembang seturut apa yang terus berganti ini.
Salah satu cara untuk membuat perfilman lokal terus menghasilkan variasi adalah kehadiran regenerasi yang mampu menstimulus filmmaker lama untuk berpikir lebih ‘liar’. Bagaimana Angga melihat kemunculan sosok kreatif di perfilman kita?
Saya cukup sedih bila melihat di Indonesia ini, menjadi tua itu seakan-akan sesuatu yang harus dan sepantasnya jadi ‘sepuh’, bukannya malah makin update dengan sekitarnya. Sementara kalau kita lihat di Hollywood, Ridley Scott di usianya yang 80 tahun masih membuat film “Alien: Covenant”. Sedangkan kalau di sini, sepertinya filmmaker tua itu dituntut untuk membuat sesuatu yang berbudaya, inspiratif, dan bersifat mengajari penonton. Mana ada penonton yang senang diajarin? Lha wong kita sekolah saja bawaannya masih ingin sering bolos (tertawa). Ya orang nonton di bioskop itu maunya agar bisa terhibur, riding the journey, dan mungkin setelahnya bisa menemukan sesuatu yang bisa ‘dipelajari’.
Kalau bicara sosok kreatif baru ini, bukannya saya mau me-generalisasikan – tetapi kebanyakan yang saya temui – seiring dengan semakin terbukanya informasi dan mudahnya akses untuk mendapatkan ilmu-ilmu pengetahuan baru, juga semakin mudahnya untuk membuat sesuatu karena banyaknya komunitas yang saling terjalin, referensi yang semakin banyak, dan munculnya teknologi alat produksi yang semakin canggih – malah semakin kurang tajamnya anak-anak muda hari ini akan konten dan konteks. Mereka lebih senang berinteraksi dengan teknis dan style. Makanya kalau disuruh untuk buat video fashion, saya yakin banyak orang yang bisa. Tetapi kemudian ketika ditanyakan cerita atau argumen apa yang ingin dibawakan di videonya tersebut, malah kebingungan sendiri. Buat saya, dalam membuat apapun, story itu tetap jadi hal terpenting. Karena itu saya berharap anak-anak muda sekarang untuk pupuk dulu ide dan visi nya – ide bukan lagi sebagai landasan teknis, melainkan sebagai fundamental bergerak.
Kompetisi menjadi salah satu cara untuk menjaring talenta lokal, contohnya kehadiran kompetisi “Layar Kita Bahasa Kita” dari Go Ahead Challenge. Apakah dengan adanya hal-hal seperti itu, Angga optimis akan regenerasi dalam perfilman lokal?
Pertama, buat saya new talent butuh akses ke publik. Bahwa mereka punya akses ke kanal yang bisa dinikmati publik, seperti YouTube, Facebook, dan masih banyak lainnya sekarang; tapi apa yang mereka lakukan dan buat bisa dilihat sama publik, kan, butuh institusi lebih besar untuk mengatrol mereka naik hingga punya ‘mercusuar’. Agar bisa dlihat dari atas, tidak main secara underground terus. Hal ini penting
Kedua, adanya akses terhadap modal. Ada anak-anak muda yang punya bakat, tapi mereka tidak tahu caranya bisa mendapatkan modal. Di sini institusi-institusi seperti Go Ahead bisa menjadi salah satu bentuk solusi agar membantu anak-anak muda ini berkembang dengan modal produksi yang cukup untuk menyerap ide-ide-mereka. Dan bertambah menarik ketika dijadikan kompetisi, sehingga ada akuntabilitas akan siapa yang memang berhak dan layak untuk mendapatkan akses ke dua hal tadi.
Apa yang Angga cari dari talenta lokal kita?
Seperti yang tadi saya bilang: content vision is number one, baru teknis dan skill-nya seperti apa. Di sini kita punya lagu “Arus Merah” yang bukan karya sembarangan juga. Ada pesan dari campaign lagu tersebut, yaitu ‘Nanti Lo Juga Paham’ yang merupakan statement sehingga sudah pasti cerita dari statement tersebut harus lebih kuat dari teknisnya. Kalau teknis – kamera – banyak, beli di JVC juga bisa. Ide ini malah yang tidak ‘gampangan’, dan visi yang perlu di-godok lalu diuji. Saya paling tidak suka jika bertemu kreator yang tidak mengerti isi konten yang dia buat, dan lalu menyerahkan open interpretation begitu saja ke penonton. Di mana tanggung jawabnya sebagai kreator? Kita sebagai kreator tetap harus menjelaskan statement, soal nantinya penonton mau menerima atau punya pandangannya sendiri merupakan hal yang berbeda lagi. Kreator itu harus punya kemampuan untuk menjelaskan, menjabarkan tentang apa yang ia pikirkan, apa yang ingin disampaikan, dan bagaimana ia menyampaikan itu semua ke penonton. Tidak bisa punya statement tapi di saat yang bersamaan juga tidak memiliki kemampuan berkomunikasi. Ketika kreator sudah punya privilege untuk ada di sebuah media, dan lalu media tersebut dipakai, kreator ini sudah pasti harus bertanggung jawab dengan medianya tersebut. Kalau enggak, yang ada hanya jadi provokator. Ide itu selalu bisa di-institusikan, bisa jadi countable, bukan sesuatu hal yang abstrak.
Proyek apa yang sedang Angga siapkan tahun ini?
Proyek terbesarnya sebenarnya adalah mengembangkan Visinema menjadi satu content creator yang bisa berkompetisi di regional South East Asia. sekarang ini kita sedang dalam proses ekspansi, dan lalu merekruit talent lebih banyak lagi. Masih banyak project yang kita garap – sejauh ini ada 15 project hingga tahun 2019 – mulai dari film, premium series, docu-series, dokumenter, dan macam-macam lainnya. Kita akan merekruit talent-talent baru dan mendidik mereka, sehingga diharapkan dalam 2 tahun ke depan, akan ada banyak scripwriter, director, dan talent lain yang baru dari Visinema. Intinya producing more talents – itu proyek saya yang paling besar.