Adrian Yunan Bercerita Tentang Bermusik Sebagai Difabel dan Bagaimana Ia Melihat Melalui Mimpi
Adrian Yunan membandingkan proses menulis lagu saat di Efek Rumah Kaca dan saat menulis sebagai musisi solo.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Winona Amabel
Adrian Yunan memulai perjalanan unit rock Efek Rumah Kaca (ERK) bersama Cholil Mahmud dan Akbar Bagus Sudibyo. Namun pada 2010 ia didiagnosa dengan sebuah penyakit yang menyerang penglihatannya, hingga akhirnya tahun 2017 memutuskan untuk berkarir solo. Sejak itu, ia dikenal sebagai solo artist dan pada album debutnya “Sintas”, ia merilis lagu-lagu yang ia tulis selama tujuh tahun, termasuk kehidupan personal dan rasa kegelisahannya ketika ia berangsur kehilangan indera visualnya. Suatu sore di rumahnya, Whiteboard Journal bertemu dengan Adrian Yunan, ditemani anaknya, Rintik Rindu beserta mainan penguin dan teropong binokulernya. Sore itu Adrian berbagi proses kreatif dalam pembuatan “Sintas” serta perspektifnya sebagai musisi sekaligus sosok difabel di Indonesia.
Bagaimana perkenalan pertama Anda dengan musik?
Saya dulu mulai bermusik ketika SMP. Sebetulnya sejak SD sudah menyenangi musik, dulu om-om saya sempat tinggal di rumah bersama ibu, mereka sering bermain gitar bersama. Saya jadi ingin belajar gitar sejak SD namun saat itu saya belum terlalu bisa, agak lama buat paham ketika diajarkan. Waktu SMP, baru akhirnya saya mulai bermain gitar, kan sudah mulai nongkrong jadi diajarkan oleh teman-teman SMP ketika kelas 3. Namun mulai membuat band itu ketika SMA. Kalau lagu yang didengarkan, ketika SMP sedang seru-seru mendengarkan Slank, karena album pertama “Suit… Suit… He… He… (Gadis Sexy)” itu baru keluar. Pokoknya Slank saat itu sangat keren deh. Kemudian juga saat itu sedang zamannya metal seperti White Lion, Mr. Big. Ketika SMA itu pokoknya transisi dari metal tiba-tiba ramai band grunge. Sebenarnya musiknya umum ya, saat itu ada yang suka Nirvana, semuanya akan bersama-sama suka juga. Tapi tetap Slank sih yang banyak mempengaruhi, soalnya awet sampai kuliah.
Dalam album debut “Sintas”, Anda banyak bercerita tentang rumah, keluarga, hingga harapan. Mengapa Anda lebih memilih mengangkat tema-tema yang personal, dibandingkan isu-isu sosial dan politis?
Sebenarnya album “Sintas” itu awalnya ditulis untuk diri sendiri, tidak ada tujuan untuk dirilis sebelumnya. Jadi ini benar-benar proyek sendirian, iseng-iseng ditulis di rumah tidak terpikirkan untuk dirilis, apalagi untuk Efek Rumah Kaca (ERK). Awal mulanya sekitar tahun 2015 Cholil (vokalis ERK) beberapa kali main ke rumah, waktu itu kami sedang menyelesaikan album “Sinestesia”, dia juga baru pulang dari Amerika. Dia buka komputer, iseng membuka file lagu dan mendengarkan lagu-lagu yang saya buat. Dia nanya, “Lu ingin merilis lagu-lagu ini?” Terus saya bilang, “Ah iseng-iseng doang.” Soalnya waktu itu mindset saya masih untuk ERK saja. Cholil bilang, “Rilis dong,” Saya akhirnya iya-iya saja, saya merasa ‘kan waktu itu sudah mulai banyak istirahat di rumah. Kemudian saya bilang, “Ah tidak cukup lah energinya kalo saya buat untuk ERK.” Jadi itu benar-benar lagu yang temanya personal, tidak mungkin dimasukkan ke ERK, ya sudah saya pikir simpan saja untuk sendiri, belum tahu untuk apa.
Kemudian, waktu itu Cholil membuat showcase untuk proyek musik bersama istrinya, Irma Hidayana bernama Indie Art Wedding, di PGP (Penting Ga Penting) Cafe, Rempoa. Dia ajak saya untuk jadi pembuka, jadi dia memang sangat menjadi trigger bagi saya sih. Dulu lagu-lagu yang saya buat biasanya saya simpan di draft komputer, tidak saya dengarkan hingga waktu yang lama, akhirnya karena diminta menjadi pembuka jadi saya pun dengarkan lagu-lagu saya lagi. Saya pikir, bisa lah untuk 30 menit tampil. Ya sudah, itu pertama kali lagu itu saya bawakan. Biasanya hanya genjreng genjreng di rumah pakai gitar, isi-isi MIDI drum, bass, itu saja karena saat itu saya tidak bisa keyboard. Kalau saat dimainkan di rumah saya hanya gitaran saja, menemani Cholil dan Irma di showcase itu saya serius lah. Wah sangat rapi karena ada bass-nya Poppy dan Asra dari Pandai Besi ya. Yah, itu penampilan pertama kali saya sebagai Adrian Yunan – kira-kira tahun 2015 juga. Setelah itu banyak teman-teman dari Pandai Besi dan ERK yang bilang “Sudah, rekam-rekam saja,” Akhirnya saya coba untuk diseriusin.
Pergulatan batin cukup terasa menjadi benang merah dalam lirik lagu-lagu “Sintas”. Apa yang sebenarnya Anda rasakan ketika menciptakan lagu-lagunya?
Ya, memang banyak pergulatan batin, karena pembuatan lagu itu kira-kira saya mulai sendiri. Di ERK saya tidak terlalu terpikir untuk menulis lirik, saya lebih hobi membuat lagunya saja, kemudian diaransemen. Kalau liriknya Cholil saja, kan liriknya Cholil berkarakter lah. Nah, karena saya membuat lagu sendiri di sini, akhirnya saya jadi bebas dan lebih lepas, merasa nothing to lose juga. Saya tuliskan saja sehari-hari apa yang saya rasakan, dan selain lirik, dari cara pandang artistiknya saya juga lebih mencoba sesuai diri sendiri juga. Agak berbeda dengan ERK, lebih sederhana.
Ya sudah, kira-kira lagu pertama yang saya tulis itu “Tak Ada Histeria” pada tahun 2010 awal. Tadinya di ERK saya jarang menulis lirik, kalau sedang benar-benar mengalir saja. Lagu “Putih” itu saya tulis berdua Cholil, kalau “Sebelah Mata” dan “Hujan Jangan Marah” itu benar-benar dari saya sendiri, namun yang seperti itu jarang sekali. Kalau di “Sinestesia” lagunya biasanya menumpuk di file lama jadi sudah menempel di otak. Di sela-sela ERK manggung biasanya kami mengobrol mengenai lagu hingga tiba-tiba ada ide untuk menulis, jadi ada trigger-nya dulu. Nah untuk “Sinestesia” memang Cholil menyarankan saya untuk ikut menulis lirik karena ERK perlu penyegaran dari segi penulisan, paling tidak untuk angle tulisan kemudian kan pasti ada perbedaan. Biasanya saya tulis kemudian saya kasih ke dia, berharap ada materi yang di-edit, prosesnya seperti itu. Tapi berbeda kalau di “Sintas” saya nothing to lose saja, dan memang lebih kepada apa yang saya rasakan sehari-hari.
Bagaimana proses pembuatan, dari mulai pre-produksi, produksi, hingga post-produksi album “Sintas”?
Nah, ini yang parah sebenarnya. Untuk “Sintas”, yang saya buat di rumah itu draft gitar, draft bass, draft vokal, dan isian keyboard, karena saya tidak bisa memainkan chord keyboard bisanya hanya membuat notasi bertema, dengan memakai satu jari. Jadi begitulah materi dasarnya. Ketika mau merekam juga saya tidak berekspektasi tinggi, saya berpikirnya ini akan menjadi album low budget saja. Nah merekamnya itu, draft yang ada di komputer itu dibawa ke home studio satu kamar, milik temannya teman saya yang kebetulan studionya sedang kosong. Kami kerjakan itu beberapa hari. Rencananya kami hanya ingin take ulang vocal, gitar, bass, semua file midi hanya ditransfer. Tadinya mau begitu saja, sederhana, karena saat itu saya juga tidak tahu lagu ini mau diapakan lagi, isian drum dan perkusi pun tidak tahu. Jadi kira-kira 40 persen di studio itu selama 4 sampai 5 hari.
Karena saya membuat lagu sendiri di sini, akhirnya saya jadi bebas dan lebih lepas, merasa nothing to lose juga.
Saya yang take semua, yang main synth juga saya. Ada beberapa bagian yang tangan saya memainkannya kurang baik, saya berpikir “Wah ini tidak selamat nih,” Nah akhirnya saya minta Asra yang memainkannya karena saya tidak bisa mengulang lagi. Karena saya hanya tahu maunya saya seperti ini, feel dan mood-nya begini, jadinya ya sudah selesai. Mungkin malas juga kali ya dia karena isiannya sudah saya kulik semua (tertawa). Namun bass dimainkan Poppy meski kebanyakan isian saya. Saya minta tolong Poppy karena dia mainnya lebih groovy, saya ingin ada sentuhan berbeda agar orang berpikir bukan saya nih yang memainkan bass. Kemudian isian drum dan perkusi baru ada, dipikirkan dan dikulik belakangan setelah yang lainnya jadi. Nah itu kira-kira mengambil dua shift, satu hari, jadi itu memang budget sangat murah.
Kami mixing di studio ALS, Rempoa bersama Dimas Martokusumo. Awalnya Dimas memberikan beberapa pilihan hasil mixing yang sudah ia buat, dengan sample kira-kira 2 sampai 3 lagu. Pilihan pertama ya yang seperti ini, sangat sederhana seperti yang ada di “Sintas” sekarang ini. Selain itu dia juga menawarkan pilihan mixing lain yang dibuat lebih kompleks karena yang sebelumnya terlalu sederhana. Tapi saya justru asing dengan pilihan kedua yang terlalu mewah, terlalu banyak ornamen, tambahan rasa dan sound yang lain. “Ini bukan Sintas nih.” pikir saya. Pandangan saya, “Sintas” harus sederhana, sesederhana cara saya mengumpulkan materi. Jadi hasilnya begitulah kira-kira. Sejujurnya belakangan saya ada rasa sesal berapa persen, “Wah ini kalau dibuat lebih serius lumayan yah.” Tapi hanya sesekali, karena saya juga mikir memang “Sintas” harusnya seperti yang sekarang, jadi saya tidak menyesal juga. Dalam proses mixing, dan mastering juga, saya jadi dapat banyak masukan dari orang-orang lain.
Lagu-lagu pada “Sintas” dibuat dalam periode cukup lama, kurang lebih selama 6 tahun sejak 2010. Apa yang membuat Anda akhirnya yakin bahwa album ini sudah selesai dan siap untuk dirilis?
Sebenarnya saya lebih tertarik ketika sebuah album itu sudah punya benang merah yang kuat, sudah jelas ini album mau diapakan. Saya dapat ide sederhana yang mungkin saya bisa eksekusi di rumah, lagunya sederhana sekali. Saya ini lebih sering main gitar akustik, jadi saya pikir pakai akustik saja. Soal ornamennya, “Ah seru nih akustik ditabrakkan dengan sound synthesizer,” Menurut saya seru saja. Setelah itu saya langsung terbayang, “Ah mengapa tidak satu album seperti ini. Setelah itu saya merasa ada materi yang bisa saya bawa, dari satu lagu ke lagu lain jadi ada benang merahnya. Saya kan memang suka album yang sebenarnya pekat, ini album maunya apa, dan tematik. Jadi saya terpikir saya bisa selesaikan album ini karena secara musik saya sudah menemukan temanya juga.
Setelah bertahun-tahun berkecimpung di dunia musik bersama Efek Rumah Kaca, bagaimana ERK mempengaruhi cara berpikir atau pembuatan karya Anda?
Banyak. ERK kan persamaannya adalah minimalis, jadi dengan saya sama saja. ERK dimulai dengan minimalis, album pertama dan kedua, kecuali album ketiga. Kalau kita bisa memaksimalkan yang minimal itu menurut saya bagus lah jadi ada karakternya. Kemudian dalam penulisan lirik, ERK itu ada di antara dua titik. Kalau ada orang yang liriknya sangat lugas sementara ada yang bersayap. Lugas itu kira-kira seperti band metal atau tipe yang cara tuturnya ‘hajar langsung’. Sementara bersayap itu seperti Ade Paloh di Sore itu sangat bersayap, jadi orang bacanya harus berkali-kali. ERK itu ada di tengah-tengah, lugas tapi tidak terlalu menohok, bersayap tapi tidak terlalu mengambang dan membuat orang berpikir berkali-kali, mudah untuk dibaca. Itu salah satunya.
Namun bedanya, ERK kan jadi terbiasa semenjak album pertama itu untuk seru-seruan tertantang menggunakan diksi yang jarang, dari album kedua juga lebih berani. Tapi kalau saya karena dimulai dari kehidupan sehari-hari menurut saya lirik yang paling cocok itu jauh dari diksi-diksi yang asing, karena kehidupan sehari-hari saja. Kemudian, kalau ERK itu liriknya tesis, kira-kira ada satu kalimat yang sifatnya tesis. Sementara kalau saya hanya cerita yang mengalir, jadi seperti orang menulis cerita dipindahkan ke lagu.
Bagi Anda adakah perubahan proses kreatif dalam membuat lagu dengan adanya keterbatasan penglihatan?
Ada. Kalau saya dulu menulis lagu lebih hati-hati karena saya menulis apa yang ada di kepala saya. Saya mau menulis tentang apa, saya harus riset dulu. Cari tahu tentang hal itu dari mengobrol dengan orang, membaca, dan lain-lain. Kalau sekarang, untuk baca dan riset saya pikir nanti dulu saja deh, kerangkanya harus saya buat duluan karena kerangkanya harus dari apa yang rasa saya. Misalnya, contohnya lagu tentang bagaimana saya merusak mainan Rindu. Apalagi yang harus dicari, jelas apa yang saya cari adalah apa yang ada di depan mata saya, yaitu apa rasanya menjadi Rindu. Jadi saya lebih memakai rasa, sangat berbeda dengan ketika dulu saya menulis lebih harus dilogikakan, rasanya nanti dicek setelah lagunya jadi.
Anda pernah mengatakan bahwa keresahan dapat melahirkan karya yang baik. Melalui pengalaman Anda sendiri, bagaimana rasa resah itu berperan dalam proses penciptaan lagu?
Pandangan saya, “Sintas” harus sederhana, sesederhana cara saya mengumpulkan materi.
Ya, yang saya rasakan kalau sedang tidak resah, lagunya jadi garing tidak ada isinya. Kalau lagi resah, semua yang kita ungkapkan adalah hal yang kita rasakan. Sesuatu yang ketika saya baca lagi setelahnya bisa jadi asing di saat saya tidak resah. Misalnya, biasanya saya ketika bermimpi rasanya biasa saja apalagi dulu ketika masih bisa melihat. Tapi saya bertemu saat-saat dimana saya mulai mengingat mimpi-mimpi saya karena saya sudah tidak bisa melihat. Jadi dulu mimpi saya sering sekali saya tidak ingat, sekarang lumayan detail ingatannya. Kalau ada yang putus atau ada yang hilang, saya langsung coba mengingat-ingat dan cari-cari hubungannya, karena entah mengapa rasanya jadi ada yang hilang kalau jalan cerita mimpi itu putus. Saya menjadi resah karena saya menikmati mimpi-mimpi saya, karena cara saya untuk melihat visual ya itu saja.
Kemudian, saya jadi menunggu-nunggu mimpi kalau saya mau tidur, “Ah mimpi apa ya malam ini.” Saya sempat mengingat mimpi yang sampai terulang dua kali. Itu saat badan saya mau drop sekali, besoknya saya mimpi, seperti di lagu “Mimpi Seperti Hidup”, saya seperti tenggelam di dalam air. Nah di antara air yang beriak itu seperti ada bantuan selang atau semacamnya, kurang jelas, yang pasti untuk saya bernapas. Tanda keresahan saya seperti saya mau mati, tengah-tengah di antara hidup dan mati.
Video musik “Tak Ada Histeria” menampilkan Anda yang berdiri diam di trotoar jalanan sibuk, dengan orang dan kendaraan berlalu lalang di antaranya. Apa yang mau disampaikan dari konsep video itu?
Saya sebenarnya sama sekali tidak memberikan ide. Yang membuat video clip itu namanya Jodhi Prasetyo. Saya menebak-nebak saja. Kalau interpretasi saya, maksudnya dia itu di samping riuh euforia itu sebenarnya ada keterasingan dan kesendirian. Kira-kira begitu maksudnya. Dalam keramaian euforia tetap ada sekat dan keterasingan.
Akhir Maret kemarin, Anda menjadi perwakilan dari Indonesia dalam “True Colours Festival” di Singapura. Bisa ceritakan bagaimana pengalaman Anda, mengingat itu merupakan penampilan pertama sebagai Adrian Yunan di kancah internasional?
Pengalamannya, ketika di sana seru dan saya bersemangat sekali karena bertemu seniman-seniman difabel. Tapi bukan hanya semangat, mereka semua merasa tidak ada masalah dengan mereka. Mereka merasa hidup mereka normal dan fine saja. Saya merasa disuntik energinya sama mereka. Saya sama seperti mereka, tidak ada masalah apa-apa, hanya mata saja tidak bisa melihat. Saya normal. Mereka semua tampil dengan hebat, walaupun saya hanya bisa diceritakan secara visualnya, namun kalau yang sifatnya pendengaran seperti musik lagu, atau musik-musik tarian mereka ya itu bagus-bagus sekali.
Yang saya rasakan kalau sedang tidak resah, lagunya jadi garing tidak ada isinya. Kalau lagi resah, semua yang kita ungkapkan adalah hal yang kita rasakan.
Saya jadi berpikir lagi karena semua seniman termasuk difabel itu bisa melahirkan karya yang bagus. Profesional semuanya, penyanyinya bagus-bagus yang muda latihannya serius segala macam. Kemudian saya diceritakan ada beberapa orang dari berbagai negara jadi satu penampilan kolaborasi. Mereka breakdance, dan penampilan mereka sama kerennya dengan breakdance orang biasa. Saya jadi berpikir sebenarnya difabel atau non-difabel bisa melahirkan karya sama bagusnya, hanya karakternya saja yang berbeda. Cara pendekatan, cara orang menulis lagu itu pasti orang yang difabel netra cara menulis lagunya dengan diksi berbeda lah, karena pengalaman mereka bergeser.
Acaranya itu sendiri dijalankan selama tiga hari, namun acaranya diulang-ulang jadi kami perform sebanyak tiga kali. Presiden Singapura datang pada hari pertama. Kemudian pada hari ketiga dia mengundang lagi ke istana Singapura, para performer yang bisa hadir makan sarapan bersama. Orangnya baik dan ramah.
Menurut Anda, bagaimana akses menikmati musik atau berkarya bagi kaum difabel di Indonesia?
Kalau dalam menikmati musik, beberapa tahun sebelumnya mungkin masih kurang memadai dari segi peralatannya, karena semua kan serba melihat, dari peralatan dan tulisan. Tapi sekarang sudah lumayan membantu teknologinya. Sekarang handphone sudah ada fasilitas suara, jadi bisa hanya bicara saja untuk mengoperasikannya. Untuk karya pun bisa ya, terutama untuk musik.
Mengenai isu difabel sendiri, menurut Anda bagaimana masyarakat dan pemerintah bisa lebih menginklusikan musisi dan kaum difabel di Indonesia?
Sebenarnya, hal lain yang saya rasakan selama di Singapura itu, memang satu hal yang membuat kaum difabel mungkin merasa tidak terlalu ada masalah dengan kondisi mereka pasti didorong dari masyarakat dan pemerintahnya juga. Jalanan untuk difabel netra itu sudah baik, di tangga dalam setiap gedung dan kantor juga sudah ada jalur untuk kursi rodanya. Angkutan umum seperti bus atau travel juga sudah ada fasilitas itu, jadi sudah ada armada untuk membawa orang-orang yang difabel. Di Indonesia sendiri belum.
Masyarakatnya juga sudah sangat mendukung. Karena saya merasakan teman-teman yang tidak difabel pun, event organizer acara kemarin sudah benar-benar memperlakukan orang yang difabel sebagai teman, bukan pesakitan. Kira-kira begitulah. Bahkan orang-orang hotelnya, saya pernah satu kali dibawa oleh orang hotel, mereka sudah mengetahui cara membawa saya, cara menuntun saya. Jadi saya merasa lebih aman dan nyaman kalau saya di belakang mereka dan memegang mereka. Karena mereka sudah terbiasa membawa difabel netra, kalau ada apa-apa misalnya ada tembok, bukannya mereka tarik tapi mereka kasih tau. Mereka beri instruksi ke saya pakai suara bahwa ada tembok di depan dan kita perlu geser dikit, jadi bagi yang tidak bisa melihat ada gambaran di depan ada apa.
Orang Indonesia sendiri sedikit yang tahu cara membawa saya, walaupun saya sendiri tidak masalah. Tapi saya jadi tahu kalau pendidikan ke masyarakat itu perlu.
Orang Indonesia sendiri sedikit yang tahu cara membawa saya, walaupun saya sendiri tidak masalah. Tapi saya jadi tahu kalau pendidikan ke masyarakat itu perlu. Jadi terasa bedanya di sana dan di sini. Kalau di sini, antara orangnya tidak menganggap sama sekali, tidak mau repot, atau menolongnya sebagai pesakitan. Banyak yang seperti itu. Kalau yang di tengah-tengah itu mereka yang tahu kalau cara menolongnya hanya perlu diberikan akses, nah yang seperti itu masih sedikit biasanya.
Seperti pada judul dari debut album Anda “Sintas”, adakah pesan yang ingin Anda sampaikan pada para penyintas yang sedang berjuang dengan masalahnya masing-masing?
Yah untuk saya, “Sintas” itu kan sebenarnya mengenai bagaimana cara kita menjalani sehari-hari dan beradaptasi. Itu sih tema paling sederhananya. Kehidupan sehari-hari yang kita jalankan itu berarti kita sudah survive, bahkan yang bukan difabel juga sudah survive dengan kondisi ekonomi dan segala macam lainnya. Tapi kita hanya perlu beradaptasi dan menyiasati hidup.
Apa proyek yang sedang Anda kerjakan saat ini?
Semuanya proyeknya belum ada target. Kecuali satu, mau mengeluarkan single tapi saya masih nunggu. Karena tadinya digitalnya mau dirilis sama TuneCore, tapi itu kan layanannya melalui internet tidak ada kantornya di sini. Saya ingin pindah sama yang kantornya ada di Indonesia. Kemudian akhirnya dapat satu agregator untuk nanti sekalian memasukkan album “Sintas” dan merilis single baru.
Kemudian lainnya, saya sedang mengumpulkan materi tapi belum tahu kapan akan dirilis. Saya mengerjakannya bersama teman yang biasanya membantu main gitar ketika sedang manggung namanya Reza, biasanya kami membuat di rumahnya. Tapi prosesnya sekarang berbeda karena dulu benar-benar sendirian kecuali perkusi yang dieksekusi oleh orang lain. Jadi yang membuat lagu awalnya saya, kemudian mengulik aransemennya bersama dia. Kalau untuk instrumennya sekarang lebih gitar, kalau dulu kan mengapa pakai midi karena saya bisanya gitar akustik, tidak bisa memainkan gitar electric. Sekarang kan ada gitaris jadi ingin mencoba sound dan ambience baru dari gitar elektrik yang akan dijalankan dengan Reza. Jadi ada sesuatu yang baru juga, mood-nya lebih gitar elektrik dan lebih groove, inginnya begitu.
Soal kolaborasi dengan musisi lain, saya baru terpikir ada satu lagu yang di tengahnya bernyanyi tapi ada puisi. Jadi orang itu setengah bernyanyi yang bernada dan setengah lagi puisi. Menurut saya yang cocok Monica Hapsari karena cara membawakan puisinya ada intonasinya. Namun kebetulan lagunya belum jadi juga dan belum mengajak siapa-siapa.
Selain itu ada satu lagi, ini juga santai, proyek bersama teman-teman yaitu Harlan Boer dan Andri Boer. Nama proyeknya Rental Video. Itu idenya Harlan untuk membuat satu album yang semua lagunya terinspirasi dari film-film video beta, pokoknya ketika kita masih kecil. Karena kita bertiga umurnya dekat-dekat tuh. Kemudian ketika kita kecil kami masih ingat serunya zaman merental video. Kalau sekarang kan semua orang punya DVD, mereka beli, dulu jarang sekali karena mahal. Biasanya kita rental, kemudian itu jadi cerita tersendiri. Misalnya ketika meminjam video, kan satu tempat rental video itu paling banyak ada dua video satu judul film, kalau film itu sedang ramai akan sangat susah untuk dapatnya karena dulu-duluan dengan orang lain. Rental Video itu tentang lagu-lagu di masa itu dan cerita di balik zaman-zaman rental video itu.
Kalau lagu yang buat itu ada dari “Taksi” Rano Karno, “Kejar Daku Kau Kutangkap” Deddy Mizwar dan Nidya Kandau, dan “Arie Anggara”, ini film pada tahun 80-an ramai ada anak meninggal karena didikan bapaknya, pada zaman itu masuk headline dan dibuatkan filmnya. Lalu saya ingin sekali mengangkat “Warkop”, tapi sampai sekarang juga masih ditonton orang, masih diputar, bahkan ada “Warkop DKI Reborn” sekarang. Jadi akhirnya saya ingin mengangkat dari sisi personalnya Kasino, lagunya tentang Kasino. Kemudian kalau Harlan tentang filmnya Bing Slamet, ada “Bing Slamet Cowboy Cengeng”, ada film Srimulat satu, film “Orang-orang Sinting” itu PSP (Pancaran Sinar Petromak), kebanyakan film-film komedi sih kalau dia.