Ada gejolak yang semakin mengemuka pada kesadaran mengenai gender. Topik yang dulunya hanya muncul pada momen dan media tertentu kini terangkat pada berbagai medium. Gejolaknya bahkan kini bisa dirasakan pada budaya populer, dimana isu-isu mengenai posisi, dan peran wanita di era digital hingga feminisme tak lagi hanya menjadi konten pada esai sosial, tetapi juga semakin sering muncul pada panggung-panggung diva pop internasional.
Di Indonesia sendiri, kajian mengenai gender telah menjadi bagian dari sejarah bangsa. Diawali dari kiprah Kartini dengan kesadaran beliau akan esensi pendidikan bagi semua, Cut Nyak Dhien dengan perjuangannya melawan kolonialisasi Belanda, hingga Gerwani dengan segala aktivitasnya dalam memperjuangkan kesetaraan posisi pria dan wanita.
Wani Ditata Project adalah sebuah usaha untuk melihat kembali posisi wanita pada masyarakat Indonesia. Merupakan bagian dari program Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta, Wani Ditata Project adalah sebuah pameran berbasis riset yang bervisi untuk mencerna konstruksi sosial dan politik dalam bagaimana negara memposisikan wanita dalam masyarakat. Menitikberatkan pada orde baru sebagai fokus utama, pameran ini menyoroti bagaimana pada rentang masa 1965-1998 terjadi degradasi konsepsi wanita dari apa yang telah dibangun pada era-era sebelumnya.
Melalui salah satu ideologi nasional yang diciptakan, Orde Baru saat itu memposisikan wanita sebagai sekedar pelengkap, dan pendukung suami/lelaki dalam kegiatan sehari-hari. Dalam salah satu maklumatnya “Panca Dharma Wanita”, Dharma Wanita sebagai organisasi perempuan bikinan pemerintah saat itu mendefinisikan Wanita Indonesia sebagai teman dan mitra suami, istri, dan manajer rumah tangga, ibu dan pendidikan bagi anak-anak, penghasil pendapatan tambahan, dan pekerja sosial warga negara Indonesia. Konsepsi ini tak hanya memarjinalkan wanita dalam posisi yang lebih rendah secara hirarki dengan pria, namun juga menciptakan diskriminasi yang di satu sisi menciptakan tuntutan yang cukup utopis namun di sisi lain juga memberikan sejumlah batasan bagi kaum wanita
Delapan seniman diundang untuk mendedah lebih jauh mengenai konsepsi tersebut. Ada dua faset yang membagi delapan seniman terpilih, sebagian lahir pada periode ‘70an sisanya lahir pada era ‘80an. Pembagian ini cukup menarik, karena bisa memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai pengalaman sekaligus gambaran tentang bagaimana dua generasi ini memaknai citra wanita yang diciptakan oleh Dharma Wanita. Berturutan, Aprilia Apsari, Julia Sarisetiati, Kartika Jahja, Keke Tumbuan, Marishka Soekarna, Otty Widasari, Tita Salina dan Yaya Sung menampilkan hasil terjemah serta respon mereka terhadap isu yang diangkat ini.
Meski tampil sebagai sebuah pameran yang berbasis pada riset, Wani Ditata Project tersaji sebagai sebuah eksibisi yang cukup ringan. Layout yang cukup nyaman dan lapang pada Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki dimanfaatkan dengan optimal untuk menjadi latar display karya.
Yang membuat pameran ini cukup spesial adalah mengenai keberanian dan kemauan dari beberapa seniman untuk melangkah keluar dari kebiasaan mereka untuk berkarya. Sari yang lebih dikenal melalui karya ilustrasinya, bereksperimen dengan karya video, Marishka Soekarna yang identik dengan painting berkarya dalam bentuk instalasi, hingga Kartika Jahja yang juga memamerkan karya dalam bentuk instalasi. Bagusnya, segala eksperimentasi tersebut berhasil. Area-area baru yang dijelajahi oleh para seniman tersebut memberikan dimensi lebih bagi pameran ini, dimana pengunjung disuguhi hasil intepretasi dari seniman dalam berbagai bentuk format.
Ada gelitik pada deretan botol parfum yang merupakan bagian dari karya instalasi Tita Salina yang berjudul “Smell’s Like Tien’s Spirit”, ada wawasan yang terbuka melalui “Seratan Cerita” karya Yaya Sung yang menggabungkan kisah-kisah dari berbagai wanita dengan nukilan sejarah pada beberapa barang sehari-hari yang ikut ditampilkan sebagai bagian dari karya, ada pula agitasi pada video Julia Sarisetiati yang bereksperimen dengan pelatih kepribadian personal dalam karyanya yang berjudul “Defining Excelent”.
Highlight utama dari pameran ini berada pada instalasi karya Kartika Jahja dan Marishka Soekarna. Pada transformasi bordir nama yang tercetak di deretan bantal yang berjudul “Titik Titik Titiek”, Tika menantang sekaligus mempertanyakan konsepsi wanita dalam hubungan suami istri. Marishka melalui “Perempuan yang Harus” mengambil sisi yang lebih sinikal. Instalasi tangga dengan sepatu high heels bertuliskan harapan-harapan mengenai sosok wanita super mengusik citra wanita ideal yang ada di kepala.
Poin lebih juga patut disematkan pada Angga Wijaya sebagai kurator yang mampu menggali sekaligus menampilkan seluruh karya dalam satu kesatuan gagasan utuh. Potensi seniman mampu dimunculkan dengan optimal, namun masih memiliki kohesi yang kuat satu sama lain meski ada percampuran medium yang nyata. Penjelasan tambahan pada caption juga penting untuk mengembalikan konteks ide utama pameran pada setiap karya.
Dengan segala poin positif pada pameran ini, Wani Ditata Project merupakan catatan penting, tak hanya dalam konteks seni rupa, namun juga pada bahasan mengenai gender di Indonesia. Karena jelas, wanita Indonesia memiliki hak lebih dari segala batasan konsepsi era Orde Baru. Melalui karya-karya di dalamnya, Wani Ditata Project dengan anggun mengusik persepsi itu, sekaligus memetakan kesadaran kita akan seperti apa harusnya kita belajar dari era lama itu.