Terminologi ‘sastra’ sering diidentikkan dengan kata ‘intelek’, dimana menjadi penggemar karya sastra atau menjadi penulis sering dianggap sebagai pernyataan cendekiawan (bahkan, kata ‘intelektual’ dinyatakan sama makna dengan ‘sastrawan’ pada sinonimkata.com). Padahal sebenarnya, seni literatur adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, melalui teks pada novel, komik hingga naskah berita online yang merupakan produk paling sederhana dari sastra. Tetapi, masih saja terasa ada garis pemisah dimana sastra dikategorikan pada level yang lebih tinggi. Memang, ada dimensi khusus pada sastra yang merupakan simbol intelektualitas sebuah budaya, tapi dengan kecenderungan yang demikian, tercipta jarak antara karya sastra dengan khalayak umum, sebuah hal yang idealnya tidak ada diantaranya, karena sejatinya sastra adalah sebuah cabang seni yang patut dinikmati oleh semua kalangan.
Kecenderungan ini tentunya bermula dari sosialisasi (atau lebih tepatnya, karena kurangnya sosialisasi) mengenai sastra dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal ini bisa dilihat pada bagaimana sastra masih terkesan sebagai materi sekunder pada sistem pendidikan, jumlah outlet untuk pembelian/peminjaman karya sastra yang masih mimim, juga pada kebiasaan di rumah tangga yang seakan terpisah dari seni sastra. Hal ini tentunta berdampak pada relevansi dan definisi sastra dalam sebuah masyarakat.
Singapore Writers Festival adalah sebuah event sastra yang telah berlangsung sejak 19 tahun yang lalu. Dalam pelaksanaanya acara ini mampu memberi gambaran bagaimana sebuah acara berkonteks sastra bisa merangkul berbagai kalangan dalam melaksanakan program-programnya. Singapore Writers Festival (SWF) dimulai sebagai biennale di tahun 1986 oleh National Arts Council untuk memberi platform kepada penulis-penulis muda di Singapura untuk memamerkan karyanya. Sebagai festival internasional, SWF mengundang berbagai macam praktisi sastra dari banyak negara untuk membagi ilmu mereka dalam program-program acaranya. Sejak tahun 2011, festival sastra ini mengubah jadwal gelarannya menjadi sekali setahun, dan kami dari Whiteboard Journal menyempatkan diri untuk datang pada akhir pekan penutup SWF 2015.
Kali ini, festival mengambil tema berjudul Island of Dreams dengan menunjuk Yeow Kai Chai sebagai Festival Director. Yeow Kai Chai yang memiliki latar belakang sebagai penulis puisi, jurnalis dan tentunya penggemar seni berasal dari Singapura, menyambut kami dan bercerita mengenai usaha Singapore Writers Festival dalam memuaskan market sastra dan juga masyarakat luas. Menurut Yeow Kai Chai, jumlah pengunjung terus naik setiap tahun, dan memang dari pengalaman kami, ada benang merah pada konsep acara yang terus dijaga hingga level konten setiap program, hal ini bisa menjadi jembatan antara khalayak sastra dengan masyrakat luas.
Hal ini bisa dilihat pada pemilihan tema acara. Island of Dreams adalah judul yang mendeskripsikan tujuan Singapore Writers Festival yang bervisi untuk mengangkat tema harapan, impian dan aspirasi individu sekaligus masyarakat pulau Singapura. Tema introspeksi ini sangat pas bagi warga Singapura, karena tahun ini mereka merayakan ulang tahun negara ke 50, sekaligus penanda tahun wafatnya Perdana Menteri Lee Kuan Yew, figur yang dikenal sebagai founding father yang berperan penting dalam membentuk masa depan Singapura. Tema ini cukup kuat dan relevan bagi masyarakat luas dimana festival ini mengajak orang-orang untuk melihat impian mereka sebagai individu dan aspirasi masa depan sebagai negara merdeka dan disaat yang sama dengan hilangnya figur pemimpin bagi negara mereka. Tema besar ini kemudian diteruskan dalam program-program acara yang meliputi diskusi mengenai kondisi akibat perang hingga acara musik santai di sebuah taman.
Terkait dengan tema ‘island’, Singapore Writers Festival tahun ini mengundang Indonesia menjadi Country Focus. Selain karena Indonesia memiliki sekitar 17,000 pulau, menurut penjelasan Yeow Kai Chai, pemilihan Indonesia sebagai menjadi tamu khusus adalah karena sebagai negara tetangga terdekat, apa yang Indonesia lakukan secara politik, ekonomi, bahkan ekologi akan berpengaruh kepada Singapura (asap dari pembakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan mengubah warna langit Singapura menjadi cokelat saat kami menghadiri Singapore Writers Festival).
Country Focus festival ini juga merupakan kesempatan bagi komunitas Internasional untuk mengenal budaya Indonesia lebih jauh melalui karya seni yang terkait dengan sastra. Goenawan Muhammad berpidato dan tulisan beliau yang merupakan penghormatan kepada “Don Quixote” karya Cervantes menjadi pertunjukan yang berisi teater, visual, dan musik. Ubiet dan Keroncong Tenggara, yang terdiri dari musisi-musisi terkenal, menginterpretasi karya puisi Indonesia melalui lagu-lagu lama. Agustinus Wibowo bercerita melalui programnya “Being Knowmadic” mengenai genre tulisan mengenai travelling, yang dideskripsikan sebagai bentuk sastra yang mengundang pembaca untuk merasakan pengalaman fisik, emosi, dan spiritual dalam perjalanan. Dari pidato, diskusi, sampai pertunjukan musik dan workshop batik, tamu-tamu perwakilan Indonesia sebagai Country Focus memperkenalkan dan menjelaskan Indonesia melalui konteks sastra.
Elastisitas sastra dalam kemampuannya untuk disalurkan pada berbagai medium juga dipahami dan direpresentasikan dengan baik oleh Singapore Writers Festival. The Art House, sebuah gedung tua bekas gedung parlemen Singapura yang berada di daerah City Hall, menjadi pusat dari festival sastra ini. Di taman yang berada di bagian depan gedung The Art House, berdiri sebuah panggung kecil yang dikelilingi oleh bean bag berbagai warna yang menjadi tempat beberapa pertunjukan musik dimana musisi seperti Jawn, seorang singer-songwriter dengan musik berwarna pop-blues, dan Jamie Wong & The Hubbabubbas, yang juga beraliran pop tampil.
The Art House sebenarnya bukan gedung berukuran besar, namun panitia mampu dengan efisien memanfaatkan berbagai ruangan yang ada di gedung berumur 200 tahun ini untuk berbagai macam program. Pada sebuah teater kecil di lantai dasar The Art House, kami menyempatkan diri untuk menonton Snowpiercer karya Bon Joong Ho, film yang diadaptasi dari novel grafis berasal dari Perancis mengenai dunia post-apocalypse dimana sebuah kereta adalah habitat terakhir peradaban manusia dan perang antar kelas terjadi. Dilanjutkan dengan diskusi bersama Jean-Marc Rochette, ilustrator sekaligus penulis cerita Snowpiercer. Ruang The Chambers, yang dulunya tempat dimana dewan parlemen berkumpul untuk menentukan masa depan Singapura, menjadi tempat diskusi, pembacaan sastra, pertunjukan musik, hingga debat yang menghibur. Ada pula ruang ‘The Play Den’, sebuah teater black box yang menjadi tempat pertunjukan teater dan juga diskusi. Lorong gedung juga mengalami perubahan fungsi menjadi ruang pameran bagi karya fotografi Zakaria Zainal yang menangkap fenomena mengenai kaum Gurkha.
Bentuk elastisitas medium sastra mungkin paling terepresentasikan melalui acara yang berjudul “What I Love About You is Your Attitude Problem.” The Art House menjadi venue pertunjukan ini dari jam 7 malam sampai jam 7 pagi. Setiap ruangan menjadi panggung untuk karya yang cukup eksperimental dimana didalamnya berisi bermacam instalasi multimedia, pembacaan buku berdurasi 12 jam, pertunjukan cross-dresser yang berubah setiap jam, screening film, DJ set, hingga speed hating (speed dating dengan twist) yang mengisi durasi 12 jam tersebut. Pengunjung diberi kebebasan untuk keluar masuk ruangan sesuka hati. Konsepsi jarak dekat dan jauh yang tercampur pada setiap pertunjukan memposisikan sastra sebagai seni yang bisa ditemukan dan dikaitkan dengan berbagai macam medium. Inti sastra adalah teks, tetapi ide yang direpresentasikan oleh teks bersifat dinamis. Dinamisme dan kemungkinan eksplorasi medium di dalam konteks festival sastra menunjukkan kemampuan kolaborasi sastra dan relevansinya pada berbagai bidang.
Yang menjadi poin atraksi utama Singapore Writers Festival adalah panel-panel diskusi yang terus berlangsung selama 10 hari pelaksanaan acara. Cakupan internasional dari festival ini bisa dirasakan pada kehadiran tamu dari berbagai negara. Indonesia menjadi Country Focus, Jean-Marc Rochette dari Perancis menjelaskan proses karya ilustrasinya, Fuminori Nakamura dari Jepang bercerita mengenai penulisan crime fiction, Elizabeth Pisani dari Amerika bercerita mengenai perjalanannya di Indonesia, Penulis puisi Nikola Madzirov menjelaskan inspirasi yang datang dari perang, Robert Douglas-Fairhurst dari Inggris memberi penjelasan mengenai bagaimana cerita Alice in Wonderland menjadi fenomena dunia – dan ini hanya sebagian kecil dari rangkaian acara yang berlangsung selama 10 hari. Sebagai festival yang diadakan di Singapura, tentunya budaya lokal juga menjadi topik utama Singapore Writers Festival. Dari puisi, literatur, jurnalisme sampai dengan musik, kreasi lokal Singapura memiliki porsi yang cukup besar di festival ini.
Salah satu bagian paling menarik dari display konten lokal adalah dedikasi Singapore Writers Festival untuk menjadi festival yang multi-lingual. Singapura memilki 4 bahasa resmi yang juga merepresentasikan publiknya, yaitu English, Malay, Chinese, dan Tamil. Empat bahasa ini ditampilkan pada festival sastra Singapura. Perbedaan dan persamaan antar budaya dimunculkan melalui narasi-narasi literatur yang membuka berbagai perspektif individual sekaligus latar belakang budaya masing-masing. Menurut Yeow Kai Chai, dari tahun ke tahunnya, ada perkembangan yang cukup positif pada skena sastra Singapura dengan internet yang memberi wadah pagi seniman sastra untuk menerbitkan karya ke audiens yang lebih luas.
Jika dilihat dari perspektif sebagai orang awam, yang cukup menarik dari diskusi-diskusi seputar Singapore Writers Festival adalah variasi topik yang diangkat pada tiap sesinya. Topik-topik mengenai antropologi, science fiction, ilustrasi komik, puisi hingga buku anak-anak dibahas oleh panelist yang merupakan ahli bidang masing-masing. Menjadikan panel-panel pada Singapore Writers Festival juga berperan sebagai acara berbagi ilmu, setidaknya ini adalah apa yang kami rasakan pada tiap acara yang kami hadiri.
Pada sebuah diskusi berjudul “The Fluid Identities of South-East Asia”, Elizabeth Pisani, seorang jurnalis dan peniliti yang telah lama tinggal di Indonesia, dan Kenny Ting, seorang peneliti kota pelabuhan di Asia Tenggara, bercerita mengenai bagaimana identitas budaya Asia Tenggara terus berubah di dalam sejarah melalui arus perdagangan, penjajahan, dan agama. Berdasarkan sejarah dan pengamatan pribadi, dua panelis ini mengangkat topik identitas negara-negara di Asia Tenggara dan bagaimana identitas ini terus berubah seiring berjalannya waktu.
Pada panel “After the Ruins”, Samanth Subramanian, seorang jurnalis yang dikenal melalui karyanya yang berjudul “This Divided Island”, bercerita mengenai keadaan publik Tamil setelah Tamil Tigers dikalahkan oleh pemerintah Sri Langka di tahun 2009. Pada kesempatan ini Samant mengangkat topik perang, rekonsiliasi, sekaligus definisi kata ‘kekerasan’ berdasarkan pengalamannya di Sri Langka. Pada panel yang sama, Jean-Marc Rochette, bercerita bagaimana tema ketidakadilan yang muncul di buku “Snowpiercer” terus bisa menemukan relevansi dengan pembaca bahkan hingga 30 tahun kemudian, pada penjelasannya Jean melihat bahwa tema tersebut mencakup masalah fundamental dan universal yang belum tuntas. Menurut Jean-Marc, konsep science-fiction bisa memberi gambaran ekstrim yang bisa dicerna. Dan melalui buku-bukunya, dia berharap karyanya menjadi semacam peringatan akan apa yang bisa terjadi bila manusia tidak mengubah sikapnya.
Sebuah bar bernama The Barbershop yang berada di luar gedung The Art House menjadi venue untuk diskusi mantan jurnalis-jurnalis majalah The Big-O. Pada diskusi ini, para panelis mengingat masa kejayaan salah satu majalah musik yang cukup berperan dalam membentuk skena musik independen Singapura di tahun 90’an. Melalui diskusi ini, penonton diajak untuk melihat peran sebuah media dalam skena kreatif, jangkauan pengaruhnya, dan juga sistem editorial yang mereka pakai. Dengan berhentinya publikasi The Big-O di awal tahun 2000-an, diskusi ini juga berusaha menanggapi bagaimana media online berperan dalam membentuk skena musik Singapore sekarang.
Di panel “International Criminal Minds” 4 penulis dari 4 negara membahas karya crime-fiction. Menampilkan penulis crime-fiction, Shamini Flint sebagai moderator, program pagi hari ini menjadi pertukaran pikiran yang cukup menghibur dengan panelis yang mendeskripsikan “aksi kejahatan yang sempurna” menurut pandangan mereka masing-masing. Juga tentang bagaimana pengalaman keseharian yang banal bisa diangkan menjadi dasar sebuah cerita besar. Diskusi ini juga mengangkat topik mengenai konten kekerasan yang sedang menjadi tren dalam crime-fiction, juga mengenai mengapa genre ini sering kurang dihargai di dunia sastra – layaknya jarak antara high-art dan low-art di dunia kesenian.
Melalui representasi sastra yang ditampilkan secara interaktif pada berbagai media, dirangkulnya kalangan sastra internasional untuk mengangkat talenta lokal, dan pendekatan topik-topik yang sangat bervariasi, Singapore Writers Festival lebih dari cukup untuk membuat acara ini digemari oleh masyarakat luas. Pada acara-acara yang kami hadiri, orang dari berbagai umur, jenis kelamin, dan etnisitas yang berbeda tampak sangat antusias terhadap rangkaian acara SWF ini yang mencakupi tema yang cukup luas bagi kalangan apapun. Pada intinya, kesuksesan utama dari Singapore Writers Festival adalah mengenai kemampuan mereka dalam menciptakan bermacam alasan bagi orang-orang dari macam-macam kalangan untuk menghadiri festival ini.
Acara Singapore Writers Festival berakhir dengan riuh pada acara Closing Debate, sebuah tradisi dimulai tahun 2007 dimana dua regu berdebat mengenai gagasan berdasarkan tema festival. Kali ini, topik yang dipilih adalah “This House Believes That Singaporeans Are Not Dreamers” – sebuah topik yang bisa dibilang sangat terbuka untuk interpretasi. Acara yang antriannya sangat panjang (dimulai dari ruangan The Chambers di lantai dua The Art house sampai taman di luar gedungnya) tidak terasa seperti debat akademis biasa. Closing Debate Singapore Writers Festival adalah hiburan yang penuh dengan canda dan tawa, dimana dua regu yg berdebat berusaha merebut suara penonton melalui argumen-argumen yang tajam, pintar, dan lucu.
Dalam tema “This House Believes that Singaporeans Are Not Dreamers” dua regu yang terdiri dari pengacara, aktor, seniman, penulis, sampai dengan bintang Youtube membela posisi masing-masing, dimana satu regu berargumen bahwa orang Singapura pragmatis dan tidak memiliki mimpi bermimpi, melawan regu lain yang berpendapat bahwa Singapura bisa maju karena terdiri dari penduduk yang memiliki mimpi. Jelas bahwa tema yang dipilih cukup longgar dan berfungsi sebagai topik umum yang relatable bagi penonton-penontonnya. Selagi pendebat berusaha meyakinkan penonton melalui guyonan khas Singapura, penonton yang memenuhi ruangan The Chamber memberi perhatian penuh kepada atraksinya sembari tertawa, bertepuk tangan, menyoraki dan menghujat para pembicaranya. Atmosfir yang penuh kegembiraan dan semangat pun membuat beberapa penonton berdiri dan mendeklarasikan gagasan sendiri melalui gaya bahasa yang menghibur. Semangat yang demikian terus terasa hingga usai acara dimana beberapa penonton berdiri di luar dan saling bercerita mengenai jalannya debat tersebut.
Jalannya acara Closing Debates ini mungkin merupakan contoh ideal tentang bagaimana dunia sastra bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Format debat, yang seperti layaknya bahasan mengenai sastra, sering dinilai terlalu berat, dibuat sedemikian rupa supaya lebih aksesibel dari tema maupun konten. Atmosfir yang hangat bisa dirasakan pada ruangan dimana penonton dihibur oleh kecerdasan pembicara yang berbicara mengenai tema yang relatable bagi siapapun. Kenyamanan di dalam arena ini memancing publik yang datang untuk ikut beropini, dan mau menerima opini orang lain dengan baik.
Alangkah baiknya jika kehangatan ini bisa dikembangkan pada konteks sastra secara umum. Closing Debate adalah contoh yang ideal mengenai bagaimana sebuah acara mampu merangkul banyak kalangan untuk menikmati festival sastra. Mudah-mudahan, dengan acara-acara seperti Singapore Writers Festival dunia sastra bisa semakin relatable kepada masyarakat luas, dan kesan eklusifitas sastra akan pelan-pelan terkikis. Membuat sastra sebagai seni mampu terus berkembang dengan keberagaman penikmatnya dan pekerjanya yang semakin luas pula.