Dari tanggal 4 sampai 13 November, Singapura menjadi tujuan untuk penulis dari penjuru dunia. Berbagai pusat kebudayaan di Civil District, antara daerah Raffles dan Clarke Quay menjadi rumah untuk Singapore Writers Festival (SWF), sebuah festival yang merayakan kekayaan opini dan ide dari seni literatur. Whiteboard Journal mendapatkan kesempatan untuk kembali hadir di akhir pekan penutupan festival tahunan ini.
Seperti tahun lalu, The Arts House menjadi pusat aktivitas SWF. Gedung yang sebelumnya adalah sentra parlemen Singapura ini menjadi pusat seni multi-disiplin. Ruangan-ruangan yang dulu menjadi bagian dari saat-saat dimana wakil rakyat membicarakan masa depan negara, kini menjadi tempat bagi pengunjung untuk bertukar pikiran bersama sosok dari berbagai bidang literatur.
Spirit SWF tahun ini terasa hidup di daerah sekitar The Arts House, dengan festival yang bertempat di beberapa ruangan National Gallery yang baru dibuka November lalu, Victoria Concert Hall yang berseberangan dengan The Arts House. Halaman Victoria Concert Hall menghadap Marina Bay menjadi salah satu ruang dimana beberapa aktivitas SWF berlangsung, salah satunya adalah sebuah instalasi pop-up yang didirikan untuk aktivitas anak-anak. Civil District memang dikenal sebagai area relatif kecil dengan banyak pusat budaya, dan kehadiran festival literatur ini membuat suasana seputar daerah ini sangat hidup. Sembari berjalan melalui daerah Civil District, terdengar pembicaraan pengunjung mengenai diskusi yang baru mereka hadiri. Beberapa diantaranya duduk di beanbag-beanbag yang tersebar di depan The Arts House. Ada pula yang sedang bercanda atau membaca buku program SWF. Beberapa turis terlihat menghampiri mini pop-up market yang menawarkan pernak-pernik homemade dan makanan, dan semua diiringi musik pop dari musisi yang sedang tampil di panggung outdoor SWF.
Sebagai festival literatur internasional, yang ditonjolkan oleh SWF adalah pembicara-pembicara yang mereka undang, dan seperti tahun-tahun sebelumnya, daftar tamunya sangat impresif. Dari nama yang sudah dikenal seperti Lionel Shriver, penulis yang sedang naik daun seperti Eka Kurniawan dan Hanya Yanagihara, ilustrator seperti Peter Van Dongen, sampai tokoh internet seperti Evan Puschak aka The Nerdwriter semua menjadi tamu acara ini. Sebagai tuan rumah, para penulis Singapura tentunya juga membagi panggung dengan kolega internasional mereka, dan kehadiran penulis, ilustrator, dan entertainer lokal paling terasa melalui program-program yang memfasilitasi tidak hany bahasa Inggris, tetapi juga bahasa lokal yang dipakai di keseharian Singapura yaitu, Tamil, Mandarin, dan Malay.
Setiap tahun, SWF mengundang satu negara menjadi Country Focus-nya dan tahun ini, negara yang mendapat kehormatan adalah Jepang. Budaya Jepang, baik itu tradisional atau modern, sudah bertahun-tahun menarik perhatian dunia, ini sekaligus juga merupakan perayaan hubungan diplomatis antara Jepang dan Singapura, dimana SWF mengajak pengunjung untuk mengenal lebih dalam Jepang melalui seni literaturnya. Dari penulis fiksi seperti Hiromi Kawakami dan Taiyo Fujii sampai penulis manga Gosho Aoyama, serta topik pembicaraan yang membahas aspek budaya spesifik seperti campuran puisi dan ilustrasi di seni hingga isu global seperti kontribusi fiksi Jepang kepada skena literatur internasional, SWF berusaha untuk memberi gambaran budaya yang dari berbagai sudut pandang untuk Country Focus-nya.
Meskipun Singapore Writers Festival terfokus pada literatur, festival ini tidak terpaku hanya dengan dunia tulisan. Dalam sebuah diskusi makan siang yang santai, Festival Director SWF Yeow Kai Chai berkata bagaimana keragaman seni dari disiplin yang berbeda memperkaya diskusi sebuah topik dan pengalaman manusia, dan hal ini menjadi salah satu spirit yang disampaikan di SWF. Sekilas melihat buku programnya, pembaca akan lihat bagaimana visi tersebut menjadi nyata dengan pembicara-pembicaranya yang terdiri dari penulis, pujangga, musisi, ilustrator, pelawak, seniman visual, sampai penerjemah, aktor dan Youtuber. Menelaah program SWF lebih lanjut, keberagaman ini lebih terlihat lagi melalui format acaranya yang berbentuk debat, film screening, pameran foto, pentas teater, workshop menulis, sampai konser musik dan walking tour. Bisa disimpulkan dari keberagaman program bahwa seni tulis bisa ditemukan di berbagai aktivitas, dan tidak hanya ada satu cara untuk menikmatinya.
Highlight lain adalah beragamnya tamu pembicara. Dengan begitu pengunjung bisa terekspos kepada perspektif dan topik yang sangat luas. Baik dari sisi personal pembicaranya, seperti Peter Van Dongen yang meriset sejarah keluarganya, atau topik yang ada di benak pikiran masyarakat luas seperti Evan Puschak yang membicarakan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat beberapa hari sebelumnya, ada banyak topik tersedia untuk audiens yang ingin memperluas wawasan mereka.
Tiba di Singapura Jumat siang, setelah sejenak menyimpan koper di hotel, kami berjalan ke venue The Arts House di sore hari untuk mengenal venue SWF. Mungkin karena Jumat adalah hari kerja, sesi SWF baru dimulai di malam hari, dan saat kami tiba, venue The Arts House belum ramai. Untungnya, toko buku SWF di lantai satu buka, disini pengunjung bisa mendapatkan semua buku yang berhubungan dengan rangkaian festivalnya. Sambil melihat satu-satu sampul buku yang ada di toko untuk menghabisi waktu, di sebuah pojokan toko ini ada rangkaian buku yang menarik perhatian. Buku-buku berbagai ketebalan dan ukuran di bungkus dengan kertas kado sehingga isinya tidak bisa dilihat, dan di displaynya tertulis “Go On a Blind Date With Books Today! Take a chance and pick up a book that catches your fancy. Just pay at the cashier and unwrap it at home. Who knows, sparks may fly!” Di setiap sampul, ada kartu yang mengandung tulisan rekomendasi individual buku dari sosok literatur di Singapura. Kencan Buta dengan buku, sebuah gimmick menarik yang mengundang pengunjung untuk merayakan esensi membaca.
Di lorong sebelah toko buku, ada sebuah pameran fotografi yang sedang dinikmati oleh pengunjung yang juga menunggu sesi yang akan datang. Berjudul “Shades of Sayang”, pameran tersebut adalah karya Wong Maye-E, seorang fotografer Associated Press yang telah mendokumentasikan berbagai berita internasional. Untuk acara Singapore Writers Festival, Maye-E menggabungkan fotografi dia dengan kutipan teks, sebuah pendekatan multidisiplin terhadap tulisan. Setiap foto, yang menangkap momen-momen keseharian adalah bagian dari koleksi pribadi Maye-E, dilengkapi oleh kutipan. Bekerja seperti deskripsi karya di galeri, kutipan-kutipan teks yang dipilih oleh Maye-E memberi makna non literal yang memperkaya dimensi karya fotonya sekaligus membuka jendela bagi pengunjung untuk melihat lebih dalam pada foto Maye-E. Di sebuah foto digambarkan seorang anak berdiri di ujung sebuah eskalator. Disertai dua teks dari sumber berbeda yang berbentuk surat seorang suami untuk istrinya yang menggambarkan kerinduan terhadap istri dan kesedihan dalam kesendirian, foto eskalator ini seakan menghidupkan imajinasi kedua pasangan yang melihat anak mereka saat menulis surat.
“Sayang”, topik yang diangkat oleh pameran Wong Maye-E, adalah tema besar Singapore Writers Festival tahun ini. Seperti maknanya dalam bahasa Indonesia, sayang adalah kata keseharian yang bisa dipakai untuk mengekspresikan rasa kasih, cinta, dan kadang juga penyesalan. Sebuah kata yang personal bagi individu yang memakainya dan sekaligus universal dalam pemakaiannya, “sayang” menjadi kata kunci SWF tahun ini yang mengajak pengunjungnya untuk mengeksplorasi diri kita dan interaksi kita dengan dunia sekitar. Tema ini diangkat di berbagai aktivitas festival, dimulai dari pameran foto Wong Maye-E, pembacaan puisi, lektur, sampai pentas teater.
Akhirnya jam 19:00 tiba, dan kami masuk ke salah satu ruangan lantai dua The Arts House untuk sesi Between Japan and Singapore: Haiga and its Modern Legacy. Bagian dari program Country Focus, sesi ini adalah presentasi oleh mantan jurnalis dan seniman Singapura Koh Buck Song mengenai seni Haiga, yaitu gaya seni Jepang yang menggabungkan seni gambar dengan puisi haiku. Meskipun sudah ada sejak abad ke-16, seni haiga tidak populer, dan ketertarikan Koh Buck Song terhadap gaya berkarya ini menginspirasinya untuk mempromosikan seni ini. Di presentasinya, Koh Buck Song menjelaskan filosofi di balik haiga, yaitu wabi-sabi yang berpusat kepada kefanaan dan ketidaksempurnaan. Ia juga menjelaskan berbagai hal menarik dari karirnya sebagai seniman yang mendalami haiga. Meskipun terinspirasi oleh budaya Jepang, sebagai orang Singapura Koh Buck Song mengadaptasi haiga dengan keseharian dia melalui bahasa, bahkan memakai format puisi selain haiku untuk melokalisasi seni ini. Ia juga bercerita mengenai keinginan dia untuk memodernisasi seni ini melalui platform digital.
Seusai presentasi mengenai Haiga, kami pindah ke ruangan Chamber untuk menghadiri sesi terakhir di Jumat malam, sebuah talk-show bersama Hanya Yanagihara, penulis berasal dari New York, Amerika Serikat. Dua novel Hanya, “The People in the Trees” dan “A Little Life” menjadi favorit banyak kritikus literatur – “A Little Life” pun masuk ke dalam shortlist Man-Booker Prize yang sangat bergengsi pada tahun 2015. Antusiasme pengunjung sudah terasa sebelum sesi ini dimulai. Semua kursi pada aula dua lantai terisi penuh, dan beberapa pengunjung duduk di lantai untuk bisa menyaksikan diskusi ini. Di sesi ini, moderator Michelle Martin mendiskusikan latar belakang Hanya, dimulai dari kota dimana ia menetap, pergaulannya, status pernikahan, sampai proses berkaryanya. Di “A Little Life” yang penuh dengan kekerasan dan trauma, baik fisik atau psikologis, ia bercerita bagaimana ia bisa menulis skenario miris seperti ini dengan gaya yang memikat atensi pembaca, Hanya menjelaskan pendekatan dia terhadap menulis. Menurutnya, rasa sakit adalah bagian dari pengalaman hidup manusia, sesuatu yang seharusnya tidak asing dan bisa kita terima sebagai hal esensial, tetapi menurutnya, bahasa (disini konteksnya bahasa Inggris) tidak kaya dengan kata-kata dan frase yang bisa menerjemahkan rasa sakit, jadi untuk menulis “A Little Life” ia juga mengeksplorasi cara mengekspresikan rasa sakit yang ingin ia sampaikan kepada pembaca.
Eksplorasinya terbukti saat tulisannya mampu menyentuh hati pembacanya. Berkali-kali terdengar pujian dari penonton di sesi tanya-jawab, beberapa orang bahkan bercerita kepada Hanya bagaimana tulisannya membuat mereka menangis penuh haru. Sesi tanda tangan buku yang terjadi setelah talkshow pun penuh dengan obrolan antar penggemar bukunya yang sedang menunggu giliran di antrian yang sangat panjang. Akhir malam pertama kami di SWF sungguh mengesankan, dengan diskusi yang sangat menarik dari Hanya Yanagihara dan pengunjung SWF.
Hari sabtu kami di Singapore Writers Festival dimulai pagi hari dengan sebuah panel mengenai perubahan dunia jurnalistik pada era digital. Panel yang terdiri dari Nisid Hajari dari Bloomberg dan Han Fook Wang dari The Strait Times bercerita mengenai bagaimana adanya internet mengubah struktur sebuah perusahaan berita, baik dalam perihal bisnis dan penulisannya. Beberapa insight yang muncul dari pembicaraan mereka termasuk bagaimana perusahaan media mengikuti tren yang dominan di ranah digital, yaitu konten gratis, sehingga mereka secara tidak sengaja mereka memojokkan diri untuk selalu menyiapkan konten gratis dan tidak bisa membuat income yang layak dari konten mereka. Iklan banner dan native advertising juga muncul, tetapi menurut kedua tamu ini, belum ada sumber dana yang layak untuk media online (menurut Nisid Hajari, perkecualian ini ada di sistem subskripsi The New York Times). Intinya, dari segi bisnis media berita masih dalam tahap menyesuaikan diri pada dunia digital, dan di masa mendatang akan banyak percobaan dalam membentuk model bisnis yang tepat. Dalam segi penulisan, kedua tamu setuju bahwa adanya internet membuat penulisan artikel lebih kaya dengan medium yang tidak lagi terbatas oleh teks. Dengan, video, foto, serta user experience yang bisa dibentuk dengan programming, penulis bisa menyampaikan pesan mereka dengan cara yang baru.
Setelah diskusi mengenai media di era digital, sebuah panel berjudul Piecing Histories Together mengeksplorasi cara tiga penulis meriset sejarah untuk karya mereka. Shawna Yang Ryan, penulis novel fiksi dari Amerika, bercerita mengenai riset dia di Taiwan yang dimulai dengan rasa penasaran pada latar belakang keluarganya. Dengan ketertarikan pada latar belakangnya yang serupa, Peter Van Dongen, graphic novelist seri “Rampokan” bercerita tentang latar belakangnya, mengenai kakeknya yang berperang sebagai tentara VOC di Indonesia, dan bagaimana sejarah keluarganya menginspirasinya untuk membuat seri novel grafis mengenai cerita kemerdekaan negara Indonesia. Frank Dikotter adalah sejarawan yang fokus pada sejarah Cina, dan di panel ini ia bercerita bagaimana dia mendapatkan akses pada ribuan dokumen yang menjadi dasar untuk trilogi buku mengenai bagaimana dampak komunisme pada rakyat Cina di era Mao Tse Tung. Panel yang penuh dengan anekdot pribadi menarik perhatian penonton, yang di sesi tanya jawab banyak melontarkan pertanyaan yang membuat 3 tamunya bercerita lebih mendetil mengenai pengalaman mereka.
Sesi yang kami kunjungi berikutnya adalah sebuah talk-show dengan Gail Carriger, seorang penulis yang ahli pada genre steampunk, sebuah subkultur fiksi yang mengarang sejarah alternatif terinspirasi oleh era gothic dan mesin yang memakai kekuatan uap. Mantan arkeolog, Carriger bercerita bagaimana steampunk adalah genre yang dia sangat gemari karena dia bisa berimajinasi tetapi juga bisa mencurahkan ketertarikannya terhadap detil-detil dunia ciptaannya. Meskipun ia berkata bahwa tak ada rencana yang pasti di dalamnya, Carriger telah membuat dunia fiktif yang kaya dengan detil karakter dan cerita melalui serialnya, suatu hal yang yang dia akui kadang membuat dia sendiri bingung.
Sesi yang berjudul Steampunk and Cephalopods dan dimoderasi oleh Khoo Sim Eng berjalan sangat santai. Gail Carriger senang bercanda dan sembari menjawab pertanyaan-pertanyaan dari penonton ia menyelipkan lawakan-lawakan yang menghangatkan suasana. Salah satu sesi yang paling menghibur, menurut beberapa penontonnya yang kami sempat ajak berbincang bercerita bahwa buku-buku yang Carriger tulis menyalurkan kepribadiannya – imajinatif, pintar, dan lucu.
Saat sabtu sore tiba, lantai dua The Arts House telah terisi dengan antrian panjang untuk memasuki ruangan The Chamber. Tamu-tamu ini ingin mendapatkan kursi terbaik untuk menikmati sesi wawancara bersama Gosho Aoyama. Bagi penggemar buku komik Jepang, Gosho Aoyama dikenal sebagai nama di balik Detektif Conan, serial misteri mengenai detektif cilik yang terkenal di dunia dan sudah jalan selama 20 tahun. Seperti yang bisa diduga, ruangan Chamber terisi penuh, dan mayoritasnya penggemar sejati serial Detektif Conan. Talkshow dengan Gosho Aoyama membahas topik-topik yang cukup sederhana mengenai perjalanan hidupnya di dunia manga, dan sesi tanya jawab yang awal-nya berkisar di proses kerjanya Gosho berubah menjadi semacam forum untuk fans militan Detektif Conan. Pertanyaan-pertanyaan dari audiens seputar kisah cinta di antara karakternya, dan banyak juga yang berusaha mendapatkan spoiler untuk cerita-cerita kedepannya. Bisa dimengerti jika penggemar kasual tidak bisa mengikuti pembicaraan sesi tanya jawab yang penuh dengan detil cerita serial yang memiliki 800 bab, tetapi antusiasme yang datang dari penonton sangat menghibur dan cukup menakjubkan.
Di ruang yang sama, sesi berikutnya adalah sebuah presentasi oleh Evan Puschak, sosok Youtuber yang dikenal sebagai The Nerdwriter, mengenai pemilihan presiden Amerika Serikat antar Hillary Clinton dan Donald Trump. Di channel Youtube-nya, The Nerdwriter membahas berbagai topik sebagai seorang narator ditemani oleh berbagai video dan gambar, latar belakang ini membuat presentasinya di ruang Chambers terasa cukup alami dimana Puschak terlihat nyaman di atas panggung. Mengenai topik pembicaraannya, Puschak membuka presentasinya dengan menunjukkan rasa kaget terhadap terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat beberapa hari sebelumnya. Untungnya, presentasi yang ia siapkan dari minggu-minggu sebelumnya mendukung hasil Pilpresnya. Di sesi yang berjudul Unravelling the US Presidential Election, Puschak mengangkat konsep narasi yang ditunjukan oleh kedua partai utama di Amerika, partai Democrat dan Republican. Menurutnya, narasi yang partai Democrat tunjukkan di tahun-tahun akhir ini tidak memberi jawaban kepada kelas pekerja Amerika yang khawatir mengenai prospek hidup mereka di ruang kerja yang semakin global serta kemajuan teknologi. Bagi si Nerdwriter, partai Republican mengambil kesempatan ini untuk merangkul kelas pekerja ini. Di kampanyenya, Donald Trump menguatkan kekhawatiran pekerja-pekerja ini dengan retorika dan solusi yang terdengar xenophobia, dan menunjukkan diri sebagai pemimpin yang bisa mengatasi ancaman luar ini. Inilah alasan mengapa Donald Trump berhasil menjadi Presiden Amerika Serikat menurut Evan Puschak. Ketrampilannya dalam presentasi menangkap perhatian seluruh audiens di Chambers, dan di akhir sesinya memberi sangat banyak pertanyaan mengenai konsep narasi yang diangkat olehnya.
Sesi terakhir yang kami hadiri di hari Sabtu berjudul Agit-Lit: Translators as Activists? Di sesi ini, tiga penerjemah, yaitu Elangovan, Max Lane, dan Mabel Lee diajak mendiskusikan peran mereka dalam mengangkat topik-topik sosial dan politis kepada masyarakat luas. Yang bisa dirangkum dari diskusi ini adalah bagaimana isu yang mau diangkat adalah milik si penulis, tetapi secara pribadi, setiap penerjemah memiliki kemampuan untuk memperkuat atau memperlemah pesan tersebut. Di dalamnya sempat muncul sebuah anekdot yang menarik. Elangovan bercerita bagaimana ia pernah berdebat dengan penulis yang karyanya sedang diterjemahkan. Menurut si penulis, Elangovan mengubah makna yang ia maksudkan, dan Elangovan menjawabnya dengan kata-kata serupa dengan “saya membuat karya kamu lebih bagus.” Komentar ini mengangkat pertanyaan mengenai peran si penerjemah dan seberapa banyak ia menginterpretasikan tulisan. Seperti apa kode etika seorang penerjemah? Bagaimana cara menyeimbangkan porsi interpretasi dengan terjemahan? Seberapa banyak makna yang hilang pada penerjemahan? Semua pertanyaan-pertanyaan ini berusaha dijawab oleh ketiga panelis di sesi ini. Sekitar jam setengah sepuluh sesi ini berakhir, para penerjemah menandatangani buku-buku yang terjemahkan di toko buku The Arts House. Aktivitas hari sabtu ini berakhir, dan kami beranjak kembali ke hotel untuk beristirahat sembari bersiap menyambut hari Minggu yang akan penuh dengan aktivitas di penutupan Singapore Writers Festival.
Hari minggu tiba, dan aktivitas pertama bagi kami hari itu sangat menarik: wawancara dengan Gosho Aoyama. Kami duduk di lorong The Arts House yang di pagi hari masih kosong dan berbincang dengan komikus ini serta rombongan penerbitnya mengenai industri komik Jepang dan bagaimana ia berhasil membuat serial Detektif Conan menarik secara konsisten selama beberapa dekade ini. Sosok yang ramah, setelah wawancara kami ia menandatangani buku komik yang kami bawa sebelum ia melanjutkan harinya dengan beberapa wawancara dengan media yang lain dan berbicara di beberapa panel Singapore Writers Festival.
Setelah wawancara dengan Gosho Aoyama berakhir, kami menghadiri panel Indonesia’s Spectre of the Past dengan Max Lane dan Peter Van Dongen. Max Lane adalah peneliti dan penerjemah yang telah membawa tulisan Pramoedya Ananta Toer kepada audiens internasional. Sebagai teman dekat Pram, Max Lane banyak bercerita mengenai persahabatannya dengan Pram di panel ini, dan sebagai peneliti, Max Lane banyak bercerita mengenai bagaimana tragedi seperti yang terjadi di 1965 adalah hal-hal yang kita harus hadapi karena hal seperti ini yang membentuk keadaan masyarakat Indonesia. Peter Van Dongen, seperti panel yang kami hadiri di hari Sabtu, bercerita mengenai kehidupan keluarganya dan peran mereka di era pembentukan Republik Indonesia. Salah satu hal yang menarik bagi kami adalah beberapa pertanyaan dari penonton di akhir sesi ini. Beberapa dari mereka bertanya mengenai kondisi Indonesia saat ini, yang menurut mereka kadang terdengar kisruh. Beberapa contoh yang sempat dibahas adalah demo kasus Ahok dan penistaan agama yang terjadi 4 November yang lalu, dan juga cerita kasus-kasus korupsi. Sebagai orang yang tinggal di Indonesia, perspektif yang kemungkinan besar terbentuk oleh liputan media sangat menarik. “Apakah ini gambaran tetangga kita mengenai Indonesia?” adalah pertanyaan yang muncul di kepala saat mendengarkan komentar mereka yang cenderung khawatir mengenai keadaan di negeri kita. Sesi ini diakhiri oleh jawaban Max Lane mengenai ideologi Islam garis keras yang terlihat semarak di Indonesia saat ini. Dengan tegas ia berkata bahwa ideologi mereka yang terdengar karena hanya grup Islam garis keras yang menyuarakan ideologi, dan bahwa secara garis besar Indonesia masih terdiri dari penduduk yang cenderung berperspektif moderat.
Di rencana awal, sesi berikutnya adalah sebuah talk show dengan Eka Kurniawan, penulis Indonesia yang sedang naik daun di kalangan literatur internasional. Tetapi berhubung kami mendapatkan konfirmasi untuk wawancara Evan Puschak, kami mengubah jadwal dan jalan ke auditorium National Gallery untuk menonton The Nerdwriter berbicara mengenai cinta di sesi yang berjudul Love, Actually. Terinspirasi oleh tema Sayang Singapore Writers Festival tahun ini, Love, Actually berusaha menjelaskan asal-usul definisi cinta yang sekarang sudah diterima secara universal. Terdorong oleh salah satu dosennya saat dia kuliah, Evan Puschak menjelaskan bahwa sebelum William Shakespeare menulis “Romeo and Juliet,” kisah dimana cinta adalah sebuah perasaaan yang suci dan tulus, manusia secara keseluruhan tidak pernah merasakan cinta dengan definisi yang kita ketahui.
Teori yang dia utarakan sangat menarik, bahwa dengan waktu dan progres, emosi yang manusia rasakan akan semakin rumit. Setelah presentasi dia selesai, kami berkesempatan untuk mewawancarai Evan Puschak setelah mengenai teori ini. Menurut dia, di masa mendatang manusia akan merasakan emosi yang lebih spesifik lagi, dan dengan kemajuan teknologi yang pesat serta gaya hidup, mungkin kita bisa merasakan sayang lebih mendalam dan lebih langsung dari sebelumnya.
Setelah wawancara dengan Puschak, kami berjalan menuju Victoria Theatre untuk menyaksikan puncak acara penutupan Singapore Writers Festival. Meskipun masih ada waktu sekitar satu-setengah sampai dua jam sampai acaranya mulai, antrian untuk mendapatkan kursi terbaik sudah dimulai. Di tahun sebelumnya, sesi debat ini diadakan di Chambers The Arts House, yang saking penuhnya pengunjungnya harus duduk di lantai. Tahun ini, auditorium besar Victoria Theatre memastikan bahwa semua pengunjung mendapatkan kursi yang nyaman. Mengenai acaranya sendiri, Singapore Writers Festival selalu ditutup dengan sebuah debat yang topiknya seputar tema besar festivalnya, yang kali ini adalah Sayang.
Memakai format debat yang akademis tetapi dengan eksekusi yang sangat menghibur, Closing Debates SWF menjadi highlight bagi semua pengunjungnya setiap tahun. Kali ini, yang didebatkan adalah “This House Believes that Singaporeans Are in the Mood for Love” – sebuah topik yang ringan dan pas untuk menghibur penonton. Delapan pembicara terpisah menjadi dua regu, dan setiap pembicara (yang terdiri dari penulis, pelawak, sosok online, dan pengacara) berusaha menarik simpati penonton dengan membuat mereka tertawa. Lawakan-lawakan yang diucapkan ditujukan kepada audiensi lokal, yang menangkap referensi dari dunia politik, gosip, sampai klise-klise yang unik kepada Singapura. Selama hampir dua jam audiens yang memenuhi Victoria Theatre tertawa, bahkan ikut melontarkan lawakan mereka kepada pembicaranya. Pada akhirnya, tim oposisi memenangkan dukungan penonton, dan konklusi debat ini adalah “Singaporeans are NOT in the mood for Love.”
Closing Debates telah usai, dan dengan itu pula gelaran Singapore Writers Festival 2016 juga selesai. Sebuah afterparty menunggu kami di halaman The Arts House, dimana sebuah buffet dengan berbagai jenis makanan sudah disiapkan. Sambil duduk di beanbag, makan, dan berbincang dengan pengunjung yang lain, bisa dilihat berbagai sosok literatur dan pembicara yang sedang menikmati suasana malam penutupan ini. Mengingat bagaimana festival literatur internasional seperti Singapore Writers Festival adalah kesempatan untuk eksplorasi opini dan membuka wawasan, apa yang sedang kami saksikan adalah rangkuman apa yang kami dapat dari akhir pekan penutupan Singapore Writers Festival – perspektif dan opini yang beragam berkumpul di satu tempat.