Peta musik lokal semakin berwarna sejak akses terhadap informasi semakin terbuka. Jika dulu televisi dan radio menjadi sumber berita utama, dan dengan demikian mereka dalam beberapa aspek menyeragamkan selera publik, kini mata dan telinga publik semakin terbuka dan bisa menemukan apa yang sesuai dengan selera. Jarak antara budaya mainstream dan sidestream semakin tipis, pula adanya dengan pesatnya perkembangan pusat-daerah yang semakin setara. Belakangan bahkan muncul berbagai gebrakan menyenangkan dari luar kota besar, sebuah bukti baru yang mengingatkan kita kepada cerita lama tentang betapa bumi kita penuh talenta.
Semiotika adalah salah satu personifikasinya yang paling nyata. Datang dari pesisir timur Sumatera, mereka mencuat dengan musik post-rock berkualitas. Jika dulu kita hanya mengenal poros Jawa – Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya – Semiotika mengingatkan bahwa masih ada banyak potensi di luar sana, dan Jambi adalah salah satu muaranya. Bibing (gitar), Riri (bass), dan Gembol (drum) juga membuktikan bahwa mereka memiliki etos yang ulet, tak lama sejak merilis album “Ruang” secara independen, mereka menggelar tur ke lima kota besar dan membuat nama mereka semakin melekat di kepala. Untuk menjawab pertanyaan mengenai apa sebenarnya yang terjadi di skena Jambi, kami berbincang bersama Semiotika mengenai berbagai aktivitas kreatif yang hidup di kota yang dibelah oleh Sungai Batanghari ini.
Venue Musik
Cukup banyak tempat-tempat yang sering menjadi venue berbagai acara kreatif di Jambi, salah satunya adalah rentable space di gedung-gedung seperti Auditorium RRI dan Gedung Olah Seni (GOS) Kotabaru. Namun, banyak penggerak skena kreatif di Jambi yang bergerak secara independen, sehingga format studio gigs yang berskala relatif kecil kemudian menjadi pilihan. Tempat yang sering kali mengadakan gigs antara lain Raw Music Studio. Selain itu, Samjoy Studio juga familiar di telinga para penikmat gigs sebagai venue yang mulai terdengar sejak tahun 2009.
Pengadaan gigs juga didukung oleh distro-distro lokal seperti Reject dan Grindsick Merch. Sebagian space dari distro mereka diberikan untuk menjadi sebuah alternative space. House of Suffering, sebuah alternative space yang berada di lantai dasar distro Reject, adalah salah satu venue populer yang di tahun 2016 mengadakan gigs berkala dengan judul “Weekend Suffer”. Demikian pula halnya dengan Grindsick House, alternative space yang sering mengadakan gigs paling tidak sebulan sekali. Untuk sebuah daerah yang terbilang kecil, gigs cukup sering diadakan. “Mungkin sekarang ada sekitar 2 minggu sekali,” ucap Riri Ferdiansyah, bassist Semiotika, band asal Jambi yang baru saja menjadi pemenang Go Ahead Challenge 2017.
Genre Musik
Dari banyaknya gigs yang diadakan dan banyaknya band lokal yang berpartisipasi, terlihat bahwa ranah musik keras adalah genre yang populer di Jambi. Sebut saja Bigmouth, Only Sick, dan Brother Brandals yang namanya sering menghiasi skena underground daerah ini. Jambi Ground Fest 2015 juga menjadi acara yang didominasi band musik keras dan perhelatannya cukup signifikan di tanah Jambi. Beberapa band yang patut menjadi perhatian adalah Villain yang membawakan lagu-lagu post-hardcore dan Titinaka yang tampil dengan genre rock’n roll. Sementara itu, My First Impression tampil dengan lagu-lagu pop jazz. Genre-genre ini memberi tambahan warna dalam skena musik Jambi.
Komunitas Kreatif
Bagaimana dengan subkultur lainnya? Satu hal positif di Jambi adalah tidak ditemuinya pengotakan skena. Sebagai buktinya adalah Solid Bond Gathering, sebuah acara yang melibatkan tidak hanya musisi-musisi lokal untuk tampil di panggung, namun juga pelaku subkultur lain seperti seniman dan sastrawan. Sepanjang tahun 2017, Solid Bond Gathering mengadakan event periodik bertajuk “NGAMARRR” yang tidak hanya berupa pertunjukan musik namun juga performance art. Seniman lokal otodidak yang banyak bergerak di bidang seni tato seperti Wawan Tronggoz, juga mengisi acara ini. Di samping itu, stand-up comedy, pustaka baca, dan grafitti art juga turut mengisi Solid Bond Gathering. Komunitas seni Jambi seperti Kejam (Kreativitas Jambi) juga menunjukkan dukungannya untuk Solid Bond Gathering.
Karya Seniman Lokal
Bagi para pelaku kreatif Jambi, kondisi lokal daerah mereka merupakan inspirasi untuk berkarya. Isu budaya dan sosial sering menjadi topik karya mereka, menyuarakan suara hati dan juga protes. Sebut saja lagu “Gersang” yang dibawakan Semiotika. Melodi lagu tersebut menceritakan tentang kebakaran hutan massal yang melanda Sumatra dan Kalimantan di tahun 2015 silam. Seniman muda Bona Pakpahan, yang berstudio di DapurSeni, juga menceritakan peristiwa kebakaran tersebut melalui lukisannya. Sementara itu, Kubu Riot, sebuah band punk yang tampil secara akustik, menyinggung isu-isu sosial yang dapat ditemui di Jambi.
Melalui kerja kerasnya, Semiotika membawa nama Jambi ke permukaan dengan kualitas musik yang mereka bawakan. Kerja keras Semiotika terbayar saat mereka tepilih menjadi juara di kompetisi kreatif Go Ahead Challenge 2017 untuk subkultur musik. Nantinya bersama tiga juara dari subkultur musik dan visual art, Semiotika akan diterbangkan ke Amerika untuk menjalani perjalanan kreatif. Simak terus GoAheadPeople.id untuk mengikuti perjalanan para juara Go Ahead Challenge 2017!