Ada dinamika yang terus berjalan pada bagaimana sebuah brand membawakan dirinya kepada publik. Ada masa di mana brand ditempatkan di muka demi eksistensi nama mereka, sebelum tak lama berselang strategi yang demikian membuat presence mereka yang berlebihan terasa memuakkan. Bergulir kemudian siasat baru yang menempatkan brand pada posisi yang lebih subtle (bentuknya bisa dilihat pada konsep native-ads dan sponsored contents). Namun yang satu ini pun rasanya juga tak akan berumur panjang, dimana sudah mulai muncul banyak kritik yang mengulas bagaimana native ads tak lagi relevan dengan bagaimana pola ini mengkerdilkan nalar publik yang dibuat seolah bisa dengan mudah “dibohongi” dengan iklan yang lebih “tersembunyi”. Belum lagi mengenai bagaimana beberapa brand yang berusaha mengadaptasi konsep native-ads namun belum rela menganggalkan presence brand mereka (biasanya pola yang seperti ini hanya akan menghasilkan kerancuan). Sementara temuan baru berusaha digali, rasa-rasanya perkembangannya akan bergulat diantara konsep-konsep lama yang telah ada sekarang.
Entah disengaja atau tidak, sebuah arahan baru muncul diantara pameran “Design Anatomy: A method for seeing the world through familiar objects” yang digelar di 21_21 DESIGN SIGHT, sebuah galeri/venue pameran yang yang terletak di area Midtown, Akasaka, Minato-ku, Tokyo, Jepang. Digelar sejak 24 Oktober 2016 dan berlangsung hingga 22 Januari 2017, pameran ini merupakan pameran yang mendedah anatomi dari berbagai produk dari sudut pandang desain. Lantas darimana konsep baru mengenai branding itu muncul? Jawabannya tercetak jelas pada poster pameran yang menampilkan logo dan produk “Meiji” sebagai sponsor acara dengan gamblang.
Sulit untuk menahan gagasan yang muncul saat mengunjungi pameran ini. Di awal pameran, pengunjung diperkenalkan dengan tema sekaligus konsep “design anatomy” yang menjadi spirit utama eksibisi ini. Ada sekitar 6 objek dibedah dalam arti sebenarnya, sebuah disposable camera yang diperbesar dipotong tepat di tengah, hingga sebuah pola jahitan direplikasi dalam ukuran yang gigantik, semua untuk menunjukkan bagaimana sebuah produk bekerja dan menjalankan fungsinya. Setelah pengantar mengenai konsep anatomi desain tersebut, alur pameran kemudian mengarah pada ruangan utama eksibisi. Di dalamnya, produk Meiji dilucuti hingga elemen terkecilnya dan dibahas satu per satu secara fungsi dan filosofi. Total ada tiga produk yang dibahas tuntas dari produsen snack asal Jepang ini, yang pertama adalah snack biskuit coklat yang berbentuk jamur (replika jamur bertangkai biskuit dengan cawan berbahan coklat), es krim, dan susu kotak bikinan Meiji.
Sepanjang pameran, pengunjung diajak untuk melihat dari dekat tentang bagaimana sebuah produk dibuat, mulai komposisi bahan dasarnya hingga elemen terkecil yang membentuk dan terpampang di packaging-nya. Mungkin ini ada hubungannya dengan budaya Jepang yang selalu penuh perhatian, rapi dan mendetail, semua komponen pameran ini terasa penting adanya dan tak dibuat-buat sekadar untuk menambah konten pameran semata. Sebagai eksibisi, pameran ini juga memiliki beberapa sesi interaktif, dan sekali lagi interaktivitas di sini juga tampil bukan untuk menjadikan pameran ini sebagai bagian dari tren terkini, tapi lebih sebagai elemen yang tepat guna dan perlu adanya.
Dari sudut pandang desain, pameran ini juga sangat membuka pikiran. Tentang bagaimana desain menjalankan fungsi, sekaligus menjawab kebutuhan estetik di saat yang sama. Perspektif ini dibuka dengan model analisa anatomi desain yang membuat kita melihat lebih dalam dari bagaimana sebuah desain tercipta. Tentang font yang dipilih, skema warna hingga bagaimana informasi ditata sedemikian rupa pada kemasan produk.
Ada sebuah quote menarik dari seorang desainer asal Amerika, Joe Sparano yang mampu menjelaskan bagaimana esensi pameran ini pada khasanah desain grafis dunia, “Good design is obvious. Great design is transparent.” Statement tersebut terasa hidup dan nyata di eksibisi “Design Anatomy”. Secara konsep, memang inilah yang berusaha disampaikan oleh Taku Satoh, tokoh desain grafis Jepang sekaligus pengajar desain yang menjadi exhibition director dari pameran ini. Di pengantar pameran, Taku menyatakan esensi mengenai bagaimana produk yang ada di sekitar kita kadang dikonsumsi tanpa ada transaksi nilai di antara produk dan sang konsumen. Bahwa desain dan elemen ekonomi/marketing sering berjalan dalam jalur yang berbeda, padahal menurut pandangannya, karya desain yang baik harusnya bisa berjalan beriringan dengan pesan dan fungsi yang ada.
Dan, disitulah titik bagaimana pameran ini mengemukakan konsep baru pada strategi branding terkini. Bahwa dengan konsep yang matang, filosofi yang tepat serta kualitas produk yang mumpuni, sejatinya brand bisa bercerita dengan lebih nyaman dan terbuka dengan konsumennya, tanpa harus bersembunyi dibalik term-term marketing seperti native-ads. Ini bisa dirasakan pada bagaimana eksibisi yang sejatinya berfungsi sebagai “iklan” bagi Meiji ini tetap menjadi pengalaman yang menyenangkan, bahkan ketika logo Meiji menghiasi sekitar 60-70% konten pameran. Pula mengenai bagaimana arahan yang demikian bisa membuat publik belajar mengenai nilai-nilai dari sebuah brand tanpa harus merasa jengah, bahkan justru merasa mendapat pengetahuan sekaligus hiburan di saat yang sama.
Mungkin, sebenarnya ini bukan konsep yang sepenuhnya baru, beberapa tahun terakhir praktek yang seperti ini bisa kita lihat pada naiknya nama “Brand and Balance”, sebuah majalah asal Korea yang tiap edisinya membahas satu brand secara menyeluruh dari berbagai sudut pandang. Tapi yang jelas sebagai sebuah pengalaman, eksibisi “Design Anatomy Exhibition” adalah salah satu yang terdepan dalam mengemukakan gagasan yang demikian. Karena di akhir perjalanan menikmati pameran, sulit membendung keinginan untuk merasakan sendiri produk Meiji yang dipamerkan, sembari mendiskusikan betapa menariknya desain kemasannya. Dan, jika dilihat dari sudut pandang brand, bukankah ini mimpi yang jadi kenyataan?
21_21 DESIGN SIGHT
9-7-6 Akasaka, Minato-ku, Tokyo
tel:03-3475-2121
info@2121designsight.jp