Yang Dihadapi Setelah Lulus: Harapan yang Terlucuti, Kebahagiaan yang Tereduksi
Pada submisi open column kali ini, Muhammad Daud Yusuf menceritakan kegelisahan sebagian anak muda yang sempit pilihan saat mereka lulus dan pada akhirnya mereka harus berkompromi dengan kebahagiaan diri sendiri.
Words by Whiteboard Journal
Mungkin beberapa dari kita mengalami hal yang sama. Hal-hal yang sebenarnya selalu kita tanyakan setiap saat pada diri kita sendiri dan pada akhirnya kita hanya bisa merenungkannya saja karena dirasa jawabannya adalah jawaban yang imajiner. Imajiner dalam artian hanya berada di tataran imajinasi yang kita tahu bahwa hal tersebut sulit bahkan hampir mustahil untuk dilakukan oleh sebagian orang, menimbang risikonya terlalu tinggi untuk diambil. Bisa jadi antara risiko ekonomi, sosial, kesehatan, dan lainnya yang memang merupakan trade-off dari konsekuensi akan imajinasi itu. Lebih lanjut lagi, imajinasi inilah yang menjadi buah pikiran yang selalu merenggut kebebasan-kebebasan yang seharusnya mutlak dimiliki kita tanpa kecuali, dan hal ini tentunya berakar dari risiko-risiko yang tadi telah disebutkan.
Memang betul, akses untuk mendapatkan pendidikan tinggi tidak dimiliki semua orang. Bahkan tidak semua orang di Indonesia dapat mengenyam pendidikan hingga SMA. Maka dari itu, pendidikan hingga sarjana tentu merupakan kesempatan yang langka menimbang tidak semua orang bisa mencapai level pendidikan tersebut. Bertahun-tahun berjibaku dengan kerangka akademis, dituntut berpikir dan menjadi intelektual hingga akhirnya menyelesaikan pendidikannya dengan jalurnya masing-masing. Lalu setelah itu semua usai, beberapa dari mereka ada yang memilih untuk melanjutkan studi, ada yang memilih bekerja, ada yang memilih untuk membangun organisasi atau bisnis, dan lainnya.
Namun sayangnya kata “memilih” tidak seutuhnya menjadi kata representatif mengenai pilihan anak muda setelah usai menempuh masa pendidikannya (terlepas hingga tingkat universitas atau tidak). Instead of “memilih”, banyak dari mereka justru “terpaksa” melakukan hal tersebut. Memang, sebagian dari kita terpaksa harus memikul tanggung jawab lebih dikarenakan kondisi ekonomi yang mengharuskan mereka mengambil pekerjaan agar bisa menghidupi dan meringankan pemenuhan kebutuhan keluarga atau kerabatnya. Selain itu juga ada sebagian dari kita yang menjadi korban dari kultur feodalisme yang masih mengakar kuat di negeri ini. Mereka tidak bebas memilih apa yang mereka inginkan karena dibenturkan dengan keinginan orang tuanya melalui premis “bahwa orang tua selalu benar”. Namun, nyatanya keterpaksaan ini tidak hanya muncul atas desakan situasi tersebut saja. Seiring dengan perkembangan waktu, kita justru dihadapkan pula dengan opsi pilihan-pilihan yang sempit.
Mungkin salah satu antara lainnya karena kita sebagai manusia selalu dihadapkan dengan pilihan yang berpola biner, seperti iya atau tidak, like atau dislike, accept atau reject, + atau -, dan bineritas lainnya yang dimana merupakan implikasi akan sangat dekatnya kita dengan teknologi. Hal ini juga tentu mulai berdampak pada kehidupan keseharian yang dimana seakan-akan pilihan yang selalu muncul didepan kita antara lain adalah kaya atau miskin, cuan atau rugi, kerja atau nganggur, dan hal lainnya yang selalu menjadi sorotan publik. Padahal tidak selamanya opsi kedua selalu berkonotasi lebih rendah dari opsi yang pertama. Seperti halnya nganggur, nganggur tidak seutuhnya berkonotasi buruk bahkan nganggur pun sebetulnya merupakan opsi hidup yang perlu tetap dihormati. Bisa jadi orang tersebut memilih nganggur untuk merawat orang tuanya atau justru orang tersebut sedang mempersiapkan sesuatu hal yang dirasa akan lebih worth di kemudian hari ketimbang pragmatis langsung bekerja sesuai dengan lowongan yang tersedia. Karena pada akhirnya manusia tidak bisa dinilai dengan opsi-opsi biner saja menimbang bahwa manusia tidak bisa dikuantifikasi seutuhnya seperti halnya mesin.
Bukan permasalahan krisis pilihan saja yang kita hadapi, namun persoalan akan identitas juga merupakan pr tambahan lainnya. Hidup di “jaman now” yang dimana social presence merupakan aspek yang diglorifikasi sedemikian rupa, hal tersebut justru menimbulkan malapetaka yang akut. Seiring dengan semakin inklusifnya akses internet dan perkembangan sosial media, ruang komunikasi digital tentu mengalami ekspansi ke hal lain yang dimana sangat berimplikasi terhadap keseharian hidup masing-masing orang. Bentuk komunikasi yang diawali dari medium teks, lalu berkembang menjadi visual, audio visual, dan pada akhirnya menjadi kombinasi dari semua medium tersebut memungkinkan pertukaran informasi yang terjadi di hari ini bukan hanya sebatas pada spektrum informasi berita atau kabar saja, namun spektrum lainnya pun dapat terakomodir dalam sosial media seperti halnya eksistensialisme individu dan kelompok.
Berbicara mengenai eksistensialisme, tentunya hal tersebut memberi dampak yang signifikan kepada setiap individu. Seperti apa yang dikatakan oleh salah satu penulis tersohor Prancis yakni Albert Camus, eksistensialisme justru memberi ancaman. Dengan adanya identitas, justru hal tersebut memunculkan perbedaan yang dimana berpotensi menimbulkan konflik pula. Padahal identitas justru adalah bukan hal yang statis, dalam tanda arti tidak diam berhenti dan akan berubah-ubah. Identitas justru akan melekat di saat kita sudah meninggal, karena pada saat itu sudah tidak mungkin kita melakukan tindakan apapun. Lantas, untuk apa berlomba-lomba mengejar sesuatu yang sifatnya semu (karena identitas sesungguhnya akan melekat setelah kita meninggal) bahkan hal tersebut juga justru mempersempit bahkan mengancam wilayah kebebasan diri kita masing-masing? Mudah bagi saya mengatakan hal ini, namun pada kenyataannya kita memang hidup di dunia yang absurd.
Tidak sampai situ saja, namun parameter baik atau buruknya hidup juga selalu diafilisiasikan dengan seberapa harta yang kita punya. Lagi-lagi, objek yang bisa dikuantifikasi dijadikan sebagai alat ukur penilaian individu. Hidup di pusat kota perekonomian negara atau di kota-kota besar lainnya, aspek ekonomi merupakan dialog primadona yang tiada henti dibicarakan. Sebagian orang gelisah dan bahkan stress membicarakan bagaimana membentuk portfolio saham dengan return yang maksimal karena baru saja beberapa jam yang lalu aset sahamnya anjlok dan ada juga sebagian orang sedang pusing dikejar kredit dan paylater nya karena kebutuhan-kebutuhannya agar bisa unjuk gigi di panggung sosial. Padahal mereka sebetulnya memiliki opsi lain untuk tidak berkecimpung dalam medan-medan tersebut. “The things you used to own, now they own you” – Chuck Palahniuk.
Berbicara mengenai kebahagiaan, ada salah satu wilayah di Salvador yang bernama Alagados yang nampaknya perlu saya ceritakan juga dalam tulisan ini. Daerah Alagados ini merupakan daerah “slum” yang paling besar di Amerika Latin pada saat itu. Sebagian besar wilayah ini adalah tempat pembuangan sampah yang dimana menjadi tempat penampungan sampah kota Salvador. Seiring dengan berjalannya waktu, sampah-sampah yang dibuang ke teluk itu kemudian menjadi daratan sampah. Alhasil daratan ini dijadikan sebagai hunian bagi tunawisma setempat.
Tentu bagi mereka yang tinggal di tempat tersebut mengalami hidup yang cukup berat. Upah yang rendah, kekurangan gizi, angka kematian bayi yang tinggi, dan tingkat kesehatan yang tentunya sangat rendah. Persepsi publik jika ditanyakan mengenai pendapatnya tentang Alagados mereka akan menjawab “kekacauan”.
Namun nyatanya, hal tersebut sangat berbeda dengan persepsi publik. Justru orang-orang ini hidup dalam kerukunan. Mereka memiliki sistem pengaturan yang baik dan terorganisir. Mereka justru melakukan ini bukan karena campur tangan dari pihak luar, namun atas itikad mereka masing-masing. Tak diduga justru tingkat kriminalitasnya sangat rendah, bahkan hanya ada 6 polisi saja yang bertugas di wilayah Alagados. Salah satu juru bicara dari proyek penelitian ini untuk daerah tersebut mengatakan “Anda memang melihat kemiskinan di daerah ini, tetapi anda tidak melihat penderitaan. Orang-orang disini cukup berbahagia”. (Cerita ini saya ambil dari Buku Piramida Pengorbanan Manusia karya Peter L. Berger)
“You are not your job, you’re not how much money you have in the bank. You are not the car you drive. You’re not the contents of your wallet. You are not fucking khakis. You are all singing, all dancing crap of the world” – Chuck Palahniuk