Untuk Mama
Sebuah introspeksi terhadap peran seorang ibu dalam keluarga yang ditulis oleh seorang anak.
Words by Whiteboard Journal
Ada renungan panjang pagi ini. Tutur singkat dari mama membuka mata saya semerta-merta. Beliau melihat saya belakangan ini tampak murung, capek, dan jarang sekali berbagi cerita bersamanya. Aneh rasanya. Beliau yang kini semakin berjarak dengan saya, tapi justru paling mengerti apa yang sedang bergejolak di hati. Rasa yang selama ini sulit saya pahami, langsung masuk akal saat beliau mengarifi. Beliau yang seringkali saya lupakan di antara keseharian, justru adalah sosok yang paling saya butuhkan.
Mama adalah sosok yang luar biasa bagi saya. Ia bisa hidup legowo saat keadaan mengharuskan untuk mengesampingkan ego diri, juga bisa menguasai berbagai situasi, bahkan saat berhadapan dengan yang tricky. Sebuah hal yang saya rasa juga dijalani sosok mama, ibu, di luar sana. Mereka dihadapkan pada situasi-situasi yang challenging on a daily basis. Sebuah pola hidup yang membutuhkan skill management tingkat tinggi. Manajemen emosi, keuangan, waktu, diri sendiri, hingga manusia lain. Tapi, entah bagaimana caranya, mereka bisa membungkus semuanya dengan kehangatan dan cinta, regardless of anything.
I haven’t been a mom, and my writing is written in a point of view of a daughter. Yet, I want to be and aspire to be a mother. Because one thing I learn from mothers; you will need to be independent and believe that happiness always comes from yourself. Your children will be dependent on you, so is your husband, as a partner.
Saya ingat perkataan bapak waktu saya masih kecil, “Bapak itu perlu mama, karena seringkali yang memberi cinta ke orang lain itu adalah perempuan. Laki-laki itu biasanya mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu.”
Tanpa menafikkan peran suami, rasanya ada posisi besar yang dipegang oleh seorang ibu dalam sebuah keluarga. Ada dua peran yang ia jalankan: menjadi ibu sekaligus istri. Dua posisi yang menempatkan tanggung jawab besar pada pundak mereka. Apalagi di saat-saat di mana kehidupan terasa semakin temaram. Contoh paling nyata terjadi pada keluarga kami; bapak meninggal dunia.
Di tengah duka kami semua saat itu, mama menguatkan kami semua. Saya melihat tidak ada yang berubah dari beliau. Sedih? Pasti. Tapi, berubah? Tidak. Sebisa mungkin, beliau berusaha agar kami semua tetap berada dalam kondisi emosi yang sama dengan ketika bapak masih ada.
Saya bukanlah seorang putri yang ideal, masih perlu banyak belajar untuk bisa menjadi seorang ibu yang baik. Saya harap, pembelajaran akan datang seiring mendewasa nanti. Semakin bertambahnya usia, saya semakin merasa bahwa Mama adalah sahabat sejati saya. Saya semakin mengerti apa yang selama ini Mama selalu ucapkan ke saya. Apa yang selama ini orangtua saya ucapkan, finally makes sense as I grow older.
Mama mengakhiri perbincangan pagi ini dengan sebuah pesan, “Pokoknya, apapun yang kamu jalani, make sure kamu menjalaninya dengan ikhlas. Kalau sampai sudah susah buat kamu untuk ikhlas, it’s time to move forward. Try new things.”
Dan, mulai hari ini, saya akan mencoba melakukan hal baru. Setiap hari, saya akan menyempatkan waktu untuk bertanya, “Mama apa kabar hari ini?”