The Rebirth of Text(s): Twitter dan Demokrasi Digital
Tentang memudarnya pemisahan antara ranah privat dan ranah publik dalam platform digital.
Words by Whiteboard Journal
“…the unity of a text is not in its origin, it is in its destination, but this destination can no longer be personal: the reader is a man without history, without biography, without psychology.”
Roland Barthes, The Death of the Author
Twitter telah menjadi digital space raksasa yang menampung bermacam “wujud” penggunanya. Jutaan tweet diproduksi sekaligus dikonsumsi di saat yang bersamaan, Twitter menjadi latar bagi gagasan-gagasan yang diekspresikan, dipertemukan, didukung, diadu, hingga diperdebatkan. Namun dalam penggunaannya, kita seringkali lupa bahwa pada platform digital seperti Twitter, batas antara “yang privat” dan “yang publik” telah memudar.
Memudarnya pemisahan antara ranah privat dan ranah publik ini telah melahirkan kemungkinan-kemungkinan yang melampaui batasan dalam komunikasi secara langsung; mulai dari interaksi, substansi, hingga interpretasi. Ruang dan waktu seakan lenyap, semua orang terhubung. Fitur-fiturnya memungkinkan para pengguna untuk mengekspresikan apapun yang ada dalam pikiran mereka. Tweet ditulis secara personal, namun pesan yang ada di dalamnya bisa menyangkut publik.
Sensasi akan kebebasan berpendapat yang tidak terpisahkan dari nilai demokrasi, memungkinkan setiap tweet untuk melebar ke percakapan dan diskusi yang melibatkan ratusan hingga ribuan pengguna lainnya melalui fitur reply dan retweet. Twitter memiliki kekuatan untuk mempersatukan, tapi juga memiliki kekuatan untuk mendorong perpecahan. Ketika terjadi perbedaan pendapat dan muncul pertengkaran, para pengguna tak segan untuk memaki satu sama lain, sekalipun di dunia nyata mereka tak saling mengenali.
Sebagai contoh, seorang pengguna membuat tweet mengenai restoran A, ia mengeluhkan menu sotonya yang hambar dan tidak dimasak dengan baik. Beberapa saat kemudian, pengguna lain memberikan komentar bahwa daripada makan di restoran A, lebih baik mencicipi soto di restoran B. Lalu, muncul pengguna ketiga yang memberi komentar bahwa walau soto di restoran B cukup lezat, tapi pelayanannya sangat buruk. Hingga akhirnya, muncul pengguna keempat yang berpendapat bahwa soto buatan ibunya lah yang paling lezat. Kemudian, perbincangan dalam tweet tersebut justru berputar pada adu argumen mengenai berbagai perspektif individual yang akhirnya semakin melebar dari pesan utama tweet pertama. Pengguna pertama bisa saja merasa kesal, karena pendapatnya yang sederhana “ditantang” oleh pengguna lain. Sebuah tweet sederhana yang berisi keluh kesah pengalaman sehari-hari, telah memicu serangkaian perdebatan sengit mengenai soto.
Lalu, siapakah yang benar dan muncul sebagai pemenang dari perdebatan tersebut? Jawabannya, tidak ada. Sebab pertanyaan yang mungkin lebih tepat adalah, mengapa harus ada yang menang dan kalah dalam perdebatan tersebut?
Betapa mudahnya seseorang atau sekelompok orang tersulut untuk merespon sebuah tweet, memantik sebuah refleksi mengenai teks dan interpretasi. Roland Barthes, dalam esainya yang berjudul “The Death of the Author”, menyebutkan bahwa kesatuan dari sebuah teks terletak bukan pada penulisnya, melainkan pada pembacanya. Ketika teks diproduksi, ia telah menjadi milik pembacanya; pembaca yang sifatnya tak terhingga. Begitu juga dengan yang dikatakan oleh Jacques Derrida ketika dirinya menggagas dekonstruksi teks. Sebagai filsuf post-modern dan post-strukturalis, Derrida menolak kekuasaan tunggal dalam memaknai teks. Tidak ada gagasan yang sifatnya “utama”, setiap interpretasi terhadap sebuah teks bersifat setara. Poin utama dari dekonstruksi yang ditawarkan Derrida adalah untuk menolak keutamaan. Termasuk keutamaan diri kita sendiri.
Baik Barthes maupun Derrida, keduanya sama-sama menolak kepemilikan tunggal dari teks. Mereka telah membuka ruang diskusi yang penting mengenai keragaman makna dan interpretasi yang menjadi alternatif dari kultur polarisasi. Dengan demikian, sesungguhnya teks yang terkandung pada template 280 karakter tersebut akan terus diinterpretasikan secara berbeda-beda dan oleh karenanya akan terus dilahirkan kembali melalui setiap pembaca.
Di Twitter, banyak orang berlomba-lomba untuk mengadu argumennya. Mungkin inilah bentuk konkret dari demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Atau bisa juga merupakan pertanda sifat intoleran yang telah mengakar adanya. Kecepatan yang ditawarkan oleh komunikasi digital tampaknya juga telah memicu kecepatan dalam bereaksi. Perbincangan hingga perdebatan bisa dimulai dalam hitungan detik setelah seseorang melempar sebuah opini, dan perdebatan pun bisa selesai secepat ia dimulai.
Mengamati apa yang terjadi di Twitter maupun media sosial lain, rasanya kesadaran kita terhadap demokrasi masih terbatas pada ideologi kebebasan yang sifatnya individualistis dan terkadang cenderung egoistis. Ketika perdebatan terbit di Twitter, banyak pengguna yang memusatkan argumen untuk membela pendapat mereka masing-masing, tanpa menyadari bahwa orang lain berhak memberi interpretasi yang berbeda terhadap teks yang telah mereka produksi. Hal ini sepertinya turut didukung oleh tingkat literasi yang rendah di antara para pengguna. Berapa banyak dari kita yang sering mengomentari suatu pendapat tanpa mencerna terlebih dahulu apa yang sesungguhnya disampaikan?
—
Ini adalah cuplikan dari salah satu isi buku Whiteboard Journal Open Column, dikurasi oleh Cholil Mahmud, Cecil Mariani dan Irwan Ahmett buku ini berisi 20 tulisan yang membahas gagasan serta pertanyaan dalam bahasan tentang kesetaraan dan keragaman. Baca tulisan selengkapnya di buku Whiteboard Journal Open Column.