The Person I Didn’t Become After My Mother’s Death
Dalam submisi column ini, Tri Subarkah merenungkan kehidupannya setelah kepergian sang ibunda serta bagaimana hal itu memperjelas kontras antara dua fase tersebut, dan tidak dimungkiri, memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru terkait jalan hidup yang kini ditempuhnya.
Words by Whiteboard Journal
Aku ingat malam-malam saat ibu datang ke kamarku. Menumpang tiduran sebentar barang satu sampai dua jam sebelum ia kembali ke kamarnya—lalu melanjutkan tidur sampai pagi. Ibu akan memintaku memijati punggung dan kakinya. Seperti orang tua kebanyakan, ibu selalu merasa letih dan hidup dalam keinginan konstan untuk mendapat kenyamanan. Dalam benak ibu, dipijat oleh anak bungsunya mungkin adalah kenyamanan termudah yang bisa ia raih.
Malam-malam saat aku memijati punggung dan kaki ibu merupakan arena percakapan transaksional dan canggung terjadi. Kadang aku mengutarakan keinginanku, minta dibelikan ini itu, sebelum merealisasikan permintaannya. Kadang justru ibu duluan yang akan menawariku dibelikan ini itu, sebelum aku memintanya. Apakah ibu dan anak menciptakan bahasa yang hanya dimengerti mereka berdua?
Satu malam ibu pernah bertanya apa saja yang telah aku pelajari di bangku kuliah. Aku akan menjelaskan sekadarnya, yang penting ibu tidak tenggelam oleh misinformasi dari orang-orang di luar sana tentang kelakuan mahasiswa filsafat. Sayangnya, aku terlalu naif. Sebab, setelah aku beri pemahaman, ibu akan mengingatkanku tentang kewajiban sembahyang. Sebagai orang tua, kewaskitaan ibu terhadapku sungguhlah tajam. Dan kalau begitu caranya, aku cuma bisa berkilah, mengajukan nota pembelaan sambil menegaskan bahwa aku sudah dewasa dan berhak memutuskan jalan hidup sendiri.
Biar bagaimanapun, ibu tidak akan marah. Kecewa, mungkin. Atau bisa jadi bingung untuk menjelaskan kepada saudara-saudaranya jika mereka mendapati aku ternyata tidak pernah sembahyang. Biar bagaimanapun ibu tidak akan marah, sebab malam berikutnya ia akan tetap memintaku memijati punggung dan kakinya—dan kami akan bicara hal baru lagi.
Malam lain giliran aku yang bertanya bagaimana ia bisa bertemu bapak sampai akhirnya memutuskan untuk menikah. Aku tahu ini topik yang akan membuat ibu malu, entah apa sebabnya. Barangkali karena ia perempuan jawa old-fashioned yang tidak membicarakan petualangan cintanya kepada anaknya. Setelah menceritakan awal mula pertemuannya dengan bapak—yang ternyata tidak terlalu menarik—ibu akan berpesan agar suatu saat nanti aku tidak menikah dengan perempuan dari suku … (Kalau diingat-ingat, omongan ibu ini memang sedikit rasis. Karena itu, harus aku sensor)
Dengan atau tanpa diminta, ibu juga akan memberi petuah hidup saat aku mulai mengeluh betapa dunia tidak berjalan sesuai yang kubayangkan. Pada akhirnya yang terlontar dari mulut ibu hanyalah kalimat-kalimat motivasi kedaluarsa. Aku yang malas berdebat dengan ibu hanya akan mendengarkan saja, tanpa pernah benar-benar mengamininya. Akuilah, kami berasal dari generasi yang berbeda. Itu sebabnya cara pandang kami tentang dunia banyak yang berseberangan.
Sejak 25 Juli 2018, ibu tidak pernah lagi datang ke kamarku.
Setahun setelah ibu meninggal, aku mendapatkan pekerjaan yang masih kulakoni sampai saat ini. Aku akan pilu saat menyadari bahwa aku tidak pernah memberikannya ini itu dari hasil keringatku. Tapi yang sebenarnya lebih memilukan lagi adalah saat aku sudah bisa beli ini itu sendiri, tanpa bantuannya. Adults are basically children plus time.
Pernah satu hari setelah bekerja beberapa bulan aku membutuhkan sebuah rak untuk menyimpan pakaian-pakaianku. Maka aku menyetir sendirian, membelah tol dalam kota dari Bekasi ke Alam Sutera menuju IKEA. Dalam perjalanan itu tiba-tiba saja terbayang bahwa aku sudah mencapai suatu titik yang tidak pernah disaksikan ibu. Lalu air mataku jatuh. Air mata pertama setelah kematiannya.
Tiba-tiba lain yang muncul adalah keinginanku untuk mendengar petuah ibu. Meskipun mungkin tidak akan menurutinya, tetap saja telingaku ini butuh disusupi kalimat-kalimat klise yang keluar dari mulut ibu, terutama saat aku sedang begah pada dunia. Sebab hanya ibulah yang valid untuk mengatakan bahwa kehidupanku akan baik-baik saja setelah ia tidak ada.
Yang sudah jelas, ada tidak ada ibu, bumi akan terus berputar. Dan dengan mengandalkan gaji tiap akhir bulan, aku akan tetap melanjutkan hidup. Kalaupun aku telah pergi ke banyak tempat dan bertemu dengan macam-macam orang setelah ibu mangkat, apa lantas membuat hidupku lebih baik? Justru sebaliknya, jadi lebih buruk karena aku sudah banyak membuat kesalahan. Beberapa di antaranya bahkan terbilang fatal dan sungguh memalukan kalau diingat-ingat. Aku pun akan kebingungan mencari cara untuk memaafkan diri sendiri.
Doa-doaku tidak akan mengembalikan ibu ke dunia, sebab ibu akan memilih untuk tetap berada di kedamaiannya begitu tahu tentang dosa-dosaku. Kadang aku membayangkan apa yang dipikirkan ibu tentangku kini. Barangkali aku belum—atau tidak akan pernah—menjadi orang yang diharapkan ibu, menjadi yang diharapkan seorang ibu kepada anaknya. Sebab ibu konservatif dan aku bukan, aku tidak mampu menjadi orang yang diharapkannya.
Aku sekarang sudah tidak lagi sedih, tapi masih ragu rupanya untuk mengatakan dengan percaya diri kalau aku telah menerima kepergian ibu. Apakah aku pernah marah atas kematiannya? Ah, persetan dengan lima tahap kedukaan model Kübler-Ross. Skenario terbaik bagi seorang anak laki-laki setelah ibunya meninggal boleh jadi adalah menjalankan hidup yang membosankan. Pada malam-malam saat tanganku tidak pernah lagi memijati punggung dan kaki ibu, aku kerap bertanya, “Am I enough?”