Tentang Raksasa yang Tumbuh di Rumah Kita
Pada submisi column kali ini, Sekar Banjaran Aji Surowijoyo menuliskan keresahannya akan praktik deforestasi ugal-ugalan akibat beroperasinya industri sawit di Indonesia, khususnya Papua, dan bagaimana hal tersebut membuatnya mengkhawatirkan masa depan Bumi yang kita tinggali.
Words by Whiteboard Journal
Duh, mana yang lebih panjang, umurku atau umur bumiku bernaung?
Duh, mana yang lebih besar, egoku atau ketidaktahuan yang terpasung?
– Dere, Rumah.
Terima kasih, Dere, aku langsung merasa terwakili saat pertama kali menemukan lagumu di for your page TikTok . Dua pertanyaan tadi merupakan pertanyaan yang sering kali memburu di tengah malam.
Hari ini banyak sekali ketakutan yang menyelimutiku, salah satunya tentang seberapa kita bertahan hidup sebagai spesies dan seberapa kuat kita mampu menolak untuk punah. Saat aku bertanya kepada orang tuaku apakah mereka merasakan hal yang sama saat mereka seusiaku? Jawabannya tidak. Ibu bilang, yang dikhawatirkannya dulu adalah dia tidak dapat bekerja karena lowongan pekerjaan terbatas. Ibu bilang saat itu alam masih sangat bersahabat, dia bisa petik dan jaring apa saja dan menghidangkannya di meja makan.
Betapa irinya aku mendengar cerita Ibu. Terakhir kali aku ke Papua, hamparan hutan yang tadinya hijau sudah mulai lenyap perlahan jika dilihat dari jendela pesawat. Sebagian masih baru ditebang dan terlihat rona hitam bekas terbakar. Sebagian lagi sudah berganti dengan jajaran sawit yang begitu rapi berbaris. Lanskap begitu cepat kita ubah. Lantas jika suhu memanas, akankah bumi yang harus dipersalahkan?
Aku berusaha tidak terpasung dalam ketidaktahuanku, maka aku mulai membaca. Akhirnya, aku paham bahwa sekuat apapun kita menanam pohon, semuanya akan sia-sia jika laju aktivitas penebangan hutan tidak dihentikan. Berdasarkan data World Resource Institute, dalam dua dekade terakhir, atau setidaknya dari 2001 hingga 2019, tutupan hutan alam yang hilang atau mengalami deforestasi di tanah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) luasnya mencapai 663.443 hektar. Hampir sebagian besar deforestasi Indonesia terjadi di Papua.
Pembabatan 663.443 hektar hutan alam yang terjadi di Tanah Papua itu bisa dikatakan sebanding dengan pelepasan 321,4 megaton (Mt) emisi CO2. Emisi yang dihitung di sini, berasal dari kehilangan karbon dari biomassa yang ada di atas tanah (above ground biomass). Artinya, emisi karbon sebagai akibat hilangnya tutupan pohon, namun belum mencakup emisi dari tanah gambut, apabila ada hutan gambut yang hilang.
Aku membayangkan betapa sedihnya masyarakat adat yang tinggal di hutan Papua. Lanskap ruang hidup mereka berubah begitu cepat. Dari berhutan lebat menjadi tanah lapang yang tak menyisakan apa-apa dalam hitungan tahun. Mungkin tidak ada lagi suara kasuari, mungkin semakin sulit melihat keindahan cendrawasih.
Di sana segalanya memanas, termasuk gejolak amarah yang mungkin tersimpan dalam hati mereka. Siapa yang mendapatkan keuntungan dari penghancuran hutan Papua? Dalam catatan Greenpeace, terdapat setidaknya 25 perusahaan dari 32 perusahaan yang memperoleh pelepasan kawasan hutan antara 2011-2019, proses pelepasan tersebut diduga melanggar peraturan menteri mengenai pelepasan kawasan hutan. Pelepasan tersebut terjadi pada era Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang berbeda.
Hasil investigasi Greenpeace juga menemukan dugaan keterlibatan sejumlah elit politik pada perusahaan yang memperoleh izin perkebunan dan pelepasan kawasan hutan sejak dari awal proses penerbitan izin. Di antaranya masih ada yang menjabat anggota DPR RI, mantan Kapolri atau Jenderal Polisi, mantan menteri, dan pengurus atau anggota partai politik. Posisi mereka di perusahaan-perusahaan tersebut pun beragam, ada pemegang saham maupun pengurus perusahaan. Fakta ini benar-benar menyebalkan buatku. Sebab, alih-alih membawa kesejahteraan, jalan masuknya industri sawit ialah ruang gelap yang berisi banyak tikus berdasi yang siap mengambil untung sebesar-besarnya dari tanah adat milik Orang Asli Papua.
Lantas, mengapa kita harus terus membuka hutan untuk menanam sawit? Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat, luas perkebunan minyak kelapa sawit mencapai 15,08 juta hektar pada 2021. Meskipun menurut analisis Greenpeace dan The Tree Map, jumlah tersebut belum termasuk 3,12 juta hektar perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan hingga akhir tahun 2019. Itu sebabnya kita dinobatkan sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Hari ini, sawit hampir melingkupi seluruh ruang hidup negara ini. Bahkan, menurut Tania Li dan Pujo Semedi dalam buku “Plantation Life: Corporate Occupation in Indonesia’s Oil Palm Zone”, industri sawit diibaratkan sebagai raksasa yang rakus menggerogoti hutan kita dan mungkin akan mempercepat krisis iklim.
Fenomena kelangkaan minyak goreng yang terjadi belakangan ini menurutku jadi momen di mana kita harus berhenti sejenak untuk menanam sawit. Negara ini adalah rumah kita. Kita membesarkan sebuah raksasa bernama industri sawit. Raksasa tadi menghancurkan hutan, ruang hidup saudara kita masyarakat adat dan keanekaragaman hayati yang merupakan pusaka bangsa. Lantas, kita masih harus sulit dan membayar mahal untuk beberapa liter minyak goreng? Untuk siapakah raksasa sawit ini sebenarnya? Sampai sejauh mana raksasa ini akan merusak bumi kita?
Barangkali, hari ini saatnya berbenah. Besok belum tentu kita ada waktu.
Aku bukan siapa-siapa tapi aku punya hak yang sama untuk hidup di bumi ini dan bertahan untuk tidak punah. Kamu pun punya hak yang sama. Raksasa ini tumbuh di rumah kita. Kalau bukan kita, lantas siapa?