Tentang Nyanyian Kota yang Autentik: Apakah Bandung Seromantis Itu?
Dalam submisi open column ini, Muhammad Rafsan Aryakusumah menyelami keresahan yang disuarakan lagu-lagu bertema kota dan mempertanyakan mengapa hal ini kerap menjadi kidung romantis ketika membahas Bandung.
Words by Whiteboard Journal
Matilah engkau mati, semoga engkau lahir berkali-kali.
Kalimat tersebut saya garis bawahi di buku Laut Bercerita yang menemani perjalanan malam hari dari Bandung menuju Surabaya pertengahan tahun kemarin. Meski tidak berhubungan dengan apa yang akan ditulis selanjutnya, kutipan tersebut mengingatkan saya pada Bandung yang pernah dibakar sampai mati dan diromantisasi berkali-kali semenjak dihidupkan kembali.
Mari berkenalan dengan Bandung, sentra kuliner superkreatif di mana untuk pertama kalinya sekelompok manusia–dengan kesadaran penuh–merebus kerupuk mentah dan secara kolektif sepakat meresmikannya menjadi sebuah sajian kuliner. Kota yang diklaim penduduknya sendiri tercipta saat Tuhan sedang tersenyum. Julukan terkenalnya yang diplesetkan oleh Doel Sumbang menjadi Kota Kambing. Dalam rupa apapun ia diceritakan, Bandung–sama seperti kota lainnya–adalah lagu segala genre yang ditulis sendiri oleh tiap orang di dalamnya.
Melihat ekspresi kota melalui bait-bait lirik akan selalu menarik. Walau memang ditulis secara personal oleh penyairnya, namun tidak jarang kilasan hidup jutaan orang juga ikut termuat hanya dalam beberapa bait tersebut. Seperti hidup yang dipaksa berpacu oleh Jakarta menurut Kunto Aji, atau kenangan Jogja yang menjadikannya tempat sempurna untuk kembali bagi Kla Project dan diamini pula oleh Adhitia Sofyan. Masing-masing menjadi hal yang personal bagi para musisi tadi. Tapi, toh, lagu-lagu mereka turut didengarkan jutaan orang yang seakan ikut mengamini.
Kalau diingat-ingat, sebelum saya pindah ke kota ini, saya mengenal Bandung pertama kali lewat sebuah lagu ketika saya tergabung dalam sebuah regu perkusi saat TK. Lagu tersebut berjudul Halo-halo Bandung. Namun kini, identitas Bandung dalam lagu tidak lagi sebatas kisah sejarah perlawanan. Ia tidak hentinya diromantisasi hingga mungkin lelah dan diam-diam berharap lebih baik dibakar lagi sampai mati. Lihat saja bagaimana Pidi Baiq menyudutkan Bandung dalam kacamata kasmarannya anak remaja.
Dan Bandung / Bagiku bukan cuma / Masalah geografis / Lebih jauh dari itu / Melibatkan perasaan / Yang bersamaku / Ketika sunyi
–Dan Bandung, The Panasdalam (ft. Danilla)
Perasaan? Sunyi? Ah, kurang romantis apalagi!
Belum tau saja dia, rekan musisi lain di sudut Matraman pernah gagal mempersembahkan sekuntum mawar untuk seseorang yang berada di Kota Kembang. Nyatanya, urusan geografis memang bukan sembarang!
Tentunya, bicara Bandung belum lengkap memang tanpa menyinggung kesejukannya. Beberapa warga Bandung mungkin sedikit menggerutu ketika membaca kalimat tadi. Percayalah, saya juga pernah merasa Bandung itu hareudang (gerah). Sebelum akhirnya menghabiskan waktu di Surabaya, seketika hareudang itu terasa jadi angin sepoi-sepoi yang jauh lebih menyejukkan.
Coba dengarkan Ini Abadi, di mana Maul menyinggung bagaimana Bandung akan selalu memeluk siapa pun yang kembali padanya. Entah disengaja atau tidak, ungkapan Bandung yang selalu memeluk ini sesuai dengan bagaimana Tuhan menata kota ini: tepat di tengah pelukan gunung-gunung di sekitarnya. Maul kemudian mengajak orang-orang untuk melihat bagaimana pelukan yang menyejukkan ini justru menghangatkan orang-orang di dalamnya. Ah, lagi-lagi, betapa romantisnya!
Lihatlah semua sudut itu / Bandung ’kan selalu memelukmu / Dinginnya hangatkanmu selalu
–Ini Abadi, Perunggu
Romantisasi Bandung dalam Ini Abadi bertolak dari apa yang sebenarnya diceritakan: tentang pekerja yang harus pulang-pergi Bandung-Jakarta untuk bekerja. Sesederhana harapan untuk bisa cepat-cepat keluar dari siklus ini dan setidaknya hidup berkecukupan. Ah, Jakarta, bekerja, dan ingar-bingar stasiun: tipikal kehidupan kota yang sempat membuat musisi lainnya buru-buru dan tidak sabar menyambut seorang imam di penghujung hari, atau dajjal barangkali.
Kehidupan urban yang diromantisasi memang selalu terdengar hangat. Dengan mengabaikan hiruk-pikuk dan kompleksitas yang dihadapi orang-orang di dalamnya, senandung merdu tentang kota kerap berhasil mengajak pendengarnya untuk berkhayal tentang kehidupan yang sedikit utopis. Entah itu hidup pekerja kantoran yang dianggap bergelimang harta, kasmarannya pasangan yang bergandengan tangan di pusat kota, atau geliat berkeliling ke sana-sini tanpa menghiraukan kemacetan.
Padahal, kota yang kita bangun tidak selalu berwujud utopis, atau bahkan humanis dalam hal itu. Pembangunan yang harusnya menghidupi penduduk, malah terlihat menafkahi benda-benda yang bahkan tidak seharusnya hidup. Gedung makin tinggi dan beranak-pinak, kendaraan kian gencar mengajak orang lupa cara berjalan, atau kedai kopi yang tumbuh lebih subur dari taman kota. Soal ini, Bandung pun sebenarnya telah diramalkan mengalami hal serupa oleh Yanti Bersaudara, melalui tembang Sunda lawas tahun 70-an.
Di lingkung gunung (Dikelilingi oleh gunung) / Heurin ku tangtung (Disesaki oleh yang berdiri)
–Bandung, Yanti Bersaudara
Heurin ku tangtung menjadi frasa kritis yang terus populer di masyarakat Bandung, utamanya kini, oleh para orang tua atau mereka yang memang awas terhadap urusan pembangunan kota. “Tangtung” secara harfiah dapat diartikan sebagai berdiri, yang mana menjadikan makna lirik ini pun menjadi wejangan–atau mungkin peringatan–yang semakin menarik. Frasa tersebut terus mengingatkan: bahwa pembangunan di Bandung haruslah dilakukan sebaik-baiknya, kalau tidak ingin Bandung disesaki oleh orang-orang yang berdiri (kepadatan penduduk) atau gedung-gedung yang berdiri (alihfungsi lahan). Tidak heran, beragam keresahan yang bermunculan di perkotaan pun lambat laun akan memantik nyanyian kota yang lebih… autentik.
Untuk itu, mari berkunjung ke Surabaya sejenak bersama Silampukau. Melalui album Desa, Kota, dan Kenangan (2015) kita dapat melihat Surabaya melalui kacamata yang gelisah. Bagaimana lahan kosong yang dulu asik dipakai bermain bola kini dikuasai gedung dalam Bola Raya, serapah dan bising jalanan yang rutin menjadi penutup hari dalam Malam Jatuh di Surabaya, atau memoar kenakalan-kenakalan yang terekam dalam Sang Juragan dan Si Pelanggan. Cerita-cerita tersebut terdengar autentik, karena memang muncul dari keresahan yang autentik pula.
Tapi kemudian, ini menimbulkan pertanyaan yang menarik: apakah masalah tiap kota benar-benar autentik?
Privatisasi lahan, sesak jalanan, hingga semerbak harum pundi-pundi rupiah di sektor informal yang dinyanyikan Silampukau adalah masalah yang selalu bergandengan dengan wilayah manapun yang menyandang predikat kota, tidak hanya Surabaya saja. Jika merujuk pada Spotify saat tulisan ini dibuat, Silampukau sendiri memiliki basis pendengar terbanyak di Jakarta, baru kemudian disusul oleh Surabaya, Bandung, Semarang, dan Yogyakarta. Kepopuleran Silampukau dengan Desa, Kota, dan Kenangan di berbagai kota besar seakan menjadi angguk persetujuan dari orang-orang akan permasalahan serupa.
Dalam wawancara bersama Whiteboard Journal, duo tersebut menanggapi keberhasilan album mereka menembus batasan geografis, “barangkali itu berarti bahwa ternyata kebudayaan urban di kota-kota di Indonesia memiliki pola yang identik, menghasilkan kemuakan dan frustasi yang tipikal, membuat usaha-usaha kecil untuk meromantisasikan sisi mekanis dari kehidupan di Surabaya–walaupun masih juga disertai keluhan dan rutukan di sana-sini–masih mungkin untuk bisa diapresiasi oleh orang-orang di kota lain.”
Lantas, apakah karena frustasi yang tipikal di berbagai kota, yang justru membuat masalah-masalah perkotaan di Indonesia tidak “seautentik” itu?
Ah, tidak juga. Tidak perlu repot-repot mengernyitkan alis pada masalah yang para akademisi saja pusing mengurusnya. Dehaman kecil tiap orang saat beraktivitas sehari-hari sudah sah-sah saja untuk dianggap masalah yang autentik di kotanya. Meski memiliki akar masalah yang itu-itu lagi, sumpah serapah warga Bandung ketika menghabiskan hidupnya di depan lampu merah Samsat yang astaga lamanya, tentu tidak sama dengan warga Surabaya yang mungkin menangis karena harus melalui Keputih di jam pulang kerja.
Bagi saya sendiri, Bandung yang “autentik” sesederhana kedai boba yang menjamur di setiap belokannya, gelap malam yang menyadarkan kalau ini masih Bandung dan bukan di antah berantah, atau makian “gobl*g” bagi pengendara acuh dengan penekanan khusus pada huruf “g” di bagian akhir. Gelisahnya menggenang di rintik hujan yang mengubah Ciwastra menjadi sungai dalam sekejap, serta rasa bersalah karena menyalahi kodrat kerupuk yang seharusnya digoreng. Kelak, cerita-cerita ini tentu akan disyairkan entah oleh siapapun. Tapi sampai itu terjadi, tidak ada salahnya kalau “diromantisasi” menjadi hal autentik bagi Bandung–atau kota lainnya–untuk sementara.