Tentang Lelaki Sejati dan Mitos-Mitos Maskulinitas Lainnya
Dalam submisi Open Column ini, Dhika Marcendy menilik sistem hierarkis yang menempatkan posisi laki-laki di atas perempuan dalam struktur sosial, berbagai mitos maskulinitas, serta sejarah panjang hubungan antara laki-laki dan kekerasan yang sudah mengakar kuat dalam masyarakat akibat jerat patriarki.
Words by Whiteboard Journal
Sistem partriarki ternyata menyiksa laki-laki. Partriarki menjebak laki-laki untuk mengamini dan mengamalkan mitos “pria sejati” (read: real man or toxic masculinity). Maskulinitas yang diciptakan oleh patriarki melarang laki-laki menangis, memaksa laki-laki untuk menahan rasa sakit, melekatkan laki-laki dengan kekerasan, menjadikan laki-laki sebagai pemerkosa, dan menjerumuskan laki-laki ke dalam tindak kriminal.
Sebelum membongkar maskulinitas lebih dalam, kita perlu memahami tentang patriarki lebih dulu. Patriarki adalah sebuah ideologi dan sistem hierarkis yang menempatkan posisi laki-laki di atas perempuan dalam struktur sosial. Tentunya kondisi ini membuat laki-laki “dihadiahi” berbagai keuntungan—yang menimbulkan ketaksetaraan—seperti kekuasaan berlebih, privilese, hak, dan membagi peran yang tak berimbangdalam rumah tangga, pekerjaan, dan berkehidupan. Sehingga, perempuan dilekatkan dengan pekerjaan domestik dan sering kali tak digaji setara dengan laki-laki.
Sistem patriarki mempengaruhi kehidupan laki-laki dan perempuan dari lahir, masa kecil, remaja, dewasa, dan seterusnya. Patriarki menentukan mana mainan yang pantas untuk anak laki-laki dan perempuan. Partiarki juga menentukan bagaimana laki-laki dan perempuan berpakaian. Misalnya, stereotipe bahwa warna biru untuk laki-laki dan merah muda untuk perempuan. Bahkan patriarki mengatur bagaimana cara laki-laki dan perempuan berinteraksi dalam masyarakat. Kekuasaan laki-laki sangat dominan di lingkup pemerintahan dan politik, ekonomi dan bisnis, pendidikan hingga ranah privat seperti rumah tangga, hubungan romantis, dan pertemanan. Intinya, partiarki selalu mengutamakan hak laki-laki ketimbang hak-hak perempuan.
JJ Bola dalam bukunya yang berjudul Mask Off: Masculinity Redefined telah membuka topeng maskulinitas laki-laki. Bagi Bola, laki-laki selama ini dipaksa untuk menggunakan topeng “pria sejati” untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya mereka alami dan hadapi. Dalam masyarakat yang cenderung patriarkis, laki-laki memang selalu diuntungkan dan memiliki privilise. Namun, tak dapat dimungkiri, sistem ini juga telah membuat laki-laki menderita. Dan pada akhirnya, ilusi-ilusi maskulinitas yang seakan-akan sudah rigid mulai mencair dan menemukan batasnya. JJ Bola membuktikan bahwa sistem patriarki membuat semua manusia menderita dan ia mengajak laki-laki memikirkan kembali, “what does it actually mean to be a man?”
Mitos laki-laki sejati
Manhood, seperti maskulinitas, bukanlah sebuah entitas pasti. Tak ada rumusan atau ketentuan pasti—seperti mitos-mitos yang ada—bagaimana caranya menjadi laki-laki dewasa. Itu bisa berubah-ubah dan bersifat cair. Laki-laki bisa menjadi apapun yang mereka mau, selama itu tidak menindas dan merenggut hak dari gender-gender lain.
JJ Bola mengatakan bahwa ada beberapa mitos tentang maskulinitas yang melekat—dan dianggap absolut—pada setiap generasi. Mitos-mitos tersebut diwariskan pada anak laki-laki, bahkan hingga dewasa, dan hampir tak pernah dijelaskan mengapa laki-laki harus melanggengkan mitos-mitos itu. Mitos-mitos itu menjadi stereotipe dalam maskulinitas laki-laki. Laki-laki yang berada di luar stereotip itu akan diasingkan dan dianggap “gak jentel”.
Pria sejati adalah mitos yang paling umum didengar. Mitos ini kerap berbunyi seperti; “pria sejati harus bisa menjaga anak-anaknya; pria sejati tidak pernah selingkuh dari pasangannya; pria sejati harus menafkahi seluruh keluarganya” dan perilaku-perilaku lain yang mengatur bagaimana pria harus bertindak. Mitos ini tentu berangkat dari ekspektasi patriarkis terhadap laki-laki.
Ungkapan-ungkapan di atas terdengar seperti sebuah nasihat yang baik untuk laki-laki, namun tidak pada kenyataannya. Dalam mitos seperti “pria sejati harus bisa menjaga anak-anaknya” misalnya. Bukankah lazimnya dalam masyarakat yang berakal sehat, terlepas dari apapun gendernya, menjaga anak memang kewajiban orang tua? Memang faktanya tak semua laki-laki bertanggung jawab menjaga anak-anaknya. Namun dengan adanya frasa “pria sejati” seakan-akan hanya pria sejati lah yang bisa melakukannya, yang lainnya tidak. Dan itu membuat peran laki-laki seakan-akan lebih elit ketimbang gender lainnya.
Atau contoh lainnya, ”pria sejati harus menafkahi seluruh keluarganya”. Memang terdengar keren, tapi kenyataannya sangat membebani laki-laki. Demi mewujudkan imaji “pria sejati”, laki-laki dituntut untuk bekerja keras banting tulang untuk menghidupi keluarganya. Padahal, laki-laki seharusnya tak perlu gengsi membagi peran ini pada pasangannya. Berbagi peran dalam masalah finansial tentunya tak membuat seorang laki-laki menjadi pecundang.
Mitos lainnya adalah good guy myth. Idiom ini terang-terangan melanggengkan kekuasaan hak laki-laki. Sekilas idiom ini menunjukkan hawa positf, namun pada kenyataannya idiom ini hanya digunakan untuk menarik perhatian perempuan saja. Hal itu menunjukkan seakan-akan a good guy pasti disukai perempuan, dan jika tidak, perempuan tidak akan menyukai anda. Idiom itu sangat merendahkan perempuan karena hanya dengan menjadi good guy, seorang laki-laki merasa bisa menguasai perempuan. Dan buruknya lagi, ketika seorang laki-laki mengklaim dirinya seorang good guy, ia baru saja mengalienasi laki-laki lain yang bukan good guy dan menutup ruang-ruang maskulinitas alternatif lain.
Ada pula ejekan semacam “That’s gay!” yang ditujukan pada laki-laki yang menunjukkan keintiman, perasaan, atau kedekatan (non-seksual) pada laki-laki lain seperti memeluk, menggenggam tangan, atau mengatakan “I love you” pada sesama laki-laki. Padahal sah-sah saja jika laki-laki mengekspresikan perasaannya dalam bentuk apa pun, tanpa harus takut dikatai “homo”. Laki-laki cenderung memparafrase ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi, “Hari ini lo keren banget coy, no homo”. Meskipun “no homo” diucapkan sebagai gurauan semata, ungkapan itu adalah ujaran homofobik yang kejam. Karena takut disebut gay, seorang laki-laki straight terpaksa menutupi ekspresi emosional pada sesamanya.
“Cowok dilarang nangis!”
Ungkapan semacam itu sudah pasti familiar jika hidup dan dibesarkan di lingkungan yang patriarkis sejak kecil. Misalnya, ketika seorang anak laki-laki jatuh dari sepeda, lalu ia pulang ke rumah dengan kondisi lutut berdarah sambil menangis. Hal aneh yang biasa dilakukan oleh orang tua yang hipermaskulin adalah menyuruhnya berhenti menangis sambil mengatakan, “cowok gak boleh nangis, harus kuat, tahan.” Padahal, seharusnya si orang tua langsung mengobati luka anaknya, tanpa perlu melarangnya menangis. Dari kebiasaan tersebut, si anak laki-laki akhirnya berpikir bahwa menangis adalah sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Menangis berarti lemah, dan kelemahan bukanlah kriteria cowok sejati. Lantas kebiasaan menahan tangis itu bisa terbawa sampai dewasa. Padahal, menangis adalah ekspresi emosional yang wajar. Orang bisa menangis karena ia hendak mengekspresikan rasa kecewa, sedih, berduka atau bahkan bisa menjadi ekspresi bahagia dan senang. Jika seorang laki-laki menangis di hari pernikahannya, bukankah itu hal yang mengharukan?
Mungkin, mitos yang paling sering bersirkulasi dan diamini oleh masyarakat adalah dikotomi bahwa laki-laki itu logis dan perempuan emosional. Mitos ini berakar dari hasrat laki-laki yang selalu ingin menghapus kerapuhan emosional dan empati terhadap orang lain. Laki-laki dianggap sebagai gender yang lebih logis, dalam artian, laki-laki berpikir dan mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan rasional untuk memperoleh hasil yang terbaik, sedangkan perempuan mengambil keputusan berdasarkan perasaan. Namun… kalau laki-laki saling bertengkar atau mengamuk untuk menyelesaikan masalah, apakah itu keputusan logis? Bukan emosional?
Antara laki-laki, kekerasan, dan kesehatan mental
Kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki bisa kita temukan di mana pun, di rumah tangga, tempat kerja, sekolah, komunitas, dan bahkan kehidupan sosial kita. Kekerasan ini mengancam kehidupan kita dan orang-orang yang kita sayangi. Kekerasan ini menyebar luas bahkan pada taraf yang tak terasa atau terlihat. Kekerasan seakan sangat inheren dengan laki-laki, dan ada saja yang beranggapan bahwa hubungan laki-laki dan kekerasan itu bersifat natural, karena itu lah pembahasan tentang kekerasan dan laki-laki jarang sekali muncul ke permukaan.
Tapi tentu saja kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki berkaitan dengan kesehatan mentalnya. Laki-laki sejak kecil sering dilekatkan dengan mainan-mainan yang merepresentasikan kekerasan, seperti pedang, pistol, palu, dan mainan lainnya yang sejenis. Itu memang hanya mainan dan tidak berbahaya secara fisik, namun bisa ditelaah secara saintifik sebagai awal mula kenapa seorang laki-laki tumbuh menjadi agresif.
JJ Bola dalam bukunya mengutip dua penelitian yang bisa membuktikan hal tersebut. Penelitian pertama berjudul The relation of violent and non-violent toys to play behaviour in pre-schoolers (KE Goff, 1995) dan The Relation Between Toy Gun Play and Childern’s Aggressive Behaviour (MW Watson, 1992). Penelitian yang pertama menunjukan bahwa anak-anak dengan mainan yang berbau kekerasan lebih agresif ketimbang anak-anak yang tidak memainkan mainan kekerasan. Penelitian kedua sebenarnya menyimpulkan hal yang serupa, namun penelitian kedua memberi kesimpulan tambahan yang menyatakan bahwa seorang anak, laki-laki dan perempuan, yang sering dihukum oleh orang tuanya dengan kekerasan, cenderung melakukan kekerasan dan lebih agresif—sebagaimana orang tua mereka menghukumnya.
Karena laki-laki sejak kecil sudah terbiasa dengan hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan, kelak menjadi dewasa, mereka cenderung kesulitan untuk mengekspresikan “keintiman”. Keintiman yang dimaksud di sini bukan keintiman seksual, tapi keintiman untuk “peduli” terhadap diri sendiri dan orang lain. Dari situlah laki-laki mulai mengalami gangguan mental. Dan memang maskulinitas partriarkis berusaha mempertahankan hal ini untuk melanggengkan kuasa atas gender lain dengan kekerasan sebagai senjatanya, contohnya: anak laki-laki yang tak bermain pukul-pukulan kerap kali dikucilkan dan dianggap “bencong”, sehingga nilai maskulinitas laki-laki dinilai dari seberapa “keras” dirinya.
Berawal dari kesulitan untuk merayakan keintiman pada sesama laki-laki, laki-laki cenderung diam dan tidak berusaha mengutarakan apa yang ia rasakan. Mengutarakan perasaan dalam dunia maskulin yang patriarkis adalah hal yang asing. Dampaknya, laki-laki menjadi depresi, teralienasi, dan kerap memiliki kecenderungan untuk bunuh diri. Tak adanya ruang untuk mencurahkan isi hati membuat laki-laki, pada akhirnya, merasa harus menanggung semua penderitaannya sendirian. JJ Bola mengutip data statistik dari Mental Health Forum yang berkaitan dengan laki-laki di Inggris pada tahun 2017, hasilnya mengejutkan; tiga dari empat orang yang bunuh diri adalah laki-laki (76%), 87% tunawisma adalah laki-laki, laki-laki tiga kali lipat berpotensi menjadi alkoholik dan pengguna narkotika, dan 95% penjara dipenuhi oleh laki-laki.
Bola juga mengutip artikel dari The British Psychological Society, berjudul Masculinities and Suicide, yang menyatakan bahwa perempuan juga sebenarnya berpotensi tinggi dalam melakukan bunuh diri. Akan tetapi, laki-laki cenderung memilih metode bunuh diri yang mengandung unsur kekerasan, menggunakan pistol, atau gantung diri, karena konstruksi maskulinitas yang lekat dengan kekerasan selaras dengan metode bunuh diri seperti itu.
What should man do now?
Jelas, laki-laki harus mendefinisikan ulang maskulinitas. Maskulinitas yang tidak toksik. Maskulinitas yang menolak kekerasan. Maskulinitas yang meninggalkan ideologi dan sistem patriarki di dalamnya.
Tapi apakah mungkin mendefinisikan maskulinitas yang “seakan-akan” absolut? Ya! Sangat mungkin. Maskulinitas bukan sesuatu yang tunggal dan natural, ia harus bertransformasi ke arah yang lebih humanis. Ruang pendiskusian “maskulinitas baru” harus lebih sering diadakan, untuk membuka segala kemungkinan perubahan. JJ Bola, juga saya, yakin ada banyak contoh kebudayaan lokal yang memberikan contoh maskulin yang ramah.
Jika maskulinitas berhasil bertransformasi, dampaknya bisa dirasakan oleh seluruh manusia. Patriarki akan runtuh dengan sendirinya, tingkat kekerasan akan berkurang drastis, dan kesehatan mental manusia akan membaik.