Tentang Jakarta yang Semoga Bukan Apa-Apa
Terinspirasi dari buku kumpulan esai yang berjudul Affair: Obrolan Tentang Jakarta (2004) karya Seno Gumira Ajidarma.
Words by Whiteboard Journal
Ini bukan tentang kepastian, atau apa-apa yang diharapkan. Ini tentang ketidakpastian, dan apa-apa yang selalu bertabrakan.
Jakarta kita menyebutnya. Isinya tak lebih dari manusia-manusia penyembah berhala, manusia-manusia kosmpolitan, manusia perantauan. Mengais harapan dalam tiap lembar Pos Kota, berjajar tak rapi dalam antrean makan nasi, dan klakson mobil yang jadi santapan sore dan pagi.
Harapan itu lekas mati. Sebelum menjejakkan kaki di ibu kota ini. Semua mengenai mimpi, semua mengenai janji, semua mengenai ironi, tepat di depan mata, hari ini. Stasiun kota dan penjual permen, antara kemegahan dan kehancuran. Antara kemapanan dan kegetiran. Antara Jakarta dan segala apa yang dikandungnya.
Aku melihat jarak antara manusia dan peradabannya. Teater di gang-gang kecil yang tak sadar bertetangga dengan gedung pencakar langit. Warung nasi uduk pinggiran yang tak sengaja berdiri dua ratus meter dari restoran perancis. Atau ambisi kuasa Jakarta yang tak sadar melewati tangisan kaum papa.
Jakarta adalah ironi. Di mana orang harus tahu apa isi perutmu. Di mana orang bebas mengacak-acak isi dapurmu. Di mana orang bebas atas isi kepalamu. Jakarta adalah antiteori. Di mana terkadang mereka hidup komunal, tapi sejatinya individual.
Seperti sajak-sajak Chairil, Jakarta itu getir. Manusia-manusia Jakarta, sosok-sosok pengembara. Kegemerlapan Jakarta adalah cermin kepahitan yang gagal diredamnya. Berakhir di bar busuk pinggir kota, dengan minuman dan obat murahan. Aku seperti juga kau, semua lekas berlalu. Jakarta adalah sajak-sajak Chairil. Ia liar dan tak terpaku aturan.
Tapi Jakarta sebenarnya adalah aku. Seonggok tubuh tiada jiwa. Berdiri di atas kaki-kaki rapuh yang menunggu runtuh.
Dan semoga Jakarta biasa saja. Hanya ibukota yang bukan apa-apa.