Surat dari Korban Tragedi Tanjung Priok 1984
Syahar Banu mengajak kita untuk berkenalan dengan deretan sosok yang menjadi korban Tragedi Tanjung Priok 1984.
Words by Whiteboard Journal
Lewat surat ini, kami ingin mengajak para pemimpin negara untuk berkenalan dengan Wanma Yetti, anak dari bapak Bachtiar Effendi yang dihilangkan secara paksa dalam peristiwa Tanjung Priok 1984. Setelah bapaknya hilang, ibunya mengalami trauma berkepanjangan sehingga kehidupan keluarganya nyaris tak berfungsi. Ayah yang hilang dan ibu yang sakit membuat kehidupan mereka tidak pernah kembali normal. Sebagai anak tertua, ia harus menjaga ibunya yang trauma berat serta adik-adiknya. Begitu ia berusaha melamar kerja demi menghidupi keluarganya, perusahaan yang awalnya mau menerima ia sebagai pekerja langsung menolak lamaran kerjanya hanya karena di KTPnya tertulis bahwa alamat rumahnya adalah Tanjung Priok dan bapaknya termasuk orang yang hilang saat peristiwa itu terjadi.
Nuraini, adik Yetti, adalah anak SMA yang saat itu sedang bahagia karena bisa masuk ke Universitas Indonesia lewat jalur PMDK. Sayangnya, begitu kampus tahu bahwa bapaknya adalah orang yang dihilangkan paksa oleh negara di dalam tragedi Tanjung Priok, status PMDKnya dicabut dan ia tidak diperbolehkan lagi kuliah di sana.
Para pemimpin negara yang terhormat, pada tahun 1984 itu, Irta Sumirta hanyalah anak SMP yang tidak mengetahui ada keributan apa di Tanjung Priok. Ia ditangkap tanpa lewat persidangan dan disiksa di dalam penjara. Negara saat itu tak peduli bahwa ia adalah anak di bawah umur yang kebetulan berada dalam kerumunan massa Tanjung Priok. Anak yang seharusnya bisa menuntaskan masa SMP dan lanjut sekolah SMA itu harus dipenjara selama 2,5 tahun tanpa tahu apa kesalahannya.
Aminatun Najariyah adalah ibu tunggal berusia 26 tahun saat itu. Ia terpaksa ke Jakarta bersama dengan kakak kandungnya demi menghidupi anak perempuannya yang saat itu berusia 5 tahun. Ia tidak ikut dalam kerumunan massa Tanjung Priok, tetapi ia dan Abdul Bashir – abangnya – ikut diciduk di rumah kontrakan mereka di daerah Cempaka Putih. Pelecehan seksual di penjara dan teror mental yang berat selama masa tahanan membuatnya harus dirawat secara intensif di rumah sakit jiwa. Akibat penangkapan itu, ia mengalami trauma berkepanjangan hingga kini.
Bapak Ibu pemimpin negara, tahukah bahwa ada ribuan keluarga korban Tanjung Priok lain yang mengalami penderitaan berat di tahun itu dan 36 tahun setelahnya. Ada yang terbunuh di tempat dan dimakamkan massal secara diam-diam tanpa nama, ada yang diculik, ada yang ditangkap tanpa prosedur, dan ada yang disiksa. Laporan Komnas HAM menyebut adanya kejahatan terhadap kemanusiaan ini menelan korban sebanyak 79 orang; yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal sebanyak 23 orang. Sisanya tidak terdata. Mereka yang jadi korban adalah abang dari seseorang, bapak dari seseorang, anak dari seseorang.
Tahun 2001 korban dan keluarga korban bersaksi di pengadilan ad hoc Tanjung Priok. Hakim menyatakan bahwa dari 14 tersangka, 12 orang diputus bersalah dan negara wajib memberikan kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi pada korban. Namun, saat tersangka mengajukan kasasi di Mahkamah Agung, Hakim MA memutuskan bahwa pelaku tidak bersalah dan kompensasi yang jadi keputusan pada pengadilan ad hoc dibatalkan.
Kekalahan korban pelanggaran HAM Tanjung Priok lewat jalur yudisial adalah kerugian bagi kemanusiaan. Alih-alih mendapat kesempatan bersidang, korban pelanggaran HAM lainnya terpaksa menelan pil pahit kenyataan dengan adanya bolak balik berkas antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM. Hal itu terjadi di Peristiwa Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Kerusuhan 13-15 Mei 1998, Penculikan/Penghilangan Paksa 1997-1998, Talangsari di Lampung, Penembakan Misterius, Tragedi 1965-1966, Wasior dan Wamena di Papua, Simpang KAA di Aceh, Rumoh Geudong Aceh, dan Bumi Bunga Flora di Aceh, Pengadilan HAM ad hoc lain seperti peristiwa Abepura dan Timor Timur juga gagal memberikan keadilan pada korban dan justru jadi contoh betapa kuatnya impunitas pada pelaku.
Jika Bapak Ibu adalah pemimpin negara yang mementingkan ekonomi dibanding dengan Hak Asasi Manusia, maka Bapak Ibu harus menyadari bahwa pelanggaran HAM berat adalah salah satu penyebab lahirnya kemiskinan sistemik yang dialami oleh keluarga korban pelanggaran HAM. Pendidikan, kesehatan, dan ekonomi anggota keluarga yang terganggu akibat dari pelanggaran HAM yang dialami telah melumpuhkan kesempatan mereka untuk hidup baik. Stigma masyarakat dan ketidakberpihakan negara kepada mereka setelah bertahun-tahun peristiwa berlalu adalah perpanjangan tangan ketidakadilan dan kemiskinan yang selama ini harus mereka jalani.
Peristiwa yang terjadi 36 tahun lalu tentu saja bukan salah Bapak Ibu pemimpin negara sekalian. Tapi, membiarkan kasus pelanggaran HAM masa lalu menguap begitu saja tanpa keadilan adalah bentuk kelalaian dalam menjalankan tanggung jawab sebagai pemimpin negara. Korban pelanggaran HAM yang sudah banyak menderita mestinya tak jadi sekedar konten untuk materi kampanye lima tahunan.
Karena luka kami begitu dalam dan sulit untuk dilupakan, maka kami juga akan selalu ingat janji yang mengantar Bapak Ibu ke pucuk kekuasaan.