Sulitnya Menjadi Masyarakat Miskin
Dalam submisi column ini, Muhammad Muslim mengungkapkan peliknya realita terlahir dari keluarga miskin dan upaya untuk sedikit saja melepaskan diri dari jeratannya.
Words by Whiteboard Journal
Di kemarau yang panjang dan kepalang terik, biasanya saya melipir sebentar untuk sekadar minum es teh dingin atau meneduh dari panas. Sambil lalu, saya akan melihat anak-anak sesusia saya berlalu-lalang dengan setelan celana atau rok biru dan kemeja putih yang sama panjang. Sebagian berkoloni, sebagian soliter. Hampir tak ada wajah yang tak lesu karena hampir seharian saya dan anak-anak sebaya ini mengikuti kegiatan belajar selama delapan jam. Seingat saya, tahun itu segalanya terasa lambat. Saya mengatakan itu karena saya benar-benar ingat bagaimana pergantian satu hari ke minggu lainnya, layaknya ketukan bola pendulum dari dalam air.
Meski segalanya terasa jelas dan benderang, saya masih ragu beberapa hal yang pernah terjadi pada masa lalu. Contoh saja, apa yang lebih dulu saya baca? Seri novel Percy Jackson: Kutukan Bangsa Titan karya Rick Riordan atau Aku Bertanya Maka Aku Ada karya Fachrudin Faiz. Seingat saya, keduanya saya temukan dalam rentang waktu dan tempat yang sama persis. Saya menganggap hal itu penting, karena, selain sebagai pendanda titik berangkat saya membaca, kejadian itu pula akhirnya membentuk sejarah membaca saya pada waktu-waktu mendatang.
Saya selalu membayangkan bagaimana kehidupan masa lalu sebagai sesuatu yang benar-benar saya hasrati sepenuhnya. Pasalnya, semuanya saya jalani tanpa beban pikiran dan tidak harus terlibat langsung oleh urusan dan tanggung jawab orang dewasa seperti membayar tagihan listrik, tanggungan air dan beban-beban lainnya.
Urusan orang dewasa adalah hal penuh pertimbangan dan memerlukan mereka memasang wajah serius. Hampir tak pernah ada gurat senyum di wajah orang dewasa. Seolah-olah tidak ada sesuatu yang membuat mereka senang. Saya pernah merasa curiga bahwa mereka menjalani hari-hari tanpa siaran televisi yang memancing gelak tawa. Atau, paling tidak, tak pernahkah mereka menemukan gelagat bodoh orang-orang yang pernah mereka temui?
Mungkin siapapun tak akan bisa menerka bagaimana kehidupan berjalan, atau bagaimana hari-hari depan akan mereka hadapi, seolah kita tidak memiliki jeda untuk mempersiapkan diri, kita menghabiskan masa lalu sebagai garis waktu yang melintang panjang, seolah semuanya akan berputar, berpilin-pilin dan terjadi selamanya. Namun, kenyataan tak begitu adanya. Sedari kecil, setiap orang memiliki takdir untuk tumbuh dewasa dan memikul tanggung jawab atas dirinya sendiri. Setiap orang dipaksa harus sebisa mungkin terbiasa dengan nasib yang buruk sekalipun.
Lalu, bagaimana masa dewasa semestinya dihadapi? Dari beberapa artikel yang telah saya baca menjelaskan bahwa kehidupan dewasa akan mudah diatasi jika kita mulai berbenah diri mulai dari berdamai dengan ketidaksempurnaan, memiliki perasaan sabar yang lebih, serta “pandai” menjaga diri. Mungkin semuanya benar. Namun, Adakah cara menjadi dewasa yang tak lagi dibebani keruwetan tentang persoalan kemiskinan?
Studi yang dilakukan National Center for Children in Poverty di Columbia University pada 2009 menjelaskan bahwa anak-anak yang lahir dari keluarga miskin akan tetap menjadi miskin ketika mereka dewasa. Penelitian itu menjelaskan bagaimana rata-rata anak yang menjalani hidup dalam kungkungan kemiskinan baru bisa merasakan pendidikan perguruan tinggi pada usia 25 tahun. Berbeda dengan anak-anak yang tidak lahir dari keluarga miskin: rata-rata, mereka lulus dari perguruan tinggi pada umur 25 tahun atau kurang.
Beberapa orang menganggap bahwa kemiskinan dapat diputus jika kita memiliki kehidupan dewasa yang ulet dan dipenuhi kerja keras yang tak ada putusnya. Tapi, benarkah demikian? Benarkah kemiskinan dapat diretas hanya dengan memiliki tekad dengan bulatan sempurna? Mengentaskan kemiskinan tentu tidak semudah membuka pintu kamar mandi, kompleksitas kemiskinan yang menyelimuti kehidupan anak-anak kebanyakan juga didukung oleh keterbatasan dan minimnya akses. Dalam data yang telah dikumpulkan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), ada sekitar 4.586.332 anak Indonesia yang putus sekolah.
Sebagai ilustrasi, dua anak dengan latar belakang ekonomi berbeda menjalani tes matematika dengan jumlah dan soal yang sama. Meski keduanya memiliki nilai yang sama, tapi tentu tak ada jaminan bahwa mereka dapat merasakan hidup yang sama baiknya. Ada faktor sosio-ekonomi yang membuat mereka tak memilki nasib serupa.
Permasalahan lain yang tidak boleh dilupakan adalah soal gizi, menurut laporan The State of Food Security and Nutrition in the World terbaru yang dirilis Food and Agriculture Organization (FAO), setidaknya ada sekitar 767 juta orang yang kekurangan gizi di seluruh dunia. Malangnya, Indonesia menjadi negara dengan kasus kekurangan gizi tertinggi di Asia Tenggara, diikuti Thailand, Filipina dan Vietnam. Tak selesai sampai di situ, kemiskinan juga cenderung berpengaruh pada fungsi otak anak, yang mengakibatkan mereka mengalami kesulitan untuk mengurai stres.
Kemiskinan adalah hal yang sukar, tak mungkin bisa diselesaikan hanya dengan motivasi-motivasi klise tak berujung, segalanya struktural dan kepalang pelik. Sulit untuk menghadapi ini, seseorang biasanya menghibur diri dengan mengingat-ingat hal-hal menyenangkan yang mereka punya dan lalui pada masa lalu. Tapi, semuanya tetaplah ingatan. Seperti ungkapan bajik yang pernah saya baca: “Ingatan adalah satu-satunya hiburan manusia dan ingatan pula yang membuat manusia sakit.”
Sepanjang Februari, Jakarta dilanda hujan yang tak berputus, setiap orang mulai kesulitan dengan masalah menahun yang sedang mereka hadapi. Fenomena semacam ini tentu akan terasa jauh lebih sulit jika mengingat-ingat kembali asbes yang berlubang, lantai rumah yang kapan saja bisa rembes, dan bayang-bayang kehabisan bahan pangan. Sambil memikirkan itu, saya sedang duduk-duduk sembari melipati pakaian yang baru saja saya angkat, merespons teriakan Ibu yang mengingatkan bahwa hujan akan segera turun. Dari jauh, pekik tangis anak tetangga beradu nyaring dengan suara hujan. Pada saat-saat seperti ini, rumah saya biasanya akan terasa hangat karena obrolan-obrolan kecil tentang cita-cita di masa dewasa yang terlontar dari mulut adik-adik saya.
Hujan kini telah berhenti dan becekan kotor ada tersebar di area rumah kami. Saya memutuskan untuk pergi jalan ke warung membeli kopi. Di tengah perjalanan, sayup suara seorang Ibu dari rumah yang jaraknya tak terlalu jauh mulai bicara kepada anaknya:
“Kalau besok bajunya belum kering, nggak usah sekolah dulu ya, daripada masuk angin.”