Sudah Pernah Berdesakan di Manggarai, Tuan?
Dalam submisi Open Column ini, Reva Bagja Andriana, mengekspresikan keresahannya mengenai wacana aturan baru yang kehadirannya mempengaruhi situasi para pejuang komuter line.
Words by Whiteboard Journal
Hampir di semua sudut Stasiun Manggarai, semua orang tak ada yang bersantai ria. Ada yang berebut mengejar kereta, berebut tangga, bersenggolan di pintu keluar, sampai berjuang untuk mendapat tempat di kereta yang setidaknya bisa untuk bernafas.
Dari yang memikul tas berisi laptop inventaris dari kantor, ibu yang harus mengantar anaknya ke layanan kesehatan, mas-mas memakai batik dengan lanyard di dada, para pedagang yang akan berjibaku di pusat perbelanjaan, atau para pendatang yang mungkin baru menginjakkan kaki pertama kali di Jakarta.
Semua terjadi setiap hari, bahkan hampir di semua stasiun.
Lalu, tak ada angin, tak ada hujan, sebuah rencana kebijakan muncul.
Tanpa aba-aba, tiba-tiba ide nyeleneh muncul untuk menyesuaikan tarif KRL (Kereta Rel Listrik) sesuai dengan NIK (Nomor Induk Kependudukan). Yang artinya, perbedaan tarif diberlakukan sesuai dengan ‘kelas’ ekonomi yang tercantum pada pendataan identitas pribadi.
Meh. Entah apa yang mendasari ide itu muncul, semua perbedaan status sosial dan ekonomi yang ‘lebur’ di sebuah moda transportasi publik justru akan dibedakan kembali berdasarkan tarif.
Bising-bising soal kebijakan ini mulai terkuak ketika terungkapnya Buku Nota Keuangan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2025. Di salah satu nota, terdapat beberapa perbaikan yang akan dilakukan salah satunya adalah penggunaan tiket elektronik berbasis NIK untuk pengguna KRL.
Perlu dimengerti, skema PSO (Public Service Obligation) dengan menetapkan tarif tunggal yang sekarang diterapkan masih banyak kekurangan. Kondisi biaya operasional yang naik membuat besaran subsidi untuk setiap jengkal perjalanan menjadi besar pula.
Tapi, jika kekurangan itu menjadi dalih ide awal pembuatan diferensiasi tarif agaknya terasa menggelitik. Jika tidak ada kehidupan lain selain di bumi ini, mungkin kita bisa jadi negara pertama yang melakukan hal itu karena belum pernah negara yang menerapkan hal serupa.
Paling mendekati–meski sebetulnya sangat jauh–mungkin penggunaan kartu ORCA LIFT di Seattle, Amerika Serikat. Setiap masyarakat yang memiliki kartu ini bisa mendapatkan reduced fare untuk beberapa transportasi publik dan di beberapa titik transit. Namun, yang mendapatkan kartu ini hanya individu yang sesuai dengan kriteria low income dan harus mendaftar ke departemen sosial.
Sama halnya juga dengan sistem Fair Pass di Toronto, Kanada yang juga menerapkan diskon tarif transportasi publik untuk individu yang berada di kategori low income. Tapi, kedua otoritas wilayah ini tetap menerapkan tarif tunggal bagi siapapun tanpa terkecuali.
Penggunaan ORCA LIFT atau Fair Pass jadi satu kebijakan untuk ‘mensubsidi’ mereka yang tak mampu membayar tarif tunggal, bukannya justru membedakan tarif sesuai dengan pendapatan atau kekayaan satu individu. Perlu pertimbangan skema-skema lainnya yang mampu mengatasi masalah pembengkakan subsidi dan kebutuhan masyarakat akan transportasi publik sekaligus.
KRL Bukan Objek Diferensiasi Tarif
Satu hal yang akan menjawab kegelisahan ini sebetulnya sangat mudah dicerna logika dasar.
Bayangkan ada 4 orang yang sama menaiki KRL dari Stasiun Manggarai. Orang ke-1 bekerja sebagai general manager, orang ke-2 merupakan office boy, orang ke-3 merupakan mahasiswa, dan orang ke-4 merupakan seorang ibu rumah tangga. Ke-4 orang ini punya latar sosial, ekonomi, serta demografi yang tentunya berbeda satu dengan yang lainnya.
Lalu bayangkan lagi ke-4 orang ini menumpang di gerbong yang sama, dengan tujuan yang sama, fasilitas yang sama, pelayanan yang sama. Tak ada yang berbeda, karena itu hakikatnya transportasi publik. Ketika keluar stasiun, mereka dikenakan tarif yang berbeda hanya karena status ekonomi dan pendapatan yang berbeda?
Sudah barang tentu bukan hal yang bijak jika peraturan ini betul-betul diterapkan. Ini baru asumsi 4 orang, belum jika merujuk pada jumlah penumpang KRL betulan yang pada semester I-2024 saja sudah mencapai 156 juta sekian.
Bayangkan, sekian banyak orang dari berbagai tingkatan dan latar ekonomi harus sama-sama berdesakan, sama-sama harus menghirup tipisnya oksigen di gerbong, sama-sama harus berebut kursi dan tempat berdiri, sama-sama sepagi mungkin berangkat menuju stasiun harus menanggung cost yang berbeda. Yang tadinya berusaha menciptakan keadilan hanya melahirkan ketidakadilan yang baru.
Transportasi publik khususnya KRL tidak bisa disamakan dengan layanan publik lainnya yang menerapkan diferensiasi tarif. Sebagai contoh layanan publik kesehatan yang menerapkan ‘iuran’ berdasarkan kemampuan ekonomi di mana masyarakat bisa memilih tingkatan atau kelas. Sebagai konsekuensi, kelas tersebut mendapatkan pelayanan yang sama namun perbedaan fasilitas ruang inap.
Kalau diterapkan di KRL? Mana bisa. Taruh ke-4 orang yang diceritakan tadi membayar tarif yang berbeda, bayangan yang muncul adalah: apakah yang membayar tarif tertinggi bisa sampai duluan di tujuan? Atau tarif yang terendah harus duduk di atas gerbong? Kagak begitu urusannya.
Sebelum jauh-jauh memikirkan tentang skema yang diterapkan, sudah sepatutnya dan sewajarnya kita memahami arti kata ‘publik’. Padanan kata ini adalah ‘umum’ di mana arti kata tersebut adalah orang banyak, khalayak ramai, dan mengenai seluruhnya atau semuanya.
Melakukan diferensiasi tarif dengan skema NIK sudah pasti mencabut kata publik dari istilah transportasi publik itu sendiri. Yang ada hanya kata ‘eksklusif’, di mana suatu hal terpisah dari yang lain. Dipisahkan berdasarkan kelas dan pada akhirnya masyarakat akan punya tendensi dan opsi untuk tidak memilih keeksklusifan tersebut.
Jikalau merujuk pada UU Republik Indonesia No.23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian, terdapat asas keadilan, asas keseimbangan, dan asas kepentingan umum yang harus diperhatikan. Perlu kehati-hatian dalam menerapkan apapun skema kebijakan yang ada, tanpa harus merugikan salah satu pihak, kelas, atau golongan.
—
Saya tahu betul betapa KRL sudah menjadi ‘nasi’ bagi orang yang berkehidupan di Jakarta. Tak bisa terpisahkan, selalu dicari, dan akan selalu menjadi isi piring meski dengan lauk pauk yang berbeda.
Transportasi ini tak hanya menanggung hajat hidup penduduk yang tinggal di Jakarta, tapi juga para penduduk yang harus commute dari wilayah satelit (re: Bogor, Tangerang, Tangerang Selatan, hingga Bekasi). Dari ujung Tangerang, Merak, Bogor, Nambo, Cikarang, hingga Tanjung Priok; semua berhimpitan demi mencapai tujuan mereka masing-masing.
Dari kelas bawah sampai atas sekalipun, rela berhimpitan tanpa pandang bulu. Semua berada dalam satu tempat tanpa memandang siapa, apa, dan kenapa. Tak ada tatapan sinis meski perbedaan status atau bahkan kekayaan terlihat secara sekilas.
Semua terjadi karena tarif yang diberlakukan sama. Jangan sampai transportasi publik yang jadi kebutuhan primer malah beralih menjadi kebutuhan tersier hanya karena rasa iri atas penetapan tarif yang berbeda.
Maka dari itu, teruntuk para tuan, sebelum wacana aturan baru ini betul-betul diterapkan, coba rasakan berdesakan di Manggarai terlebih dahulu.