Sosial Media, Kuasa Netizen, dan Pengawasan di Tengah Modernitas
Pada submisi column kali ini, Ana Kadir menulis tentang kuasa netizen dan bentuk pengawasan di tengah modernitas.
Words by Whiteboard Journal
Familier dengan kalimat pengisi meme di bawah ini?
“Netizen maha benar dengan segala komentarnya.”
“Capek capek sekolah jadi hakim, padahal kekuasaan tertinggi ada di tangan netizen.”
Atau tak asing saat mendengar penyiar acara gossip maupun berita mengucapkan “… yang kemudian hal ini mendapat buanyak respon dari netizen di laman sosmed miliknya.”
Kalimat-kalimat di atas cukup membuat saya penasaran pada awalnya bagaimana netizen, bukan seseorang yang memiliki dominasi kekuasaan politis dalam parlemen maupun jajaran orang yang muncul dalam majalah Forbes, tetapi dapat memiliki kekuatan yang seakan absolut.
Lantas, dari mana kekuatan netizen tersebut?
Pemikiran saya terpantik saat muncul banyak ujaran bertema viral dulu, baru ditindak. Beberapa diantaranya adalah kasus pelecehan di KPI yang perlu menyedot banyak perhatian sebelum akhirnya polisi bergerak lebih serius menangani kasus penting tersebut. Baru-baru ini, beredar pula video amatir yang memperlihatkan seorang sopir truk mengambil video saat dirinya tengah ditilang oleh polisi yang menukar sanksi tilangnya dengan sekarung bawang. Dalam suatu postingan, teman komunitasnya meminta bantuan agar video tersebut viral. Tujuannya tidak lain agar mendapat respons dari netizen yang diharapkan berupa dukungan setelah mengungkap suatu peristiwa.
Selain berita-berita di atas, kini, banyak hal bisa menjadi viral seperti ujaran seseorang, makanan, atau pun sebatas slime, hingga urusan ranah privat. Respons dari suatu berita viral pun tergantung konteks peristiwa yang terjadi. Jika peristiwa tersebut semenyebalkan kelakuan selebgram yang kabur karantina, kebanyakan netizen sepakat untuk memberikan respons negatif. Sebaliknya, jika peristiwa tersebut adalah sesuatu yang memperlihatkan kebaikan, respons yang diberikan kebanyakan positif. Meski begitu, tak jarang respons yang menjengkelkan muncul seperti saat netizen menyerang Microsoft setelah didapuk menjadi pengguna paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Selain itu, kekuatan netizen pun merambah untuk pencarian orang hilang, menyatukan keluarga atau antar saudara yang terpisah.
Melalui ekspresi dan pola yang ada, jelas netizen memiliki kekuatan. Saat seseorang maupun sekumpulan orang memiliki pengetahuan atas orang lain, maka mereka memiliki kuasa. Menyadari kuasa netizen sangatlah besar, maka sangat urgen untuk kita menghindari penyalahgunaan kuasa, dalam konteks ini diperlukan kehati-hatian saat bertingkah di dunia maya.
Pada tahun 1787, Jeremy Bentham membuat sebuah rancangan bangunan penjara yang menempatkan petugas keamanan di tengah-tengah bangunan melingkar sehingga mereka dapat mengawasi seluruh kegiatan yang dilakukan napi. Namun, para petugas berada dalam suatu ruangan tertutup yang mencegah para napi mengetahui apakah mereka sedang diawasi atau tidak dan menimbulkan chilling effect atau rasa takut maupun tertekan untuk melakukan suatu hal. Desain ini kemudian mempengaruhi seorang intelektual bernama Michael Foucault. Pada 1979, Foucault berpendapat jika posisi dimana seseorang bisa melihat pergerakan orang lain tanpa diketahui dan membuat yang diawasi menjadi waspada, maka hal ini dinamakan surveilans. Surveilans adalah nama kegiatan, untuk melakukan hal ini dibutuhkan suatu medium. Pada masa ini, surveilans dilaksanakan dengan berbagai medium, salah satunya sosial media.
Saat seseorang memposting gambar maupun tulisan, postingan yang awalnya bersifat pribadi kemudian menjadi konsumsi bagi banyak pihak luar. Ada pengguna yang siap dengan konsekuensi dari postingannya jika tiba-tiba ia mendapat banyak perhatian dalam bentuk pujian maupun kritikan, ada yang tidak siap, dan ada juga yang tidak sadar. Kita bahkan bisa melihat sendiri melalui fitur sosial media berapa banyak akun yang telah melihat postingan kita yang jumlahnya sering melampaui jumlah pengikut kita. Dengan semua transparansi dan efek yang ada, masih banyak pengguna tidak menyadari ini adalah bentuk pengawasan di tengah modernitas.
Pengawasan dalam media sosial dilakukan oleh beberapa pihak, salah satunya adalah masyarakat biasa. Mereka mengandalkan kekuatan massa, jika ada suatu postingan malang yang berhasil memanen rasa geram netizen, sanksi yang didapat adalah sanksi sosial, yang bisa jadi, berskala besar karena peredaran informasi yang masif, sesuatu yang disebut viral. Dengan kekuatan massa yang kolektif itulah memunculkan rasa kebenaran karena seseorang merasa mendapatkan validasi atas idenya jika didukung dan disetujui banyak pihak. Maka dari itu, aksi massa dari netizen kerap terjadi. Tetapi apakah netizen selalu ada dalam kebenaran? Tentu tidak. Kebenaran menurut Foucault bukanlah suatu ‘yang benar’ melainkan nilai yang dipercayai oleh banyak pihak. Jika kita mengikuti hal yang banyak diikuti orang lain, maka kita dianggap benar oleh sosial dan jika tidak, maka salah. Kebanyakan dari netizen melontarkan pernyataan berdasarkan asumsi yang belum tentu valid. Bahkan terkadang ada kasus dimana netizen merundung suatu pengguna habis-habisan yang merupakan bentuk penyalahgunaan kuasa yang dimiliki.
Maka dari itu, krusial sekali untuk kita sebagai pengguna media sosial memperhatikan tingkah laku di dunia maya. Postingan maupun ucapan. Banyak sekali mata dengan pemikiran berbeda di luar sana memperhatikan yang kita lakukan tanpa kita sadari. Tidak jarang sanksi yang di dapat bukan sebatas sanksi sosial, tetapi berujung di meja hijau.
Selain itu, kehati-hatian ini bukan hanya untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dari netizen. Namun, sekaligus menghindari penyalahgunaan dari pihak dengan kekuatan hukum yang, dalam diam, memperhatikan semua aktivitas pengguna di media sosial.