Siapa yang Harus Pegang Kendali Ketika Hidup Begitu Canggih?
Pada submisi column kali ini, Oki Mardai menelusuri alasan yang menjerumuskan dirinya dan banyak orang ke dalam jurang konsumerisme hingga depresi, meskipun hidup kian mudah dan dimanjakan teknologi modern.
Words by Whiteboard Journal
Sekitar dua tahun lalu, ketika saya berkunjung ke kediaman kakek saya, kami berdua duduk di ruang tamu sambil menikmati secangkir kopi, seperti biasa kami juga selalu berbincang tentang banyak hal: keluarga, agama, politik, sejarah dan berbagai macam lainnya. Namun, di antara banyak topik yang kami bicarakan sore itu, ada satu pertanyaan yang menempel dan bahkan saya belum mampu memberi jawaban pasti.
“Mengapa anak muda saat ini gampang sekali mengalami depresi? Bukankah di era serba modern segalanya menjadi semakin mudah?”
Saat teringat cerpen karya Agus Noor yang berjudul “Penyair yang Jatuh Cinta pada Telepon Genggamnya”, saya pun juga merasa demikian–meskipun saya bukan seorang penyair. Beberapa tahun belakangan, saya memang jatuh cinta sekali dengan telepon genggam alias ponsel, yang merupakan salah satu penemuan paling mutakhir di era modern ini.
Cinta yang membuncah-buncah itulah yang juga membuat saya menjadi salah satu hamba telepon ponsel paling taat di dunia. Itu semua bisa dilihat dari seberapa sering saya menunduk, seolah sedang beribadah menikmati keagungan cahaya yang bersinar dalam genggaman tangan. Sesekali, saya juga memanjatkan “doa” seperti Twitter, please do your magic!
Dengan melakukan klak-klik-klak-klik melalui ponsel, makan siang saya bisa segera tiba, belanjaan saya bisa sampai di depan rumah, dan semua urusan menjadi cepat beres tanpa harus banyak bergerak. Yang paling penting, tinggal melakukan dansa jempol sederhana saja, saya sudah bisa mengungkapkan rindu ini pada padanya.
Dari dalam benda kecil yang bercahaya itu pula saya mampu melihat berbagai isi belahan dunia dengan segala macam menunya, saya dapat melihat keindahan gunung, laut serta angkasa secara jelas tanpa perlu repot-repot meneteskan keringat menuju ke sana. Selain itu, melalui kecanggihan ponsel pula saya dapat terhubung dengan orang lain, meski jaraknya tak cukup diukur dengan meteran. Saya juga mampu melihat berbagai macam unggahan keseharian manusia lain yang begitu menyenangkan, seolah hidup begitu sempurna dan kesempurnaan itu yang mengunjungi hidup mereka.
Demikianlah kehidupan saat ini, yang mengubah saya menjadi hamba internet bahkan sejak dalam pikiran. Segalanya didapatkan dengan mudah melalui satu benda kecil dalam genggaman tangan. Tapi, mengapa hidup masih demikian rumit?
Suatu hari isi kepala saya terasa begitu amburadul. Hal itu terjadi setelah saya hampir setiap saat melihat akun sosial media beberapa teman lama dan orang-orang seumuran lainnya, yang sepertinya kini jauh lebih sukses dalam karir. Di sana, mereka berbelanja seolah-olah memetik daun, membeli pakaian dan sesuatu yang bermerek segampang mengumpulkan batu kerikil. Beberapa orang itu pergi melancong dari Kuta sampai Ibiza semudah membuka pintu kulkas.
Pada awalnya, sungguh menyenangkan melihat kehidupan orang lain yang berbahagia, seakan tak memiliki beban dalam hidup. Namun, lama-kelamaan saya merasa rendah diri, seperti hidup tak ada apa-apanya dibanding orang-orang yang saya tonton di media sosial. Rasanya seperti mas-mas biasa saja: payah dan gagal. Saya seperti dihantui rasa khawatir karena tertinggal oleh pencapaian orang lain. Tidak hanya itu, saya kerap merasakan low body image setelah melihat keindahan dan kesempurnaan tubuh orang lain. Saya menjadi lebih sering menghadap cermin daripada Tuhan, hanya untuk memastikan agar layak dilihat oleh orang lain. Saya tak mampu mengontrol telepon genggam alias ponsel itu tapi saya justru dikontrol olehnya, membuat saya selalu merasa kurang dengan apa yang selama ini telah saya capai dan miliki.
Perlahan tapi pasti hal itu mendorong saya masuk ke dalam belantara hutan konsumerisme, membuat saya berhasrat memiliki apapun yang baru: baju baru, sepatu baru, tas baru, jam tangan baru dan begitu bernafsu untuk segera memamerkan segala sesuatu yang baru di sosial media, hanya demi meningkatkan derajat di mata orang lain.
Menjadi dewasa dan bekerja memang akan selalu digentayangi oleh setan konsumtif. Mendapat gaji sendiri berarti bebas mempergunakan uang. Oleh karenanya, berziarah ke mall atau pelesir online dengan berbagai macam persenan diskon menjadi begitu menggairahkan.
Barangkali menjadi dewasa memang harus diiringi dengan kemampuan untuk menjadi konsumen yang benar, agar hidup tidak hanya menjadi ladang tuntutan utang, cicilan dan tunggakan. Dosen sekaligus penulis buku asal Korea Selatan, Rando Kim, berpendapat bahwa, “Yang lebih dibutuhkan anak muda saat ini adalah pendidikan konsumen, bukan lagi ekonomi.”
Bagi saya, konsumsi sempat menjelma menjadi tujuan hidup, bukan lagi sarana untuk merasa nyaman dan berbahagia. Mungkin itulah salah satu problem abad ke-21, di era modern seharusnya kecanggihan ponsel dan segala menunya dapat mempermudah berbagai macam urusan. Tapi jika kita lengah, ia mampu mengacaukan segalanya.
Beberapa hari terakhir, saya mulai mendapat secercah pencerahan dari buku yang saya baca, judulnya ”Tuesday with Morrie”. Membaca buku itu seperti membangkitkan memori dua tahun silam bersama kakek saya, yang merupakan obrolan terakhir kami sebelum ia berpulang beberapa bulan kemudian. Buku itu berisi obrolan seorang profesor berusia 78 tahun bernama Morrie Schwartz dari New York dengan mantan mahasiswanya, Mitch Albom, yang dilakukan pada setiap hari Selasa. Ketika itu Morrie menderita penyakit langka hingga membuatnya lumpuh dan usianya tak akan berlangsung lama lagi. Selama sekitar empat belas minggu terakhir hidupnya itu, Morrie berbagi banyak pandangan hidup dengan Mitch dari kursi roda dan segenap perangkat medis yang mengitari tubuhnya, tentang cinta, keluarga, uang dan banyak hal lainnya, tapi yang paling mengguncang hati dan pikiran saya adalah ketika Morrie mengatakan:
“Di negara ini kita telah mengalami semacam proses cuci otak,” keluh Morrie. “Tahukah kau bagaimana cara orang menjalani cuci otak? Mereka dipaksa mendengar sesuatu yang sama berulang-ulang. Dan itulah yang terjadi di negara kita. Memiliki harta itu baik. Memiliki uang banyak itu baik. Memiliki tanah banyak itu baik. Komersialisasi itu baik. Lebih banyak itu baik. Lebih banyak itu baik. Kita mengulangnya dan terus mengulangnya dari waktu ke waktu sampai tidak seorangpun berani berpikir berbeda. Kebanyakan orang begitu terbius dengan semua ini, sampai tidak memiliki perspektif tentang apa yang sesungguhnya paling penting bagi hidup mereka sendiri.”
Selain itu, menurut Ruby Wax dalam bukunya “Sane New World: Taming the Mind”, otak manusia ternyata memang tidak kompatibel dengan kehidupan abad 21. Itu juga barangkali yang menyebabkan pusing dan kebotakan menjadi epidemi manusia modern. Ia menyebutkan bahwa otak manusia memang tidak mampu terlalu banyak dibanjiri informasi dan tetek bengek dunia yang begitu mudahnya diketahui hanya dengan scroll dan swipe.
Meskipun dibanjiri segala macam kemudahan teknologi, manusia modern seperti saya menjadi begitu problematik: seperti tak memiliki makna hidup selain ingin dipandang lebih baik daripada orang lain. Ada kebingungan besar antara apa yang saya inginkan dan apa yang saya butuhkan dalam hidup, seolah tak ada kata cukup. Saya tertegun sejenak memikirkan betapa bodohnya membandingkan kehidupan yang saya miliki dengan satu detik momen bahagia yang diunggah oleh orang lain. Padahal, orang lain hanya menampilkan keindahan saja, sedangkan saya sibuk memikirkan detil kekurangan hidup.
Barangkali, itulah sebagian kecil atas jawaban dari pertanyaan kakek saya. Telepon genggam alias ponsel adalah salah satu di antara ribuan teknologi yang dibuat dan dikembangkan oleh manusia, yang sempat gagal saya kontrol lalu menimbulkan dampak yang tidak sepele bagi jiwa dan pikiran. Apakah anda juga pernah merasa demikian? Mungkin penggalan lirik lagu “Canggih” karya Petra Sihombing berikut dapat menjadi wejangan.
Hidup memang harus canggih
Tapi pastikan kau yang pegang kendali.