Selera Musik dan Subjektivitasnya yang Tiada Henti
Pada esai Column dari Sabilla Salsabilla, partisipan program internship Whiteboard Journal, ia menulis tentang perbincangan soal selera musik yang tiada hentinya.
Words by Whiteboard Journal
Beberapa tahun terakhir, saya merasa bahwa industri musik di Indonesia sedang bagus-bagusnya. Jenis musik yang ditawarkan semakin beragam, aktornya pun juga semakin banyak. Berkat media sosial, para “pemain baru” dapat lebih mudah untuk menyebarluaskan karyanya ke publik, demikian juga dengan para “penikmat” yang bisa memperluas referensinya pada jenis musik yang belum mereka ulik sebelumnya. Tidak hanya bertindak sebagai pemenuh kebutuhan atas informasi bagi para penggunanya, media sosial juga berfungsi sebagai wadah bagi khalayak untuk menyuarakan pendapat.
Sadar atau tidak sadar, kita pasti setidaknya pernah meluapkan emosi yang kita rasakan dengan melontarkannya ke dalam bentuk kata-kata di media sosial. Terkait preferensi musik misalnya, saya kerap kali menemukan orang-orang yang merasa bahwa dirinya berhak untuk merendahkan orang lain atas dasar perbedaan pandangan akan selera musik yang dimiliki tetapi menolak untuk direndahkan. Tidak lupa juga dengan perilaku snobismenya dengan mengglorifikasi apapun yang mereka minati.
Terlepas dari beragamnya jenis musik yang tersedia, rasanya tak perlu ada pengotak-ngotakan serta pelabelan seseorang berdasarkan preferensi musik yang mereka dengarkan. Lagipula, apa salahnya jika memang kita mempunyai selera musik yang jauh berseberangan dengan apa yang sedang diagung-agungkan oleh orang banyak?
Bicara soal “pemujaan” yang berlebihan terhadap suatu figur publik terutama musisi, saya teringat akan istilah celebrity worship. Ketika orang sudah terlalu fanatik terhadap suatu hal, mereka akan cenderung untuk tidak menggunakan akal sehatnya dalam bertindak. Mengedepankan egonya sendiri ketimbang menghargai perspektif orang banyak. Tetapi kita pun juga tidak tahu, apakah celotehan si manusia superior ini adalah wujud asli dirinya sebagai penikmat musik? Apa ia hanya berperan sebagai orang yang terpengaruh akan mob mentality di lingkungannya saja?
Keresahan saya akan mentalitas ikut-ikutan ini awalnya timbul ketika saya pernah mendapati seorang teman yang pada saat itu memperlihatkan kegemarannya akan seorang musisi beraliran alternatif di media sosialnya. Padahal, apa yang ditunjukkan tidak selaras dengan realitanya. Bukannya mau berpikiran negatif, tapi saya tahu apa yang ia lakukan hanya sebatas demi untuk berada di lembaran yang sama dengan orang yang ia ingin kenal dekat. Ketika akhirnya ia gagal mendapatkan apa yang ia mau, tidak ada satupun posting-an fanatisme yang kembali bertengger di akun Twitter-nya.
Yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah, apa iya kita harus tidak menjadi diri kita sendiri untuk bisa berada di suatu kelompok tertentu? Untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain? Untuk bisa sesuai dengan standar yang ada di luar sana?
Percayalah, bahwa semua orang bebas dengan preferensi yang dimiliki dan siapapun itu tidak berhak untuk menghakimi. Tidak ada salahnya kok jika kalian gemar mendengarkan kumpulan lagu top 40, menghafal seluruh gerakan tarian lagu-lagu K-Pop selama satu album penuh, atau menangis tersedu sembari menikmati alunan koplo dengan lirik berbahasa Jawa. Jika memang hal itu membuat diri kalian menjadi lebih tenang dan bahagia nantinya, kenapa harus ditutup-tutupi? Semua orang berhak atas kebahagiaannya sendiri tanpa harus terintimidasi oleh anggapan orang lain.
Bagi saya, topik perbincangan mengenai selera musik setiap orang pada akhirnya akan selalu bersifat subjektif dan tidak ada habisnya. Jadi, tinggal bagaimana kita menerima dan menghargai pilihan masing-masing. Toh, masih ada banyak cara yang bisa dilakukan dari diri kita untuk mendukung sang idola selain menjadikan orang yang tidak mendengarkan karyanya menjadi objek bully-an. Saya yakin para seniman ini tidak butuh “backingan” atas perilaku yang diperbuat, mereka hanya butuh karyanya bisa dinikmati dan diapresiasi oleh para pendengarnya.