Saya Benci Depok, Tapi Kota Ini Adalah Rumah
Pada submisi column kali ini, Ghina Prameswari bercerita tentang hubungan dan kebingungannya tentang identitas Kota Depok.
Words by Whiteboard Journal
Sebagaimana Christine pada film Ladybird—yang bilang bahwa ia berasal dari San Fransisco ketika sebenarnya ia lahir dan besar di Sacramento—saya kerap melakukan hal yang sama ketika menerima pertanyaan, ‘lo orang mana?’. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang paling saya hindari kedua setelah pertanyaan, ‘lo ngambil jurusan apa?’ karena jawaban yang saya berikan terhadap kedua pertanyaan tersebut hanya akan memantik lebih banyak pertanyaan yang terasa menyebalkan dan sulit untuk saya jawab. Sebagai penegasan, saya tak pernah betul-betul berbohong tentang wilayah asal saya. Hanya saja saya sering berputar-putar ketika memberikan jawaban. Saya akan menjelaskan tentang darimana ibu dan ayah saya berasal, dimana mereka dulu bertempat tinggal, dan penjelasan-penjelasan lain yang sama sekali tidak relevan dengan pertanyaan yang diberikan. Itu karena sulit sekali bagi saya untuk bisa memberikan jawaban, meski sebetulnya ia sudah menggantung di pangkal lidah, jelas dan lantang; Depok. Gue orang Depok.
Sedikit konfirmasi—dalam dua paragraf saja saya sudah membuat dua konfirmasi, terlihat betul saya sedang mengelak dan mencari justifikasi—saya tidak lahir di Depok, tapi saya besar disini. Dan bagi saya itu jauh lebih memalukan. Depok adalah kota yang berisik, sesak, dan tak punya kelebihan khusus. Saya rasa Depok juga tidak punya apapun untuk ditonjolkan selain tata kota yang buruk dan kebijakan-kebijakan yang absurd. Untuk sekian lama daerah ini turut menyokong pertumbuhan Jakarta, tapi saya rasa dalam prosesnya Depok telah kehilangan banyak dari warna aslinya. Saya tak pernah benar-benar tahu apa yang sebetulnya menjadi identitas dari kota ini, selain sebutan ‘Kota Belimbing’ yang ada baiknya diganti saja dengan ‘Kota Thai Tea’ karena hampir di setiap sudutnya pasti ada gerai Thai Tea, dan untuk alasan yang tak dapat saya ungkapkan semuanya terasa terlalu manis. Orang Depok memang punya preferensi yang buruk. Itu juga jadi salah satu alasan Depok tak punya satupun restoran enak. Bicara soal restoran, seluruh restoran di Depok mematok harga yang terlalu tinggi untuk rasa yang mereka tawarkan. Sebagian besar restoran di Depok menjual makanan yang sama; mereka entah di geprek atau diberi saus keju. Sisanya adalah restoran yang dikelola oleh selebriti, yang saya rasa telah kehilangan kemanusiaannya karena berani menaruh harga diatas 50.000 untuk kue spons yang terlalu kering—dan sebagai catatan, melumurinya dengan krim kocok tidak menjadikan rasanya lebih baik. Tapi saya rasa mereka cukup cerdas untuk membuka gerai di Depok, karena tidak ada pasar yang lebih menjanjikan daripada sekumpulan orang yang tak tahu siapa mereka atau apa yang mereka mau, sehingga mudah sekali untuk dicekoki apapun. Sama halnya dengan Depok, orang-orang yang mendiami kota ini juga tak punya warna yang jelas. Barangkali saya juga salah satunya. Terdapat tekanan tertentu untuk terlihat seperti ‘orang Jakarta’, padahal Jakarta juga tak sama baiknya (walaupun tetap tidak ada yang seburuk Depok di mata saya).
Ketika melihat kota ini, rasanya seperti melihat bocah remaja yang tak punya pijakan yang jelas. Mengikut kemana arus membawa, dan membiarkan apapun yang lewat mendefinisikannya. Masalahnya adalah, remaja itu sudah 303 tahun berdiri. Alih-alih pubertas, itu bahkan sudah bukan mid-life crisis lagi! Diatas itu semua, pemanasan global paling nyata terasa di Depok. Semua orang membuka gerai kopi, restoran dengan menu yang serupa berdiri berdampingan, limbah makanan dan plastik sekali pakai semakin menumpuk setiap harinya. Tapi orang Depok peduli apa? Kami semua hidup dalam utopia yang berisikan kedai Janji Jiwa. Orang Depok juga tidak bisa mengemudi dengan baik. Tuhan sungguh baik karena masih memberikan saya kesempatan untuk hidup, karena jika tidak saya pasti sudah meninggal di perempatan Gunadarma. Makan waktu hampir 30 menit (yang mana seharusnya bisa dikurangi menjadi 15 menit saja) bagi saya untuk dapat tiba di kampus. Itu karena lampu lalu lintas di perempatan tersebut sudah dua dasawarsa tidak diperbaiki—terlepas dari fakta bahwa tepat disebelahnya adalah sebuah pos polisi (ah tapi saya bisa bilang apa, polisi dimanapun memang tidak dapat dipercaya). Tapi sekarang banyak penjual bunga di tepi jalan, setidaknya itu bisa membuat kemacetan—yang sebetulnya tidak perlu terjadi jika orang Depok bisa lebih pintar dalam mengemudi—yang saya hadapi terasa sedikit lebih baik.
Hubungan saya dengan Depok tidak seperti hubungan Franz Lebowitz dengan New York. Meski sering mengkritisi New York, Franz merasakan keterikatan batin yang besar dengan kota tersebut. Tempo hari saya menemukan perumpaan yang tepat untuk menggambarkan hubungan saya dengan kota ini. Depok dan saya memiliki hubungan yang sama dengan saya dan keluarga besar saya. Meski mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari kota ini, jika punya pilihan untuk tinggal di kota lain, pilihan itu akan saya ambil dalam sekejap. Depok bising, terlalu banyak hal-hal yang tidak penting di dalamnya, dan saya tidak mencintai kota ini. Depok adalah isian yang memalukan pada kolom ‘domisili’, Depok adalah jawaban yang tak akan mampu untuk saya berikan, tapi saya tak punya pilihan lain. Kota ini adalah rumah, setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Depok melihat saya jatuh cinta berkali-kali, dan menangis berkali-kali pula. Saya menemukan sahabat-sahabat terbaik saya disini, namun bersamaan dengan itu saya juga kehilangan beberapa dari mereka. Tidak ada yang perlu diromantisir tentang jalan Margonda, karena ia macet dan penuh debu. Namun juga, seorang mantan kekasih pernah bolak-balik jalur itu untuk mengantar saya pulang. Semuanya, yang sekarang sudah tak lagi bisa saya raih pernah punya tempatnya di sudut-sudut dari kota yang jelek ini. Dan saya kira memori-memori itu tidak sepenuhnya buruk.
Sebagaimana Christine yang baru merasakan kerinduan pada Sacramento saat ia pindah ke New York, atau Greta Gerwig yang akhirnya berdamai dengan kota kelahirannya ketika ia menulis Ladybird, kelak saya juga akan mampu untuk melakukan hal yang sama. Ketika saya sudah tidak lagi tinggal disini, barangkali sebagian dari diri saya masih akan tertinggal di Depok—memaki pengendara motor, menghirup debu di Margonda, mendengar khotbah tentang jin yang menyetubuhi manusia di sebuah kios fotokopi di Jalan Akses UI.