Saat Dunia Tak Berkeadilan, Apakah Mungkin Terus Menjaga Iman?
Dalam submisi Open Column kali ini, dan di atas carut-marut yang setiap hari ada di kehidupan kita, Muhammad Hilmi merefleksikan rasa muaknya terhadap ketidakadilan di segala aspek kehidupan yang sudah terlewat kaotis, dan pencariannya akan harapan—yang berjalan beriringan dengan iman—di sela-sela reruntuhan dunia.
Words by Whiteboard Journal
Belakangan, susah rasanya untuk bahagia. Sosial media yang biasanya jadi tempat eskapisme kita, kini jadi muara duka itu berada. Biasanya begini skenarionya: buka IG Stories, lihat teman pamer postingan makanan, teman sedang manggung atau party, iklan dari marketplace yang barusan kita buka, teman kuliah pamer anaknya belajar jalan. Sampai di sini, mungkin terasa biasa. Bedanya, rasa iri, nyinyir, hasrat untuk bergosip, atau tertawa kecil yang biasanya hadir, kini hilang tak bersisa. Karena di antara konten-konten tadi, kita akan melihat warga Palestina yang jadi korban keji Israel. Bahkan, di awal pekan ini, beredar laporan yang menyatakan bahwa pengungsi Palestina di Gaza dibakar hidup-hidup oleh pasukan Israel dalam salah satu eskalasi kekerasan yang semakin brutal.
Bahkan kalau sehabis itu kita lihat meme yang biasanya bikin ketawa, kini hanya getir yang terasa.
Selain Palestina, pahit ini semakin sering muncul di antara keseharian kita. Di linimasa beberapa waktu yang lalu muncul video tentang korban obat demam beracun yang ditelantarkan negara. Lalu, korban tragedi Kanjuruhan yang hanya bisa menyalahkan angin setelah lebih dari setahun berlalu tanpa kejelasan. Di Kendeng, warga yang berjuang melawan pembangunan pabrik semen sampai sekarang tak kunjung melihat harapan. Ibu Sumarsih yang tahun ini memperingati 25 tahun kematian anaknya tanpa pernah tahu siapa yang membunuh. Sementara di sana, para elit politik sibuk merancang konstelasi politik masing-masing, seolah lupa dengan dosa yang mereka semua punya.
Kita melihat sendiri bagaimana orang-orang yang tak kompeten justru diberi posisi tinggi. Mereka yang menduduki jabatan penting, bukan karena kemampuan atau dedikasi, tapi karena koneksi atau hubungan keluarga. Sementara rakyat yang berada di bawah, diperas dan ditindas demi kepentingan pribadi dan keluarga penguasa. Banyak kebijakan yang seharusnya berpihak pada rakyat malah hanya menguntungkan segelintir orang. Keadilan yang kita dambakan seolah menjauh, karena yang berkuasa seenaknya mengatur nasib bangsa demi memperkaya diri sendiri dan memperkuat dinasti politik mereka.
Oke, kita mungkin memang berada di akhir zaman. Jadi dunianya memang sudah beyond repair. Tapi, kalau benar begitu, lantas di mana posisi Tuhan? Jika memang ini adalah akhir zaman, lalu di mana kita bisa menaruh harapan, dan tetap menjaga iman, bila untuk bertahan hidup saja kita harus kelimpungan? Banyak di antara kita yang bahkan lahir tanpa harapan untuk hidup layak, atau bahkan untuk hidup sekalipun—buru-buru masih harus mikir soal Tuhan?
Di perjalanan hidup ini pula, sulit untuk tidak melihat bahwa carut-marut dunia ini adalah hal yang sistemik. Banyak dari masalah ini bermula dari sistem dunia yang disetir oleh jiwa-jiwa yang cabut saat pembagian jatah nalar soal kemanusiaan. Karena banyak orang terdampak ketidakadilan tanpa pernah bisa mengendalikan situasi yang mereka hadapi. Kita diajarkan bahwa cobaan sesuai kemampuan masing-masing, tapi kenyataannya tidak begitu. Sebagai bapak, saya merasa bersalah membawa anak-anak saya ke dunia yang sudah rusak seperti ini. Apakah layak bagi mereka untuk mencari iman di tengah perjuangan hidup yang begitu berat? Bukankah harusnya ada intervensi dari Tuhan dalam situasi sistemik seperti ini? Karena sekarang-sekarang ini, rasanya seperti Tuhan abstain saat para penjahat kemanusiaan ini beraksi.
Dengan keresahan ini, saya mencari sisa-sisa iman melalui pertanyaan pada teman yang punya keseimbangan akal dan iman. Saya bertanya kepadanya: “Kenapa dunia ini sepertinya tidak adil? Bagaimana caranya kita bisa menjaga iman di tengah ketidakadilan yang kita hadapi setiap hari? Bagaimana kita bisa menemukan harapan ketika dunia sepertinya sudah rusak tanpa ada jalan kembali?”
Teman saya, seperti yang saya harapkan, menjawab dengan penuh kebijaksanaan. Dalam percakapan tersebut, teman saya menegaskan bahwa keadilan sejati baru akan terlihat di hari Kiamat, di mana amal akan ditimbang dengan tepat, sehingga tidak seorang pun dirugikan, meskipun sedikit. Meskipun kita sering mendengar ini, dia menekankan bahwa harus ada keselarasan antara apa yang kita ketahui dan apa yang benar-benar kita yakini (conviction). Salah satu cara untuk mencapai keyakinan ini adalah melalui salat, meskipun sering kali terasa seperti kewajiban yang berat atau bahkan membingungkan, seperti “kenapa kita harus shalat lima kali sehari?”
Bahwa meskipun salat mungkin terasa sulit, itu tetap merupakan kewajiban yang harus dipenuhi. Perjuangan untuk menjalankannya, bahkan ketika tidak sempurna atau penuh dengan keikhlasan, adalah bagian dari proses spiritual. Dia mengingatkan bahwa salat akan menjadi hal pertama yang dipertanyakan kelak. Setidaknya, mungkin ketika kita mencoba untuk kembali menjalani rutinitas ibadah seperti salat, mungkin akan muncul sensitivitas baru yang membuat kita lebih sadar dan tenang:
In which, rather than grudging about Him to me, perhaps you could complain about Him, to… Him? Karena He’s the Solver of All Things, of All Sadness.
Deg.
Belum sempat hati kering iman ini terguncang, teman saya tadi kemudian menambahkan, “cobaan memang datang sesuai kemampuan. Sulit memang melihatnya dari perspektif kita, apalagi dalam kasus seperti Palestina. Tapi, keyakinan mereka kuat bahwa ini takdir yang harus dijalani, sebagai barometer umat. Jadi, di level kita, ujian itu mungkin datang dalam bentuk lain—seperti diam melihat ketidakadilan. Sampai kapan kita hanya diam?”
Deg.
“Intervensinya akan datang, itu sudah pasti. Tapi memang kita kan terbatas ya kesabarannya. We wanna see results, redemption yang nyata, etc. Walau kan nggak selalu harus in our lifetime. Rasulullah SAW juga nggak pernah ngeliat umatnya ‘jaya’ di era Baghdad, misalnya,” tambahnya.
Deg.
Selain hati yang tergetar, diskusi ini membuat saya berpikir, apakah saya terlalu jauh menuntut keadilan dari dunia yang memang tak pernah bisa memberi keadilan penuh? Mungkin jalan yang harus ditempuh adalah tetap berjuang dengan keyakinan, dan terus memohon kepada Tuhan, agar kita diberikan kekuatan untuk bertahan dalam carut-marut ini.
To be completely honest, saya ragu bahwa perspektif di kepala tentang dunia yang carut marut ini akan berubah setelah obrolan ini. Atau apakah iman saya kembali setelah obrolan ini. Tapi, ada rasa hangat di dada setelah mendengar saran dari teman tadi. Bahwa selalu menenangkan bahwa masih ada celah-celah iman itu muncul lagi, entah dari mana asalnya. Semoga tulisan ini juga mengembalikan sedikit cahaya di hati kita semua. Dan semoga, semua yang sedang berduka, terluka, segera diberikan penawar dan kebahagiaannya.