Rindu Kembali Normal
Submisi open column dari Christian Hutahaean yang memuat opini serta pengalamannya terkait upaya untuk bisa survive di tengah COVID-19.
Words by Whiteboard Journal
Pemberlakuan kebijakan untuk melakukan segala kegiatan dari rumah akan memasuki minggu kedua. Katakanlah demikian, karena terdapat sedikit disparitas waktu dalam penerapan kebijakan ini. Tapi, rata-rata di setiap tempat sama-sama telah melewati satu minggu bekerja dari rumah (Work From Home) dan kuliah jarak jauh dalam jaringan (Daring) bagi para mahasiswa.
Banyak cerita dan peristiwa dalam satu minggu yang telah berlalu. Mulai dari bertambahnya angka postif corona, kisruh banjir informasi soal corona, anggota DPRD yang merasa tersinggung saat hendak diidentifikasi sebagai ODP (Orang Dalam Pengawasan) corona, sentimen kelas, hingga silang pendapat antara pemerintah dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) perihal vaksin corona.
Kalau boleh jujur, implikasi dari penyebaran Covid-19 tersebut telah turut menambah kepanikan masyarakat. Bahkan tidak hanya panik, tapi juga jengkel, geram, kecewa, dan berbagai perasaan lainnya yang barangkali tidak terungkapkan dalam situasi penuh “teror” ini. Sebagian orang bahkan menilai implikasi tersebut sama menerornya dengan virus itu sendiri, atau setidak-tidaknya hampir menyamai teror si virus.
Pernyataan semacam itu memang tidak bermaksud menempatkan wabah corona sebagai hal sepele dan tidak mengancam. Hanya saja, orang-orang yang menyatakan demikian beranggapan dan berharap, solidaritas seharusnya dibangun dalam suasana yang optimistis. Bukan malah menyebar dan menambah ketakutan. Dalam hal ini, yang dimaksud tentunya adalah media, pemerintah, serta sesama masyarakat. Bahkan, akhir-akhir ini di media sosial, muncul sebuah meme yang menyinggung bagaimana media membingkai (framing) virus corona menjadi sebuah cerita yang sangat menakutkan.
Lagi-lagi saya beranggapan, lelucon seperti itu tidak serta merta berniat menyepelekan ancaman corona. Melainkan mengingatkan semua orang, terutama media, agar tetap menyebar dan membangun optimisme dalam menghadapi wabah pandemi ini. Kendati masyarakat juga sadar, menulis dan memberitakan “ketakutan” akan corona sebagai sebuah fakta tetap diperlukan agar seluruh masyarakat senantiasa was-was serta menjalankan perannya untuk mencegah penyebaran virus.
It is better to die laughing than to be dead scared. Lebih baik mati tertawa, daripada mati ketakutan. Barangkali, itulah yang hendak disampaikan oleh masyarakat melalui jokes di tengah merebaknya wabah ini.
Bebal, dilema, dan sentimen kelas
Satu lagi peristiwa yang mengacak-acak emosi dalam suasana ini adalah kebebalan sebagian orang pasca diterapkannya kebijakan work from home ataupun self-isolation. Bagaimana tidak, walaupun sudah diinstruksikan untuk “mengurung diri”, menjauhi kerumunan, dan membatasi interaksi fisik (physical distancing) sementara waktu guna mencegah penularan virus, masih ada saja orang yang berkeras melakukan kegiatan di luar rumah, pergi ke kerumunan, atau bahkan menciptakan kerumunan.
Mulai dari anak sekolahan yang “diliburkan” tapi malah pergi jalan-jalan ke mall, hingga pemuka agama yang dengan dalil agamanya menyerukan agar kegiatan keagamaan/peribadatan tetap dilaksanakan seperti biasa. Sungguh, orang-orang semacam ini agaknya sudah bebal sejak dalam pikiran.
Kebijakan untuk mengisolasi diri dan membatasi pergerakan ini memang tidak bisa dipahami secara kaku, apalagi secara sepihak yang kemudian mengakibatkan sesama masyarakat saling menghakimi. Namun, saya kira, kita cukup cerdas untuk menilai alasan-alasan menentang kebijakan tersebut, mana yang bisa diterima nalar dan mana yang tidak.
Saya sendiri pun dibuat dilema oleh instruksi ini. Beberapa waktu yang lalu serta beberapa waktu ke depan, saya bersama teman-teman saya harus melakukan kegiatan praktik peradilan semu sebagai syarat untuk menyelesaikan studi kami di fakultas hukum. Di satu sisi, kami dihantui rasa takut ketika berkegiatan di luar rumah. Di sisi lain, kami juga takut ketinggalan melaksanakan praktik. Hal ini karena tidak adanya instruksi yang tegas dan jelas untuk, misalnya, benar-benar menunda semua pelaksanaan kegiatan praktik tersebut.
Bahkan, urusan-urusan administrasi untuk melaksanakan praktik ini pun dilakukan secara fisik/manual. Alhasil, dalam suasana paranoid corona, para mahasiswa harus berdesakan demi mengurus kuliahnya. Saya sempat mengatakan pada beberapa teman, kenapa urusan administrasi ini tidak dilakukan secara online saja. Tinggal scan berkas, lalu kirim ke alamat surel kampus. Apa lacur, keluhan tinggal keluhan, harapan tinggal harapan.
Hal yang hampir sama juga terjadi pada banyak orang (kecil). Tapi yang ini bukan sekadar dilema, melainkan lebih mengarah ke sentimen kelas. Sebut saja para petani, nelayan, penarik becak, pedagang kecil, serta “orang kecil” lainnya. Tidak beraktivitas seperti biasanya sama artinya dengan hilangnya pendapatan mereka. Hilangnya pendapatan mereka sama artinya dengan terancamnya keberlangsungan hidup mereka. Lantas, hidup terancam karena virus dengan terancam tidak makan, apa bedanya bagi mereka. Naas memang, work from home tidak berlaku bagi mereka.
Di lain sisi, kesenjangan yang begitu kontras antara “orang berada” dengan “orang kecil” terlihat di mana-mana. Orang berada yang memborong dan menimbun segala persediaan, dari pangan hingga masker, hand sanitizer, dan obat-obatan, membuat harga melambung tinggi, sehingga orang dengan kemampuan pas-pasan tidak lagi sanggup beli. Situasi ini tentunya diperparah oleh pedagang yang hanya berorientasi profit namun tidak punya kepekaan sosial serta kurangnya pengawasan dari pemerintah.
Tanggung jawab semua orang
Di saat-saat seperti ini, peran nyata pemerintah tentunya sangat dinanti-nanti oleh semua pihak. Kebijakan pemerintah harus lebih komprehensif dan terukur. Hal ini agar dampak dari penyebaran wabah corona tidak menjadi ancaman baru bagi masyarakat. Dengan kata lain, agar tidak muncul masalah-masalah baru ketika hendak mengatasi masalah pokoknya.
Kendati demikian, upaya untuk mencegah virus ini tentu bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan tanggung jawab semua orang tanpa terkecuali. Masyarakat harus bisa diajak bekerja sama. Langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah juga harus didukung, disamping tetap diawasi dan diberikan masukan. Berbagai elemen masyarakat, sebagaimana disebutkan sebelumnya, juga harus membangun solidaritas dalam suasana optimistis namun tetap rasional dan penuh pertimbangan.
Hanya dengan demikian, kita berharap agar persebaran virus Covid-19 bisa berhenti secepatnya, yang terjangkit lekas sembuh, tidak ada lagi korban jiwa, dan segala aktivitas bisa berjalan lagi seperti biasa.
Pada akhirnya, kita semua berharap situasi bisa kembali normal sesegera mungkin. Karena biar bagaimanapun, untuk saat ini, yang kita rindukan hanyalah kembali normal.