Refleksi Pemilu 2024: Apakah Kita Memang Belum Siap Berdemokrasi?
Dalam submisi Open Column ini, Mohammad Qhisyam dengan skeptis mengkritisi mekanisme pemilu yang seolah dilaksanakan dengan mengesampingkan pendidikan publik, baik politik maupun umum.
Words by Whiteboard Journal
Pesta demokrasi lima tahunan Indonesia baru saja berakhir beberapa bulan lalu. Bagi beberapa orang, noda tinta di jari tangan mereka menyiratkan harapan-harapan untuk beberapa tahun ke depan. Tetapi bagi sebagian yang lain, noda tinta di jari mereka bisa saja hanyalah sebatas noda tinta biasa, tidak ada makna apa-apa di sana. Bagi kelompok kedua, mencoblos bisa jadi hanyalah urusan ikut-ikut kawan atau keluarga, atau bahkan yang lebih fatal, sekadar memenuhi rasa penasaran tanpa mengulik lebih dalam tentang siapa-siapa yang dipilih.
Salah satu negarawan termahsyur dari Negara-Kota Athena, tempat pertama kali lahirnya demokrasi, Perikles, pernah menyebut bahwa sistem demokrasi dirancang untuk melindungi kepentingan seluruh rakyat dari kepentingan satu golongan atau kelompok. Oleh sebab itu, dalam penyelenggaraan negara, sistem pemerintahan demokrasi tentu saja harus menekankan adanya partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, salah satunya bisa melalui Pemilu. Akan tetapi, bagaimana jika mayoritas rakyat yang terlibat di dalam dinamika demokrasi ini justru tidak memiliki kemampuan berpikir yang logis dalam menyikapi suatu isu sebagai dasar dalam pengambilan keputusan politik?
Berlangsungnya Pemilu terakhir meninggalkan banyak catatan dalam dinamika demokrasi di negara kita. Mulai dari kontroversi pencalonan Gibran Rakabuming sebagai salah calon Wakil Presiden hingga ketidaknetralan aparat dan ASN dalam Pemilu untuk memenangkan paslon tertentu, baik melalui politisasi bantuan sosial, penggunaan fasilitas negara, hingga kampanye terselubung. Tidak berhenti di sana, dalam Pemilu ini (lagi dan lagi) masih banyak mantan terpidana kasus korupsi yang kembali mencalonkan diri sebagai Anggota Dewan. Lalu, apa tindakan yang publik ambil menanggapi fakta-fakta tersebut? Sayangnya, apa yang terjadi menunjukkan bahwa beberapa dari orang bermasalah ini tetap saja melanggeng ke kursi-kursi pemerintahan melalui suara dari publik kita sendiri melalui Pemilu.
Bicara Pemilu, juga berarti bicara pemilih dalam Pemilu itu sendiri: penduduk Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2023, dari total penduduk Indonesia dengan usia di atas 15 tahun, hanya ada 10,15% yang memiliki level pendidikan hingga perguruan tinggi ke atas. Sisanya, mayoritas hanya tamatan SMA/Sederajat atau bahkan di bawah itu. Masih berdasarkan data yang sama, jika kita kalkulasikan total penduduk Indonesia yang jenjang pendidikannya hanya sampai SMP/Sederajat, angkanya mencapai 59,62%, atau berarti separuh lebih total penduduk Indonesia. Dengan begini, dapat kita katakan, dalam Pemilu Indonesia, pengaruh suara orang-orang dengan tingkat pendidikan formal SMA/Sederajat hingga perguruan tinggi tiada artinya dibandingkan mereka yang berpendidikan tidak lebih dari SMP/Sederajat yang jumlahnya mendominasi.
Angka penduduk yang mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi di Indonesia memanglah hanya mencapai 10,5%. Seandainya berjumlah lebih tinggi pun, kita juga harus bertanya: apakah mutu perguruan tinggi di Indonesia sudah dapat benar-benar menjamin bahwa lulusannya sudah pasti memiliki kemampuan berpikir logis sebagai dasar dalam keputusan politik? Sedihnya, kita harus skeptis mengenai hal tersebut, mengingat kultur pendidikan kita yang sangat berorientasi pada hasil dibandingkan proses. Hal ini didukung oleh maraknya skandal plagiarisme di kalangan akademisi Indonesia. Tentunya, hal itu merupakan buntut dari kebijakan yang memaksa dosen-dosen untuk terus menerus menerbitkan artikel ilmiah, hingga akhirnya kualitas terbitannya perlu dikesampingkan. Selain itu, pola pikir masyarakat kita yang umumnya memandang perguruan tinggi sebagai formalitas belaka untuk mencapai “kesuksesan” membuat sebagian orang yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi dalam keadaan tidak benar-benar melatih daya pikir kritisnya dalam menyikapi sesuatu, melainkan hanya mengejar ijazah saja.
Jika menilai mutu perguruan tinggi kita dengan angka pun akan mendapat kesimpulan yang sama. Hanya ada 3 perguruan tinggi Indonesia yang mampu menembus ranking 300 besar dari 1400 perguruan tinggi yang terdaftar di pemeringkatan QS World University Rankings 2024. Hal ini menunjukkan secara umum kualitas perguruan tinggi kita, yang bisa dibilang cukup tertinggal dibanding perguruan tinggi di negara lain. Data tersebut juga senada dengan data lain yang mengungkapkan kecilnya minat mahasiswa asing untuk menempuh studi di Indonesia. Apakah data tersebut menunjukkan bahwa kualitas perguruan tinggi kita memang dianggap meragukan di mata mahasiswa asing? Tercatat hingga hari ini, hanya ada sekitar 6000 mahasiswa asing yang mau mengais ilmu di Indonesia. Sila bandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, yang masing-masing memiliki mahasiswa asing berjumlah 55.000 dan 170.000.
Beberapa tahun ke belakang, arus informasi sangatlah laju perputarannya di media massa atau pun media sosial, dan sering kali informasi-informasi yang lewat ini saling bertabrakan. Informasi-informasi ini secara tidak langsung, tentu, akan menjadi pertimbangan kita dalam mengambil keputusan politik, khususnya dalam Pemilu. Oleh sebab itu, kemampuan berpikir yang logis untuk memilah informasi dan menyikapi suatu isu sangat dibutuhkan agar dapat mengambil keputusan politik dengan matang, dan cara paling umum untuk memiliki kemampuan tersebut adalah melalui pendidikan formal. Mayoritas masyarakat yang tidak teredukasi dengan baik hanya akan menjadi lahan basah tersendiri bagi orang-orang yang berambisi memuluskan kepentingan pribadi maupun kelompoknya melalui Pemilu. Berkaca pada fakta dan realita terkait kualitas pendidikan mayoritas masyarakat kita, maka tidak mengherankan sebagian kursi-kursi pemerintahan kita diduduki oleh orang-orang bermasalah yang melenting ke atas dengan memanfaatkan mekanisme Pemilu.
Orang-orang bermasalah ini, pada akhirnya, hanya memiliki kemungkinan kecil untuk mengambil langkah-langkah yang melindungi kepentingan rakyat yang dahulu memilihnya ketika sudah menjabat di kursi pemerintahan. Dalam posisi ini, masyarakat umum hanya dijadikan alat bagi mereka untuk mendapatkan posisi-posisi strategis di pemerintahan—melalui janji-janji akan dilaksanakannya kebijakan populis ketika terpilih nanti. Masih bagus jika yang ditawarkan sebagai nilai jual adalah kebijakan populis. Sering kali, nilai jual yang ditawarkan kepada calon pemilih adalah politik uang, entah itu dalam bentuk bantuan sosial, sembako, uang tunai, atau keuntungan-keuntungan lainnya.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya politik uang ada banyak, salah satunya (lagi-lagi) adalah akibat kurangnya pendidikan dari masyarakat sebagai partisipan Pemilu itu sendiri. Pendidikan dapat memengaruhi sistem nilai yang mendasari orientasi dan perilaku politik seorang individu; melaluinya seorang individu dapat memiliki nilai etika dan moral yang membantu mereka untuk menyikapi suatu isu sebagai dasar dalam pengambilan keputusan politik. Berkaca pada realita pendidikan masyarakat masyarakat Indonesia, maka tidak heran melihat survei Indikator Politik Indonesia (IPI) yang menyatakan bahwa 46,9% masyarakat kita mewajarkan politik uang sebagai bagian dari kehidupan berdemokrasi. Sialnya, masih berdasarkan survei dari IPI, jika kita bandingkan dengan data yang diambil pada Pemilu 2019, angka masyarakat yang mewajarkan politik uang dalam Pemilu kemarin meningkat hingga 14,9%, dari yang awalnya 32%.
Filsuf terkemuka Yunani, Plato, adalah salah satu orang yang mengkritik keras sistem demokrasi. Menurutnya, di dalam sistem demokrasi, suara dari seseorang yang berpendidikan akan dinilai setara dengan suara dari seseorang yang tidak berpendidikan. Bayangkan saja, bagaimana kita bisa menjamin bahwa sistem demokrasi, yang bersandar pada keputusan mayoritas, dapat dijadikan tolok ukur dalam pengambilan keputusan terbaik, jika mayoritas rakyat yang menjalankan demokrasi itu sendiri bahkan tidak mampu mencerna inti sari sebuah teks dengan tingkat kesulitan untuk anak sekolah menengah? Jika kita analogikan sistem demokrasi yang sehat sebagai sebuah rumah, maka masyarakat yang teredukasi dengan baik adalah pondasi utama dari rumah tersebut. Oleh sebab itu, wajib hukumnya, masyarakat kita diberikan bekal pendidikan yang cukup sebelum akhirnya bisa terlibat dalam Pemilu.
Partisipasi publik luas melalui Pemilu yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan berdemokrasi sebenarnya bukanlah suatu hal yang buruk, tetapi dengan catatan mayoritas masyarakat wajib sudah teredukasi dengan baik. Menengok realita masyarakat Indonesia yang mayoritas belum teredukasi dengan baik, sudah seharusnya, pemerintah sebagai instrumen yang memiliki kuasa untuk membangun sistem yang berorientasi pada kepentingan masyarakat umum mengevaluasi kembali partisipasi publik kita dalam Pemilu agar dapat menjadi lebih bermakna.
Percuma rasanya jika publik luas diberikan kesempatan untuk ikut berkontribusi dalam bernegara, tetapi pada akhirnya partisipasi ini hanya menjadi partisipasi semu, karena tidak dapat menjamin diambilnya keputusan terbaik untuk kemaslahatan masyarakat. Pada akhirnya, kesempatan publik untuk berpartisipasi dalam Pemilu dengan keadaan mayoritas masyarakat belum teredukasi dengan baik hanya akan menjadi karpet merah menuju singgasana kekuasaan bagi pemimpin-pemimpin populis dengan kualitas yang patut dipertanyakan. Pertanyaannya, apakah pemerintah kita memiliki keinginan untuk mengevaluasi hal ini? Atau jangan-jangan, masalah ini sengaja dibiarkan karena menguntungkan lingkaran-lingkaran tertentu dalam kekuasaan?