Playlist Bukan Tolok Ukur Status Sosial, apalagi Tingkat Kekerenan
Dalam submisi Open Column ini, Adinda Sayyidah menyoroti perhatiannya terhadap fenomena kompetisi playlist di antara pengguna internet dan diskursus musik dan kebudayaan yang mengitarinya.
Words by Whiteboard Journal
Berselancar di internet terasa tidak normal kalau tidak berpapasan dengan perdebatan hangat hingga panas yang ramai dikerubungi warganet. Tidak hanya topik tentang politik saja yang selalu diwarnai dengan perdebatan panas, pembahasan mengenai musik pun juga. Semua berlomba-lomba untuk menunjukkan siapa yang lebih ‘unggul’ dari yang lain. Mulai dari perdebatan lineup festival musik yang katanya tidak sesuai standar, fenomena poser, kaos band, rundown festival yang katanya ‘menipu’ penonton, hingga pertarungan sederhana perihal daftar putar (playlist).
Salah satu perdebatan yang sudah lama saya temui (dan samar-samar saya ingat) bermula dari cuitan warganet tentang daftar putar milik seseorang yang dikonotasikan sebagai “playlist ganteng”. Cuitan tersebut cukup ramai dan mengundang banyak sekali respons. Uniknya, saya menemui banyak respons yang mengatakan bahwa daftar putar tersebut berisi lagu-lagu yang sering didengarkan oleh mas-mas yang sangat tipikal. Katanya, playlist tersebut cenderung dibuat oleh mereka yang sehari-harinya mengenakan kaos Deus, sepatu Dr. Martens atau New Balance dan jangan lupa: hobi fafifu wasweswos sambil nyebat, penyuka senja, dan selalu punya agenda sunday morning ride pakai Vespa. Istilah ceng-cengannya sekarang, mas-mas skena.
Gimana, cukup spesifik bukan? Selain saling melempar opini tentang bagaimana deskripsi orang-orang yang mendengarkan playlist tersebut, warganet juga menghujani cuitan itu dengan saling membagikan playlist ganteng versi mereka masing-masing. Semua seolah berlomba-lomba untuk menunjukkan seberapa “ganteng”-nya playlist mereka.
Lalu, apa yang sebenarnya salah dari sebuah daftar putar? Apakah hanya dengan daftar putar kita bisa dengan mudah mengidentifikasi individu lainnya hingga sejauh itu? Kurang lebih, itu adalah beberapa pertanyaan yang terpendam dalam benak saya ketika mengamati perdebatan yang tengah terjadi. Setelah melakukan pendalaman pada beberapa jurnal dan juga berdiskusi dengan salah satu teman, saya menyadari bahwa musik adalah salah satu bentuk ekspresi diri individu yang tidak dapat lepas dari genggaman kebudayaan dan juga aspek sosial.
Hal tersebut didukung dengan argumen di salah satu jurnal yang ditulis oleh M. Ridha al Qadri dengan judul Konser Musik di Media: “Common Culture”, Anti-otentisitas dan Budaya Populer, bahwa segala unsur yang berkaitan dengan musik itu sendiri, secara tidak langsung telah menjadi sebuah produk kebudayaan untuk dijadikan sebagai acuan bagi setiap individu dalam mengenali diri mereka, orang lain, bahkan juga dunia di sekitar mereka. Salah satu contoh unsur musik yang paling sederhana dan universal adalah lirik-lirik yang tercipta dalam sebuah lagu. Barisan kalimat yang ditulis sedemikian rupa ini merupakan hasil olah bahasa, yang tentu saja, tidak bisa kita lepaskan dari pengaruh latar belakang sosial-budaya.
Penggalan lirik yang sering kali kita dengar ini, bisa dikatakan sebagai bentuk respons dari beragam realitas yang entah telah terjadi di masa lampau, atau bahkan permasalahan yang tengah kita hadapi secara bersama-sama di masa yang sekarang. Untuk sekadar mengingatkan kita, bahwa ada hal-hal yang sejatinya belum usai, dan ada juga hal-hal yang sudah seharusnya kita akhiri. Entah itu isu kemanusiaan, kesehatan mental, sosial-politik, atau juga percintaan, tentu kita semua akan memiliki celah untuk bisa relate dengan penggalan-penggalan lirik yang ditulis dalam sebuah lagu. Mulai dari lirik yang ditulis dengan bahasa sehari-hari, bahasa daerah, hingga kalimat yang penuh dengan majas sekalipun, kita semua bisa menikmatinya dengan mudah.
Permasalahanannya, ketika pengenalan dan pengembangan wacana akan musik tersebut pada akhirnya mampu menembus batas-batas sosial-budaya tertentu hingga memunculkan stereotip mengenai individu/kelompok yang berkaitan dengan musik dan juga genre musik. Sejak dahulu, secara sadar dan tidak sebenarnya kita memang telah memberikan label pada genre musik dan mengkonotasikannya pada kelas-kelas sosial tertentu dalam masyarakat. Sebagai contoh, seperti dikatakan oleh Pierre Bourdieu dalam Jack Webster (2019), bahwa musik klasik pada awal kemunculannya diasosiasikan sebagai selera musik masyarakat kelas atas, berbeda dengan musik popular yang pada masa itu dikonotasikan sebagai selera musik masyarakat kelas menengah bahkan kelas bawah.
Berkaca pada hal tersebut, musik seiring dengan berjalannya waktu dapat dianggap sebagai media untuk kita memperjelas nilai bahkan posisi sosial kita dalam masyarakat. Bentuk-bentuk stereotip yang bermunculan terkait dengan musik tentu akan terus berkembang, mengingat perubahan kebudayaan adalah sebuah keniscayaan yang nyata adanya. Di era serba digital saat ini, perkembangan informasi dan teknologi menjadi salah satu hal yang tidak dapat dihindarkan. Kondisi tersebut, sedikit banyak akan berpengaruh pada bagaimana wacana musik dan genre musik akan terus diproduksi dalam masyarakat.
Eksistensi Spotify sebagai produk digital secara tidak langsung juga ikut melanggengkan proses pembentukan wacana dan identitas musik kepada para penggunanya. Upaya-upaya kurasi daftar putar yang dilakukan oleh Spotify merupakan cara untuk melakukan kontrol atas sejumlah besar musik yang disediakan, dan menanamkan kepemilikan psikologis atas ruang yang cukup luas dan impersonal pada penggunanya.
Kita sadar bahwa begitu banyak rilisan musik yang hadir di setiap minggunya, namun canggihnya Spotify dengan segala algoritmanya bisa mengkategorikan jutaan lagu tersebut pada beberapa daftar putar yang cukup spesifik bahkan mewacanakannya secara berulang-ulang.
Sebagai contoh, Spotify menyediakan daftar putar seperti Lagi Viral, yang sesuai namanya, tentu saja berisikan lagu-lagu yang tengah digandrungi oleh masyarakat secara umum. Kemudian di satu sisi, Spotify juga menyediakan daftar putar dengan judul Skena Gres yang menurut deskripsinya, berisikan rilisan-rilisan dari para musisi “arus pinggir tanah air”. Daftar putar yang memiliki kemiripan juga disajikan oleh Spotify dengan nama Indienesia, berisikan lagu-lagu “indie” lokal. Mungkin kalau bisa saya asumsikan, kedua daftar putar ini merupakan kebalikan atau oposisi dari daftar putar Lagi Viral.
Identifikasi perbedaan daftar putar tersebut hadir sebagai sebuah respons pada wacana musik mainstream dan “indie” yang sering kita gaungkan secara tidak sadar. Para pendengar kedua jenis musik tersebut tentu memiliki atribut-atribut yang melekat pada diri mereka baik fisik dan non-fisik. Nah, fatalnya kita sering kali lebih cepat untuk mengambil kesimpulan atas apa yang ditampilkan pada permukaan.
Melalui gambaran dan mungkin juga adanya indikasi persamaan citra yang terbangun secara instan antar penikmat musik tersebut, individu lain akan semakin mudah untuk mengidentifikasi bagaimana selera musik seseorang hanya dari apa yang ditunjukkan di dunia maya. Canggihnya lagi, daftar putar yang dibentuk oleh Spotify maupun para penggunanya secara personal, saat ini tidak hanya diasosiasikan pada atribut-atribut yang melekat pada mereka saja, namun juga sampai pada aspek personalia seseorang.
Selain berperan pada pembentukan diri para penggunanya, kita perlu sadar bahwa Spotify juga mendukung kita untuk melakukan personalisasi daftar putar yang akan semakin menekan konstruksi diri kita secara sosial. Kita diberikan kebebasan untuk membuat dan mengelola daftar putar dengan ciri khas kita masing-masing, tentu dengan selera musik kita masing-masing.
Pada proses pembuatan daftar putar tidak jarang kita akan menemui fitur-fitur rekomendasi yang juga disajikan oleh Spotify. Dalam konteks komersial, sistem pemberian rekomendasi semacam ini memang dioptimalkan dengan tujuan untuk mendorong keterlibatan pengguna yang dapat menghasilkan lebih banyak hal-hal yang mereka kenal, daripada memperkenalkan musik yang berada di luar jangkauan. Hal ini tentu akan berpotensi pada munculnya bentuk-bentuk homologi yang dikelola secara teknologi. Alhasil, kita yang mungkin sebelumnya sudah dilabeli sebagai penikmat musik dengan genre tertentu, besar kemungkinan akan semakin terperosok pada label tersebut.
Selain itu, dapat kita pahami pula bahwa Spotify sebagai salah satu layanan musik digital saat ini juga memudahkan kita menjangkau kehidupan sosial sebagai ajang untuk saling membagikan wacana musikal. Fitur bagikan daftar putar, dalam prosesnya akan semakin mendukung kita untuk mengembangkan reputasi diri secara online, bahkan memungkinkan untuk dibangunnya basis pengikut.
Saya jadi teringat pada momen bagaimana saya dan beberapa teman saya di perkuliahan, menjalin sebuah percakapan pada saat pertama kali berkenalan. Satu hal yang cukup menarik perhatian saya adalah ketika kami berteman di Instagram atau Twitter, namun terselip pula pengenalan diri melalui Spotify. Rupanya, indikasi kedekatan pada hubungan pertemanan saat ini juga mulai bisa diukur dari kegiatan saling mengikuti akun di Spotify dan juga bertukar daftar putar.
Melihat hal tersebut, kemudian terbesit pertanyaan di benak saya, apakah musik bisa benar-benar menjadi sangat otonom sehingga bebas dari kekuatan sosial? Sepertinya akan susah, mengingat bagaimana canggihnya dunia saat ini justru mendukung kita untuk terus membentuk identitas musikal kita masing-masing secara instan. Pada masa tertentu, konstruksi citra dan identitas yang terbangun secara sosial melalui fitur-fitur digital pada platform streaming musik saat ini menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindarkan. Kita dapat melihat bagaimana musik saat ini mampu menjadi dasar pertarungan status dalam masyarakat modern.
Kita menyadari bahwa selama ini, musik dengan berbagai dinamikanya selalu menjadi ajang negosiasi status sosial dalam masyarakat. Musik selalu menawarkan kita jalan menuju penciptaan diri melalui fantasi, untuk kemudian membantu terbentuknya identitas diri kita melalui beragam pengalaman baru yang ditawarkan. Sebagai pihak konsumen, tentu saja kita tidak akan pernah sadar bahwa kita telah membentuk sebuah identitas diri kita sendiri, justru identitas tersebut mengikuti hal-hal apa saja yang telah kita konsumsi selama ini, termasuk identitas diri kita atas musik-musik yang tersedia secara beragam di Spotify.
Lalu, apa yang perlu kita sikapi dari adanya fenomena semacam ini? Sebagai manusia yang hidup di tengah gencaran perubahan sosial budaya ini, memang kita perlu menjadi pribadi yang adaptif, dan tentu saja terbuka pada hal-hal yang baru. Sebenarnya keberagaman musik yang kita hadapi saat ini tidak perlu sepenuhnya kita telan mentah-mentah. Kita tidak dapat memungkiri bahwa banyak sekali rilisan musik baru yang muncul dan itu sudah menjadi satu hal yang tidak bisa kita hindarkan dari canggihnya dunia yang kita tinggali saat ini. Namun, kita juga tidak bisa semena-mena menghardik apa yang bukan menjadi bagian dari kotak kenyamanan diri kita sendiri. Siapa tahu, sikap semacam ini yang justru mendukung munculnya festival-festival musik dengan lineup yang nggak itu-itu aja, ya kan?
Jika dikembalikan pada persoalan daftar putar dan bagaimana masyarakat kita memaknainya saat ini, tidak ada indikator yang jelas yang bisa dijadikan sebagai standar dalam menilai daftar putar seseorang. Karena hal yang bersifat personal semacam ini bukanlah sesuatu yang bisa kita nilai, sama halnya dengan selera musik. Mencoba terbuka atas selera musik orang lain, dan membiarkan mereka untuk menikmati hal-hal yang mereka senangi dan tidak merendahkannya adalah salah satu contoh sikap yang sederhana dalam memahami apa yang tengah terjadi di lingkup musik saat ini. Sebab, aktivitas untuk saling membandingkan dan menjatuhkan selera musik dan daftar putar milik orang lain adalah suatu hal yang sia-sia.
Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa musik bagi sebagian individu mampu menjadi penolong mereka untuk memecahkan permasalahan yang sering kali merumitkan diri. Secara sadar atau tidak, kita pasti pernah menemui suatu momen ketika kita bisa memahami apa yang tengah kita rasakan dengan hanya mendengarkan sebuah alunan lagu. Kalau kata mas Kunto Aji, terkadang di antara ruwet-nya dunia, musik adalah salah satu media yang bisa menguraikannya menjadi hal yang sederhana. Kita tidak memiliki hak yang utuh untuk menghakimi, bahkan merasa superior atas perbedaan musik atau bahkan media yang kita gunakan untuk memecah ke-ruwetan tersebut.
Untuk itu, melakukan konfigurasi ulang pada pemaknaan kita terhadap musik di era digital saat ini menjadi salah satu hal yang penting. Kita perlu untuk memeriksa konsumsi kita terhadap musik, dan bagaimana menempatkan diri kita sebagai konsumen serta insan sosial sekaligus. Sehingga, kita pun bisa memahami sampai pada batas-batas yang seperti apa kita dapat mengapresiasi musik sebagai suatu hal yang utuh.
Terakhir, perlu diingat bahwa ruang lingkup seseorang yang sering kali berbeda dengan diri kita, seharusnya tidak menjadi batasan untuk kita mengekspresikan hal-hal yang kita senangi dengan leluasa, termasuk juga pada musik. Jadi, mari lanjut mendengarkan musik apapun yang ingin kita dengarkan tanpa perlu takut bagaimana masyarakat memandang diri kita secara pribadi.