Pendaki Kekinian, Konten, dan Refleksi Diri
Pada submisi column kali ini, Rizky Triputra menuliskan tentang kecenderungan perilaku ceroboh para pendaki gunung di era media sosial dan pentingnya mematut diri pada tokoh pendaki gunung yang bijak.
Words by Whiteboard Journal
Mendaki gunung menjadi kegiatan yang mudah sekali untuk dilakukan semua orang belakangan ini. Kegiatan tersebut sudah milik semua kalangan, setiap orang merasa layak untuk mendaku diri sebagai pendaki. Sebagai ladang berbagi karya paling subur, media sosial sering kali menjadi tempat bagi para pendaki untuk memperlihatkan foto, video, dan rencana open trip. Semua itu didasari intensi untuk menunjukkan bahwa mereka melakukan berbagai kegiatan kekinian.
Selama ini, kita mengenal kegiatan mendaki gunung dari dua sudut pandang: wisata dan olahraga. Sudut pandang pertama menganggap kegiatan tersebut sebagai rekreasi alam, melepas penat, atau membuat konten. Sementara, yang satunya menganggap kegiatan itu sebagai jenis olahraga yang serius dan perlu persiapan matang. Sah-sah saja mengamini keduanya tanpa perlu mengotak-ngotakkan–sepanjang tidak menyampingkan aspek keselamatan dalam mendaki gunung.
Bapak sosiologi Max Weber menjelaskan bahwa sekumpulan orang yang menyukai kegiatan yang sama akan selalu bergerak, berkembang, dan berubah (Basic Concepts in Sociology, 1922). Dinamika ini terjadi karena rasionalitas manusia akan mendorong mereka untuk melakukan “tindakan sosial” dengan tujuan berbeda, tergantung apa yang ingin dicapai oleh pelaku.
Jika dilihat dari motifnya, terdapat empat macam tindakan sosial yang dilakukan pendaki gunung. Pertama, tindakan untuk mencapai tujuan tertentu, misalkan karena ingin sehat, membuat konten, atau mencari pengalaman baru. Kedua, tindakan berdasar adanya satu nilai tertentu, karena ia seorang pecinta alam atau karena ia seorang atlet trail run. Ketiga, tindakan afektif, yakni mereka yang tergerak secara emosi sehingga mengikutsertakan diri karena terpengaruh oleh orang lain. Keempat, tindakan yang didasarkan atas adat istiadat tertentu, yakni orang-orang yang mendaki gunung karena alasan spiritual atau berziarah.
Penulis merasa kritik perlu ditujukan pada pendaki yang membuat konten “nyeleneh” dan hanya menginginkan viral saja. Misalnya, pada kasus orang jahil yang melakukan pendakian Gunung Sindoro melalui jalur Banaran, 17 Agustus 2021 lalu. Ia mengerjai tim rescue dengan berpura-pura sakit demi keperluan konten TikTok-nya. Atas kecerobohan ini, ia “dihadiahi” blacklist 5 tahun oleh Pengelola Jalur Pendakian Sindoro via Banaran.
Sayangnya, keberanian saja bukanlah modal yang cukup untuk mendaki. Diperlukan kesadaran dalam berpikir dan bertindak supaya dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Penyakit Pendaki Kekinian dan Perlunya Role Model Pendaki
Penyakit pendaki gunung saat ini adalah kurangnya persiapan, proses, dan penghayatan kepada alam karena fatamorgana kemudahan yang tersaji di media sosial. Hanya hal-hal menyenangkan yang dipertontonkan, seperti bagusnya pemandangan gunung lewat cuplikan 15-30 detik.
Ketersediaan berbagai peralatan pendakian yang semakin mudah dibeli dengan harga yang semakin terjangkau juga kerap kali mengorbankan aspek fungsi dan kualitas. Padahal, kita tahu sekali bahwa sepasang sepatu yang kuat dan tas carrier yang menyesuaikan postur tubuh berperan penting dalam menjamin perjalanan yang aman dan nyaman, serta kantung tidur yang tebal dan hangat menjamin tidur yang nyenyak di tengah kondisi gunung yang dingin.
Mereka juga kerap abai dengan tokoh-tokoh pendaki gunung yang bisa dijadikan role model agar tetap terlatih, berwawasan, dan mampu meminimalisir keteledoran yang mungkin terjadi di gunung. Para tokoh ini penting karena memberikan teladan dan hal-hal yang patut dilakukan dalam pendakian.
Di Indonesia, kita mengenal beberapa tokoh dari MAPALA UI. Norman Edwin misalnya, yang mempunyai talenta serba lengkap: mendaki gunung, menelusuri goa, arung jeram, dan berlayar. Ia berhasil menggapai empat puncak gunung tertinggi di dunia, di antaranya Cartensz Pyramid di Papua (4.884 meter), McKinley di Alaska, Amerika Serikat (6.194 meter), Kilimanjaro di Tanzania, Afrika (5.894 meter), dan Elbrus di Rusia (5.633 meter) sebelum pada akhirnya tutup usia pada 19 Maret 1992 dalam dekapan Gunung Aconcagua, Argentina (6.959 meter). Ada pula Herman Lantang, sang pendiri, guru, dan legenda pecinta alam Indonesia. Ia dikenal karena kecerdasan, lintas keilmuan, dan kerendahan hatinya.
Di kancah internasional, ada Peter Boardman, pendaki gunung asal Inggris yang berhasil mencapai puncak Everest melalui dinding barat daya, yang dikenal karena kesulitannya, pada 24 September 1975. Dia tidak silau dengan pujian yang bertubi-tubi atas prestasinya tersebut. Dengan bijaksana ia menjelaskan apa itu bahaya pendakian, baginya, “kehidupan sehari-hari lebih kejam daripada bahaya pendakian yang nyata serta dibutuhkan lebih banyak ketabahan untuk bekerja di kota daripada mendaki gunung yang tinggi.”
Selain itu, ada Andrew Skurka, pendaki sekaligus orang pertama yang menyelesaikan Great Western Loop, rute pendakian sepanjang 11.064 kilometer, yang melewati beberapa negara bagian di Amerika Serikat bagian barat. Melintasi Gurun Mojave, Gurun Sonora, 12 Taman Nasional, dan 75 area hutan belantara dalam waktu 7 bulan dengan rata-rata perjalanan harian 53 kilometer. Ia kerap membagikan tips dan resep makanan dalam pendakian di situs pribadinya.
Jika dirasa kurang menarik, pendekatan lewat sastra pun bisa dilakukan. Para penyair hebat Amerika Serikat adalah pendaki gunung. Sebut saja Walt Whitman yang terkenal dengan Walt Whitman Trail di West Hills County, Melville, New York. Mary Oliver dengan kebiasaannya meninggalkan sejumlah pensil di bawah pepohonan hutan Maple Heights, Cuyagoha County, Ohio untuk mencatat momen puitik dalam buku hariannya, dan Henry David Thoreau yang membuat catatan perjalanan pendakian sejauh 55 km ke Gunung Wachusetts yang terletak di Princeton, Massachusetts.
Dari sekian kisah tokoh-tokoh pendaki tersebut, ada benang merah yang dapat diambil hikmahnya: bahwa mendaki gunung adalah refleksi atas diri mereka sendiri. Tetapi refleksi diri sendiri yang seperti apa? larik dalam sajak Song of the Open Road milik Whitman mungkin dapat menjawab pertanyaan tersebut.
“Now I see the secret of the making of the best persons, It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth.